BAB 19

Sania sangat patuh menerima setiap suapan yang diberikan oleh Aris. Karena itu, ia dengan cepat menghabiskan makanannya.

"Minum ini," ucap Aris menyodorkan air putih pada Sania dan membantu gadis itu meminumnya.

"Apa kau sudah merasa lebih baik?"

Sania mengangguk pada Aris.

"Sayang, Ibu dan Bibi Sani akan keluar sebentar, Aris tolong jaga istrimu ya."

"Tentu Ibu."

Aris segera tersenyum nakal ketika suara pintu kamar yang di tutup sudah terdengar.

"Mau melanjutkan yang tadi?" Goda Aris pada Sania.

"Aku ingin tidur." Kata Sania segera.

"Baiklah, biar ku bantu." Ucap Aris membantu Sania mendapat posisi yang nyaman untuk tidur.

Namun ketika Sania berpikir Aris akan melepaskannya, Aris malah ikut naik ke tempat tidur dan tidur memeluk Sania.

"Apa yang kau lakukan?" Tanya Sania dengan panik.

"Aku hanya ingin tidur dengan istriku. Apa itu salah?"

"Tapi kita sudah bercerai. Tolong jaga sikapmu!" Tegas Sania.

"Aku tidak perduli, kita bisa menikah lagi kalau memang kita sudah bercerai." Kata Aris mengeratkan pelukannya pada Sania.

Seketika Sania langsung terdiam. Tentu saja ia sangat ingin memiliki Aris, tapi bagaimana dengan bayi di perutnya?

Sania tetap membiarkan Aris memeluknya, tapi pikirannya berlabuh ke semua hal yang menghalanginya untuk menerima pria itu.

Karena semalaman Aris tak tidur lagi setelah menyuapi Sania, maka ia dengan cepat terlelap sambil memeluk Sania.

Sania bisa merasakan hembusan nafas Aris yang teratur hingga tubuhnya yang sedari tadi tegang kini menjadi rileks.

'Begitu gampangnya ia tidur, sedangkan aku dari tadi menahan diri dan sudah berpikir macam-macam' Gumam Sania menatap langi-langit kamar.

Jam terus berputar ketika akhirnya Aris bangun juga dari lelapnya.

"Akhirnya kau bangun juga, cepat menjauh dariku!" Kata Sania dengan kesal.

"Memangnya kenapa?" Ucap Aris tidak menghiraukan kata-kata Sania dan malah memeluk gadis itu dengan erat.

"Kubilang lepaskan! Tanganku kesemutan karena tertindih olehmu!"

Aris dengan segera melepaskan Sania dari pelukannya dan memegang tangan Sania. "Yang mana yang sakit?" Tanyanya dengan panik.

"Tidak usah sentuh-sentuh! Kau hanya perlu menjauh dariku!"

"Hah, kenapa kau marah-marah begitu, anakku dalam kandunganmu bisa mengikuti sifat pemarahmu itu kalau kau mengajarinya seperti itu." Kata Aris dengan lembut.

"Ini bukan anakmu! Jadi pergi dariku sekarang juga!"

"Tentu saja itu anakku, karena ibunya adalah istriku." Kata Aris mengulurkan tangannya mengusap rambut hitam Sania.

Seketika itu, Sania menjadi emosional, ia segera mengubah posisi tidurnya membelakangi Aris dari membiarkan air matanya mengalir deras.

"Sayang jangan menangis," kata Aris kembali memeluk Sania. "Kau masih tetap istriku sekarang, surat cerai yang kubawa ke kamarmu itu adalah palsu."

'Palsu?' kata itu terputar berulang di pikiran Sania.

"Sayang, apa kau ingat malam dimana kebakaran di bar terjadi? Apa kau ingat kalau kau menghampiriku saat itu?"

Sania memang tidak pernah memikirkan bagaimana ia bisa berakhir di sebuah kamar di Bar.

Hal itu ia lakukan untuk melindungi dirinya dari perasaan bersalah.

"Bagaimana kau tahu ada kebakaran di bar?" Tanyanya berharap ada sesuatu yang baik yang akan diceritakan Aris.

"Maafkan aku sayang, hari itu aku sebenarnya berbohong padamu waktu aku bilang akan pergi bersama temanku.

Aku sebenarnya mengikutimu ke bar."

'Apa? Jadi Aris melihat semua yang kulakukan di bar? Bersama pria asing?’ Rasa bersalah semakin menyelimuti Sania hingga air matanya semakin tumpah ruah membasahi pipi dan bantalnya.

