Flashback Off
“Agni, kamu bisa pulang sekarang!” Polisi muda yang menangkap Agni di lorong-lorong Jakarta itu dengan gaya dinginnya menatap Agni.
“Pulang?” Agni bertanya, dia tidak percaya dia bisa pulang kali ini.
“Iya, benar, kupingmu belum budek, kamu bisa pulang sekarang? Atau kamu betah di sini?” Polisi itu mengertukan keningnya dan matanya dibuat sipit.
“Eh, tapi siapa yang menjamini saya?” Agni ingin tahu siapa yang telah berbuat baik padanya kali ini.
“Tidak penting, kau bisa pulang pokoknya!” Polisi itu masih dengan gayanya yang dingin.
“Aku perlu tahu dia siapa!” Agni sedikit menaikkan suaranya.
“Dia tidak mau kamu tahu dia siapa!” Polisi itu mengambil ponselnya, sepertinya dia sedang chatting dengan seseorang.
“Tapi kamu kenal kan, orang itu?” Agni masih penasaran.
“Saya tidak kenal, sekarang, pulanglah, pulang ke rumah orang tuamu!” sayu mata polisi itu.
Agni sungguh penasaran, dan dia tahu polisi yang di depannya itu tidak akan menjawab pertanyaannya, dia tahu keras kepalanya polisi ganteng itu.
“Cewek, cowok?” Agni masih ngotot ingin tahu siapa kira-kira yang telah menjamininya.
“Pentingkah?” Polisi itu melotot pada Agni.
“Penting, makanya aku nanya!” Agni menarik tangan polisi itu.
Polisi itu kaget, dia tidak menyangka jika Agni akan berani menarik tangannya.
“Apa-apaan kami ini?” tergagap, polisi itu langsung melihat ke kiri dan ke kanan, kalau-kalau ada yang melihat kedekatan mereka berdua.
“Kenapa? Kamu malu jika rakan-rekanmu tahu kita pernah berteman?” Agni menantang polisi muda itu.
“Bukan begitu Agni!” dilepasnya genggaman tangan Agni dari lengannya.
“Maka, aku mau tahu, siapa yang telah melepaskanku?” Agni menatap mata polisi itu.
Agni tahu keras kepala polisi ganteng itu, dan dia tidak mau menyerah dengan gampang dengan polisi yang kini tengah gugup di depannya.
“Ok, cewek atau cowok?” Agni hanya ingin tahu itu, dia mengalah.
Polisi itu melotot padanya tetapi mulutnya tertutup, dia tidak mau mengeluarkan sedikitpun suara untuk menjawab pertanyaan Agni.
“Pamungkas Wijaya….,” suara Agni semakin tinggi.
Polisi yang bernama Pamungkas itu benar-benar gila dibuat Agni. Dia benar-benar tidak tahu apa yang ada di otak Agni, selalu membuat onar, tidak pernah mengikuti aturan.
“Cowok!” Pamungkas langsung menjauh dari Agni.
“Pamungkas!” Agni meledek polisi gagah itu.
Pamungkas tidak melihat sedikitpun pada Agni, dia meninggalkannya di belakang.
Agni terkekeh melihat tingkah pamungkas.
Agni keluar dari kantor polisi dan langsung menemui Elisa di markas kecil mereka.
“Agni!” Elisa kaget saat melihat Agni memasuki gerbang rumah kontrakan mereka.
“Yah, begitulah!” Agni dengan santainya menjawab Elisa, seolah Elisa tahu apa maksud dari Agni.
“Lu beruntung Ni, ada banyak pria yang suka padamu!” Elisa tertawa, di dalam hatinya ada sedikit rasa iri pada sahabtnya itu.
“Beruntung itu relatif, Sa! Lu tidak bisa patok standar keberuntunganmu dengan standar keberuntungan orang lain, mungkin menurut lu, gw beruntung, tapi bisa jadi menurut gw lu yang lebih beruntung!” Agni mencopot high heels-nya.
“Beruntung apaan?” Elisa protes sambil mengikuti Agni yang kini masuk ke dalam rumah kecil itu.
“Menurut gw, lu lebih beruntung!” Agni meletakkan tas kecilnya di atas meja rias mereka.
“Dari sisi mana?” Elisa belum mengerti perspektif Agni.
“Pantatmu lebih montok, hahaha!” Agni ngakak.
“Sialan lu!” Elisa sewot.
“Ok, begini, lu bisa silat, larimu kencang, walau agak tomboy, tapi tidak sedikit laki-laki yang suka denganmu, kok!”
