“Hei, lu nggak pernah cerita kalau pernah ngajar di sana!” Agni menggantungkan tangannya du bahu Elisa.
“Apa gw harus lapor semua apa-apa yang gw lakukan pada lu?” Elisa melotot pada Agni.
“Ya bukan, tapi, gw jadi seperti bukan sahabat lu karena tidak tahu hal besar yang lu lakukan pada anak-anak itu,” Agni mendengus.
“Hmm, gw merasa itu tidak seberapa, not a big deal!” Elisa menjawab dengan enteng. “Walau lu nggak tahu ini, lu masih tetap jadi sahabat gw kok!” Elisa tersenyum, ditatapnya wajah sahabatnya itu, penuh makna.
“Apaan? Gw menjadi seperti tidak berguna sama sekali sebagai manusia, belum pernah gw memberi seperti apa yang lu beri pada anak-anak tadi,” Agni membalas tatapan Elisa.
Agni benar-benar kagum pada Elisa. Siang itu, dia merasa kalau dia seperti baru mengenal Elisa. Entah apa lagi yang akan dia tahu soal Elisa selain dedikasinya pada perkembangan anak-anak di lorong itu.
“Kita masing-masing bisa berkontribusi kok dengan cara kita masing-masing. Mungkin lu nggak sadar jika dengan belajar dengan rajin dan menjadi juara bisa menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa, Indonesia kita, kelak, jangan berkecil hati, sob!” Elisa mengingatkan Agni.
“Iya, tapi…”
“Yang penting kita melakukan apa saja yang baik dan benar, kita tidak pernah tahu bilamana kita telah menginspirasi orang lain, lu tahu, gw terinspirasi pada lu, di tengah pergulatan lu mendapat kasih saying dari kedua orang tua, lu bisa menjalankan hari-hari lu dengan sangat produktif, dan lu bisa jadi sang juara terus, belum ada yang bisa mengalahkan prestasi lu di sekolah,” Elisa bijak.
Agni semakin kagum pada sahabatnya itu, entah kapan Elisa tahu kata-kata bijak itu.
“Tapi, bukan jadi cemburu karena gw selalu juara kan?” mata Agni menggoda.
“Dasar, udah ah, kita kemana nih? Ada usul?” Elisa menatap Agni, tatapan yang diketahui Agni, tatapan nakal.
“Jangan pura-pura nanya usul, langsung kasih tahu saja, kita ke mana nih?” Agni tidak mau meladeni basa-basi Elisa.
“Ok, kita ketemu teman-teman gw dulu, kalau tidak keberatan, gw tidak memaksa, kalau lu mau pulang, nggak apa-apa, silakan saja!” Elisa masih memasang matanya yang menggoda.
“Hmm, mulai lagi, udah naik apa nih ke sana? Atau jalan kaki saja?” Agni lagi-lagi tidak mau berbasa-basi, toh dia juga tidak ingin pulang ke rumah secepat itu, dia memang sudah berencana akan pulang lebih lama ke rumah, hanya Jono yang ada di rumah, ibu dan bapaknya tidak ada di sana sekarang.
***
“Hai, bro!” Elisa teriak pada sekumpulan anak muda yang sedang duduk melingkar di taman.
“Hoi, Elisa, dari mana saja kau?” seorang yang paling pendek, berlogat dan keriting menyapa Elisa.
“Dengan siapa tuh?” anak yang lebih jangkung dan tampak songong menunjuk pada Agni.
“Hai semua, kenalkan Agni, sahabat gw!” Elisa memperkenalkan Agni pada teman-temannya.
Agni menyalami mereka satu per satu, tentu dengan senyum yang dibuat-buat. Di dalam hatinya dia masih bertanya-tanya siapa gerangan yang sedang disalaminya. Tidak hanya itu, dia juga semakin sadar jika dia benar-benar tidak kenal dengan baik dengan Elisa, yang dia sebut sahabat.
“Sahabat seperti apa ini?” sungut Agni di dalam hatinya, dia hampir menggeleng-gelengkan kepalanya, tapi apa yang akan mereka katakana padanya, dia tidak mau dipandang aneh oleh teman-teman Elisa.
“Jadi, sedang apa sekarang?” Elisa bertanya pada mereka saat Agni sudah selesai menyalami teman-teman barunya itu.
“Biasa, kita sedang melakukan improvisasi,” pemuda berlogat itu menjawab.
“Oh, bagus, kami datang pada waktu yang tepat artinya,” Elisa memberi kode agar teman-temannya membesarkan lingkaran agar dia dan Agni bisa bergabung dalam lingkaran mereka.
