“Om, apa nggak terlalu cepat?” Agni ragu.
“Hmm, ok, kalau begitu jagan panggil om lagi!” Om J meminta, dia berdiri dan duduk kembali ke kursinya, memasukkan cincin itu kembali ke saku jasnya.
“Terus?” Agni melebarkan matanya.
“Panggil Jay aja!”
“Yah, nggak bisa dong om, udah terbiasa panggil Om J,” menolak tawaran Om J.
“Pasti bisa, panggil Jay aja ya, wajahku juga tidak tua-tua banget kok!” memegang wajahnya yang brewokan.
“Nggak sih!” Agni bohong.
Menurutnya Jay sudah lumayan tua, dia lebih cocok jadi ayah Agni dibanding pasangan hidupnya. Lagi Agni tidak pernah lagi menaruh hati pada laki-laki sejak ditinggal menikah oleh laki-laki pujaannya.
Flashback on
Adalah Martin, laki-laki pujaan hati Agni. Sejak SMA kelas 12 dia sudah mencintainya dengan setulus hati. Dia mempercayakan semua yang ada padanya untuk Martin.
Hari-hari sepi Agni diisi oleh Martin, dia berkenalan dengan Martin dari Elisa, anak SMA tetangga. Sejak saat itu pula Agni menjadi mengurangi waktu bermain dengan Elisa, sahabatnya.
Setelah lulus SMA, mereka melanjutkan kuliah, di kampus yang sama. Agni rela meninggalkan kampus favoritnya, dan incaran banyak anak SMA yang baru lulus demi Martin, laki-laki yang mampu membuat hari-hari Agni tampaknya lebih indah.
***
“Ma, Pa, aku hamil!” Agni menghadap pada Zora dan Aditya.
Jarang-jarang mereka bisa duduk bertiga, makan bersama di meja makan, namun kabar dari Agni sungguh-sungguh membuat Zora dan Aditya kesusahan menelan makanan yang sudah ada di mulut mereka.
Agni menunggu reaksi Aditya dan Zora. Dia sungguh takut saat itu.
“Aku sudah pernah bilang, jangan bergaul dengan anak itu!” Aditya mengingatkan, sikapnya sangat dingin.
“Kok bisa?” Zora malah meninggikan suaranya. Nadanya yang tinggi seperti hendak menyalahkan Agni.
Agni merasa tidak mendapat simpati dari kedua orang tuanya.
“Maafkan aku, ma, pa!” Agni mulai menangis.
“Gugurkan!” suara Aditya dingin tetapi cukup tegas untuk menyatakan posisinya.
“Ma?” Agni menunggu jawaban dari Zora, dia pura-pura tidak mendengarkan apa kata Aditya. Walau dia cukup syok dengan jawaban Aditya, tetapi dia berusaha untuk setegar mungkin.
Zora melihat Aditya, heran.
“Jangan digugurkan?” Zora melihat pada Agni.
“Oh, kau mau menambah anak haram di rumah ini?” Aditya menaikkan suaranya.
“Tolong, mas, jangan sekarang!” Zora menangis.
Agni bingung, dia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan Aditya dan Zora.
“Siapa anak haram?” Suara Agni bergetar, nanar matanya, melihat ke arah Aditya dan Zora.
“Tidak ada anak haram, nak!” Zora menenangkan Agni, dipeluknya Agni. Sementara Aditya melanjutkan makan malamnya, dia benar-benar dingin pada Agni.
“Anakku bukan anak haram, tidak ada anak haram!” Agni meluapkan emosinya.
“Bukan, bukan hanya anakmu, tapi kau juga anak haram!” Aditya sedingin itu, seolah dia sudah menunggu momen itu, momen menuangkan semua kekesalannya.
“Ma, maksud papa apa ma?” Agni menatap Zora.
“Tidak, kau benar, tidak ada anak haram di dunia ini!” Zora memeluk Agni.
“Kalau begitu, ibunya yang tidak tahu diri!” Aditya berang kemudian meninggalkan ibu dan anak itu di meja makan sedang menangis dan berpelukan.
“Ma, cerita ma!” Agni mendesak Zora untuk menceritakan cerita yang sesungguhnya.
“Tidak!” Zora menolak untuk bercerita, dia tidak mau mengingat peristiwa malang itu pada Agni.
“Ma, aku anak siapa?” Agni terisak, dia tahu sekarang jika dia bukan anak Aditya.
Zora hanya terdiam dan terisak. Agni melepas pelukan Zora, ditatapnya mata Zora lekat-lekat.
“Om Jono?” Agni menebak, dia merasa perlakuan Jono begitu baik padanya, mungkin saja Jonolah bapak biologisnya. Lagi, dia pernah melihat Jono dan Zora begitu dekat, tidak sekali atau dua kali, walau mendapat penyangkalan dari keduanya, Agni tahu akan hal itu. Dan Agni teringat, mengapa Aditya tidak marah ketika dia mengadu padanya tentang hubungan Zora dan Jono.
Zora menggeleng, membuat Agni semakin bingung.
“Jadi aku ini anak siapa ma?” Agni mengeluh, meminta pertanggungjawaban dari Zora, mendesaknya sedemikian rupa.
Zora hanya bisa terisak, dia tidak tahu harus mengatakan apa pada Agni. Dia merasa lebih baik Agni tidak tahu siapa bapak biologisnya. Dia tidak ingin mengingat peristiwa malang itu. Dia mau memendamnya sendiri.
“Kalau begitu, aku pergi dari rumah ini, tidak ada tempat untukku di rumah ini,” Agni memegang pertunya.