“Apaan?!” Elisa belum terima dengan fakta-fakta yang dibeberkan Agni akan dirinya.
“You’re perfect, girl, be thankful!” Agni menasihati Elisa.
“Ah tetap aja, lu lebih centik dari gw!”
“Trus, lu cemburu ke gw?” Agni menatap wajah Elisa. Dia heran dengan perubahan Elisa akhir-akhir ini, biasanya dia jauh lebih tegar dibandingkan dengan dirinya, selama ini dia yang menasihati, sekarang dia menjadi Elisa yang berbeda, kurang percaya diri.
“Ya, nggak sih!” Elisa mengelak dibilang cemburu.
“Trus?” Agni mencecar Elisa.
“Udah ah, siap-siap, Om J, pengen ketemu denganmu sekarang, pukul 7 di tempat biasa, dia nelpon gw tadi, hp lu nggak bisa dihubungi!” Elisa mengingatkan Agni.
“Eh iya,” Agni langsung bangkit berdiri dan mengambil ponselnya dan mengisi dayanya.
Agni duduk kembali dan melihat wajah Elisa lekat-lekat.
“Lu suka dengan Om J ya?” Agni menyelidiki.
“Nggak ah, ngaco lu!” Elisa mengelak.
“Bukan karena Om J ingin dengan gw maka lu jadi nggak pedean gini kan?” Agni masih menyelidik.
“Bukan laaah! Apaan sih?” Elisa mengelak, dia meninggalkan Agni di sana.
Agni tersenyum melihat tingkah Elisa yang uring-uringan.
***
“Om, yang menjaminiku tadi ya?” Agni bertanya pada laki-laki yang mereka kenal dengan Om J.
“Menjamini apa?” Om J bertanya balik, dia bingung dengan maksud Agni.
“Oh, bukan, ya? Ya sudah lupakan saja, om!” Agni menolak untuk bercerita lebih lanjut tentang jaminan itu.
“Cerita dong!” Om J melihat wajah cantik Agni, senyumnya meminta Agni untuk bercerita.
“Nggak deh, om. Nggak usah, kita bicara yang lain saja!” Agni menolak, dengan senyuman yang paling manis.
“Yah, om nggak bisa tahu ya?” Om J masih ingin mendengar cerita Agni.
“Nggak usah deh, om, nggak seru ceritanya, tapi gw punya cerita yang lebih seru!”
“Ok, cerita yang seru itu saja!” Om J antusias, ingin mendengarkan Agni bercerita.
“Begini om, ada teman saya, suka dengan seorang laki-laki, tetapi laki-laki itu suka dengan perempuan yang lain,” Agni mulai bercerita.
“Denganmu?” Om J menebak.
“Hahaha, om punya indra ke-tujuh nih!” Agni tertawa.
“Bener ya? Suka ke kamu?” Om J antusias, dia bisa menangkap isi cerita utuh walau Agni tidak menyatakan itu.
“Iya bener, om!”
“Trus gimana, lu terima cintanya?” Om J bertanya lagi.
“Terimalah, om, pasti, tapi laki-laki itu belum mengungkapkannya!” Agni berbisik, seolah tidak mau jika pengunjung café yang lain mendengarkan cerita itu.
“Wah, gw tahu nih arahnya!” Om J main mata pada Agni.
“Hahaha! Agni ngakak, dia benar-benar kena kali ini, Om J tahu semuanya, semua cerita yang akan disampaikannya, walau secara tidak langsung.
“Terima kasih, sayang, sudah mau menerima om apa adanya!” Om J memegang tangan Agni, hangat.
Agni tersenyum, dia memandang lekat-lekat mata Om J.
Om J melepaskan tangannya, dia merogoh saku dalam jasnya. Dia mengambil satu kotak kecil dari sana, berwarna biru dongker. Dia berlutut di sana, di hadapan Agni.
“Maukah menikah denganku, sayang!” Om J membuka kotak kecil itu.
Agni melihat cincin berlian disodorkan padanya. Dia bingun antara menjawab iya atau tidak, dia mengingat Elisa, sahabtnya di kontrakan.
“Jangan-jangan Elisa tadi ikut beli cincin ini dengan Om J!” Agni menduga-duga di dalam hatinya. Agni bisa membayangkan wajah Elisa nanti setelah mendengar bahwa dirinya menerima lamaran Om J.
Jangan lupa vote dan beri hadiah, like dan komentar sangat diapresisi🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments