"Jadi sekarang anda bingung karena ada dua wanita yang membuat anda tidak mengalami rasa mual?" tanya dokter Samy pada Lais.
"Begitulah. Apa menurutmu traumaku pengalami perkembangan ke arah yang baik?"
"Wanita yang anda ceritakan ini, wanita ke dua, dia orang yang seperti apa?"
"Dia wanita yang sederhana dan menurutku dia juga wanita yang baik."
"Apa dia tipe matre?"
"Tidak. Jelas tidak."
"Penggoda?"
"Apalagi itu. Dia jauh dari kata penggoda."
"Apa dia suka mencari perhatian?"
"Tidak dokter. Ia wanita baik-baik. Semua hal buruk yang kau sebutkan tidak ada satupun pada dirinya. Dia pendiam dan juga sangat menjaga kehormatannya."
"Apakah ia memiliki persamaan dengan Aruna?"
Lais diam sejenak lalu mengangguk. "Mereka sama sama bukan tipe wanita yang gila harta, yang akan menghalalkan segala cara demi menjadi orang kaya. Mereka juga bukan wanita binal."
Dokter Samy tersenyum. "Sekarang jelas, tuan akan bereaksi positif dengan mereka yang menunjukkan kebaikan. Tapi akan bereaksi negatif jika wanita itu memiliki sifat yang tuan lihat saat tuan kecil. Binal, liar, penggoda."
"Begitukah?!"
"Ini hanya asumsi saya. Nanti bisa tuan lihat perlahan."
"Tapi saat berdekatan dengan Aruna, saya merasakan desiran aneh. Dan itu tidak saya rasakan pada Nisa."
"Apakah anda merasakannya saat anda menciumnya?"
Mendengar kata mencium, angan Lais kembali ke waktu ia mencium Aruna dengan tiba-tiba hanya demi agar harga dirinya tidak diinjak injak. oleh Kirey. Desiran halus kembali masuk ke relung hati Lais.
"Sepertinya iya." gumam Lais.
"Apa anda merasa tidak suka saat melihat Aruna akrab dengan pria lain?"
Lais mengingat kejadian tadi pagi dimana perasaannya tidak nyaman saat melihat Aruna memegang tangan Revan.
"Tidak nyaman." jawabnya.
"Tuan, saran saya segera menikahlah dengan Aruna. Saya yakin ia akan mampu mengikis trauma anda." kata dokter Samy penuh keyakinan.
"Begitukah?!"
Dokter Samy mengangguk mantap.
Lais termenung memikirkan saran dokter Samy. Jari-jari tanganya saling bertautan di atas meja.
"Apa dia mau aku nikahi? Sedangkan usianya baru 18 tahun dan masih sekolah juga." gumam Lais lirih.
tok tok tok
"Masuk!" perintah Lais sambil membenahi duduknya.
"Tuan, saatnya pulang." kata Revan.
"Sudah jam pulang ya? Cepat sekali." Lais tidak berdiri. Ia malah merebahkan tubuhnya ke sandaran kursi.
"Van! Apa menurutmu jika aku melamar Aruna, akan ia terima?"
"Hah?!" Revan yang mendapat pertanyaan mendadak itu kaget. "Saya tidak tahu tuan." jawabnya jujur.
"Dokter Samy sudah menjelaskan semuanya pada Aruna. Ia tidak mengiyakan permintaan dokter Samy, ia malah menawarkan Nisa untuk jadi iatriku."
Wajah Revan tegang.
"Dia berencana mendekatkan kami. Dan hasilnya seperti kejadian tadi pagi. Bagaimana menurutmu?"
"Tuan.. tanyakan pada hati tuan saja. Siapa yang lebih anda sakai untuk anda jadikan istri."
"Suka?Aku suka keduanya."
"Tapi tuan tidak mungkin menikahi keduanya?"
"Mengapa tidak?Asal mereka mau aku akan menikahinya. "
Revan diam tertunduk.
Siapa yang mampu menolak Lais. Apa Nisa juga akan menerima jika Lais memintanya untuk jadi istrinya.
"Kamu kenapa?" pertanyaan Lais mengangetkan Revan. Revan menggeleng.