Mereka duduk kembali setelah lingkaran sudah cukup besar bagi Elisa dan Agni bergabung.
“Lanjut!” Elisa melihat ke arah teman-temannya. Dia tidak mau jika kedatangan mereka membuat kegaitan improvisasi mereka berhenti, justru dia ingin memperlihatkan pada Agni apa yang sering dilakukannya dengan anak-anak muda itu.
“Ok …” sedikit berteriak, pemuda berlogat itu menepuk tangannya agar menarik perhatian teman-temannya yang lain. “… kita lanjut ya, giliran Brian, silakan lanjtukan improvisasinya,” dilanjutnya kata-katanya, menyuruh pria yang jangkung tadi melanjutkan improvisasinya.
“Baik…” Brian melanjutkan. “Saat aku semakin memikirkan mengapa aku dilahrikan di dunia ini, semakin aku mengerti bahwa kita tidak hidup untuk diri kita sendiri, kita ada adalah untuk membantu orang lain, memberikan apa yang ada pada diri kita. Maka untuk itu, aku perlu menabah ilmu setiap harinya, memeperkaya diri, tidak hanya dengan harta, kalau punya harta banyak lebih baik, hehehe, agar mampu memberikan pada orang lain yang membutuhkan. Itulah hasil permenunganku, demi menjawab pertanyaan sesederhana, eh, bukan, sama sekali tidak sederhana, pertanyaan apa hakikatku sebagai manusia, mengapa aku dilahirkan di dunia ini?” Brian menyelesaikan improvisasinya.
Sesaat setelah Brian menyelesaikan improvisasinya, terdengar tepuk tangan yang riuh dari teman-temannya.
“Wah, akhirnya Brian akan tobat, hahaha!” seorang yang keriting terkekeh, dia seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya, mengingat kelakuan Brians selama ini. Juga dia terkenal dengan orang yang temperamental.
Yang lain mengikuti ketawa pria berambut keriting itu. Brian mengacungkan kepalan tangannya ke arah pria keriting itu.
“Baik, siapa lagi yang ingin menyampaikan improvisasinya?” pria berlogat itu kembali memimpin jalannya acara.
“Agni!” Elisa teriak, dia pura-pura tidak melihat Agni, pura-pura bego.
Agni menyikut pinggang Elisa, dia keberatan karena Elisa terlalu semena-mena padanya. Dia merasa terlalu lembek pada Elisa. Selalu begitu, tapi entah mengapa, tidak ada sakit hati, hanya kesal, sedikit kesal dan kekesalan itu harus selalu diekspresikannya pada Elisa agar dia tahu jika dia sedikit keberatan.
Elisa memang badung, dia tidak sedikitpun perduli dengan apa yang dikesalkan Agni. Dia merasa apa yang dibuatnya itu masih di batas wajar.
“Baik, Agni, silakan!” pria berlogat itu mempersilakan Agni menyampaikan improvisasinya.
“Mau bilang apa nih?” Agni masih bingung apa maksud dari semua acara itu.
“Nggak usah pura-pura bego deh, lu itu orang paling pintar di sekolah, anyway, jadi, silakan, time is yours!” Elisa menahan senyumannya.
Agni kembali menyikut pinggang Elisa, kali ini lebih kuat.
“AW, apaan sih?” Elisa teriak, dia tersenyum menahan tawanya. “Udah, langsung aja!” bisiknya pada Agni.
“Ngomong apa nih?” Agni kembali berbisik.
“Ngomong apa aja boleh, nggak usah belagak begok ya!” Elisa menyikut Agni, menyuruhnya agar cepat-cepat menyampaikan apa yang harus disampaikan.
“Ih, elu ini, ada-ada aja deh!” Agni protes, matanya melotot.
“Ayolah, lu bisa kok, yok bisa yok!” Elisa menyipitkan matanya pada Agni.
Agni mendengus, dia berpikir, apa yang hendak disampaikannya, dia memiliki banyak materi, tetapi tidak tahu harus mengeluarkan yang mana satu.
Tinggalkan jejak ya kaks, like, komen dan vote, bisa bgt juga ngasih kopi, biar melek dulu awak yang nulis ini. Danke ❤
Jangan lupa tekan favorite, agar dapat notif kalau novelnya sedang up! 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Ama
lanjut
2021-03-14
2
Rossifumi Arga
lanjut agni,,,,semoga persahabtan mu dg elisa gx ad gangguan 😄
2021-03-13
2
Dwi Nurhayati
lanjuutt.. Agni 😍😍😍
2021-03-13
2