"Jadi keputusanmu sudah bulat?" Tuan Robert memperhatikan Lais dengan sorot tajam. Ia mengajak putranyaniti berbincang setelah makan malam.
"Iya, Pa. Dan aku yakin ini yang terakhir. Aku yakin bisa mengatasi trauma masa kecilku dengan bantuan Aruna."
"Meski papa tidak menyukainya?"
"Sejak kapan papa memikirkan suka dan tidak suka?Bukankah tujuan papa hanya satu yaitu keturunan?"
"Papa tidak pernah sembarangan memilihkan wanita untukmu, Lais. Semua dari keluarga terhormat dan sederajat dengan kita."
"Nisa?"
"Dia pengecualian."
"Anggap Aruna juga pengecualian, Pa."
"Baiklah. Tapi setelah kau sembuh nanti, papa akan mencarikan wanita yang sepadan dengan keluarga kita. Papa akan lebih bangga jika keturunan keluarga kita dilahirkan oleh kalangan terhormat juga."
Lais menatap ayahnya dengan perasaan benci. Ayahnya terlalu egois dan sombong. Kesombongan ayahnyalah yang membuat dirinya dulu diculik dan harus mengalami tragedi menakutkan itu.
Ia bangkit dan meninggalkan ayahnya tanpa menjawab. Baginya lebih baik diam, karena percuma mendebat Tuan Robert yang arogan itu.
Ini hidupku. Aku tak mau diatur-atur.
Sementara itu, di kamar Lais, Aruna sedang berbincang dengan Nyonya Robert.
"Apa kamu memiliki perasaan untuk Lais?" Nyonya Robert bertanya dengan hati-hati.
Aruna bingung mau menjawab apa karena ia sendiri tidak tahu apakah dirinya memiliki perasaan pada Lais.
"Saya tidak tahu nyonya." jawabnya jujur.
"Ah tidak apa-apa. Perasaan bisa tumbuh nanti. Yang penting Lais bisa dekat denganmu dulu. Kamu sudah tahu masalah yang dihadapi nya dan penyebabnya?"
Aruna mengangguk, "Tuan Lais sudah menceritakan pada saya, Nyonya ditambah informasi dari dokter Samy."
"Oh, jadi kamu juga sudah bertemu dokter Samy?"
"Tuan Lais yang membawa saya ke sana Nyonya."
"Syukurlah. Kali ini Lais pasti sembuh. Aku yakin." Ada rona bahagia pada wajah Nyonya Robert.
"Apa yang kalian obrolkan?" Lais tiba-tiba masuk.
"Bukan apa-apa. Mama hanya menemani Aruna. Iya kan Run?"
Aruna mengangguk sambil tersenyum.
"Ya sudah. Mama keluar dulu. Senang berbincang denganmu Aruna." Nyonya Robert memeluk Aruna dan menempelkan pipinya ke pipi kiri dan kanan Aruna. "Mama berharap padamu." bisik Nyonya Robert kemudian berdiri.
Ia melangkah keluar, saat melewati Lais, Nyonya Robert mengedipkan sebelah matanya.
"Tuan, sejak tadi pagi saya tidak. melihat Tuan Revan. Apa dia baik-baik saja?" tanya Aruna.
Lais meliriknya. "Kenapa? Kau merindukannya?"
"Hah!! Bukan begitu, hanya merasa aneh saja. Bukankah kalian berdua selalu nempel kemanapun kalian pergi."
"Dia menjemput orang tuanya untuk melamar Nisa." Jawab Lais sambil. menelisik wajah Aruna.
"Oh." gumam Aruna lirih.
Lais duduk. disebelah Aruna, "Kau sedih melihat Revan akan menikahi Nisa?"
Aruna mendongak, "Tidak! Aku bahagia untuk mereka. Hanya saja.. " Aruna menggantung ucapannya.
Hanya saja kalau mereka menikah maka aku harus menikah denganmu.
"Kau menyukai Revan?" tanya Lais datar tanpa ekspresi.
Aruna menggelengkan kepalanya, " Kalau menyukai yang Tuan maksud adalah perasaan wanita dan pria, tidak. Aku tidak memiliki perasaan itu untuk Tuan Revan."
"Apa kau pernah menyukai pria? Bagaimana rasanya menyukai lawan jenismu?" Lais kembali bertanya.
"Memangnya tuan tidak pernah merasakannya?" tanya Aruna. Sejenak ia lupa kalau Lais tidak memiliki ketertarikan seperti pria normal.
Lais melengos tidak suka dengan pertanyaan Aruna.
"Maaf!" Aruna baru sadar dirinya telah membuat kesalahan meski tak sengaja. Lais bangkit. Aruna mencekal tangan Lais saat pria itu akan beranjak meninggalkannya.
Lais menoleh.
"Aku belum pernah tertarik kepada pria. Kalau toh pernah, itu dulu. Kalau orang bilang cinta monyet." Aruna nyengir.
Lais urung pergi, ia kembali duduk.
"Saat ayah meninggal, aku masih SMP. Kehidupanku selanjutnya sangat sulit jadi aku tidak ada waktu memperhatikan pria. Hari hariku sibuk aku isi dengan bekerja dan bekerja." Aruna menceritakan kegetiran masa lalunya. Ia hanyut dalam kenangan pahit itu. Tak terasa setitik air mata jatuh ke pipinya.
Aruna mendongak saat tangan kekar Lais mengusap air mata itu. Seolah baru tersadar Lais menarik tangannya dari pipi Aruna.
Kenapa aku merasa sedih saat melihat gadis ini menangis?
"Maaf!" kata Lais.
"Kenapa minta maaf?"
"Karena telah menyentuh pipimu."
Aruna tertawa kecil, "Tuan minta maaf karena menyentuh pipiku, tadi siang saat menciumku, tuan tidak minta maaf untuk itu?" Aruna tersenyum jail.
"Itu.. kamu yang salah." elak Lais.
" Eh, dimana kesalahan saya?" Aruna mengubah posisi duduknya. Kini ia menghadap Lais.
Lais melirik wajah cantik yang sedang penasaran menunggu jawaban darinya. Ia lalu menggeser tubuhnya menghadap Aruna.
"Kesalahanmu adalah... " Lais menggantung ucapannya saat matanya menatap bibir ranum Aruna. "Aruna, boleh aku bertanya?"
"Boleh. Tapi jawab dulu pertanyaan saya tadi!" Syarat Aruna.
"Itu karena kamu menunjukkan video itu. Aku ingin tahu kenapa mereka tampak bahagia saat melakukannya. Jadi aku mencobanya." jawab Lais. "Nah sekarang kamu jawab aku?"
Aruna mengangguk
"Kenapa mengangguk bukannya menjawab?"
"Tuan kan belum bertanya?" Aruna memandang Lais dengan mimik lucu
"Ooo... Aruna saat aku (menunjuk bibirnya lalu bibir Aruna), apa yang kamu rasakan?"
Aruna diam.
Apa yang aku rasakan ya. batin Aruna.
"Saya kaget tuan." jawabnya kemudian.
"Bukan itu Run, maksudku apa ada perasaan aneh yang belum pernah kamu rasakan sebelumnya. Aneh tapi menyenangkan sehingga ingin mengulang dan mengulang?" Lais menatap lekat mata bening Aruna yang tampak mengerjab kebingungan.
"Saya lupa tuan." Aruna nyengir.
Lais mengulurkan tangan dan dengan ibu jarinya ia meraba bibir Aruna.
"Aruna, boleh aku melakukannya lagi?" Tanpa. menunggu jawaban Aruna, Lais sudah mendekatkan wajahnya dan mulai. menyerap bibir Aruna dengan lembut. Aruna memejamkan matanya. Ia merasakan sentuhan bibir kenyal. Lais. Hatinya berdebar kencang.
Ah.. tuan benar. Ada rasa aneh namun menyenangkan. batin Aruna.
"Bagaimana?" Lais bertanya setelah bibir mereka tidak lagi bertaut.
Aruna tidak menjawab. Ia masih memejamkan matanya dan menggigit bibirnya. Lais mengira Aruna belum. menemukan rasa yang ia maksud. Ia kembali mendaratkan ciuman ke bibir Aruna. Serangan kedua Lais meruntuhkan pertahanan Aruna. Dengan menggunakan lututnya, Aruna berdiri dan mendekat ke Lais. Ia mengalungkan tangannya dengan erat ke leher Lais. Aruna memperdalam ciumannya. Ia menelusup kan lidahnya ke sela bibir Lais.
Mata Lais membola. Ia mendorong Aruna lembut.
"Itu tadi apa?" tanya Lais polos.
Aruna mengatur nafasnya yang terengah engah.
Aruna menunduk. Mukanya merah. Ia sebenarnya sangat malu jika harus menjelaskannya.
'Tuan, nikahilah saya!" pinta Aruna.
"Iya. Aku akan menikahmu, tapi tadi itu apa?"
"Itu.. itu cara berciuman yang intim." Aruna langsung mengalihkan pandangannya ke tempat lain karena merasa sangat malu.
"Oh" Lais hanya ber oh ria. Namun dalam, pikirannya kata "intim" terus terngiang.
Intim... intim... intim..
"Tuan saya tidur dulu ya. Sudah mengantuk nih."
"Iya, aku juga ingin tidur."
Aruna berbaring di sebelah Lais dengan perasaan tak karuan. Tadi hasratnya sudah mulai. keluar, namun Lais seperti ha memang tidak mengerti. Pria itu tidak. merasakan apapun
Aruna membaringkan tubuhnya menatap Lais yang terlentang dengan satu tangan berada di atas keningnya.
Aruna bergeser mendekat Ia mengantak. lengan Lais lalu menggunakannya sebagai bantal. Aruna menaruh tangannya di dada Lais.
Lais medekapnya.
"Tidurlah! " bisik Lais. Sebntar kemudian Aruna sudah mendengar suara nafas Lais yang teratur.
...💕💕💕💕...
Akhirnya bisa up
jangan lupa tinggalin jejak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments
indri michael
hahaha.... jadi gemes
2022-04-16
0
Sandi Kurnuawan
ya ampun, gampang amat ya, si revan nikah,,,mana numpang pula,,hihi...
2022-03-08
2
Mama Ita
harus cepet2 nikah tuhh
2022-02-19
3