"Bu Ira, ada apa?" Aruna masuk ke kamar Lais. Ia melihat ke ranjang. Lais masih tidur. "Bu Ira tadi bilang tuan memanggilku. Tapi tuan masih tidur."
"Kemarilah. Aku akan mengajarimu menyiapkan keperluan tuan tiap pagi."
Aruna mengikuti Bu Ira.
"Ini walk in closet. Ini tempat pakaian dan perlengkapan tuan di simpan. Kamu ambilkan pakaian tuan tiap dan taruh di atas sofa ini. Nanti selesai mandi, tuan akan memakainya." Bu Ira menjelaskan.
"Tiap pagi ya Bu?" Aruna memastikan.
"Ya tiap pagi."
"Jam berapa?"
"Sekitar jam setengah enam harus sudah siap."
Aruna mengangguk, "Emm Bu Ira bukanlah Mbak Nisa calon istri tuan? Kenapa bukan dia yang melakukan ini?"
Bu Ira diam. "Ini tugas pelayan Aruna."
"Oo aku mengerti. Mbak. Nisa calon nyonya jadi dia nggak pantas melakukan ini. Begitu menurut Bu Ira ya?"
"Kurang lebih." jawab Bu Ira. Padahal. ia sengaja melakukan ini untuk mendekatkan Aruna dan Lais.
Di ruang makan, Nisa sudah menata hasil masakannya di meja.
"Boleh aku cicipin?" Tanya Revan
"Silahkan!" jawab Nisa sopan. Revan tersenyum menatap Nisa. Ia masih diam tidak mengambil makanan yang ada di meja.
"Kenapa tuan diam? Bukankah tadi bilang mau mencicipi masakan saya?" tanya Nisa heran.
"Apa saya harus mengambil sendiri?"
"Oh, maaf!" Nisa sadar jika seharusnya ia mengambilkan makanan untuk Revan secara Revan adalah tangan kanan Lais, tuannya. Otomatis Revan bisa dianggap tuannya juga.
"Silahkan tuan!" Nisa menyodorkan sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauk.
Revan menyendok sedikit dan memasukkan ya ke mulutnya.
"Mm.. ini enak. Pinter juga kamu masak." puji Revan.
"Ah tuan bisa saja. Ini masakan rumahan tuan. Rasanya pasti biasa saja." jawab Nisa merendah. Nisa menunduk. Jantungnya berdebar mendapat pujian dari Revan.
"Bener lho, ini enak. Kau coba saja!" Revan menyodorkan sesendok makanan ke mulut Nisa. Nisa mematung sambil. menatap Revan. Ia tidak menyangka pria tampan ini ingin menyuapinya.
"Ayo! Buka mulutmu, rasakan masakanmu ini benar-benar enak." Revan mendekatkan sendok ke mutu Nisa. Ujung sendok sudah menyentuh bibir Nisa. Perlahan Nisa membuka mulutnya dan menerima suapan dari Revan.
"Bagaimana? Enakkan?"
Nisa mengangguk. Perasaannya tak karuan. Ada bahagia, ada juga takut dan malu.
Tanpa kau sadari kita sudah saling bertukar saliva nona Nisa. Sekarang pakai sendok saja dulu. Nanti kita akan melakukannya secara langsung. Pikir Revan sambil menyungging senyum tipis.
Ia kembali menyuapkan sesendok. makanan ke mulutnya.
"Kenapa nona Nisa tidak makan?" Revan bertanya saat melihat Nisa hanya diam dan tidak segera mengambil makanan, "Makanlah. Temani aku!" titah Revan.
"Tuan makan saja dulu. Saya menunggu Aruna. Tadi kami masak bersama, nggak enak kalau saya makan terlebih dulu."
"Aruna akan lama di atas. Kamu makan saja dulu. Bukankah kita akan mencari kampus untukmu. Keburu siang." kata Revan.
Nisa mengangguk. Akhirnya ia pun mengambil makanan dan mulai menyantapnya.
Aruna turun dan langsung duduk di sebelah Revan.
"Tuan Revan makan di sini juga?" tanya Aruna ceria. Matanya berbinar saat menatao Revan.
"Iya. Menemani Nona Nisa." jawab Revan sambil melayangkan pandangan teduh kepada Nisa.
"Oo.. Aruna juga mau makan ditemani tuan Revan."
"Bisa. Tiap pagi aku akan datang untuk. makan pagi bareng kalian. Aruna, hari ini aku akan mengantar Nisa mencari kampus buat kuliah. Besok aku akan mengurus sekolahmu. Kau harus kembali sekolah.
" Baik tuan." Aruna membuat tanda 👌 dengan tangannya. Ia lalu melanjutkan makan paginya.
"Aruna! Di panggil tuan!" kembali Bu Ira berteriak dari lantai dua.
Aruna berlari kecil. menaiki tangga menunjukkan kamar Lais.
"Layani tuan!" perintah Bu Ira. Ia laku keluar kamar meninggalkan Lais dan Aruna berdua.
Lais sudah bangunan. Ia duduk di atas ranjang dengan menyenderkan badannya ke kepala ranjang. Matanya mandang Aruna.
Sepeninggal Bu Ira, suasana menjadi canggung. Aruna tidak tahu harus berkata apa setelah mendengar kisah Lais.
"Tuan akan pergi ke kantor?" tanya Aruna berusaha memecah kesunyian.
Lasi menggeleng masih dengan menatap Aruna.
"Tuan mau mandi? Biar saya siapkan airnya."
Lagi-lagi Lais menggeleng.
"Apa tuan mau sarapan dulu? Biar saya bawakan makanan tuan ke kamar."
"Kenapa kau repot menawariku segala hal? Mengapa nggak tanya saja apa mauku?" Lai berkata. Matanya masih setia menatap Aruna.
Kalau aku bertanya begitu, aku takut masuk jebakanmu tuan.
Aruna diam tidak lagi bertanya ini itu. Ia juga tidak menawari apapun ke Lais.
"Kenapa kau diam?" Lais yang berharap Aruna menanyakan apa maunya bertanya dengan kesal karena gadis itu justru menutup mulutnya.
"Saya menunggu perintah dari tuan." Aruna beralasan.
Lais bangkit dari ranjangnya. Ia menuju kamar mandi.
"Siapkan bajuku?" titahnya sebelum masuk ke kamar mandi.
Tanpa banyak kata, Aruna menuju walk in closet. Ia sedikit kebingungan memilihkan baju untuk Lais.
Ah bodo amat. Aku pilihkan saja sesuai seleraku. Aku kan belum tahu dia maunya kayak apa.
Aruna memadu padankan antara kemeja dan stelan jas juga dasi sesuai dengan seleranya. Ia menaruh di sofa tanpa sandaran yang ada di tengah ruangan. Aruna lalu memilih sepatu dan kaos kaki. Ia juga mengambil sapu tangan dan arloji. Matanya membulat sat melihat berbagai macam arloji tertata rapi di laci.
Orang kaya mah mau punya sebanyak apapun sah sah saja.
Saat semua sudah siap, Aruna memutar tubuhnya ingin keluar dari walk in closet itu. Namun di pintu ia malah berpapasan dengan Lais yang sudah selesai mandi.
"Kamu masih di sini? Ku kira sudah keluar kamar." ucap Lais.
"Ini mau keluar. Tuan menepilah, beri aku jalan."
Lais tidak menepi. Ia malah berjalan maju membuat Aruna melangkah mundur. Lais menutup pintu.
"Tuan? Apa yang tuan lakukan?!" Aruna panik. Ruangan walk in closet itu cukup. luas untuk tempat penyimpanan tapi baginya menjadi sempit saat Lais berada di dalamnya.
"Bantu aku berpakaian!"
"Ha!!" Aruna tidak. percaya dengan apa yang ia dengar. "Tuan kan bisa melakukannya sendiri."
"Apa bu Ira tidak mengatakan padamu apa tugasmu?"
"Sudah."
"Lalu tunggu apa lagi. Bantu aku berpakaian. Aruna mendongak menatap Lais yang berdiri menjulang di hadapannya. Ia lalu memutar tubuhnya, mengambil kemeja dan memasangkannya ke tubuh Lais. Aruna agak. kesulitan karena tubuh Lais yang lebih tinggi dari tubuhnya membuat Aruna harus berjinjit.
"Celananya!" kata Lais sambil melepas handuk yang melingkar di pinggangnya.
Aruna menutup matanya tidak berani melihat ke arah Lais. Akibatnya ia keliru, bukan memberikan celana tapi jas.
"Ini bukan celana." Lais menenpis tangan Aruna.
"Maaf." Aruna membuka sedikit matanya mencari celana. Ia mengulurkannya kepada Lais tanpa melihatnya.
