Di dalam kamar ukuran 6x5, Sania menatap foto pernikahannya dengan Aris.
Pria yang amat dicintainya hingga ia rela menunggu selama bertahun-tahun lamanya.
Pada akhirnya ia mendapatkannya, tapi semua itu lewat perjodohan, lewat sebuah pernikahan paksa.
Dan ia sama sekali tidak tahu, apakah Aris benar-benar mencintainya atau hanya memperlakukannya dengan baik karena terpaksa saja.
Pikirannya begitu kalut hingga dari awal mereka menikah ia selalu berusaha membuat pria itu menampakkan sifat aslinya, tapi sepertinya ia sangat gagal.
Sania selalu berharap bahwa perlakuan Aris padanya karena pria itu sebenarnya mencintainya, tapi apa?
Siapa yang dapat menumbuhkan cinta dalam waktu satu atau dua hari?
Sania meletakkan kembali foto itu dan melihat ke luar jendela kamarnya.
Aris benar-benar tidak menyusulku, mungkin ia tidak mau memaafkanku karena telah melihat tanda-tanda itu.
Sania kembali meneteskan air matanya.
Ya, lagi pula ia memang tidak mencintaiku, jadi sudah cukup alasan itu untuk membuat kami bercerai.
Tok tok tok....
Sania segera menoleh ke arah pintu.
"Non, Tuan dan Nyonya sudah pulang."
"Baik Bi," jawab Sania lalu meraih pengering rambut di meja riasnya.
Ia sudah membiarkan dirinya terguyur shower selama 1 jam, jadi kulitnya sekarang sedikit pucat. Sania menggunakan riasan yang ringan untuk menutupi kulit pucatnya dan membuat wajahnya terlihat lebih segar.
Setelah itu, ia kemudian keluar dari kamarnya dan mencari ayahnya di ruang kerja.
"Ayah," ucapnya ketika melihat ayahnya sedang sibuk di depan beberapa berkas.
"Anak Ayah, duduklah." Agus tersenyum pada putrinya sebelum menutup semua dokumennya lalu menyusul Sania untuk duduk.
Agus duduk di samping Sania "Ada apa sayang?"
"Ayah,," ucap Sania memeluk Agus.
"Kenapa kau bermanja-manja pada Ayah? Dimana suamimu?"
"Mm,, aku merindukan Ayah tahu."
"Tapi kau sudah bersuami sayang, suamimu akan memarahi Ayah kalau ia sampai tahu Ayah memeluk istrinya."
"Apa sih Ayah, aku ini putri Ayah!"
"Baiklah, baik, tapi hanya sebentar saja." Agus menepuk pelan punggung putrinya itu.
"Aku ingin membicarakan sesuatu dengan Ayah."
"Katakan saja, Ayah selalu mendengarkannya."
Sania melepaskan pelukannya dengan ayahnya lalu berjongkok memeluk kaki Agus "Maafkan aku Ayah, aku adalah putri pembangkang!"
Agus begitu terkejut "Sayang, apa yang kau lakukan?" Ucapnya berusaha melepaskan pelukan Sania, tapi Sania begitu kuat hingga tak mau di lepaskan begitu saja.
"Ayah, putrimu ini tidak pantas dimaafkan!" Air mata Sania mengalir deras membasahi pipinya. "Maafkan aku Ayah, tapi aku sudah membuat kesalahan."
"Sayang, bicaralah dengan benar, dan berdirilah dulu." Agus begitu panik menghadapi putrinya.
Sania bersikukuh tetap memeluk kaki Ayahnya "Tidak Ayah, aku tidak akan berdiri! Ayah,,,, aku,, aku ingin Ayah mengijinkan aku bercerai dengan Aris."
Bagai di sambar petir di siang bolong, Agus sangat terkejut mendengar tutur kata putrinya. "Apa yang aku katakan sayang? Kau tidak boleh berbicara sembarangan seperti itu!"
"Ayah,, hiks,,, maafkan aku, tapi aku tidak pantas menjadi istri Mas Adit. Aku,, aku perempuan kotor Ayah, bahkan menjadi putri Ayah pun aku tidak pantas lagi!"
"Tidak Sania! Sekarang juga kau kembali ke kamarmu!"
Sania tahu, kalau Ayahnya sudah menyebutkan namanya, berarti Ayahnya sudah sangat marah.
Dengan terpaksa, Sania melepaskan pelukan pada kaki ayahnya dan menatap lelaki paruh baya itu.
Ayahnya bahkan tak lagi mau memandangnya.
Dengan langkah yang dipaksakan, Sania meninggalkan ruang kerja Ayahnya dan kembali ke kamarnya.
Maafkan anakmu ini Ayah.... Hikss...
Agus merasa sangat marah pada putrinya. Putrinya yang sangat patuh itu berani mengatakan hal-hal yang tidak sepantasnya keluar dari mulutnya.
Dengan memejamkan matanya dan mengatup erat giginya, Agus menenangkan diri dan mendapatkan ponselnya untuk menghubungi Aris.
Aris: "Halo Ayah."
Agus: "Dimana kamu Nak?"
Aris: "Aku di depan rumah Ayah, baru mau masuk."
Agus: "Bagus, kamu langsung ke kamar istrimu dan bicara dengannya, setelah itu temui Ayah di rumah kerja."
Aris: "Baik Ayah."
Aris segera masuk ke dalam rumah dan berlari ke atas lantai 2, langsung ke kamar Sania.
Ia berdiri di depan pintu selama beberapa saat sebelum mengetuk pintu kayu itu.
Tok tok tok...
"Sayang, apa kau di dalam?" Tanyanya sambil mendekatkan telinganya ke pintu, tapi selama beberapa saat menunggu jawaban dari dalam, hanya keheningan yang ada.
Segera, Aris meraih kenop pintu, dan tenyata pintu kamar itu tak di kunci.
Dengan buru-buru Aris masuk ke kamar Sania, tapi ia mendapati kamar itu kosong dengan suara air yang terdengar dari kamar mandi.
Tanpa berpikir lebih lama, Aris mendekat ke arah kamar mandi dan melihat istrinya sedang terguyur shower, masih lengkap dengan pakaiannya.
Yang lebih menyakitkan lagi bagi Aris, Sania sedang terisak begitu keras.
"Sayang, apa yang kau lakukan?" Tanya Aris dengan panik seraya mematikan shower dan meraih handuk untuk membungkus Sania.
Dengan wajah yang memerah karena air hangat, Sania mendongak melihat suaminya.
"Mas,," ucapnya dengan terisak.
"Iya sayang, aku di sini." Aris segera membawa Sania ke gendongannya dan mengangkat gadis itu keluar kamar.
Sania terus terisak di gendongan Aris hingga ia diletakkan di pinggir tempat tidur.
"Aku akan mengganti bajumu." Ucap Aris berlari ke ruang ganti untuk mencari baju Sania.
Setelah ia kembali ia melihat Sania sedang menatapnya dengan pipi penuh air mata.
Ia begitu panik dan segera meletakkan bajunya di atas tempat tidur lalu mengusap air mata Sania.
"Kenapa menangis sayang?"
"Mas, peluk aku sebentar." Kata Sania membuka kedua tangannya.
"Tidak sayang, ganti dulu bajumu." Kata Aris menurunkan tangan Sania yang terarah padanya.
"Peluk!" Sania bersikeras dan akhirnya Aris tidak menolak lagi, ia membiarkan Sania melakukan apa pun yang disukainya.
Mas, ini terakhir kalinya aku memelukmu, setelah itu aku akan mengiklaskanmu.
Perempuan kotor sepertiku tidak pantas bersamamu.
Gumam Sania memejamkan matanya membiarkan air matanya mengalir di pipinya seraya ia menikmati pelukan terakhirnya dengan suaminya.
"Sayang, ayo ganti bajumu, kau bisa sakit nanti." Suara Aris yang lembut dan menenangkan bukannya membuat Sania merasa lebih baik, malah membuatnya semakin terisak di pelukan suaminya.
Pelukan itu dan bujukan hangat itu akan menjadi yang terakhir kalinya didapatkan Sania dari suaminya. Jadi bagaimana bisa Sania tidak semakin sakit hati?
"Ada apa sayang?" Tanya Aris dengan bingung.
"Sebentar lagi." Kata Sania dengan suara serak.
"Baiklah, tapi jangan menangis."
"Mm..."
Setelah memaksa dirinya merasa cukup dengan pelukan itu, Sania kemudian melepaskan diri dari Aris.
"Aku akan mengganti bajuku sendiri."
"Baiklah, aku akan menunggumu di luar." Kata Aris lalu melangkah meninggalkan Sania.
Setelah pintu kamar itu tertutup, Sania mendekat ke pintu lalu menguncinya sebelum kembali menangis di belakang pintu.
"Sekarang semuanya sudah berakhir." Isaknya.
Aris menunggu selama 30 menit sebelum kembali mengetuk pintu kamar Sania, tapi tak ada jawaban dari dalam.
"Sayang, apa kau sudah selesai ganti baju? Ayo buka pintunya." Tak ada jawaban, bahkan suara sekecil apa pun tak terdengar lagi dari dalam kamar.
Sepertinya ia sedang tidur, aku akan mengetuknya lagi nanti. Gumam Aris lalu berjalan meninggalkan kamar Sania.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments