BAB 17

Di dalam kamar rumah sakit, Sania terbaring di tempat tidur dengan infus dipasang di sala satu tangannya.

"Nak, kami akan pulang sekarang, jaga istrimu baik-baik." Agus mengingatkan Aris.

"Baik Ayah, tolong jaga Ibu juga, dia sangat shok karena kejadian ini."

"Tidak usah mengkhawatirkan Ibu, cukup jaga istrimu Nak, kami pergi dulu." Veronika menambahkan.

"Baik Bu."

"Aku boleh tidak tinggal bersama Mas Aris?" Adel angkat suara.

"Tidak boleh!" Ucap Agus lalu merangkul putrinya keluar dari ruangan.

"Yah, Ayah negeselin deh, kan aku mau tinggal bersama Mas ganteng!"

"Anak kecil dilarang menganggu orang dewasa."

"Hmmmphh!"

"Bi, saya akan membeli makan malam dulu, tolong jaga Sania ya." Ucap Aris pada Bibi Sani.

"Aduh Den, saya saja yang pergi," Kata Bibi Sani meraih tasnya.

"Jangan Bi, saya masih muda dan kuat, jadi ,,"

"Aduh Den, saya juga gak kalah kuat untuk berjalan ke depan sebentar, sudah pokoknya Den di sini saja menunggui Non Sania, saya yang beli makan malam."

"Ya udah Bi, makasih ya Bi." Ucap Aris lalu berjalan ke samping tempat tidur Sania.

Ia duduk di atas ranjang dan memegang tangan istrinya "Sayang, tolonglah bangun, suamimu ini mencemaskanmu." Ucapnya sambil mengelus tangan Sania.

Sesaat kemudian matanya tertuju pada perut Sania 'Bayi siapa pun yang kamu kandung, aku tetap menerimanya dengan tulus, aku sudah berdamai dengan kesalahanku membiarkanmu keluar malam. Jadi aku akan menerima semua hasil dari kesalahanku itu. Jadi kumohon sekarang, bangunlah sayang.'

Aris cukup lama menadangi istrinya hingga akhirnya Bibi Sani kembali membeli makanan.

"Den, ini makanannya sudah ada," ucap Bibi Sani.

"Bibi Makan duluan saja, saya masih kenyang Bi."

"Aduh Den, saya gak enak kalau makan sendiri. Lagi pula Den butuh tenaga untuk menjaga istri Den."

"Gak papa Bi, saya masih kuat kok." Ucap Aris tak mau melepaskan tangan istrinya. Ia tak mau mengalihkan pandangannya dari wajah istrinya, meskipun itu hanya sedetik saja.

Akhirnya Bibi Sani tidak menunggu Aris lagi, ia langsung saja makan karena itu sudah pukul 8 malam, jadi ia memang sudah lapar sekali.

Keduanya menunggu Sania sadar sampai pukul 10 malam akhirnya keduanya menyerah dan tidur.

Bibi Sani tidur di sofa, sementara Aris memilih tidur di kursi, di samping tempat tidur Sania.

Pukul 3 subuh saat Aris terbangun dan melihat Sania masih tidur lelap.

Cahaya di ruangan itu meredup karena mereka mematikan lampunya membuat Aris sedikit sulit melihat wajah Sania.

Aris naik ke tempat tidur dan duduk di samping Sania memperhatikan wajah istrinya.

"Sayang, tidakkah kamu mau membuatku berhenti kuatir? Meski saat ini aku senang bisa melihatmu dari dekat, apa lagi menyentuhmu seperti ini, tapi hatiku masih sangat sakit melihatmu menderita seperti ini.' Gumam Aris.

Saat itu Sania tersadar karena gerakan yang dilakukan Aris pada wajahnya.

Perlahan ia membuka matanya dan melihat dengan samar lelaki yang dirindukannya berada tepat di depannya, bahkan tangan lelaki itu sedang membelai pipinya.

"Mas," ucapnya dengan suara berbisik.

"Sayang. Kau sudah sadar? Apa kau ingin bangun?" Tanya Aris dengan perasaan bahagia.

'Aris datang di mimpiku?' Gumam Sania dengan perasaan bahagia.

Sania mengulurkan tangannya pada Aris hingga ia kemudian bisa duduk menikmati wajah suaminya, meski saat itu cahaya tidak terlalu mendukung.

Perlahan Sania mengulurkan tangannya menyentuh pipi Aris, "Astaga ini seperti kenyataan."

"Ini memang kenyataan sayang." Ucap Aris memegang tangan istrinya lalu menciumnya.

'Ini pasti mimpi, di kehidupan nyata aku dan Aris telah bercerai, dan Aris sangat membenciku karena telah tidur dnegan lelaki lain. Ia bahkan tak mau lagi memandangku, apa lagi menyentuhku seperti ini. Tidak mungkin ini kenyataan."

"Aku merindukanmu sayang." Ucap Aris lagi setelah puas menciumi tangan istrinya.

'Kan? Mana mungkin Mas Aris mengatakan kata seperti itu di dunia nyata. Ini mimpi! Dan aku akan menggunakan kesempatan ini untuk mengobati rinduku pada suamiku.' gumamnya dengan sangat bahagia sampai air matanya menetes di pipinya.

"Jangan menangis sayang, aku di sini, tidak akan pernah pergi."

"Mas,," katanya terisak lalu memeluk suaminya.