"Pasangkan!" kata Lais lirih namun terdengar bagai guntur di telinga Aruna. "Kau tidak dengar? Pasangkan celana ini ke tubuhku! Cepat! Waktuku singkat, jangan buat aku terlambat."
Aruna membuka lipatan celana itu. Ia jongkok dan mulai memasangkan celana itu dari kaki Lais dan terus meraiknya ke atas.
"Buka matamu! Kau tidak akan bisa memasangkannya dengan benar jika matamu terus terpejam."
Ah benar juga. Jika aku terus memejamkan mata, proses memakaikan baju padanya malah lama. Bukankah aku ingin cepat pergi dari ruang sempit ini.
Perlahan Aruna membuka mata, tapi ia menahan matanya agar tidak melihat bagain tubuh Lais yang tidak seharusnya ia lihat.
Selesai merapikan celana, Aruna memasangkan dasi. Ia harus berdiri di bangku kecil agar tingginya sejajar dengan Lais. Karena ia dulu sering memasangkan dasi untuk ayahnya, Aruna jadi bisa dengan cekatan memasang dasinya Lais. Lais terus kandang wajah Aruna yang sedang konsentrasi medandaninya.
"Dasi sudah selesai. Tinggal jas." gumam Aruna. Ia hendak turun dari bangku itu namun ditahan oleh tangan kekar Lais yang sudah berada di pinggangnya.
"Apa kau sudah memikirkan perkataanku?" tanya Lais.
"Yang mana tuan?" Aruna balik bertanya. Tangan nya berusaha menarik lepas tangan Lais dari pinggangnya.
"Untuk membantuku sembuh." jawab Lais.
"Oh.. iya. Saya akan membantu tuan untuk sembuh. Tapi saya tidak tahu caranya."
"Nanti dokterku yang akan menjelaskan. Sekarang bersiaplah. Aku akan membawamu menemuinya." Lais melepaskan pinggang Aruna. Secepat kilat gadis itu meloncat turun dan lari keluar dari ruang sempit itu.
Selamat. batin Aruna sambil mengelus dadanya.
Ia ingin turun namun urung. Matanya menatap nanar ke arah Revan yang berjalan berdampingan dengan Nisa. Revan terus mencuri pandang dan melempar senyum pada Nisa.
"Cemburu?" Suara Lais mengagetkan Aruna.
"Ah tuan. Mengagetkan saja. Nggak lah, hanya heran saja sejak kapan mereka akrab. Lagipula yang harusnya cemburu kan tuan. Mbak Nisa adalah calon istri tuan."
"Aku tidak akan menikahinya. Sudah cukup. menikahi wanita yang salah. Kali ini aku hanya akan menikahi wanita yang benar." Lais melangkah turun. Aruna mengikutinya. "Cepat ganti bajumu! Aku tunggu di teras depan."
"Baik tuan!" Aruna berlari ke kamarnya untuk bersiap. Beberapa saat kemudian ia keluar.
Lais langsung berdiri begitu Aruna sampai di teras. Ia melangkah menuju mobilnya. Sopir membukakan pintu. Setelah Lais masuk, ia menutupnya.
Aruna membuka pintu depan dan bermaksud duduk di sebelah sopir.
"Apa yang kau lakukan? Temani aku duduk di belakang!"
Aruna menutup kembali pintu depan. Ia membuka pintu belakang dan masuk lalu duduk di sebelah Lais.
"Ke dokter Cipta!" perintah Lais pada sopirnya.
Sepanjang perjalanan Aruna melihat keluar jendela. Bayangan Revan yang tersenyum, pada Nisa terus memenuhi mata dan pikirannya.
Apa tuan Revan menyukai mbak Nisa? Lalu bagaimana dengan tuan Lais? Wanita yang salah. Apa maksudnya Mbak Nisa adalah wanita yang salah?
Aruna terus sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia baru tersadar saat merasakan seseorang duduk menghimpit tubuhnya.
Aruna menoleh dan melihat Lais sudah duduk mepet ke arahnya sambil memandang tajam dirinya.
"Tuan mau apa?" bisik Aruna dengan perasaan cemas.
...💕💕💕...
Jangan lupa dukungannya... love you all.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments
Mama Ita
bucin tuh
2022-02-19
3
Yoora_•sky
Bahagia brng² ye
Lais-Aruna
Revan-Nisa
2022-01-16
2
Wina Wien
wah jadi pas ini pasangan yg satu untuk revan
2021-11-14
2