"Mas Danu, terima kasih banyak untuk semua informasinya. Besok pagi, saya akan panggil tukang gambar untuk menggambar wajah orang bernama Bima itu. Sekarang, Mas Danu boleh tinggal di sini. Saya harus pulang, tapi beberapa petugas akan tetap bertugas di sini. Mas Danu tidak khawatir, saya akan melindungi Mas Danu dari orang-orang itu."
Bara bangkit dari kursinya dan hendak berpamitan pulang ke rumah.
"Baik Mas. Terima kasih banyak." Danu mengucapkan terima kasih pada Bara.
Bara pergi dari ruangan itu, menyisakan Danu sendiri di dalamnya. Malam semakin larut, tubuh tegap Bara sudah lelah. Ia segera menyimpan hasil rekaman itu baik-baik dan pulang. Mobilnya melaju lesat ke rumahnya yang letaknya tak terlalu jauh dari kantor itu.
Hari berganti, Bara terbangun dari tidurnya kala kilau sinar matahari menembus jendela kamarnya dan jatuh tepat di wajahnya.
"Bu, Bara berangkat!" seru Bara pada Ibunya yang sedang sibuk di dapur.
Bara hidup berdua dengan ibunya. Hanya ibunya yang dia punya saat ini.
"Makan dulu Bara!" seru Ibunya.
"Nggak Bu! Ada banyak kerjaan pagi ini, nanti Bara makan di kantor aja!" Bara repot mengikat tali sepatunya.
"Ya sudah! Hati-hati!" seru Ibunya lagi.
Bara dan mobilnya melesat cepat keluar dari pekarangan rumah dan langsung menuju ke kantor. Sesuai rencana, ia sudah memanggil orang untuk menggambarkan wajah yang dilihat Danu. Tapi hari ini, dia tidak akan mengurusi hal itu. Hari ini, ia ingin lihat perkembangan pemeriksaan barang bukti, yaitu motor Putri.
"Selamat pagi Pak!" seru seorang petugas yang berada di tempat pemeriksaan.
"Pagi. Bagaimana pemeriksaannya? Apa sudah ada perkembangan?" tanya Bara.
"Iya Pak. Kami sudah temukan beberapa sidik jari. Kemarin kami juga sempat temukan bercak darah. Semua sudah kami ambil dan sedang dalam proses pengidentifikasian." Petugas itu menjelaskan semuanya.
"Bagus. Saya tunggu hasilnya secepat mungkin."
Bara berjalan meninggalkan tempat pemeriksaan tiu dan kembali ke ruangannya. Di sana, Danu masih sibuk menyebutkan ciri-ciri wajah pria yang dilihatnya. Sekilas, Bara melihat sketsa gambar itu. Ia merasa mengenali wajah itu.
Karena penasaran, ia melihat lagi gambar itu. Diperhatikannya dengan baik setiap detail gambar itu. Dan ia semakin yakin kalau ia pernah melihat wajah itu, tapi ia tidak tahu dimana ia melihatnya.
"Ini Pak, gambar wajah tersangka itu." Pelukis wajah itu menunjukkan hasil gambarnya pada Bara.
Bara masih memperhatikan gambar itu dan mencoba mengingat dimana ia pernah melihat wajah itu.
"Mas Danu, apa benar seperti ini wajah orangnya?" tanya Bara seraya menunjukkan gambar itu pada Danu.
"Iya Mas! Benar sekali! Wajahnya persis seperti itu.
"Hmm... Saya seperti pernah melihat wajah ini. Fajar!" seru Bara memanggil tangan kanan kepercayaannya itu.
"Siap Pak!" seru Fajar yang baru saja masuk ke ruangan itu.
"Fajar, coba kamu lihat gambar ini. Apa kita pernah punya kasus dengan orang ini?" tanya Bara penasaran.
"Ehmm..." Fajar berpikir.
Sedang Fajar berpikir lama sekali, Bara juga sedang memcari jawaban dari pertanyaannya sendiri.
"Saya tidak ingat jelas Pak. Tapi saya sepertinya pernah melihat orang ini," ucap Fajar.
"Ya, saya juga begitu. Saya mengenali orang ini tapi siapa?" gumam Bara.
Ketika Bara dan Fajar sedang berpikir dan mecoba mengingat kembali siapa orang yang ada dalam gambar itu, di luar Bapak dan Ibu Putri datang dan menemui Pak Yunus.
