"Turunkan. Aku akan menunggumu di sini!" kata Lais begitu mereka sampai di toko buku.
"Tuan tidak. mau menemaniku?"
Lais menggeleng, "Banyak orang uang tidak aku kenal. Rasanya tidak nyaman." jawab Lais.
"Kan ada saya Tuan. Lagipula tidak semua orang asing itu jahat. Apa tuan tidak. khawatir kalau nanti saya diculik?"
Lais. mendelikkan matanya tidak suka mendengar ucapan Aruna. Ia mendengus dan akhirnya membuka pintu. Arina tersenyum dan langsung menggandeng tangan Lais.
"Tidak apa-apa kan kalau aku menggandeng tangan Tuan?" Aruna bertanya dengan manja.
Lais tidak menjawab. Ia hanya membiarkan Aruna menggandeng tangannya.
Mereka masuk ke toko buku. Aruna membawa Lais untuk mencari buku buku yang ia butuhkan. Lais mengambil. buku apa saja yang menurutnya cocok buat Aruna dan memasukkannya ke keranjang belanja. Aruna mengomel. melihat kelakukan Lais.
"Tuan nggak usah ikutan deh! Aku nggak butuh buku-buku ini. " Aruna mengembalikan lagi buku-buku itu ke tempatnya.
"Bukankah kau kelas XII, ini pasti cocok." Lais sok tahu.
"Iya.. tapi saya nggak butuh buku ini tuan. Saya hanya mencari yang saya nggak punya." bantah Aruna. "Tuan mending ke sana tuh. Banyak buku bisnis di sana!" Aruna menunjuk ke rak yang banyak memajang buku-buku tentang bisnis.
"Ilmu bisnisku sudah hebat. Aku nggak perlu belajar lagi." Lais menyombongkan diri. Aruna meleletkan lidahnya mendengar ucapan bernada sombong itu.
"Haa... akau tahu buku apa yang cocok buat Tuan." Aruna mendorong tubuh Lais ke arah buku buku tentang psikologis.
"Nih!" Aruna mengambil buku tentang tipe dan trik mengatasi trauma. Lais menatap buku itu.
"Ini karangan dokter juga kan? bukankah aku sudah ada Sammy, ia lebih hebat dari pengarang ini." Laia tidak tertarik. Matanya melirik ke rak samping dan mengernyit membaca judul buku yang membuatnya penasaran apa isinya. Kais mengambil buku itu. Pada saat bersamaan, seorang gadis menghampiri Aruna.
"Hai Run! Pagi belanja juga?Sudah dapat bukunya?" Gadis itu adalah Desy, teman sekelah Aruna.
Aruna menggeleng, "Sepertinya sudah habis." jawabnya lemah.
"Oh, Apa kamu sudah menanyakan kepada pramuniaganua?"
"Belum!" Aruna menjawab sambil nyengir.
"Tanyain saja!." Saran Desy. Mata Desy lalu melihat ke arah Lais. "Sst" Desy mengkode Aruna sambil matanya mengerling ke arah Lais., "Siapa?"
Lais yang saat itu pura-pura membaca buku, mendengar dengan jelas bisikan Desy.
Aruna gugup. Ia bingung harus menjawab apa. Jika dijawab omnya, Lais akan marah. Tapi tidak mungkin dia bilang kalau Lais itu suaminya.
"Mm.. dia.. "
"Sudah dapat. Kalau sudah, kita pulang!" ) Lais menarik tangan Aruna dan membawanya pergi.
"Maaf Des! Sampai bertemu di sekolah besok." seru Aruna sambil. melambaikan tangan.
Desy mengerucutkan bibirnya lalu tersenyum.
"Tuan, tunggu! Aku belum mendapatkan yang aku cari." Aruna menarik tangannya dari genggaman Lais.
"Bilang saja buku apa yang kau mau. Revan akan mencarikan untukmu." Lais masih terus menggelandang Aruna ke luar dari toko buku itu.
Aruna menaruh sembarangan keranjang belanja yang tadi ia bawa. Dengan susah payah ia berusaha menyamai langkah Lais.
Lais. menutup pintu mobil dengan keras setelah Aruna masuk dan duduk. Aruna berjingkat kaget.
Kenapa nih orang. Nggak ada angin nggak ada hujan, marah.
Lais duduk. di depan kemudian dan mulai melajukan mobilnya. Mereka diam selama perjalanan pulang.
"Katakan judul buku yang kamu perlukan!" tutah Lais dengan suara beratnya.
Aruna menyebutkan judul dan pengarangnya. Lais mengetiknya sambil masih tetap mengemudi. Ia memberi perintah pada Revan untuk mencarikan buku yang Aruna butuhkan sekaligus membeli buku yang tadi ia baca.
Mereka sampai di mansion.
Aruna langsung membuka pintu dan bergegas turun.
Lais berjalan di belakangnya.
"Ah.. capeknya." Aruna menghempaskan tubuhnya di sofa sambil memandang Lais yang dengan wajah datarnya berjalan melewati Aruna menuju tangga.
Apa dia masih marah. Tapi kenapa? Batin Aruna.
Brak
Aruna mendengar Lais membanting pintu kamar.
"Tuan kenapa nona?" tanya Bu Ira.
"Bu Ira, sudah berapa kali aku bilang, jangan memanggilku non. Panggil saja seperti biasa. Atau Nak begitu." balas Aruna.
"Maaf, Tuan kenapa Nak?" Bu Ira mengulang bertanya.
Aruna angkat bahu. "Aku juga bingung,Bu. Tiba-tiba marah nggak jelas."
"Sebelumnya, apa ada kejadian yang mungkin bisa membuat tuan marah?"
Aruna diam, ia mengingat ingat kejadian sebelum Lais berubah sikap.
"Tadi kami ke toko buku. Terus ketemu teman, dia bertanya tuan itu siapa."
"Nak Aruna menjawab apa?"
"Aruna bingung , Bu. Jadi tidak menjawab."
"Ooo.. pantas. Nak, cepatlah kamu naik. Bujuk dia!"
"Memangnya kenapa Bu?"
"Dia paling tidak bisa diabaikan Nak. Mungkin dengan kamu tidak menjawab dia merasa kamu nggak menganggap dirinya." Bu Ira menjelaskan.
"Tapi aku kan nggak mungkin bilang dia suamiku pada teman sekolah Bu. Bukan karena malu, tapi karena peraturan nggak mengijinkan siswa menikah."
"Jelaskan padanya. Ingatlah, suamimu ini beda dari kebanyakan pria."
Aruna mengangguk paham dengan maksud perkataan Bu Ira.
Dengan langkah gontai, ia naik menuju kamar. Dibukanya pintu kamar dan ia melihat Lais sedang tiduran di ranjang masih dengan pakaian lengkap bahkan masih memakai sepatu.
Aruna berpikir bagaimana cara menghibur Lais.
"Tuan sudah tidur ya? Kok masih memakai sepatu?" gumam Aruna sambil melepas sepatu Lais. Ia juga melepas kaos kaki. Lais dan menaruhnya di rak sepatu.
Aruna naik. ke ranjang dan duduk di sebelah Lais.
"Tuan tahu temanku tadi?Namanya Desi. Dia tuh biang gosip di sekolah. Berita apa saja pasti bisa di sulap jadi gosip yang hangat. Tuan, tadi dia menanyakan tuan siapanya aku. Kalau aku jawab tuan suamiku, dia pasti akan bergosip kalau aku ini jadi istri simpanan om-om. Dan lagi di sekolah ada aturan yang melarang siswanya menikah. " Aruna berkata sambil memijat lengan Lais. "Tapi kalau aku bilang tuan adalah omku, nanti dia suka lagi sama tuan. Kan aku yang rugi. Makanya aku diam."
Lais yang memang hanya pura pura tidur itu tersenyum saat mendengar Aruna merasa rugi jika ada gadis yang menyukainya.
"Tuan! Jangan diam saja, bicaralah! Kalau Aruna salah, Aruna minta maaf."
Lais mengangkat tangan yang menutupi keningnya.
"Kenapa kau rugi jika ada gadis yang menyukaiku? Apa kau takut aku meninggalkanmu dan kau akan kehilangan kesempatan hidup nyaman?"
Aruna menggeleng lalau meletakkan kepalanya di lengan Lais.
Aku harus membuat dia merasa berarti bagiku.
"Menurut tuan apakah aku wanita seperti itu? " Aruna balas bertanya. " Tuan adalah orang yang terpenting dalam hidupku setelah orang tuaku. Karena hanya tuan yang baik dan peduli padaku. Meski tuan tidak menjadikanku istri, dan hanya menjadikanku pelayan. Tetap saja, tuan lah yang terpenting buat Aruna. Penolong Aruna."
Senyum Lais kembali mengembang. Ia merasakan kembali sensasi aneh yang belum pernah ia rasakan.
Lais bangkit.
"Tuan mau kemana?"
"Aku harus kembali ke kentor."
"Bukankah ini sudah sore?" Aruna bertanya. Ia juga ikut bangkit.
"Tas kerjaku masih di kantor. Aku harus mengambilnya." balas Lais.
"Boleh ikut?" Aruna mengerjakan matanya memelas. Lais tersenyum lalu mengacak rambutnya.
"Ayo, bersiaplah! Aku tunggu di bawah."
Aruna tersenyum. Ia lega karena amarah Lais sudah sirna.
*Dia seperti anak kecil. Anak kecil yang bertubuh dewasa. batin Aruna.
...💕💕💕...
Puasaan jadi up nya nggak maksimal hehehe... nunggu ada waktu luang.
Semoga menghibur*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments
Mama Ita
ayoh Aruna buat es itu meleleh
2022-02-19
2
Pricila Bianca Aidelin
Aruna kyk yg lagi ngebujuk anak deh....
2022-01-16
2
Agnes Supaidah Pradeu
pinter aruna😘😘
2021-11-22
1