"Malam itu aku melihatmu bersama Amran, tapi ketika aku sedang memperhatikan kalian, dua orang gadis datang menghampiriku dan memaksaku minum." Aris mengeratkan pelukannya saat ia hendak melanjutkan ceritanya.

"Aku dibawa ke sebuah kamar. Tapi ketika aku sadar, kebakaran sudah terjadi, dan aku keluar untuk mencarimu, aku sangat cemas saat itu.

Aku tidak tahu apakah aku berhalusinasi, tapi aku melihatmu menghampiriku dan kita masuk ke sebuah kamar.

Selanjutnya aku tidak tahu apa yang terjadi hingga aku akhirnya terbangun dan sudah berada di rumah."

Aris berhenti sesaat karena ia mendengar isakan Sania.

"Sayang, aku hanya ingin bertanya, apa malam itu kau juga menemuiku?"

Sania mengikuti jalan cerita Aris, dan memang ia ingat kalau ia menghampiri Aris dan memeluk pria itu, bahkan ia ingat sampai ketika ia mencium Aris.

Tapi bagian dimana ia tersadar dan sedang bersama pria asing membuatnya ragu akan semua yang terjadi pada malam itu.

"Aku tidak ingat apa pun."

Aris merasa dirinya sedang diterjunkan ke sebuah lubang tanpa ujung. Ia semakin mengeratkan pelukannya pada Sania dan mengatur nafasnya.

"Baiklah, aku tidak akan memaksamu mengingatnya. Tapi kau harus tahu, aku selalu menjadi milikmu, selamanya pun aku adalah suamimu, jadi kumohon, jangan menjauh dariku, itu sangat menyakitkan."

Sania yang mendengar curahan Aris hanya bisa terdiam, tentu saja jika ia masih sama sepeti sebelumnya, belum menghianati Aris, ia akan sangat senang mendengarnya, tapi kini, semua kata-kata Aris malah sangat menyakitinya karena bayi di dalam kandungannya.

"Aku akan memikirkannya."

Aris merasa sangat lega, "Ya sayang, tapi tolong jangan lama-lama. Juga bayi dalam kandunganmu itu, pokoknya ia akan tetap menjadi anakku." Ucap Aris.

'Sungguh aku sangat beruntung dicintai dan dimiliki Aris, tapi kenapa aku malah keras kepala? Sekarang semuanya menjadi sangat kacau karena ulah bodohku untuk membuktikan cinta Aris padaku.' Gumam Sania meneteskan air mata penyesalannya.

...

Itu adalah siang hari dengan matahari terik menyinari bumi.

Tapi di dalam bar yang penuh dengan alkohol, suasana tidak secerah langit di luar.

Seorang pria yang kini dalam suasana hati yang buruk melampiaskan kekesalannya dengan banyak wanita penghibur yang menemaninya.

"Ran, kamu benar-benar tampan." Seorang gadis yang kini duduk di pangkuan Amran mulai menggoda Amran dengan begitu ahlinya.

"Apa kau kosong sekarang?" Tanya Amran dengan tatapan tajam ke gadis berpakaian terbuka itu.

"Aku selalu ada waktu untuk kamu sayang." Jawab perempuan itu seraya mengusap rahang Amran, turun ke lehernya.

Tanpa pikir panjang setelah mendengar jawaban gadis itu, Amran segera berdiri dan melepaskan gadis itu dari pangkuannya lalu menarik ya ke sala satu kamar kosong yang telah ia gunakan sedari beberapa Minggu yang lalu.

Akhirnya pertempurannya mencari kepuasan dari PSK itu terselesaikan dalam waktu 2 jam.

Ketika ia keluar dari kamar, ia mendapati Asistennya sudah menunggunya.

"Tuan, Saya baru mendapat informasi kalau Nona Sania berada di rumah sakit sejak kemarin.”

Aris berdiri mematung mendengar berita itu. Ya, ia sudah menunggu Sania selama kurang lebih 1 bulan, tapi gadis itu tak pernah keluar dari rumahnya, dan ia tentu saja tak diijinkan masuk.

Seiring berjalannya waktu ia memikirkan lagi apa yang ia alami hingga akhirnya ia menyerah pada gadis itu.

Lagi pula Sania sudah tidur dengan lelaki lain, dan Sania tahu kalau ialah yang tidur bersamanya, tapi Sania tidak mau menghubunginya, bahkan gadis itu malah mengundurkan diri dari perusahaannya.

Artinya Sania memang tidak mau menjadi miliknya.

Begitulah pikir Amran hingga akhirnya ia mencari pelarian dengan gadis-gadis penghuni Bar.

"Biarkan saja dia." Kata Amran lalu berjalan pergi meninggalkan Bar, seolah tak terjadi apa pun.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!