Belum jauh ia melangkah, kakinya terhenti saat rambutnya di tarik dari belakang.
"Awww!" jerit Aruna kesakitan."Nyonya kenapa menjambak rambut saya?" pekik Aruna.
"Kenapa kau bilang? Dasar gadis murahan. Apa yang kau lakukan di kamar Lais?" Kirey menghempaskan rambut Aruna.
"Saya tidak melakukan apa apa. Saya hanya tidur." jawab Aruna polos.
"Apa kau bikang?! Beraninya kau tidur dengan Lais. Dia suamiku." Kirey ingin menampar Aruna. Namun sebuah tangan mencegahnya.
"Untuk saat ini tapi besok Tuan Lais bukan lagi suami anda Nyonya." Revan datang menyelamatkan Aruna dari amukan Kirey.
"Beraninya kau menghalangiku. Lepaskan tanganku!" Kirey menyentak tangannya hingga lepas dari pegangan Revan.
Mata Kirey menyala marah, "Apa kau bilang? Besok aku sudah bukan istri Reva? Omong kosong."
"Bukan omong kosong. Hari ini juga Nona Kirey, silahkan angkat kaki dari mansion ini." Revan menepuk tangannya. Dua orang bawahannya datang sambil. membawa koper milik Kirey.
"Ini koper anda. Silahkan pergi dengan baik-baik atau kedua pengawal ini akan menyeret anda."
"Aku tidak mau pergi. Aku ingin bertemu Lais.. LAIS...LAIS... "Kirey berteriak teriak. memanggil nama Lais.
"Percuma nona, Tuan tidak akan keluar menemui anda." kata Revan datar.
"Kurang ajar! Aku nyonyamu. Kenapa kau memanggilku nona!"
Revan tersenyum sinis, "Bukankah saya sudah bilang. Tuan Lais akan menceraikan anda. Jadi sejak niat itu tercetus, maka anda bukan lagi nyonya saya. Silahkan keluar. " Revan memberi tanda pada kedua bawahannya. Kedua pria bertubuh kekar itu siap menyeret Kirey.
"Tunggu! Ada yang harus aku ambil di kamarku."ucap Kirey.
"Tidak perlu. Semua barang oenting anda sudah ada di dalam koper. Sisanya nanti akan di antar ke alamat baru anda. Jadi jangan khawatir. Silahkan!"
Mata Kirey menatap tajam ke arah Revan lalu beralih ke Aruna.
"Kalian berdua.. tunggu pembalasanku. Aku Kirey, tidak mudah dikalahkan. Aku tidak akan diam ditindas." ancam Kirey lalu menyeret kopernya keluar dari mansion Lais.
Aruna diam. Ia menyaksikan semua itu dengan perasaan bersalah.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Revan setelah Kirey pergi.
"Tuan, apakah tuan Lais menceraikan istrinya karena saya?" tanya Aruna.
Revan tersenyum, "Bukan. Sejak tahu istrinya selingkuh, tuan Lais memang ingin menceraikannya. Tapi tidak dia lakukan. Karena dia tahu, orang tuanya pasti akan mencarikan wanita lain untuk dinikahinya."
"Lantas, kenapa ia menceraikannya sekarang?"
Revan memandang Aruna. Bibirnya kembali tersenyum.
"Karena Tuan Lais sudah tidak tahan dengan sikapnya." jawab Revan.
Karena tuan Lais sudah menemukan Anda nona.
"Apa karena mbak Nisa?" tanya Aruna lagi yang membuat Revan kaget.
"Apa hubungannya dengan Nis.. eh nona Nisa?"
"Mbak Nisa kan calon istri tuan Lais. Waktu itu kan tuan Revan sendiri yang bilang saat kita menjemputnya di panti asuhan." Aruna mengingatkan Revan.
"Oh itu. Tuan Lais tidak akan menikahi nona Nisa."
"Kenapa?"
"Karena... tuan Lais punya pilihan sendiri."
"Tapi tuan..."
"Sudah. Jangan banyak bertanya. Kalau ingin tahun lebih banyak tanya langsung ke tuan. Bukan ke saya." Revan meninggalkan Aruna.
Bagaimana ini? Kalau tuan Lais punya pilihan sendiri, bagaimana caraku membuat mereka dekat. Kalau mereka tidak bisa dekat, apa aku harus menikah dengan tuan Lais? Ah ogah.
Aruna bergegas turun menuju kamar Nisa.
"Mbak boleh aku masuk?" Aruna berkata dari luar pintu.
"Masuklah!" kata Nisa.
Aruna membuka pintu. Ia melihat Nisa sedang merapikan buku buku di atas meja.
"Buku apa ini mbak? Banyak sekali."
"Buku untuk aku belajar. Mulai besok aku sudah aktif kuliah. Jadi aku harus mengejar ketinggalan." Nisa menjelaskan.
"Mmm.... " Aruna menggumam.
"Ada apa? Kamu menemuiku pasti ada perlu kan?" tanya Nisa setelah selesai merapikan bukunya.
"Mbak Nisa! Mbak kan calon istri Tuan Lais. Apa mbak nggak berniat mendekati Tuan Lais? Maksudku untuk mengenalnya lebih dalam."
Nisa menghela nafas. "Tuan Lais tidak akan menikahi ku Aruna. Kau ingat saat pertama kita tiba di mansion ini? Masing-masing dari kita mendapat surat dari tuan Lais kan? Nah di surat itu dia menulis kalau dia tidak akan menikahiku."
"Lalu mbak bagaimana?" Aruna memandang iba Nisa.
"Apanya yang bagaimana?"
"Apa mbak nggak merasa sedih?" tanya Aruna menyelidik.
Nisa tertawa lirih. "Aku justru. lega Aruna. Semula aku merasa takut jika harus menikah dengan orang yang sama sekali tidak aku kenal. Apalagi tuan dan nyonya besar bilang aku harus mampu menjadi obat bagi tuan Lais. Aku jadi semakin khawatir akan kehidupan pernikahanku nanti. Tapi saat membaca surat itu, aku benar-benar lega dan bahagia."
Aruna melihat Nisa dengan sorot mata tak percaya. "Jadi mbak Nisa tidak mencintai tuan Lais?"
Nisa menggeleng. Bayang Revan berkelebat dalam benaknya membuat bibirnya tersenyum.
"Jadi begitu." gumam Aruna lemah. "Jadi memang harus aku ya." katanya lirih penuh keputusasaan.
"Kamu kenapa Aruna?" Nisa cemas melihat Aruna yang lemas kehilangan semangat.
"Mbak, jika Tuan Lais menyukai mbak dan mengajak mbak menikah, apa mbak mau?" tanya Aruna.
Nisa diam. Bayangan Revan kembali hadir dalam benaknya. Perlahan ia menggeleng.
"Semoga tidak Aruna. Aku tidak berharap tuan Lais akan menyukaiku. Aku tidak mau menikah dengannya." jawab Nisa tegas.
Marilah aku. batin Aruna.
"Mbak... bisa nggak mengabulkan satu saja permintaanku?" Aruna mulai memohon.
"Apa? Kalau mbak bisa, akan mbak kabulkan." Nisa menatapa serius wajah Aruna.
"Mbak, sejak awal kan mbak Nisa yang akan dinikahkan dengan tuan Lais, bisakah mbak mencoba dekat dengan tuan Lais? Bagaimana caranya nanti aku yang akan memikirkannya." Aruna memelas.
Nisa mengerutkan keningnya. Ia merasa heran atas permintaan Aruna.
"Untuk apa kamu memohon hal itu padaku?"
"Begini. Tadi aku diajak tuan Lais ke dokter. Kata dokter, tuan Lais tidak alergi terhadap ku jadi ia minta agar aku mau membantunya sembuh."
"Terus? Kamu tidak bersedia membantunya?"
