Elgio menghitung ....
Baru dua hari di rumah Aruhi, ia sudah mulai sekarat. Ingin sekali kabur tetapi takut hukumannya diperpanjang. Tak ada apapun di rumah kumuh ini. Tanpa kesenangan, tanpa hiburan, terlebih udara rumah ini sangat pengap dibanding udara di kandang kuda Durante Land. Elgio yang terbiasa tidur di kamar mewah dan nyaman harus tidur gelisah di sofa sempit ruang tengah Aruhi. Kaki-kaki lonjong terpaksa bertekuk kesemutan sepanjang malam.
Sementara Aruhi betah bertapa dalam kamar dan hanya terlihat ketika lapar. Wajah bocah perempuan itu kuyu layu seperti tanaman teratai tanpa air. Ia hanya makan sedikit tak bersemangat. Masakan Danish juga tidak begitu enak, beda jauh dengan masakan Bibi Maribel.
Elgio bolak-balik di atas sofa sebab dengkuran Danish menderu seperti mesin pemotong rumput di perkebunan. Satu lagi daftar masalah. Televisi sengaja dibiarkan terus menyala untuk meredam dengkuran Danish.
"Aissss, dia tidur atau apa? Itu mulut atau mesin rusak?" keluh Elgio gemas.
Lampu ruangan remang-remang saat pintu kamar Aruhi berderik. Elgio merapatkan selimut menutupi tubuh kurusnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Udara dingin menembus tulang-belulangnya. Sedangkan televisi menayangkan siaran tengah malam tentang perburuan hantu. Kuduk Elgio meremang, kepala membesar. Nyali laki-lakinya menciut.
Elgio berbalik dan mengintip dari celah selimut. Mengapa pintu kamar Aruhi terbuka sedangkan ia tak mendengar langkah kaki kecil Aruhi?
Elgio memutuskan memeriksa ke dalam kamar, berusaha kalahkan rasa takut.
"Aruhi?" panggil Elgio pelan.
"Aruhi?" panggilnya lagi.
Tak ada sahutan. Ia mendorong pintu kamar dan masuk ke dalam. Ruangan itu kosong. Tak ada Aruhi di atas tempat tidur. Jendela kamar tidurpun terbuka dan tirai berayun oleh tiupan angin. Lampu tidur di samping tempat tidur menyala redup.
"Apa Aruhi melompati jendela dan berusaha menemui Benn?"
Elgio kerutkan kening. Tidak mungkin. Ia menggeleng. Aruhi terlalu kecil untuk keluyuran di tengah malam dingin seperti ini. Elgio memeriksa jendela. Ia akan mendengar gedebug tubuh Aruhi saat lompati jendela. Elgio satukan tirai lalu menutup pintu jendela rapat-rapat. Ia berbalik dan ...
"Astaga, ha ... hannn-tuuuu?!"
Elgio melompat ke tempat tidur Aruhi dan terbenam sempurna dibalik selimut. Di pintu masuk seorang gadis kecil pakai dress putih terang dan wajah pucat pasi berdiri kaku. Rambut tergerai ke depan dan poni menutupi separuh wajah.
"Hantu?!" tanya Aruhi dan menekan saklar lampu. Ruangan kamar berubah terang-benderang. "Ini aku ...."
Aruhi menarik selimut Elgio. Bibir Aruhi melengkung samar dapati Elgio tergelung ketakutan dalam selimut.
"Ka - uuu?!" Elgio gertakkan gigi marah. "Darimana saja kau? Berkeliaran dengan wajah seperti itu tengah malam? Aku nyaris berpikir Sadako keluar dari layar televisi."
Bibir Aruhi miring. Ia berpikir keras, "Sadako?"
"Ya ... kau tak tahu Sadako? Hantu Jepang Sadako. Coba Googling, nah, kau mirip jelmaannya. Kenapa tidak mengesot saja tadi? Sekalian saja buat aku mati kaget. Pantasan teman-temanmu tak berani berteman denganmu."
Elgio mengomel panjang lebar sambil menepuk dada coba tenangkan jantungnya yang berdegup kencang.
"Mengapa Kakak ke kamarku?"
"Kau menghilang. Aku kira kau melompati jendela dan pergi mencari Benn. Bikin takut orang saja. Astaga, rumah ini aneh. Pengasuhmu mengorok seperti mesin pengaduk pasir. Sial sekali aku. Semalam kamu dan malam ini Danish."
"Kakak boleh tidur di kamarku. Aku bisa tidur di sofa."
"Tidak! Kau itu cengeng dan kau pasti akan adukan aku pada Ayah. Aisss, model poni macam apa itu? Seperti kumis kambing saja."
Elgio mengacak rambut Aruhi sebelum kembali ke sofa ruang tamu. Mulut Danish menganga lebar. Pengasuh itu bahkan tak terganggu oleh keributan yang Elgio ciptakan. Muncul keinginan untuk menyumpal mulut besar Danish dengan tempayan air. Liur ilerannya bahkan meleleh jatuh dan mengalir sampai jauh. Elgio bergidik jijik.
TV dimatikan. Terlalu banyak mengoceh lama-lama membuatnya ngantuk kemudian jatuh tertidur pulas. Semoga seminggu segera berlalu dan dia bisa pulang ke Durante Land. Semoga ketika bangun besok, mukjizat datang. Tiba-tiba saja seminggu telah lewat. Jika tak terjadi, terpaksa ia harus menelpon Ayah besok dan minta ganti hukuman. Lebih baik jadi pekerja di kandang hewan. Setidaknya dia bisa makan enak dan tidur nyenyak malam hari di kamar tidurnya.
