Demikian Agni semakin sering keluar rumah, sesekali dia bolos dari sekolah setiap ada pekerjaan rumah yang tidak diselesaikannya. Hal ini sering terjadi setiap dia dan teman-temannya yang lain hang out sampai lupa waktu.
Prestasi Agni semakin turun. Dia tidak lagi menjadi juara umum. Semua guru-guru sangat menyayangkan hal itu.
“Agni, pulang sekolah, tolong menghadap saya dulu ke kantor guru!” Pak Regar* memberi perintah pada Agni seusai jam pelajaran matematika yang diampunya.
Agni diam saja, dia tahu apa yang akan dikatakan Pak Regar padanya.
“Agni, dengar?!” Pak Regar meyakinkan dirinya bahwa Agni mendengar apa yang barusan diperintahkannya.
“Dengar Pak!” Agni mengangguk.
“Baik, kalau begitu! Selamat pagi semuanya!”
“Pagi, Paaaak!” Serentak peserta didik menjawab sapaan Pak Regar, ada beberapa yang semangat sekali menjawab, mereka akhirnya lega saat Pak Regar akan segera beranjak dari kelas itu.
Pak Regar memungut buku-buku yang ada di atas meja dan memperbaiki sedikit kaca mata yang menempel longgar di sana, kemudian meninggalkan ruangan.
Pak Regar memandangi Agni yang masih menunduk, dia tahu Agni sekarang sedang memikirkan apa yang akan dikatakannya padanya di Kantor Guru nanti. Agni tidak berani memandang Pak Regar sedikit pun. Di dalam hati dia menyesal telah mengecewakan guru kesayangannya itu.
Pak Regar selalu percaya pada kemampuan dan kemandirian Agni dan kini dia telah menghancurkan semua kepercayaan itu. Dia tidak lagi menjadi siswi yang bisa dibanggakan, prestasinya sudah turun, sungguh tidak bisa dibanggakan.
Sebelum guru yang akan mengajar masuk ke kelas lagi, Elisa mendekatkan diri pada Agni dan berbisik: “Jangan merasa bersalah terlalu dalam, prestasi bisa dikejar lagi, tenangkan pikiran dulu, hadapi dengan enteng, jangan dibuat jadi beban!” Elisa mengelus pundak Agni.
Agni tidak menjawab Elisa, dia benar-benar tidak bisa menerima saran dari Elisa, dia masih saja memikirkan jawaban apa yang akan dia berikan pada Pak Regar atas semua yang terjadi.
Guru Bahasa Indonesia masuk, pelajaran dimulai. Guru menerangkan kerangka karangan dan bagaimana membuat kerangka karangan untuk mempermudah penulisan novel.
Agni yang masih kepikiran dengan apa yang akan dihadapinya sebentar lagi tidak konsentrasi dengan semua yang sedang diterangkan guru di depan. Pikirannya benar-benar kacau sekarang.
***
“Silakan masuk!” Pak Regar membuka kaca matanya, dia melihat lekat-lekat pada Agni.
Agni mendekat padanya, dia membisu.
“Silakan duduk!” Pak Regar menyuruh Agni duduk di depannya.
“Terima kasih, Pak!” Agni masih tidak berani menatap mata Pak Regar.
“Baik, sebulan lagi, ada olimpiade matematika, bapak harap kamu bisa mengharumkan nama sekolah kita lagi!” Pak Regar menyerahkan formulir pendaftaran pada Agni.
“Tapi, Pak!” Agni tidak menyangka akan apa yang telah dikatakan Pak Regar padanya.
“Tapi gimana? Kamu tidak bisa?” Pak Regar menatap mata Agni.
“Bukan, Pak, bukannya…”
“Bukan, bapak mau kamu yang akan mewakili sekolah kita. Aku tahu apa yang ada di pikiran kamu dari tadi, tapi bapak masih percaya kok, kamu pasti bisa!”
“Tapi, pak, saya…”
“Masih ada waktu, silakan belajar lebih giat lagi, dan tidak ada kata tapi lagi!” Pak Regar memukul-mukul kertas formulir yang ada di hadapan Agni.
“Pak, maafkan Agni!” Agni setengah berbisik.
“Kenapa? Oh, karena kamu tidak juara lagi? Hmm, tidak apa-apa Agni, hidup ini bagai roda pedati, dan tidak ada yang tahu akan kejadian di kemudian hari, aku juga tidak mau bertanya apa yang telah kamu kerjakan selama ini sehingga prestasimu bisa turun begini!” Pak Regar mulai mengungkapkan kekesalannya, namun dia menjaga bahasa yang bisa memotivasi Agni lagi, dia tidak mau jika siswi kesayangannya itu lari dari jalur yang sudah dia tata selama ini.
Agni diam mendengarkan nasihat Pak Regar, dia sudah siap dari tadi mendengarkan itu, dan dia sedikit lega dengan kata-kata Pak Regar.