"Tidak apa-apa."
"Kamu takut ya kalau aku meminta Nisa jadi istriku?"
Revan mendongak dan menatap Lais.
"Tenanglah. Aku tahu kau menyukainya."
"Jadi tuan tidak akan menikahi Nisa?"
"Bukankah aku sudah bilang. Jadi sekarang bantulah aku agar Aruna mau menjadi istriku."
Revan mengangguk dengan cepat, "Siap tuan."
"Tunggu. Bagaimana kalau kamu melamar Nisa di hadapan kami hati ini?"
"Maksud tuan?"
"Aruna bersikukuh mendekatkan aku dan Nisa. Jika ia tahu Nisa menyukaimu dan kamu juga menyukainya, maka ia akan mengubur keinginannya itu."
"Tapi saya.."
"Ya kalau kamu nggak mau, jangan menyesal jika aku dan Nisa jadi dekat beneran."
"Tidak tuan. Saya mau."
"Hahaha. Revan, kenapa kamu jadi bodoh begini. Kamu bisa bicara dengan Nisa dulu dan bilang ini hanya pura-puta jika kau memang tidak menikahinya dan hanya ingin memacarinya saja."
"Tidak tuan. Saya beneran akan menikahinya. Jadi tidak perlu berpura-pura."
"Baguslah. Ayo kita pulang dan laksanakan rencana kita!"
"Sore ini tuan?" tanya Revan.
"Tidak. Datanglah ke mansion nanti malam. Biar tidak terlalu mencurigakan."
Revan mengangguk. Ia berencana pulang kerja akan langsung membeli cincin untuk melamar Nisa nanti malam.
"Bu Ira, siapkan makan malam yang sedikit lebih banyak dari biasanya. Revan bilang ia akan datang nanti malam untuk ikut makan malam." titah Lais.
Seperti yang telah mereka rencanakan, Revan tiba tepat saat makan malam.
Lais mengajak semua duduk di meja makan. Ia bilang Revan ingin mengatakan hal yang istimewa pada mereka.
"Revan, katakan niatmu dihadapan kami. Biar BunIra dan Pak munir juga Aruna menjadi saksi."
Revan menelan ludah untuk mengusir gugupnya.
"Tuan maaf atas kelancangan saya. Saya ingin melamar seseorang yang ada di mansion tuan ini. Dia adalah Nisa." kata Revan langsung ke tujuannya.
Nisa kaget. Ia menatap Revan. Jantungnya berdebar kencang.
"Bagaimana Nisa?" Lais menanyakan jawaban Nisa.
Nisa bingung. Ia memandang takut ke arah Lais.
"Kamu nggak usah takut padaku. Jawab saja sesuai kata hatimu. Aku tidak akan marah. Memang awalnya kamu adalah calon istriku, tapi kamu berhak memilih Nisa."
Aruna pucat.
Bagaimana jika mbak Nisa memilih tuan Revan. Tapi aku juga nggak bisa memaksa Mbak Nisa jika ia memang menyukai tuan Revan. batin Aruna.
"Tuan Lais, bagaimana dengan tuan dan nyonya besar?" Nisa menatap Lais.
"Mereka akan menjadi urusanku. Mereka hanya ingin aku menikah dan memiliki keturunan. Tak peduli siapa wanitanya. jadi kamu tidak usah khawatir." Lais melirik Aruna. Melihat wajah Aruna yang memucat, Lais semakin yakin jika Aruna memiliki hati pada Revan.
Baguslah kalau Revan menikah dengan Nisa. Kau tidak akan mengharapkannya lagi.
"Jika demikian. Saya menerima lamaran Tuan Revan." jawab Nisa lalu menunduk malu.
Mata Revan berbinar. Ia mendekat ke kursi tempat Nisa duduk.
"Kalau begitu, bolehkah aku memasangkan cincin ini di jarimu?"
Nisa menatap Revan, "Tuan bisakah cincinnya dipasang saat ibu oanti sudah merestui kita?" pintanya.
"Jadi aku harus melamarmu ke ibu panti?"
