BAB 18

Pagi harinya Aris bangun pagi-pagi karena ia ada jadwal mengajar di pagi hari.

"Bi, saya titip Sania ya, soalnya saya ada kelas pagi. Nanti saya usahakan pulang cepat. Kalau ada apa-apa segera hubungi saya ya Bi."

"Baik Den. Hati-hati di jalan."

"Iya Bu, makasih ya." Ucap Aris dengan cepat keluar dari kamar.

Ketika ia tiba di rumah, ia melihat semua orang sedang bersiap untuk keluar.

"Mas!" Seru Adel saat melihat Aris.

"Selamat pagi semuanya."

"Iya selamat pagi, kamu mau pergi ke sekolah ya?" Tanya Veronika.

"Iya Bu, saya ada kelas pagi, Ibu sama Ayah mau ke rumah sakit?"

"Iya, Ibumu akan menunggu Sania di sana, tapi Ayah akan ke kantor karena ada meeting hari ini."

"Baik Ayah, nanti setelah pulang sekolah aku akan langsung ke rumah sakit."

"Ayah, Bu, aku bareng Mas Aris ajah ya berangkatnya ke sekolah."

"Tidak bisalah sayang, kan kalian beda arah. Biar Ayah sama Ibu saja yang antar kamu."

"Ya,, tapi kan Bu, Kak Sania mungkin butuh Ibu di rumah sakit."

"Sudah, ayo berangkat, jangan repotkan Kakak kamu."

Adel hanya bisa berdecak kesal menuju ke mobil.

Setibanya mereka di ruang sakit, Sania belum bangun, jadi Veronika duduk bersama Bibi Sani.

"Bi, apa kemarin malam Sania bangun?"

"Aduh Nya, saya tidak terlalu yakin, soalnya saya pulas sekali tidurnya. Tapi kemarin saya dengar orang bicara di ruangan, tapi tidak tahu siapa. Mungkin itu suster yang melakukan pemeriksaan rutin.

"Oh, begitu ya Bi."

"Iya Nya."

Tak berapa lama mereka menonton ketika Sania akhrinya bangun juga.

"Sayang, akhirnya kamu bangun juga. Bagaimana perasaanmu?" Tanya Veronika.

"Aku baik Bu." Jawab Sania sambil melayangkan pandangannya ke seluruh ruangan mencari Aris.

"Nyari siapa sayang?"

"Eh? Tidak Ma," jawabnya tak mau mengatakan yang sebenarnya. Karena ia juga tidak yakin apakah kemarin malam memang kenyataan atau itu benar-benar mimpi.

"Ibu membawa makanan untukmu. Tunggu sebentar ya." Kata Veronika lalu berjalan ke meja mendapatkan makanan yang ia bawa.

"Ini adalah makanan kesukaan kamu." Kata Veronika membawa semur ayam ke arah Sania.

"Ibu, mmmghhh,," Sania menutup mulutnya karena rasa mualnya kembali muncul.

"Astaga Bi," Veronika segera memberikan makanan itu pada Bibi Sani. "Tolong singkirkan ini Bi."

"Baik Nya."

"Sayang, tolong jangan muntah, kau belum makan apa pun dari kemarin."

"Iya, kemarin Non Sania pingsan, baru sekarang sadarnya, jadi perut Non Sania masih kosong."

"Apa Bi? Jadi aku pingsan dari kemarin siang dan baru bangun hari ini?" Tanya Sania.

"Iya Non," jawab Bibi Sani.

"Bibi Sani benar sayang. Jadi katakan sama Ibu, apa yang mau kamu makan?"

'Jadi, yang kemarin itu benar-benar mimpi? Bukan kenyataan?' Sania sangat kecewa hingga rasa sakit di hatinya kembali menyelimutinya.

"Sayang, kenapa jadi menangis?" Veronika sangat kaget melihat Sania malah menangis.

"Tidak Bu, aku hanya terlalu mual, jadi aku menangis." Jawabnya berbohong.

"Bi, tolong panggilkan dokter."

"Baik Nya."

Setelah menunggu sesaat, akhirnya seorang dokter muda memasuki ruangan Sania dan memeriksanya.

"Bagaimana keadaan anak saya Dok?" Tanya Veronika dengan panik.

"Ia baik-baik saja Bu, hanya saja, emosinya tidak stabil, kemungkinan ia sedang mengalami masalah yang membuatnya tertekan."

"Ya saya mengerti Dok, saya akan bicara dengannya." Ucap Veronika dan kembali menghampiri Sania.

"Sayang, dokter bilang kamu baik-baik saja, tapi kamu perlu makan supaya anak dalam kandungan kamu tetap sehat."

Tanpa Sania sadari, ia mengelus perut ratanya.

"Sayang apa yang ingin kamu makan?" Tanya Veronika.

"Ibu, apa kemarin malam benar-benar.." Sania menghentikan pertanyaannya. Ia ingin menanyakan tentang Aris, tapi ia benar benar malu untuk mengakui pada ibunya kalau ia masih mengharapkan Aris untuk kembali ke sisinya.

"Ada apa sayang?" Veronika begitu cemas melihat putrinya yang sangat linglung.

"Aku ingin makan telur dadar."

"Telur dadar?"

"Iya Bu, aku mau telur dadar."

"Baik sayang. Bi tolong buatkan telur dadar untuk Sania."

"Baik Nya." Jawab Bibi Sani lalu berlalu ke dapur untuk membuat telur dadar.

Sayangnya ketika telur dadar itu matang, malah membuat Sania muntah berkali-kali hingga badannya menjadi lemas lagi dan ia hanya bisa terbaring di tempat tidur.

Bahkan untuk menggerakkan satu jarinya pun ia merasa tak punya energi.

"Bi tolong jaga Sania sebentar." Kata Veronika pada Bibi Sani sebelum keluar dari kamar Sania dan menelpon Aris.

Aris: "Halo Ibu."

Veronika: "Nak Aris, kamu di mana?"

Aris: "Aku sedang di jalan ke rumah sakit Bu."

Veronika: "Iya Nak, cepatlah kemari, Istrimu kembali muntah beberapa kali."

Aris: "Baik Bu."

Setengah jam kemudian, akhirnya Aris sampai juga di rumah sakit.

"Ibu," ucapnya ketika ia melihat Ibunya sedang duduk di sofa menopang dahinya.

"Akhirnya kau datang juga. Cepatlah hampiri istrimu, bujuk dia untuk makan." Ucap Veronika dnegan tidak sabar.

Segera Aris berjalan ke ranjang Sania dan memegang tangan Sania.

"Sayang, apa kau mendengarku?" Ucapnya dengan suara pelan.

"Mmh,," Sania bersuara kecil karena ia pikir ia sedang berhalusi nasi.

"Sayang bukalah matamu, aku di sini."

"Mmh,," lagi leguh Sania menjawab Aris.

Aris mengusap rambut Sania dan menyelipkannya ke belakang telinga Sania lalu tunduk mendekatkan bibirnya ke telinga gadis itu.

"Sayang, apa kau mau aku memberitahu Bibi Sani tentang apa yang kita lakukan kemarin malam saat dia sedang tertidur? Atau kau mau aku kembali mempraktekkannya di depan Ibu dan Bibi Sani?

Kamu tenang saja, kalau ini, akulah yang akan memulainya. Jadi kau hanya perlu diam saja."

Sania yang begitu malas bergerak kembali mengingat peristiwa kemarin.

'Bagaimana bisa ada orang yang mengetahui mimpinya kemarin?'

Segera Sania membuka matanya dan melihat Aris sedang tersenyum ke arahnya.

Sania mengerjapkan matanya beberapa kali untuk memastikan ia tidak salah lihat.

"Sayang, akhirnya kau menurut juga pada suamimu, hmm?" Goda Aris ketika melihat raut wajah kaget Sania.

"Aku sudah memasak telur dadar untukmu. Jadi sekarang kau harus bangun dan makan." Ucapnya mengulurkan tangannya dan mengangkat Sania dari bawah lalu menyandarkan gadis itu pada sandaran tempat tidur.

Sementara Sania yang terlalu lemas hanya bisa mengikuti apa yang dilakukan oleh Aris, pikirannya pun masih kalut dengan rasa tak percaya bahwa Aris kini berada di depannya.

'Ini bukan mimpi, apa yang kemarin malam juga bukan mimpi?" Gumamnya memperhatikan Aris yang sedang membuka kotak bekalnya.

Akhirya Aris menyuapi Sania. "Aaa,, buka mulutmu." Kata Aris menyodorkan sendok berisi sepotong telur dadar dan nasi ke arah mulut Sania.

Sayangnya, Sania masih melamun hingga ia tidak menggubris apa yang dilakukan Aris.

"Kau tidak mau memakannya? Bukankah kemarin malam kau bilang kau sangat ingin makan telur dadar buatanku?"

Saat itulah Sania tersadar.

"Apa kemarin aku mengatakannya?"

"Kau lupa? Aku memberimu makanan yang dibeli Bibi Sani, tapi kau malah mencari telur dadar buatnku."

"Apa? Jadi yang kemarin itu bukan mimpi?" Tanya Sania dengan suara lemas.

Aris mendekatkan tubuhnya ke arah Sania "Kenapa? Kau takut kalau ciuman yang kita lakukan kemarin malam itu hanya mimpi? Itu sebabnya kau banyak tingkah hari ini karena kau berpikir itu hanya mimpi, dan kau berharap itu adalah kenyataan?"

Wajah Sania segera memerah karena kata-kata Aris yang sangat memalukan itu.

"Kalau kau menyukainya, sekarang pun kita bisa mengulang apa yang telah terjadi kemarin. Sayangnya tubuhmu terlalu lemah saat ini, jadi cepat makan untuk mengisi energimu dan kita bisa melakukannya lagi."

"Hei, kalian berdua jangan banyak berbicara, cepat suapi istrimu Aris." Veronika menegur keduanya karena masih berbisik-bisik.

"Baik Ibu." Jawab Aris lalu kembali menyuapi Sania.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!