Di ruang keluarga yang luas, Agus, Aris dan Amran duduk bertiga.
"Ada apa Nak Aris kemari?" Tanya Agus tanpa basa-basi lagi.
"Saya kemari untuk bertemu dengan Sania."
"Anak saya tidak berada di rumah."
Amran terdiam dengan sifat cuek Agus.
"Sania sedang keluar, aku rasa ia tidak akan pulang dalam beberapa waktu kedepan. Aku akan menghubungimu nanti kalau ia sudah kembali." Aris dengan ramah berbicara pada Amran.
"Baiklah Kak, tapi aku ingin mengatakan sesuatu yang lain juga." Kata Amran sambil mengepal tangannya menguatkan hatinya.
"Cepatlah katakan, saya harus mengurus sesuatu." Jawab Agus dengan cepat.
"Maaf Pak,," Amran berhenti sesaat sebelum melanjutkan "Saya yakin selama satu minggu ini Sania pasti bersikap aneh."
Agus melihat Amran 'Bagaimana anak ini bisa tahu?' Gumamnya tanpa memperlihatkan ekspresi kagetnya.
'Ayah Sania benar-benar susah di tebak.' Gumam Amran ketika ia mengamati ekspresi Agus.
"Saya,, Malam itu aku dan Sania pergi ke bar, dan kemungkinan kami terlalu banyak minum sehingga," Amran menahan diri sekali lagi, emosinya benar-benar sulit untuk ia kuasai.
"Apa yang terjadi?"
"Saya pun tidak tahu apa yang terjadi, tapi ketika saya bangun,saya dan Sania,,, kami berdua,, berada di ranjang yang sama dan,,"
Plak!!!!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Amran. "Kurang ajar!"
"Ayah, Ayah kumohon hentikan!" Aris begitu cemas karena melihat mertuanya sudah hilang kontrol.
"Maafkan saya Pak, tapi,,"
"Keluar!!! Keluar dari rumah saya sekarang juga!!!" Suara Agus meninggi tak ingin lagi melihat pria menjijikkan di depannya itu.
"Tapi Pak, saya akan tanggungjawab!" Amran bersikeras dengan berlutut di depan Agus.
"Aris, kamu usir dia dari sini!" Agus tak mau tinggal lagi melihat Amran, ia segera berjalan meninggalkan dua pria itu.
"Kak Aris,," Suara penuh penyesalan terdengar dari mulut Amran.
"Bangunlah, ayo bicara di luar." Kata Aris memegang tangan Amran membantu pria itu berdiri.
Hatinya begitu sakit, tapi ia menahannya, ia tak ingin siapa pun tahu kalau ia sedang terluka.
Akhirnya, kedua pria itu kini telah berada di sebuah cafe yang tak jauh dari rumah Sania.
Amran terus tertunduk memikirkan perlakuan Ayah Sania padanya.
Sementara Aris sedang memesan cappucino untuk mereka berdua.
Setelah pesanan mereka siap, Aris membawanya ke meja dimana Amran masih tertunduk.
"Minumlah ini, katanya cappucino bisa membantu kita berfikir dengan jernih." Aris menyodorkan segelas cappucino untuk Amran.
'Kenapa aku jadi duduk bersama orang yang telah menodai Sania?' Gumam Amran sambil melihat ke arah mug.
Aris menghela nafasnya dengan berat "Apa yang kau katakan tadi itu, apa itu benar?" Tanya Aris ketika ia sudah tidak yakin lagi pada dirinya sendiri.
Saat itulah Amran mendongak melihat Aris "Itu benar, aku dan Sania melakukannya."
Aris mengatupkan giginya dengan erat lalu meletakkan mug di tangannya.
Ia sangat yakin kalau ialah yang sudah tidur dengan istrinya, tapi mengingat ketika ia tersadar dan malah tidur di rumah membuatnya juga bertanya-tanya.
Apa lagi sekarang Amran telah mengaku tidur dengan Sania, semakin memperkuat keraguan yang awalnya kecil itu.
"Kak, tolong bantu aku, aku sangat mencintai Sania, dan aku mau menikah dengannya.
Aku tahu ini salah, aku menodainya, tapi aku,, aku juga tidak bisa melakukan apa pun sekarang.
Aku hanya ingin bertanggungjawab terhadap apa yang telah kulakukan.
Aku berjanji untuk setia dan menjaga Sania dengan baik."
Setiap kata yang diucapkan Amran begitu menyayat hati Aris. "Aku juga tidak bisa membantumu, saat ini Sania tidak dalam kondisi yang baik."
"Apa maksudmu Kak? Ada apa dengannya?" Amran snagat panik.
"Ia sudah mengurung diri selama satu minggu, tak mau menemui siapa pun, bahkan ibunya sendiri tak ia perbolehkan masuk ke kamarnya."
"Apa? Bagaimana bisa gadis itu melakukannya?" Amran menjambak rambutnya penuh frustasi "Ini semua salahku!"
"Kau tenangkanlah dirimu, aku harus pergi sekarang." Aris tidak menunggu jawaban Amran dan segera pergi dari tempat itu.