Suasana perumahan begitu sepi menjelang tengah malam. Hanya sesekali terdengar suara kendaraan di jalan utama di depan sana.
Di luar rumah beberapa pria berpenutup wajah mengendap-endap masuk pekarangan. Mereka berbagi jalur dan mulai tumpahkan isi jirigen ke seputaran rumah tanpa seincipun lolos. Seseorang di antara mereka mengangguk memberi tanda dan seorang lainnya mulai nyalakan api. Mereka lalu diam-diam pergi dari sana.
Api merambat mula-mula pelan. Makin lama makin berkibar. Dalam sekejab berkobar-kobar saat mengenai dinding rumah Aruhi. Angin bertiup membantu api meraja lela. Lidah-lidah rakusnya menjilat kesana - kemari mencari mangsa, melahap semua yang ditemuinya.
Elgio menggeliat saat suhu udara menjadi terlalu panas bahkan sangat panas. Dia menggaruk leher yang telah basah oleh keringat. Saat berbalik kakinya tersengat oleh sesuatu. Mata anak lelaki itu terbuka. Ia terbaring dibawah loteng rumah yang telah terbakar.
Astaga, mimpi buruk apa lagi ini?
Elgio melempar selimut saat menyadari itu bukan mimpi. Ia berteriak panik.
"KEBAKARAN TOLONGGGGGG!!! KEBAKARANNNN!!!"
Danish sekonyong -konyong bangun susah payah dan berlari sempoyongan keluar setelah melihat api merambat ke seisi rumah. Elgio mengekor di belakang Danish. Yang terpikirkan oleh Elgio hanyalah menyelamatkan diri sendiri. Di luar beberapa warga berkumpul dengan selang air berusaha memadamkan api. Suasana hiruk pikuk memecah keheningan di malam itu. Seorang warga segera menelpon petugas pemadam kebakaran. Jika tidak, satu perumahan akan habis dilalap api.
"Yah, Tuhan .... ARUHI?!" seru Elgio cemas saat api telah berkobar sepenuhnya.
"Di mana Puteri kecil Pak Benn?" tanya salah seorang warga.
"Dia masih di dalam .... Tolong! Tolong! Aruhi masih di dalam." Danish pucat pasi.
Seakan tersambet sesuatu, Elgio kembali berlari tunggang - langgang ke dalam rumah, lompati kobaran api langsung datangi kamar Aruhi. Anak itu meringkuk ketakutan di atas tempat tidur.
"Yah, Tuhan. Kau ini bodoh? Kau ingin mati dimakan api?" teriak Elgio marah.
Dia menarik Aruhi pergi ke pintu keluar, tetapi Aruhi menolak pergi karena takut. Terlalu banyak api.
"Aku takut, Kak!" serunya berlinang air mata. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus, akibat suhu panas membara dalam kamar itu.
Elgio berusaha keras menyeret Aruhi turun dari ranjang menuju pintu keluar kamar. Namun, asap dan api menghalangi jalan mereka. Sementara jendela tak bisa dilewati karena api juga berkobar di sana. Aruhi menangis ketakutan. Elgio memeluknya ngeri. Mereka terjebak di kamar Aruhi.
Sirene mobil pemadam kebakaran terdengar samar-samar.
"Dengar Aruhi! Kita akan pergi ke jendela dan kau akan naik ke punggungku lalu melompat keluar."
"Tidak mau. Akuuu takuuttt ... " tangis Aruhi di antara suara kobaran api. Keduanya susah bernapas. Api telah membakar ranjang dan almari Aruhi.
"Kita akan hangus di sini. Kamu mau?!"
"Ayaaahhhh, tolong aku!" teriak Aruhi panik. Gadis kecil itu terbatuk-batuk dan tersengal.
Elgio mulai gemetar dan kembali menarik paksa Aruhi. Mereka harus keluar dari sini, atau mereka akan terbakar hidup-hidup. Itu mengerikan.
Semoga Ayah puas jika aku mati di sini. Elgio mendengus dalam hati.
"Cepat kemari, tulalit!" Elgio meradang saat Aruhi bimbang dan menyeret paksa Aruhi yang menangis ketakutan. Mereka mencapai pintu kamar. Ruang tengah sudah sepenuhnya terbakar. Dan seorang petugas kebakaran terlihat di sana dengan tabung pemadam kebakaran.
"Pak, sini!!!" teriak Elgio kencang. Petugas mendekat. Elgio hendak melangkah keluar pintu ketika tiba-tiba tiang loteng roboh dan jatuh tepat di atas Aruhi. Elgio menarik Aruhi ke dalam pelukannya dan tak bisa hindarkan diri dari hantaman keras balok tepat di pundak dan punggungnya.
Argggghhhhh ....
"KAKAKKKK!!!"
Aruhi pingsan sesaat kemudian dalam lindungan tubuh ringkih Elgio yang juga tak sadarkan diri.
Sementara di sudut lain perumahan. Tiga pria meneguk botol minuman keras bersemangat menonton pertunjukkan itu. Api membumbung tinggi ke langit menerangi pekatnya malam. Salah seorang pria berbicara di telepon.
"Jangan cemas, Nyonya. Eksekusi lancar. Dalam hitungan menit, rumah itu akan berubah jadi debu. Wussshhh ...."
*****************************
Jangan lupa tinggalkan like, komentar, favorit untuk Author.
Senja Cewen...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments
Vivo Smart
nyonya? nggak mungkin ibunya Aruhi kan?
2024-07-09
0
Vivo Smart
El dah mirip cewek kalo merepet 😂
2024-07-09
0
Vivo Smart
El, kamu kok bawell kali sih kek emak emak
2024-07-09
0