“Agni, kamu sudah terlalu dewasa untuk bisa tahu mana yang baik dan mana yang tidak, Bapak tidak akan mengajarimu hal itu lagi, apa yang ada padamu sudah seharusnya bisa menerima kenyataan hidup ini. Kalau kamu merasa butuh petunjuk, Bapak akan selalu ada untukmu!” Pak Regar tampak sungguh-sungguh mengucapkan semua itu.
“Terima kasih, pak!” Agni menatap mata Pak Regar yang kini tidak dihalangi kaca mata longgarnya.
“Sekarang kamu bisa pulang!” Pak Regar menyerahkan kertas formulir yang sedari tadi dipandangi saja oleh Agni itu pada Agni sendiri.
Agni menerima formulir itu dengan ragu, dia tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi di ruang guru itu.
“Masih ragu?”
“Eh, tidak pak!” Agni langsung menerima formulir itu dan memasukkannya ke dalam tasnya.
“Jangan lupa belajar ya, aku akan kirim contoh-contoh soal yang perlu kamu kerjakan melalui e-mail!” Pak Regar mengingatkan Agni.
“Baik, Pak!”
“Ok, kamu sudah bisa pulang sekarang!”
“Iya, Pak, terima kasih!” Agni keluar dari ruangan itu dengan hati yang lega dan dengan kebingungan yang belum hilang sepenuhnya. Dia bagaikan mimpi di siang bolong. Bukannya dimarahi habis-habisan malah dia masih dipercaya mewakili sekolah untuk mengikuti olimpiade matematika.
Elisa sangat khawatir dengan apa yang dihadapi Agni di dalam ruangan guru itu. Dia menunggu di luar dengan hati yang kacau. Dia turut merasa bersalah karena Agni harus menghadapi Pak Regar karena pengaruh buruk darinya, hingga Agni tidak lagi juara umum.
Elisa melihat Agni keluar dari ruang guru dengna wajah yang murung. Dia langsung menghampiri Agni dan memeluk sahabtnya itu.
“Maafkan gw Ni, gara-gara gw lu jadi begini!” Dia memeluk Agni sekencang-kencangnya.
“Apaan sih? Lepas ih!” Agni meronta.
“Lu marah ya?” Elisa menatap sebentar mata Agni kemudian kembali memeluknya dengan erat.
“Ihhh, lebay deh!” Agni melepaskan pelukannya dari Elisa.
Elisa semakin merasa bersalah. Dia berjalan di belakang Agni yang mulai berjalan menuju gerbang sekolah.
“Maafkan gw dong, Ni!” Elisa menarik tangan Agni.
Agni diam-diam menarik satu kertas dari tasnya dan menunjukkannya pada Elisa, masih dengan wajah murung.
“Apa nih? Surat teguran, atau undangan untuk orang tua?” Elisa semakin merasa bersalah, dia meraih kertas itu dan memeluk Agni lagi, kali ini lebih erat.
“Ih, lepas deh!” Agni melepaskan pelukan Elisa. “Baca dulu!” Agni melotot pada Elisa.
Elisa membaca kertas itu dan seketika berjingkrak-jingkrang sambil teriak mengelilingi Agni, anak-anak yang belum pulang melihat tingkah Elisa dengan heran. Ada beberapa otak yang polos menyangkanya sedang kesurupan roh jahat, roh jahat yang otaknya sudah miring 111 derajat.
“Elisa, diam nggak?” Agni menangkap tangan Elisa yang memegang formulir itu.
Elisa diam dan memeluk lagi Agni, kini pelukannya bukan lagi pelukan menyesal tetapi pelukan bangga dan ucapan selamat pada Agni yang terpilih lagi mewakili sekolah mengikuti olimpiade matematika.
Agni tidak terlalu peduli dengan pelukan itu, dia merampas kertas itu dari tangan Elisa yang masih lasak.
“Krek!” singkat padat jelas, kertas itu koyak di tangan mereka berdua. Setengah di tangan Agni dan setengahnya lagi di tangan Elisa.
“Yaaah!” mereka berdua kompak berteriak.
“Maaf ya, Ni!” Elisa kini merasa bersalah lagi.
“Nggak, aku yang salah, aku tidak membiarkan sahabatku yang nggak ada malunya ini merasakan kegembiraanku!” Agni meminta potongan kertas pada Elisa.
“Yah, gimana dong?!” Elisa menatap Agni yang kini memasukkan 2 potongan kertas itu ke dalam tasnya.
“Nggak usah lebay, tinggal difotokopi, kelar! Yuk ah, gw laper!” Agni menarik tangan Elisa keluar dari sekolah.
*Regar adalah singatan dari Siregar yang adalah salah satu Marga pada suku Batak.
Tinggalkan jejak ya kaks, like, komen dan vote, bisa bgt juga ngasih kopi, biar melek dulu awak yang nulis ini. Danke ❤
Jangan lupa tekan favorite, agar dapat notif kalau novelnya sedang up! 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
^°DandeliOn
SANARA Mampir bawa boom like ,comen & rate
ditunggu feedbacnya kak.
semoga bisa sling mendukung.😃🤗🤗
2021-04-19
0
satu2tiga
Lanjooooot
2021-03-16
2
Tami
Kukasih kopi lagi bg, biar semangat upnya😊
2021-03-16
1