'Ya Tuhan, hatiku sangat sakit mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Amran!'
Aris menaiki taksi dan menangis dalam diamnya sambil melihat keluar jendela.
'Sayang, apakah benar malam itu aku hanya berhalusinasi?
Benarkah tanda-tanda di tubuhmu itu dibuat oleh Amran?'
...
Hari terus berlalu, tapi Sania tetap tidak berubah, ia tetap berada dalam kamarnya, seolah dunia luar akan melukainya.
Bibi Sani baru saja keluar dari kamar Sania mengantarkan sarapan saat ia bertemu Aris yang baru saja bangun.
"Selamat pagi Den," sapa Bibi Sani.
"Selamat pagi Bi, bagaimana keadaan istri saya?" Tanya Aris.
"Masih sama Den, tapi badan Nona sedikit lebih gemuk, sepertinya Non sangat stres." Ucap Bibi Sani.
"Iya makasih Bi, saya mau keluar sebentar." Ucap Aris lalu berjalan meninggalkan Aris.
Sejak kejadian di Bar, Aris memang tinggal di rumah mertuanya, bahkan sampai sekarang ia tidak pernah kembali ke rumah lamanya.
Selain tak diijinkan oleh mertuanya, Aris juga merasa lebih tenang karena bisa dekat dengan Sania.
Sudah pukul 10 pagi ketika Aris kembali ke rumah membawa bunga segar yang dipetik langsung di taman penjual bunga.
Ia segera mendapatkan sebuah vase bunga dan mengisinya dengan air lalu menata bunganya ke dalam vase bunga itu.
"Den cantik sekali bunganya." Bibi Sani mengomentarinya ketika melihat bunga Krisan yang sedang ditata oleh Aris.
"Bi, tolong bunga ini di bawa ke kamar istri saya ya." Kata Aris dengan penuh senyuman.
"Wah, Den Aris romantis sekali ya. Sini biar Bibi bawa." Ucap Bibi Sani seraya mengambil bunga itu dari Aris.
Bibi Sani melangkah ke lantai dua diikuti oleh Aris.
"Bi, buka sedikit pintunya ya, saya mau liat istri saya."
"Ok den!" Bibi Sani sangat bersemangat.
Tok tok tok.....
Bibi Sani mengetuk pintunya lalu terdengar suara pintu kamar di putar.
"Saya mau ambil nampan tadi pagi Non." Kata Bibi Sani ketika sudah masuk dan ia memastikan pintunya tidak tertutup rapat agar.
"Bibi bawa bunga Krisan, Bibi tarus di sini ya Non."
"Makasih Bi." Kata Sania yang sedang duduk menghadap jendela kamarnya.
"Iya sama-sama Non." Ucap Bibi Sani lalu mendapatkan nampan yang ada di meja lalu berjalan ke luar dari kamar Sania.
"Aduh Bi! Kenapa cepat sekali keluarnya?" Aris yang sedang menikmati pemandangan bidadari Sania menjadi sangat kecewa.
"Aduh Maaf Den, saya kelupaan." Jawab Bibi Sani dengan perasaan bersalah.
"Ya udah de Bi, tidak masalah, tapi nanti siang kalau mau antar makanan panggil saya lagi ya Bi."
"Baik Den!"
Sementara di ujung lorong lantai 2 itu, Agus dan Veronika sedang memperhatikan menantu mereka itu.
"Aku rasanya ingin menangis melihat mereka berdua, mengapa Tuhan memberi cobaan yang berat bagi mereka?"
"Sayang, jangan cemas, mereka akan kembali bersatu. Biar waktu menuntun mereka."
"Sayang, bagaimana kau bisa berkata seperti itu, bukankah kau yang telah menyetujui mereka bercerai?" Veronika merasa sangat kesal pada suaminya.
"Sayang, sudah berapa kali kubilang kalau surat cerai itu palsu, hanya untuk menenangkan Sania saja.!"
Veronika hanya berdecak kesal dengan kelakuan gila suaminya itu.
"Ayah, Ibu, lagi ngapain?" Tanya Adel, yang tak lain adalah putri bungsu Agus dan Veronika, satu-satunya saudara Sania.
"Gak apa kok sayang." Jawab Veronika ketika melihat putrinya.
"Aku tahu kok, Ayah sama Ibu lagi liatin keromantisan Kak Aris kan?"
"Sayang, kamu masih kecil, jangan banyak tahu." Veronika menegur anak perempuannya.
"Bu, aku udah gede kali,, lagi pula ni Kak Aris tu memang ganteng pakek banget! Kalau kak Sania gak mau buat aku ajah ya Bu!" Gadis itu tersenyum merayu ibunya.
"Del!"
Adel segera cemberut karena ayahnya. "Iya Ayah."
"Sayang, kamu harus ingat untuk tidak pernah berbicara seperti itu di depan siapa pun!"
"Iya Bu, aku mengerti."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Tiwik Firdaus
cerifanya berbelit2 ngak ada jnungnya
2023-07-25
1