Nisa mengangguk. "Beliau adalah orang tua saya tuan."
"Baiklah. Besok kita menemui ibu panti ya."
"Baguslah kalau lamaran Revan berhasil. Sekarang mari kita rayakan dengan makan malam!" kata Lais.
"Permisi. Kalian makan saja, ada yang harus saya kerjakan." Aruna berdiri.
"Duduk!!!" Suara tegas Lais menghentikan langkah Aruna yang hendak meninggalkan meja makan. "Tidak ada yang boleh meninggalkan meja makan!"
Mau tak mau, Aruna kembali duduk. Mereka kemudian mulai makan malam bersama.
*
*
*
"Maaf jika lamaranku mengejutkan mu." Revan menatap wajah cantik Nisa yang tengah menunduk. Setelah makan malam tadi, Revan mengajak Nisa mengobrol berdua di taman.
"Tapi kenapa?" jawab Nisa lirih.
"Kenapa? maksudnya kenapa aku mendadak melamarmu?" Revan memastikan pertanyaan Nisa.
Nisa mengangguk.
"Karena Tuan Lais tahu Aruna berusaha mendekatkanmu dengannya."
"Jadi ini untuk menolong Tuan Lais?" Nisa sedikit kecewa dengan jawaban Revan.
"Iya. Tapi... " belum selesai perkataan Revan, Nisa yang semakin kecewa beranjak pergi meninggalkannya. "Nisa tunggu!" Revan meraih tangan Nisa dan menariknya agar kembali ke tempatnya semula. Namun tubuh Nisa malah tertarik ke arah Revan.
Bruk.
Nisa menubruk Revan. Revan langsung menglingkarkan tangannya memeluk Nisa.
"Tuan!" Nisa berusaha melepaskan diri.
"Aku mencintaimu. Sejak pertama melihatmu, aku merasakan ada sesuatu dalam hatiku. Semakin sering kita bertemu, aku sadar, kalau aku mencintaimu. Itulah mengapa saat Tuan Lais meminta aku melamarmu, aku langsung menyetujuinya. Aku juga tidak mau kamu dimiliki pria lain." bisik Revan.
Nisa mematung dalam pelukan Revan. Ia tidak menyangka Revan akan mengutarakan semua isi hatinya.
Mereka berdua masih berpelukan tanpa menyadari jika ada sepasang mata yang menatapnya dengan sorot mata penuh kesedihan.
Pupuslah harapanku. Aku memang harus menerima untuk menikahi Tuan Lais.
Aruna yang saat itu ingin menenangkan diri di taman malah melihat kemesraan antara Revan dan Nisa. Aruna memutar tubuhnya untuk kembali ke mansion. Ia kaget begitu tubuhnya berbalik, sosok Lais sudah berdiri di hadapannya. Aruna menatap Lais. Lais melihat kesedihan di mata Aruna. Ia menarik tubuh Aruna dan memeluk nya.
"Jangan sedih hanya karena melihat mereka berpelukan. Aku juga bisa memberi pelukan padamu." bisik Lais yang justru membuat Aruna bingung.
"Tuan!" Aruna menarik tubuhnya dari delapan Lais.
"Kenapa menjauh? Apa pelukanku tak sehangat pelukan Revan?" tanya Lais dengan suara sinis.
"Tuan bicara apa? Mana saya tahu pelukan tuan Revan hangat apa tidak." jawab Aruna cemberut.
"Apa itu artinya Revan belum pernah memelukmu?" Lais memastikan.
"Ya enggak lah. Satu-satunya pria yang pernah memeluk saya selain ayah adalah anda tuan." Aruna pergi setelah mengucapakan kalimat itu. Ia tidak melihat Lais yang tertawa senang mendengar jawaban polosnya itu.
...💕💕💕💕...
**Selamat Nisa dan Revan.
Jangan lupa jejaknya ya**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments
Mama Ita
seneng tuh lais...
2022-02-19
2
Yoora_•sky
Lais slh paham nih
kn Aruna sedih krn hrs nikah sm dia :-
2022-01-16
0
Al Bayezid
mantap Thor👍lanjuuttt😁
2021-11-15
0