***
Karena perkelaihian dengan Zora dan Aditya, kedua orang tuanya yang akhirnya mengungkap posisi Agni yang sebenarnya di rumah itu, dia lari dari rumah tanpa membawa bekal sepeserpun. Dia kesal dengan mamanya, Zora, karena tidak mau menjawab dia itu anak siapa kalau bukan Aditya. Dia kesal dengan Aditya karena tidak menganggapnya ada, tidak pernah, selama ini, hanya kepura-puraan yang dia dapat di rumah itu.
Aditya tampaknya tidak terlalu perduli dengan Agni, toh dia bukan anaknya juga. Hanya Zora dan Jono yang merasa kehilangan, namun sekeras apapun mereka membujuk Agni untuk kembali ke rumah, Agni ngotot tidak mau kembali ke rumah itu.
Dari saat itu, Agni merasa tidak lagi merasa diri berharga, hidupnya sudah hancur sejak dia lahir, itu pendapatnya. Kehadirannya memang diharapkan tetapi bukan dengan cara yang salah. Dia menyalahkan dirinya sendiri.
Martin tahu jika Agni lari dari rumah dan tidak bisa lagi membiayai kuliahnya. Agni sudah tidak mendapat kucuran dana lagi dari orang tuanya yang kaya. Sejak dia tahu hal itu, dia mulai menjaga jarak dengan Agni.
“Sa, sepertinya aku tidak bisa lagi menjalin hubungan dengan Agni!” begitu Martin menyampaikan keinginannya untuk berpisah dengan Agni suatu sore di dalam kontrakan Elisa.
“Kenapa?” Elisa bingung.
“Nggak apa-apa, aku hanya tidak bisa hidup harus menderita dengannya, penderitaanku sudah terlalu berat, ditambah Agni, penderitaanku akan semakin berat!” Martin menunduk, tidak berani menatap Elisa, karena dia tahu jika Elisa pasti akan marah dengannya.
“PLAK!” Elisa menampar wajah Martin. Saat Elisa ingin menamparnya sekali lagi, Martin menangkap tangan Elisa dan keluar dari kontrakan itu.
Saat dia hendak memakai sepatunya, dia melihat Agni yang baru pulang dari pasar, beli bahan masakan untuk makan malam mereka, Agni dan Elisa.
“Jadi, selama ini, lu mau denganku hanya karena harta orang tuaku?” Agni meninggikan suaranya.
Martin kaget, dia benar-benar tidak menyangka akan bertemu Agni di sana. Perasaannya masih sangat sebentar dia di sana, dan tidak ada tanda-tanda jika Agni ada di sana, atau sedang berjalan menuju kontrakan.
“Dan, mengapa tidak menemuiku langsung untuk mengatakan itu semua?” Agni melanjutkan kata-katanya karena Martin tidak menjawab pertanyaannya, pertanyaan yang memang tidak perlu dijawab. Yang dia harapkan adalah sepotong kata maaf dari Martin, dan itu tidak keluar dari mulut Martin.
Selama ini dia telah tertipu dengan ketulusan Martin, dia benar-benar tidak menyangka jika Martin mempunyai motif uang dalam mendekati Agni. Dia heran masih ada manusia yang seperti Martin yang belum punah dari muka bumi ini.
“Martin!” Agni teriak saat melihat Martin berjalan meninggalkannya, tanpa menoleh sedikitpun padanya. Mulutnya bergetar.
“Kau sudah dengar semua, keputusannku tidak akan berubah, apa yang kukatakan, itulah yang terjadi!” Martin berhenti sebentar dan menoleh ke arah Agni yang sedang menahan tangis saat itu.
“Tapi mengapa?” Agni tidak terima diperlakukan sperti itu.
“Alasanku jelas, kau sudah mendengarkannya,” Martin berbalik badan dan berjalan meninggalkan Agni berdiri mematung di tempat.
Air mata Agni deras membasahi pipinya, dia sangat tidak menyangka Martin bisa bersikap seperti pengecut. Elisa mendekati Agni, dia memeluk Agni, dia tidak tahan melihat Agni diperlakukan begitu.
“Jangan menangis, lu nggak pantas menangisi pengecut seperti Martin!” Elisa mengusap rambut panjang Agni yang lembut lagi harum.
“Semuanya sudah kulakukan untuk Martin, Sa!” Agni merengek.
“Anggap sebagai sedekah, lu masih muda, masa depan kita masih panjang, silakan menangis, tapi jangan terlalu lama! Mari masuk!” Elisa menarik tangan Agni. Diambilnya barang belanjaan Agni dari lantai teras lalu mereka menutup pintu, berharap tidak ada tamu malam itu.
Tidak lama setelah itu, Agni dan Elisa mendapati Martin dengan seorang perempuan setengah baya, sedang bergandengan di dalam Mall. Martin menenteng banyak belanjaan. Entah apa yang dikerjaannya sekarang, Elisa mengingatkan Agni untuk tidak pernah lagi menjalin hubungan dengan Martin.
Jangan lupa tinggalkan jejaknya ya kaks, tekan love (favorite) agar dapat notifikasi saat ceritanya di-update. Vote dan beri hadiah akan sangat diapresiasi. Love you all!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Lenni Yulianti
sayang bgt,anak pinter jd gitu
2021-09-04
1
Muliahati Ziliwu
akibat pergaulan yg salah biar gmn jg tetap membawa efek negativ dan agni salah walau sebaik apapun tp lingkungan buruk pasti pengaruh dlm tindakan
2021-05-21
1
Senita Butar Butar
Apa salah Agni thor sehingga hidup nya seperti itu.
2021-04-22
1