:Bukan begitu mbak. Soal. membantu aku pasti mau. Apalagi Tuan Lais juga sudah menolongku. Masalahnya, cara membantunya itu yang aku nggak mau."
"Memangnya apa cara untuk membantunya?"
"Aku harus menikah dengan Tuan Lais. Mbak, aku masih sangat muda kan, masih delapan belas tahun. Aku belum mau menikah. Jadi, aku mohon mbak mencoba dekat saja dengan tuan Lais. Kalau nanti ternyata tuan Lais juga alergi terhadap mbak, ya... mbak boleh mundur." kata Aruna. "Lagipula sejak awal kan mbak yang dijodohkan sama dia."
Nisa diam. Ia ingat janjinya pada papa dan mama Lais kalau dirinya bersedia membantu untuk kesembuhan Lais. Tapi sekarang situasinya sudah berbeda. Bahkan Lais tidak menginginkan dirinya sebagai istri.
"Mbak!!" suara Aruna memelas.
"Aku akan mencoba. Tapi nggak janji ya Run, soalnya.... " Nisa ingin bilang kalau dia tertarik sama orang lain, tapi urung. Ia tidak mau Aruna mengetahuinya.
"Soalnya apa mbak?"
Nisa tersenyum, "Soalnya tuan Lais tidak. menginginkanku."
"Di coba dulu mbak. Besok pagi temani aku ke kamar tuan untuk menyiapkan bajunya ya!"
Nisa mengangguk pasrah. Dalam hati ia berdoa agar Lais alergi terhadapnya.
Keesokan harinya, Aruna benar-benar mengajak Nisa ke kamar Lais. Sebelumnya ia sudah bicara dengan Bu Ira kalau dirinya ingin mencoba mendekatkan Nisa dengan Lais karena sesungguhnya Nisa lah calon istri Lais.
Bu Ira memperingatkan Aruna agar berhati hati jangan sampai membuat Lais mengalami serangan mual parah seperti waktu itu.
Aruna dan Nisa masuk ke. kamar Lais. Mereka langsung menuju walk in closet untuk menyiapkan pakaian Lais.
Saat mereka keluar dari walk in closet, bersamaan dengan Lais yang keluar dari kamar mandi. Ia menutupi kepalanya yang basah dengan handuk. Tanpa menoleh ke arah Nisa dan Aruna, ia duduk di kursi dekat ranjang sambil mengeringkan rambutnya.
"Bantu keringkan rambutku!" titah Lais.
Aruna mendorong pelan tubuh Nisa memberi tanda agar Nisa yang melakukannya.
Mata Nisa mendelik tanda tidak setuju. Aruna menangkupkan kedua tangannya didada tanda memohon pada Nisa.
Perlahan Nisa mendekati Lais. Tangan gemetar saat memegang hair dryer. Dengan hati-hati ia mulai mengeringkan rambut Lais. Aruna memperhatikan dengan dada berdebar tegang.
"Bagian sebelah sini masih basah." Lais memegang tangan Nisa dan mengarahkannya ke sisi rambutnya yang basah. Lama ia menggenggam tangan Nisa. Nisa menjadi kikuk. Selama ini ia belum pernah berpegangan dengan lawan jenis. Nisa menarik paksa tangannya, namun Lais menggenggamnya dengan erat.
"Tuan tolong lepaskan!" Nisa akhirnya bersuara. Lais tersentak kaget. Ia langsung berdiri dan memutar tubuhnya.
Ia melihat Nisa berdiri gemetar di hadapannya. Di belakang Nisa berdiri Aruna dengan wajah tegang.
Siap-siap. Sepertinya singa ini akan ngamuk. batin Aruna.
Lais menatap kedua wanita itu dengan bingung.
Bagaimana mungkin.
Ia kemudian menjulurkan tangannya menyentuh kepala Nisa yang ditutupi hijab.
Aku tidak mual.
Tangannya turun hendak menyentuh pipi Nisa tapi Nisa menepis nya.
"Maaf tuan. Tolong jangan sentuh saya." suara Nisa bergetar karena takut.
"Kalian berdua, keluar dari kamarku!" perintah Lais. Nisa segera berbalik dan keluar dari kamar Lais diikuti Aruna.
Lais terduduk di ranjang.
Aku dengan dia, kenapa bisa. Kenapa aku tidak alergi dengan kedua wanita itu. Apa aku memang sudah tidak terpengaruh lagi dengan masa lalu itu. Aku harus ke dokter lagi sepertinya.
Lais masuk. ke walk in closet untuk mengambil baju gantinya. Setelah berpakaian dengan rapi, ia turun. Revan sudah menunggunya di meja makan. Ia sedang menikmati sarapan bersama Nisa dan Aruna.
Lais menatap ketiga orang itu. Perlahan ia berjalan mendekat dan duduk di sebelah Revan. Matanya memandang Aruna dan Nisa bergantian.
"Tuan mau sarapan juga?" tanya Aruna.
Lais tidak menjawab. Ia menatap tajam ke arahnya.
Jadi ini rencana yang kau katakan pada dokter Samy. Kau ingin mendekatkan ku dengan Nisa. Tapi bagaimana bisa... aku juga tidak alergi pada Nisa?
"Tuan!" panggil Aruna.
Akhirnya Lais mengangguk. Bu Ira yang melihat itu tersenyum bahagia. Lais sudah mau makan bersama orang asing.
"Tunggu!" Lais menghentikan Aruna yang hendak mengambilkan makanan untuknya. Ia menatap Nisa, "Kau, ambilkan makanan untukku!" titahnya.
Kini Revan yang terkejut.
Tuan Lais berbicara secara langsung pada Nisa. Ooohhh.. sepertinya aku harus mengubur harapanku. Tidak mungkin aku mengambil wanita tuan Lais. batin Revan ngenes.
Nisa berdiri. Ia mendekat ke Lais dan mulai mengambilkan makanan untuk Lais.
Aku tidak mual, tapi tidak ada desiran seperti saat dekat dengan Aruna. Sebenarnya apa ini? "
Lais menikmati makan paginya dengan pikiran penuh dengan pertanyaan.
"Revan. Apa kau sudah ke sekolahnya Aruna?"
"Sudah tuan. Hari ini Aruna bisa kembali ke sekolah."
"Benar tuan Revan?!" Aruna memekik bahagia. Spontan ia memegang tangan Revan. Revan tersenyum mengangguk sambil menatapnya.
Tuan Revan. Apakah ia menyukai Aruna? Kenapa ia tersenyum manis seperti itu padanya? bisik hati Nisa.
"Hem!!" deheman Lais menyadarkan Aruna. Ia menarik tangannya.
"Terima kasih tuan Revan." kata Aruna polos.
"Berterimakasihlah pada tuan Lais, Aruna."
"Terima kasih tuan Lais."
"Hem." gumam Lais.
"Tuan Revan! Tuan pasti repot mengurusi sekolahku. Jadi, apa tuan mau jika aku traktir?" tanya Aruna. "Aku memang nggak punya uang banyak, tapi kalau nraktir es krim saja aku masih mampu. " kata Aruna ceria. Tanpa sadar ia kembali memegang tangan Revan dan Menggoyang-goyangnya membuat Lais tidak suka melihatnya.
"Revan, ayo berangkat."
"Baik tuan." Revan berdiri. Sebelum menyusul Lais, ia mengarahkan pandangan pada Nisa. Soroti matanya sukar dilukiskan. Ada kesedihan di mata Revan
...💕💕💕💕...
Jangan sedih Revan... Author janji membuatmu bahagia. Jadi sabar ya... 😘😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments
Mama Ita
Nisa cemburu tuhhh arunaa
2022-02-19
4
Mama Ita
wahhh pada salah paham dong jadinya
2022-02-19
3
Yoora_•sky
yahhh Salah paham nih
2022-01-16
2