"Permisi Pak. Bapak dan Ibu Putri mau bicara." Pak Yunus masuk ke ruangan Bara.
"Suruh masuk saja Pak. Ini sekalian ada Danu juga. Biar semua jelas." Bara menyuruh Pak Yunus memanggil kedua orang tua Putri untuk ikut masuk.
"Mas, tugas Mas sudah selesai. Masnya boleh pulang." Bara mempersilahkan pelukis wajah tadi untuk undur diri dari tempat itu karena memang tugasnya sudah selesai.
"Baik Pak Bos. Saya permisi dulu. Oh iya, saya baru ingat. Saya pernah lihat orang yang saya gambar itu. Kalau tidak salah, dia itu kepala preman di daerah sini. Dia punya kakak, kakaknya itu mafia berbahaya yang sekarang mau jadi politisi."
Ternyata pelukis ini punya keterangan yang cukup lengkap juga. Entah dari mana ia mengetahui semua itu. Tapi Bara memang sudah sering memanggilnya untuk membantu pada kasus-kasus semacam ini.
"Oke, terima kasih Mas." Bara mengucapkan terima kasih.
Setelah itu, pelukis itu pergi dari kantor. Di dalam ruangan Bara sekarang penuh orang yang berkaitan dengan kasus Putri. Ada Bara dan Fajar, Bapak dan Ibu Putri, dan Danu, saksi mata kejadian itu.
Bara dan Danu menceritakan semua kejadian yang terjadi. Ibu Putri menangis tersedu-sedu mendengar anak perempuannya masih berada di tangan orang-orang jahat itu.
"Ibu tenanglah. Saya akan berusaha mencari Putri. Putri adalah adik saya, saya akan berusaha sekuat tenaga saya untuk mencarinya." Bara mencoba menenangkan Ibu itu.
"Sudah Bu, sudah. Mas Bara, kalau Mas ada kabar tolong beritahu kami secepatnya. Perkembangan sekecil apapun itu. Saya pamit pulang dulu." Bapak memeluk Ibu dan hendak membawanya pulang.
"Baik Pak. Akan saya usahakan secepat mungkin."
Bapak itu membawa istrinya pulang. Melihat dan mendengar isak tangis Ibu itu, Bara tak kuasa menahan rasa pedihnya. Sekuat-kuatnya seorang Bara, tangis seorang Ibu dan derita orang-orang kecil akan membuatnya lemah.
Air mata sudah hampir memenuhi matanya. Tapi demi mempertahankan wibawanya dan demi tenangnya orang tua Putri, Bara sekuat tenaga menahan air mata itu supaya tak tumpah begitu saja.
Tapi belum sampai Bapak dan Ibu itu keluar dari ruangan Bara, telepon Bapak itu berbunyi.
"Mas Bara, nomor tidak dikenal." Bapak itu menunjukkan nomor panggilan yang meneleponnya.
"Angkat saja Pak. Tapi speakernya dinyalakan." Bara mendekat ke arah Bapak itu.
Semua orang hening dan mendengarkan telepon itu.
"Halo?" ucap Bapak seketika mengangkat panggilan telepon itu.
"Bapak! Tolong Pak! Bapak!" teriak seorang perempuan lirih.
"Putri?! Nak?! Kamu dimana Nak? Putri!" seru Bapak panik mendengar suara Putri yang terdengar sedang kesakitan.
"Hey, dengar. Kalau kamu mau anakmu ini kembali hidup-hidup, bawakan kami uang. 50 juta. Atau kirim polisi yang bekerjasama dengan kalian, Bara sialan itu. Kirim dia kemari. Sampai nanti sore, di gudang tua di Jalan Melati, kalau polisi itu tidak datang atau tidak ada uang untuk kami, gadis cantik ini akan kami kembalikan tanpa nyawa."
Tutt tutt tutt
Telepon terputus.
"Putri!" teriak Ibu histeris. Tubuh jatuh terkulai di pelukan Bapak.
Peristiwa ini menjadi pukulan keras untuk Ibu. Pun juga untuk Bara. Apa urusannya dengan orang-orang ini? Dia bahkan tidak mengenal siapa mereka, mengapa ia harus berurusan dengan mereka?
"Bapak dan Ibu tenang saja. Saya adalah kakaknya Putri. Sudah kewajiban saya untuk membawa Putri kembali. Saya berjanji kalau Putri akan kembali, dengan atau tanpa saya."
Bara berjanji di depan semua orang yang ada di sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments