"Marya Corazon?!"
Abram melambai dari arah berlawanan saat akan memasuki gerbang menuju sekolah. Marya tak lagi berusaha menghindar, sebab Abram akan makin giat mengejar.
"Maukah pergi ke bazar pekan raya denganku nanti sore?" Abram menyamai langkah, bertanya santai seolah mereka sobatan.
Maria menggeleng. Abram buru-buru menyambar, "Aku tak mengajakmu kencan cuma ingin berteman saja. Jangan salah sangka!"
Marya terus melangkah dalam diam, tak ingin tanggapi Abram tetapi tak lari darinya. Mereka bersama-sama melewati gerbang.
Para siswa hilir mudik di segala penjuru sekolah. Tidak heran, guru-guru biasanya rapat nilai setelah ujian remidial. Ini jadi kesempatan bagus untuk bersantai ria, merefreshing otak setelah berminggu-minggu gigih belajar. Beberapa siswa bergosip dan segera menengok, melempar pandangan aneh ketika mereka lewat. Abram abaikan dan terus melangkah ringan di sisi Marya.
Makin dekat ke gedung sekolah tatapan gusar anak-anak semakin intens. Abram celingukan, tatapan itu tak ditujukan untuknya tetapi untuk ... Marya.
"Emm, Marya ... aku rasa ada yang salah."
"Ada apa? Apakah sesuatu terjadi?" Marya balik bertanya kuatir dari balik hoodie. Ia lantas lebih tergesa ingin cepat sampai di kelas. Abram ikuti ritme kaki Marya.
"Lupakan saja!" Abram menyesal telah timbulkan ketidak - nyamanan pada Marya.
"Jadi bagaimana ... maukah ke pekan raya denganku? Permen kapas di sana sangat gurih dan banyak kuliner lezat lain. Kita bahkan bisa makan gratis di stan food counter." Abram menelan liur. Maksud hati memancing minat Marya malah indera perasanya yang terkena umpan.
Marya menggeleng, "Abram, aku bekerja sampai malam."
"Akkhh, sayang sekali."
Mereka berjalan di koridor dan anak-anak berkumpul depan papan pengumuman berbagi bisik. Wajah-wajah itu menengok ke arah Marya dan langsung menembaknya dengan tatapan "benci". Tentu saja Marya Corazon tak melihat. Abram angkat bahu acuh, ia menduga ada aksi iri hati lanjutan sebab Marya selalu di atas angin.
"Sampai jumpa nanti, amiga (sahabat). Aku akan melihat papan pengumuman. Hasil remidial pasti telah dipajang. Luar biasa rajin Pak Jerry, memeriksa lembaran remidial hanya dalam waktu semalam. Aku tertarik jadi jenius tetapi malah berakhir seperti hewan mamalia." Abram mengeluh panjang tentang diri sendiri, tak berharap Marya menyimak ocehannya. Jadi, ketika Marya menyahut Abram tersanjung.
"Jika tak paham, kamu bisa bertanya padaku. Ada niat, ada jalan. Aku bukan jenius, aku hanya suka belajar."
Marya berhenti di depan kelas. Pertama kalinya dia bicara cukup panjang pada seseorang. Abram angguk-angguk senang dan tersenyum sangat lebar, mulai suka pada keterbukaan Marya.
"Maaf ya, aku selalu usil padamu saat kita di tingkat satu. Kau tahu beberapa orang bodoh melakukan itu untuk mencari perhatian."
Marya sedikit tersenyum padanya kini, Abram mengelus dada pelan. Seperti apa wajah Marya? Apakah dia sangat buruk rupa hingga terus menutup diri?
Tidak, jangan penasaran!
Keduanya berpisah di depan pintu kelas. Abram berlari kecil ke arah papan pengumuman dan gelincirkan kakinya di atas keramik seperti sedang main seluncur.
"Awas tabrakannn!" serunya memecah kerumunan dan berhenti tepat sebelum jidatnya mendarat di papan pengumuman. Ia menutup mata dan menoleh kiri-kanan berharap ada gelak tawa. Tak seorangpun terhibur dengan tingkahnya. Semua siswa menghadap papan murung. Ini buruk, apakah nilai perbaikan lebih jelek dari nilai ujian? Abram menggaruk kepalanya.
Ia menengok heran pada Reinha dan Claire yang menatap muram pada papan pengumuman padahal mereka tak ikut remidial. Lalu nilai siapa yang membuat mereka kesal? Abram masih tak perhatikan papan pengumuman.
"Claire Luciano, kau juga melihat hasil remidial? Apakah kamu ikutan remidial atau kau memeriksa nilai remidialku?"
Claire dan Reinha Durante menengok malas padanya lalu abaikan dia seakan Abram hanya seekor lalat buah tersesat. Tampang mereka berdua sama, masam, seolah baru saja menenggak satu ember cuka.
"Ada apa? Apakah remidialku bagus? Ohoho, sebab hanya itu yang bisa membuatmu kesal, Claire," goda Abram menikmati wajah sewot Claire.
Yang digoda mendengus ketus, "Aku tak peduli padamu. Sekalipun nilaimu nol bulat seperti telur dinosaurus. Aku tak peduli. Tak ada untungnya buatku."
"Lalu apa masalahmu? Mata kalian berdua nyaris robohkan papan pengumuman."
"Yah Tuhan, 'sapi ini' ... ingin rasanya kuberi bakteri Bacillus Anthracis biar langsung menghitam dan berhenti berisik," gerutu Claire tambah dongkol.
Abram berdecak, "Cla, semakin hari indeks kesombonganmu bertumbuh signifikan. Kau bisa lepaskan sebagian saham angkuhmu itu di pasar modal. Mungkin 'Nona Kaya' di sebelahmu berniat membeli. Ckckck ...."
Wajah Claire kini terlipat sempurna. Keduanya kesal tapi terus pandangi papan pengumuman. Abram mendorong Claire hingga bergeser.
"Minggir! Aku mau lihat ni ... - UPS - ... A- apa ini?"
Mata Abram Hartley terbelalak. Di papan pengumuman berjejer foto-foto Marya Corazon dan Ethan Sanchez. Abram amati foto-foto itu satu persatu. Ethan mengikuti Marya di sebuah jalan, Ethan memegang tangan Marya di pekan raya. Mereka mengobrol dan wajah Ethan tersenyum riang.
"Jadi ... ini yang membuat kalian seperti makan pohon asam beserta akar-akarnya? Apakah Ethan dan Marya menjalin kisah asmara terlarang? Apa Ethan Sanchez kekasih seseorang?" cibir Abram pandangi Claire atas bawah lalu beralih pada wajah uring-uringan anak-anak perempuan lain. Mereka jelas tidak suka Ethan menggandeng tangan Marya.
"Siapa penguntit brengsek yang berani mengganggu Marya? Apakah ada cucunya paparazi di sekolah ini? Jelas kriminalitas! Foto ini hanya propaganda agar Marya dibenci," seru Abram berapi-api.
"Aish! Kau berisik sekali, Abram! Coba indeks otakmu bertumbuh signifikan seaktif mulutmu, kau pasti peringkat satu selama berabad-abad. Kau pandai sekali di bidang ekonomi dan berbahasa, tetapi sayang sekali nilai teorimu merah keunguan ...." Claire mencibir dan menyeret Reinha ke dalam kelas. Kelamaan dekat Abram Hartley bisa bikin ubun-ubunnya meledak.
Sedangkan, Ethan Sanchez melangkah tergopoh-gopoh ke papan pengumuman. Ia mencermati foto-foto itu kemudian melucuti satu-persatu. Matanya mencari-cari Marya.
Di dalam kelas Marya duduk sendirian. Di hadapannya terbentang buku pelajaran tetapi ia melamun jauh. Benak Marya mengulang pertemuan manis pagi tadi lebih rinci. Ia memegangi dada yang berdebar. Satu-satunya penghiburan dari sekian kepedihan adalah Elgio Durante, kendatipun diselingi rasa cemas akan penolakan Elgio. Marya pandangi foto tiap hari dan berdoa agar pria itu selalu sehat dan dijaga Tuhan.
Reinha gerah, gregetan lihat Marya duduk di bangku belakang seolah tak ada masalah. Ia tak mampu menahan diri ingin pemastian Marya. Ingin menemui Marya dan bertanya langsung. Namun, beberapa orang siswi masuk ke kelas mereka. Gadis-gadis tingkat tiga, top fans Ethan Sanchez.
Sepertinya Reinha Durante tak butuh ambil tindakan. Ada orang lain yang akan lakukan itu untuknya. Sedangkan, Marya tak sadar bahwa geng Jane Line mendatanginya. Ia begitu terkejut ketika bangku di depannya berdecit akibat ditendang kasar dan Jane Line berjinjit sebelum taruh bokongnya di ujung meja Marya.
"A-adddaaa appp-paaa?!"
*******
Dukung Senja Cewen Selalu yah. Hari ini Up-nya lebih dari satu Chapter sesuai permintaan Readers.
Jangan lupa kasih Like dan komentar. Saran yang membangun.
Jao Mora Ne'e Miu (I Love You).
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments
✨Susanti✨
🤣🤣🤣🤣
2023-01-19
0
gia gigin
Abram tengil tapi aku suka 😅
2023-01-14
0
M akhwan Firjatullah
ayya.. Abraham lucu banget..aku putuskan untuk tidak tidur siang hari ini...mo baca novel ini ja
2022-11-10
0