Satu minggu telah berlalu sejak Sania mengurung diri di kamarnya, bahkan orang tuanya sendiri tak mau ditemuinya.
Hanya Bibi Sani saja yang diperbolehkan masuk ke dalam kamar itu untuk membersihkan atau mengantar makanan.
"Non, Nyonya dan Tuan ada di luar, mereka sudah sejak pagi menunggu Nona membuka pintu untuk mereka."
Sania sedang memandang keluar jendela, ia begitu rindu pada suaminya "Tidak usah Bi. Aku ingin sendiri."
"Baik Non." Bibi Sani kemudian meninggalkan kamar Sania.
"Bagaimana Bi anak saya?" Veronika begitu cemas bertanya.
"Nona masih sama seperti sebelumnya, mungkin sedang memikirkan sesuatu."
"Sayang, kau dengar itu? Anak kita menjadi sangat pendiam. Apakah ada sesuatu yang tidak kuketahui?" Tanya Veronika pada suaminya.
"Tenanglah sayang, putri kita kuat." Agus memeluk istrinya dengan hangat.
"Apanya? Ia sudah mengurung diri begitu lama!" Veronika mulai terisak di pelukan suaminya.
"Ayah, Ibu." Aris tiba-tiba datang.
"Apa kau sudah menyelesaikannya?" Tanya Agus langsung.
"Iya, ini surat perceraiannya." Kata Aris seraya menyerahkan surat itu dengan tak rela.
Agus menerima surat itu lalu melihatnya.
"Apa yang kalian lakukan? Kalian ingin bercerai?" Veronika begitu kaget melihat surat itu.
"Maafkan kami Bu," hanya itu yang bisa dikatakan Aris.
Agus memegang pundak istrinya "Sayang tenanglah, ini demi kebaikan putri kita."
"Kebaikan? Sayang ka tahu kan kalau perceraian itu tak bisa dilakukan dengan alasan apa pun! Mereka baru menikah satu minggu lebih! Bagaimana bisa..." Veronika menggelengkan kepalanya tak bisa menerima kenyataan itu sebelum jatuh pingsan.
"Ibu!"
"Sayang!" Agus meraih tubuh istrinya lalu menggendongnya ke dalam kamar mereka diikuti Aris yang juga begitu panik.
"Ambilkan minyak kayu putih di laci rias." Agus menyuruh Aris.
"Baik Ayah." Kata Aris segera mencari minyak kayu putih dan memberikannya pada Agus.
"Pergilah dan bicara dengan istrimu, bawa surat ini juga." Katanya menyerahkan surat perceraian itu.
"Baik Ayah." Aris kemudian meninggalkan kamar mertuanya dan berjalan dengan langkah berat ke kamar istrinya.
Hatinya begitu berat apa lagi ketika ia hendak mengetuk pintu kamar istrinya itu.
Aris begitu lama mengumpulkan keberaniannya hingga akhirnya bisa mengetuk pintu kayu itu.
"Sayang? Ini aku," katanya.
Aris menunggu lama jawaban Sania, tapi tak ada suara apa pun hingga akhirnya Bibi Sani datang membawa nampan untuk Sania.
"Maaf Den, sepertinya Non Sania masih tidak mau menemui siapa pun."
"Berikan nampannya pada saya Bi."
"Tapi Den," Bibi Sani enggan.
"Tidak apa Bi, tolong ketuk pintunya." Kata Aris dengan suara pelan.
Asisten rumah tangga itu memandang Aris sesaat sebelum akhirnya mengetuk pintu kamar Sania. "Non, ini saya Bibi Sani, mau antar makan siang."
Setelah itu terdengar suara kunci yang di putar sebelum akhirnya keheningan kembali terjadi.
"Bibi bisa kembali ke bawah." Kata Aris pada Bibi Sani.
"Tapi Den,"
"Pergilah." Tambah Aris.
Dengan enggan dan gelisah, akhirnya Bibi Sani meninggalkan Aris di depan kamar Sania.
Setelah memastikan Bibi Sani telah pergi, Aris kemudian membuka pintu kamar Sania dan masuk melihat istrinya yang sangat dirindukannya itu sedang berdiri di jendela kamarnya.
Aris mengeratkan katupan giginya seraya menahan diri dan berjalan ke meja samping tempat tidur meletakkan makan siang untuk Sania.
Tak lupa pula ia meletakkan surat cerai mereka di samping nampan itu sebelum keluar dengan hati berat.
Baru saja ia akan menutup pintu ketika Sania berbalik dan melihatnya. Mata mereka saling bertemu selama beberapa saat, tapi Aris tidak yakin apa yang akan dilakukannya.
Lagi pula, Sania sudah ingin bercerai darinya, kemungkinan karena Aris telah berani menyentuh Sania, apa lagi saat itu Sania sedang dalam pengaruh alkohol, hingga gadis itu tidak berpikir jernih.
Dengan cepat Aris menutup pintu kamar Sania lalu menangis di depan pintu itu.
Maafkan aku sayang, seharusnya malam itu aku tidak melakukannya. Ini semua salahku hingga akhirnya kita harus berpisah seperti ini.