Dengan bahagia karena istrinya kini memeluknya, Aris menarik Sania ke pangkuannya hingga gadis itu kini sangat erat di pelukannya.

'Ini istriku, selamanya akan jadi istriku, tak seorang pun boleh merebutnya dariku!' Gumam Aris menciumi puncak kepala Sania.

'Ya Tuhan, terima kasih atas meimpi yang indah ini, aku sangat bahagia.' Gumam Sania menikmati pelukan dan kecupan yang diberikan oleh Aris.

Setelah puas memeluk suaminya, Sania mendongakkan kepalanya memperhatikan lagi wajah suaminya.

'Astaga mimpi ini tak akan pernah kulupakan. Dan karena ini mimpi, aku bebas melakukan apa saja bukan? Termasuk menciumnya.

Tapi apakah mimpinya akan berakhir jika aku menciumnya? Tidak, tidak boleh.'

"Istriku," ucap Aris ketika ia melihat bola mata penuh cinta istrinya itu.

"Mmh, sayang." Ucap Sania dengan suara pelannya lalu mengarahkan wajahnya semakin dekat dengan Aris.

Perlahan kulit mereka semakin dekat hingga akhirnya bibir mereka menyatu dan membuat ciuman penuh cinta. Sania memejamkan matanya, hanya ingin menikmati sentuhan kulit mereka.

'Mimpinya tidak berakhir? Berarti aku boleh melakukan lebih?' Sania membuka matanya dan masih melihat mata Aris yang memandangnya dengan hangat.

'Jangan marahi aku Tuhan, tapi aku sangat merindukannya, biarkan aku mengobati rindu ini Tuhan,' gumam Sania dan mengecup bibir Aris lebih dalam lagi hingga akhirnya ciuman itu menjadi lebih basah.

Ciuman itu berlangsung lama sampai ketika pintu kamar terbuka membuat keduanya sangat kaget.

Seorang suster yang hendak melakukan pemeriksaan rutin memergoki mereka berdua.

Dengan kalang kabut Sania melepaskan ciumannya dan menunduk malu di pelukan Aris.

"Maaf menganggu, silahkan dilanjutkan." Ungkap suster itu dengan wajah memerah sebelum menutup pintu kamar dan berlalu pergi.

'Ini,, ini bukan mimpi!' barulah setelah suster itu pergi dan Sania tersadar.

Ia merasa sangat malu dan hendak melepaskan diri, tapi Aris tidak membiarkannya.

Dengan cepat Aris memeluk erat Sania dan kembali mengunci bibir mungil gadis itu.

Ciuman itu berlangsung singkat, dan Aris menghentikannya karena gemuruh perut Sania yang meminta diisi.

"Sepertinya seseorang sedang lapar." Kata Aris sambil tersenyum memperhatikan wajah Sania yang memerah.

Sementara Sania hanya bisa tertunduk, ia sangat malu dan tak tahu harus melakukan apa.

"Aku akan mengambilkanmu makanan." Ucap Aris menurunkan Sania dari pangkuannya.

Ia berjalan ke saklar lampu untuk menyalakan lampu, tapi kemudian ia tidak jadi melakukannya karena Bibi Sani masih tertidur di sofa.

Aris kemudian menyalakan senter HPnya lalu mendapatkan makanan yang sudah di beli oleh Bibi Sania.

Ia memanaskannya dengan mirowave di kamar itu sebelum menyediakannya untuk Sania.

"Hanya ini yang ada di sini, apa tidak masalah bagimu?" Tanya Aris ketika ia hendak menyuapi istrinya.

'Sial, jadi ini bukan mimpi! Mau taruh dimana mukaku sekarang?' Gumam Sania yang masih tertunduk tak berani menatap Aris.

"Kalau kau tidak mau disupi dengan sendok, bilang saja, aku punya cara lain untuk emnyuapimu." Kata Aris ketika melihat Sania masih tertunduk tidak menghiraukannya.

"Baiklah, aku akan menyuapi dengan cara lain." Ucap Aris memasukkan makanan ke mulutnya.

"Tidak, hanya bisakah kau nyalakan lampunya, aku akan makan sendiri." Katanya.

"Sayang sekali aku tidak mau melakukannya."

"Kenapa?"

"Karena Bibi Sani masih tidur, aku tidak mau dia bangun karena cahaya yang tiba-tiba lalu mengganggu kita."

'Menganggu kita?' Sania hanya terfokus pada dua kata itu.

"Sekarang aku tanya untuk terakhir kalinya, kau mau disuapi dengan sendok atau dengan,,"

"Dengan sendok!" Kata Sania dengan cepat membuat Aris tersenyum kecil lalu menyuapi istrinya.

'Apa dia baru saja tersenyum?' Gumam Sania karena tidak bisa melihat wajah Aris dengan jelas.

"Apa maknannya enak?" Tanya Aris.

"Ya, tapi aku lebih suka telur dadar buatanmu." Uacp Sania tanpa sadar, karena memang entah kenapa ia sangat ingin makan telur dadar buatan Aris.

'Apa yang kukatakan barusan?' Gumam Sania terkejut dengan bibirnya yang tak tahu diri.

"Benarkah? Aku kan membuatkanmu lagi besok." Kata Aris tersenyum menikmati kelakuan malu-malu istrinya.

Terpopuler

Comments

Mara

Mara

So sweet... Amran cepat ungkap kebenaran 😊

2021-07-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!