Bab 13

Setelah interogasi yang begitu lama, Ando tidak berhasil menggali informasi apa pun dari komandan pasukan yang dia tawan. Sepertinya komandan itu memang harus Ando paksa dengan kekerasan. Apalagi sama sekali tidak mau berbicara apa pun, selain berteriak kesakitan akibat siksaan yang Ando berikan.

Ando menyiksanya dengan alat kejut listrik yang ditempelkan pada lukanya, agar orang itu merasakan sakit yang luar biasa. Tapi sepertinya orang itu benar-benar ingin tutup mulut, dan tidak mau berucap sepatah katapun.

"Sudahlah. Kita biarkan saja dia. Kau istirahatlah. Biar dia menjadi urusanku nanti. Kita harus menghubungi Komandan Wikar, kalau dia tetap tidak mau bicara." kata salah seorang anggota pasukan Wikar pada Ando.

"Baiklah. Jangan sampai dia melepaskan borgolnya." kata Ando.

"Tenang saja. Sekali saja dia bergerak, aku akan pencet tombolnya." kata pemuda itu dengan menunjukkan tombol alat kejutnya.

Ando lalu pergi dari ruangan itu. Dia menuju ke tempat pemandian, untuk membersihkan dirinya. Kemudian dilanjutkan dengan makan dan berbaring sejenak.

Ando masih terus memikirkan bagaimana keadaan kedua temannya, Ryan dan Tony. Sudah berhari-hari mereka tidak sadarkan diri. Mereka masih dalam proses penyembuhan. Ando tidak diizinkan untuk menemani mereka, karena para dokter khawatir akan membuat proses penyembuhan menjadi lambat.

Di ruang perawat, **Tony** yang terbaring lemah berusaha untuk mengangkat tubuhnya kembali. Tapi sudah berkali-kali dia gagal. Tubuhnya sangat lemah. Dia belum bisa melakukan apa-apa selain berbaring di tempat ini. Dia melihat sekelilingnya. Ternyata bukan hanya dia saja yang mendapatkan perawatan. Tapi **Ryan** dan para pasukan **Wikar** yang lain juga ada di ruangan ini.

**Tony** melihat kedua tangannya yang terlihat semakin kurus. Entah sudah berapa lama dia berada di tempat ini. Dia juga tidak tahu, apakah ini malam, siang, ataupun pagi. Tidak bisa melihat ke arah luar.

"*Sepertinya ruangan ini memang sangat terlindungi*." kata **Tony** dalam hatinya.

Dia juga memperhatikan para perawat yang masih sibuk mengurus pasukan yang lain. **Tony** melihat salah satu anak muda yang tersenyum padanya. Dia seperti mengenali anak itu.

Ya...

Dia adalah remaja yang diinterogasi oleh **Ando** hingga babak belur. Tapi remaja itu terlihat sudah baikkan. Hanya saja ada sedikit luka dilehernya.

"*Kau sudah membaik*?" tanya remaja itu.

"*Entahlah. Aku merasa semakin kurus*." jawab **Tony**.

**Tony** terus melihat luka yang ada dileher remaja itu, dia ingat kalau sebelumnya ada bom kecil yang menempel di lehernya. Sepertinya bom itu sudah berhasil di lepas.

"*Tenang saja. Aku sama sekali tidak menyimpan dendam padamu. Bomnya sudah berhasil di lepas. Oh ya, temanmu itu sudah bergabung dengan komandan Wikar. Begitu juga dengan aku. Temanmu selalu melihatmu dari luar kaca, dia sangat ingin menemuimu. Tapi sayangnya tidak bisa*." kata remaja itu.

"*Kenapa*?" tanya **Tony** padanya.

"*Komandan Wikar ingin semua orang di ruangan ini lebih fokus dengan kesembuhan mereka. Jadi dia tidak ingin ada satu orang pun yang masuk, kecuali para dokter dan perawat*."

**Tony** merasa sedikit lega, karena mendengar kalau sahabatnya dalam keadaan baik-baik saja. Dia ingin sekali bertemu dengan sahabatnya itu. Mungkin, sakitnya bisa terasa lebih ringan jika **Ando** berada di sampingnya. Karena selama ini mereka selalu bersama-sama.

"*Aku tadi bertanya pada salah satu dokter soal keadaanmu, dia mengatakan kalau sebentar lagi kau akan keluar dari ruangan ini. Kau bisa bertemu dengan sahabatmu lagi*."

"*Lalu bagaimana denganmu*?" tanya **Tony**.

"*Aku masih harus melewati terapi, karena ibu jariku patah*." kata remaja itu sembari menunjukkan tangan kanannya.

Peluru yang seharusnya saat itu mengenai **Tony**, ternyata melesat ke arah remaja itu. Secara reflek, remaja itu menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, hingga membuat ibu jarinya meletus.

"*Jadi kau berusaha melindungi aku*?" tanya **Tony** padanya.

**Tony** merasa kasihan kepada remaja itu. Karena dengan kehilangan ibu jari ditangan kanan, maka dia akan sulit melakukan pekerjaan apa pun. Terutama saat dia memegang sebuah sendok. Sendok itu pasti akan jatuh, karena ibu jarinya telah hilang.

"*Kau tidak perlu khawatir. Para dokter sudah membuatkan aku sebuah jari tangan palsu. Untuk itulah, aku tetap disini, sampai aku benar-benar bisa menggunakan ibu jari buatanku dengan baik*." kata remaja itu.

"*Baiklah. Aku akan menjengukmu kalau aku sudah keluar dari tempat ini. Aku akan meminta izin kepada komandan Wikar. Kalau perlu, aku yang akan melatihmu untuk menggunakan ibu jari buatan itu*." kata **Tony** padanya.

"*Benarkah*?"

"*Ya*!"

Remaja itu terlihat begitu senang. Baginya, dia bukan hanya mendapatkan seorang sahabat baru, tapi juga sosok ayah dalam hidupnya. Begitu juga dengan **Tony**, dia merasa sangat senang karena remaja itu terlihat bahagia.

"*Sekarang kembalilah ke tempat tidurmu. Aku akan memeriksa sahabatmu ini*." kata salah satu perawat pada remaja itu.

"*Baiklah. Cepat sembuh Tony*."

"*Terimakasih*." jawab **Tony**.

"*Dia terus menanyakan keadaanmu. Selama ini dia tidak memiliki keluarga yang tetap*." kata perawat itu pada **Tony**.

"*Maksudmu*?" tanya **Tony** padanya.

Perawat itu memberitahu **Tony**, kalau selama ini remaja itu hanyalah gelandangan. Dia suka membantu warga sipil untuk bisa makan sehari-hari. Lalu banyak orang yang menganggapnya sebagai anak. Dan dia diasuh oleh semua orang yang ada di tempat ini. Jika ada rumah atau pun bangunan yang perlu diperbaiki, maka remaja itulah yang harus dipanggil terlebih dahulu.

Remaja itu dulunya anak orang kaya, tapi orang tua kandungnya mati karena dibunuh oleh para tentara. Orang tuanya dianggap seorang pengkhianat oleh pemerintah, karena ayah dan ibunya secara diam-diam membantu kelompok Wikar, dengan mengirimkan senjata dan amunisi.

Lalu anak itu diselamatkan oleh **Wikar**, dan sengaja di tempatkan dilingkungan warga sipil, agar dia tidak ditemukan oleh para tentara. Jika dia menjadi bagian dari pasukan Wikar secara resmi, maka identitasnya akan terbongkar. Dan dia akan menjadi santapan empuk bagi para tentara. Mengingat usianya masih sembilan belas tahun. Dia belum bisa bertempur dengan baik. Lagi pula, anak itu lebih suka berdamai dari pada harus membunuh.

"*Siapa namanya*?" tanya **Tony** pada perawat itu.

"*Nama aslinya Rusley. Tapi dia menggunakan nama samaran. Panggil saja dia Lee*." jawab perawat itu.

**Tony** semakin merasa kasihan pada anak itu. Dia harus hidup dalam ketakutan. Dan menjadi buruan para tentara. Anak seusianya, seharusnya masih belajar dan berkumpul dengan teman-temannya. Tapi saat ini, dia harus lebih mengutamakan keselamatan dirinya, dari pada sebuah pendidikan.

Wikar melihat foto masa kecilnya bersama dengan kedua orang tuanya. Dia ingin sekali orang tuanya hadir dan menjadi inspirasinya. Tapi dunia sudah berbeda. Wikar terpaksa harus berpisah dengan orang tuanya, yang saat ini sedang dalam persembunyian. Karena jika para tentara tahu keberadaan orang tuanya, mereka bisa dijadikan alat untuk mengancam Wikar dan pasukannya.

Dia sudah mengantisipasi semua hal yang akan terjadi ke depannya. Untuk orang tua, terpaksa dia harus menyembunyikan mereka di ruangan bawah tanah, yang berada di suatu tempat entah dimana. Agar para tentara tidak bisa menemukan mereka.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!