Harusnya aku lebih sabar menunggu kau membuka hati, tapi ini kesalahanku hingga kau menjadi benci padaku. Aku salah....
Sementara di dalam kamar, air mata Sania mengalir deras ketika ia melihat suaminya itu menutup pintu tanpa mengatakan apa pun.
Aku tahu Ris, aku telah berdosa padamu, aku tahu kamu sangat marah karena aku telah berbuat dosa di belakangmu.
Ini semua salahku, seharusnya malam itu aku tidak pergi dari rumah.
Ini salahku,,, dan aku pantas dibuang olehmu!
Aku tidak pantas lagi menjadi istrimu!
Sania terjatuh di lantai dan menangis dengan penuh penyesalan karena suaminya sudah tidak mau berbicara dengannya.
Sania menangis begitu lama di lantai hingga ia tertidur dan baru tersadar saat malam datang.
Ketika ia bangun, matanya terasa perih dan kamarnya begitu gelap karena lampu tak di nyalakan.
Dengan meraba-raba, Sania mencari saklar lampu lalu menyalakan lampu di kamarnya.
Matanya segera tertuju pada sebuah surat yang diletakkan di samping nampan yang dibawa suaminya.
Dengan buru-buru ia mengambil surat itu dan membacanya.
Apa? Ini,, ini surat cerai!
Sania kembali menangis membaca setiap kata pada surat itu.
Kami benar-benar sudah bercerai. Jadi,, Aris benar-benar tidak memaafkanku karena mengetahui aku telah di sentuh lelaki lain?
Hiks,, hiks,,,
Semuanya sudah berakhir!
....
Di luar rumah keluarga Sania, Amran berada dalam mobil melihat rumah dimana gadis pujaannya tinggal.
Sudah satu minggu ia terus memarkirkan mobilnya di sana, mengawasi rumah Sania, berharap ia akan melihat Sania.
Tapi sampai sekarang gadis itu tak kunjung muncul juga.
Dimana kamu San? Mengapa tak pernah keluar rumah?
Haruskah aku masuk ke rumahmu agar aku bisa menemuimu?
Orang tua Sania tak begitu suka pada Amran, karena mereka tahu, setiap kali Sania membangkang pergi dari rumah, Amranlah yang pergi bersama Sania.
Itulah sebabnya orang tua Sania menganggap Amran memberi pengaruh buruk untuk putri mereka.
Amran masih menunggu ketika ponselnya berdering.
Keon: "Selamat Malam Pak, maaf menganggu."
Amran: "Ya, ada apa?"
Keon: "Saya menerima surat pengunduran diri Nona Sania tadi pagi."
Amran: "Apa?!"
Keon: "Suratnya di kirim lewat email Pak. Saya sebenarnya akan langsung memberi tahu Bapak, tapi Bapak tidak pernah ke kantor jadi,,"
Amran menahan nafasnya merasa begitu frustasi "Tahan dulu suratnya." Lalu Amran segera memutuskan sambungan telpon itu.
Aku tidak punya pilihan lain, aku harus masuk ke rumah Sania dan mengakui semuanya.
Ini adalah satu-satunya cara agar Sania mungkin bisa menjadi milikku.
Dengan cepat, Amran turun dari mobilnya dan berjalan ke gerbang rumah Sania.
Satpam: Selamat malam Pak, ada yang bisa saya bantu?"
Amran memperhatikan rumah yang tampak sepi itu "Saya temannya Sania, saya ingin bertemu dengan Sania."
Satpam: "Maaf Pak, Non Sania sekarang tidak bisa ditemui."
Amran mengerutkan keningnya "Kenapa?"
Pak Satpam hanya terdiam, tidak mau mengatakan apa pun mengenai Sania.
"Kalau begitu saya hanya akan bertemu dengan orang tua Sania." Kata Amran ketika ia melihat benar-benar tak ada jalan untuk menemui Sania.
Pak satpam akan menjawab ketika Aris keluar dari rumah saat melihat Amran ada di luar sedang berbicara dengan Satpam.
"Biarkan dia masuk." Katanya pada Satpam.
"Baik Den." Jawabnya pada Aris. "Silahkan Masuk Pak."
Amran hanya mengangguk lalu berjalan ke arah Aris. "Kak Aris."
"Masuklah." Jawab Aris lalu mereka berdua berjalan kedalam rumah besar itu.
Amran memandangi Aris selama ia berjalan di belakang Aris.
Aku akan mengakui kalau yang tidur dengan Sania bukanlah Aris, melainkan aku.
Dengan begitu, Sania tidak akan dikatakan sebagai pembawa aib bagi keluarganya, karena akulah yang telah melukai Sania. Gumam Amran dalam hatinya sambil mengepalkan tangannya.
Ia cukup membenci Aris karena apa yang telah dilajukan pria itu, tapi ia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Aris, karena memang saat itu Sania dalam keadaan mabuk juga, jadi kemungkinan dua-duanya tidak sadar tentang apa yang mereka lakukan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments