Brumm brumm bruuummm
Ayah Nina dan sepeda motornya sampai di sebuah kedai roti. Sepertinya kedai itu adalah miliknya, karena nama kedai itu Kedai Nina.
Diparkirkannya motor itu di depan kedai. Lalu bergegas membuka pintu kedai dan mempersiapkan segala keperluan untuk berjualan hari ini.
"Lukas! Sudah datang kau rupanya!" sapa seorang pria pada Ayah Nina yang ternyata bernama Lukas.
"Pak Yunus. Iya Pak, baru dateng kok." Lukas menyapa balik sapaan Pak Yunus.
Pak Yunus itu adalah salah satu pekerja di kedai itu yang seharusnya datang lebih awal daripada Lukas. Tapi hari ini, entah kenapa dia datang terlambat.
"Asshhh.... Panas.." keluh Lukas yang kepanasan saat memegang roti yang baru ia keluarkan dari oven.
"Aishh.... Lukas, Lukas. Buat apa kau kerja begini? Sudah enak-enak kau dulu. Apa tak ada niatmu untuk kembali ke sana?" tanya Pak Yunus yang hendak memulai untuk membuat adonan roti di dapur belakang kedai.
"Halah Pak. Ini aja udah cukup kok. Sekarang juga sudah ada Nina. Aku masih harus urus dia Pak. Nggak mau aku, balik lagi ke sana," ucap Lukas seraya mencomot kue kering yang ada di etalase depan kedainya.
"Kalau kau kembali kesana, Kas. Kau bisa naik pangkat. Kerjamu tak perlu susah kali macam ini." Pak Yunus terus mengatakan pada Lukas supaya ia kembali pada pekerjaannya yang dulu.
"Ah, sudahlah Pak. Aku sudah nyaman di sini. Lagipula aku juga udah janji sama Bening untuk nggak balik lagi ke sana dan jaga Nina. Tempat dan kondisi ini udah paling aman buat Nina. Jadi mau apa lagi aku ke sana." Lukas masih kuat dengan pendapatnya sendiri.
"Yah, kalau sudah kau bawa nama istrimu itu, tak bisa lagi aku bicara. Aku pun udah menganggapnya seperti anakku sendiri." Pak Yunus mengakhiri pembicaraan itu, karena Lukas sudah membawa nama istrinya.
Bening adalah nama istri Lukas. Dia juga ibunya Nina. Cinta pertama dan terakhir Lukas. Tapi takdir seakan tak ingin melihat mereka bahagia. Kebahagiaan itu direnggut begitu saja, bahkan ketika Nina belum lama merasakan kehadiran ibunya.
Klinting
Bel yang ada di atas pintu kedai berbunyi, itu artinya ada seseorang yang datang.
"Silahkan! Mau beli apa?" tanya Lukas tanpa melihat siapa yang datang.
"Ayah!" teriak seorang anak.
Ternyata itu adalah Nina. Anak itu datang bersama seorang perempuan.
"Pagi Pak!" sapa perempuan itu.
"Pagi!" jawab Lukas. "Kamu kok pagi banget pulangnya? Kenapa Sayang?" tanya Lukas pada Nina. Ia bingung, perasaan baru saja ia mengantar anak ini ke sekolah, kenapa sudah di sini sekarang?
"Iya Yah. Ada pemadaman listrik mendadak di sekolah. Katanya sampe sore, jadi disuruh pulang deh," ucap Nina polos.
"Opung Yunus!" seru Nina berlari ke arah Pak Yunus yang sudah ia anggap seperti kakeknya sendiri.
"Halo, Nina!" Pak Yunus membawa Nina masuk ke dapur belakang. Tersisa Lukas dan perempuang yang mengantar Nina tadi, di kedai.
"Maaf Pak. Sekolah tidak memberi tahu, karena pemadamannya juga mendadak. Dan memang sampai sore. Kami kasihan kalau anak-anak harus belajar gelap-gelapan." Perempuan yang mengantar Nina memulai pembicaraan dengan Lukas.
"Oh gitu. Iya, nggak apa-apa. Kalau boleh tahu, Ibu ini siapa?" tanya Lukas.
"Saya Shinta. Saya gurunya Nina." Perempuan itu menyodorkan tangannya mengajak Lukas berjabat tangan. Ternyata nama guru itu Shinta.
"Saya Lukas," balas Lukas.
"Baik Pak Lukas. Kalau begitu saya pamit pulang dulu. Saya masih ada urusan yang lain," ucap guru itu pamit.
"Oh iya Bu. Sekali lagi terima kasih banyak sudah mau ngantar anak saya." "Baik Pak, mari." "Iya mari silahkan Bu."
Guru itu pergi meninggalkan kedai milik Lukas. Lukas masuk kembali ke kedai. Nina dan Pak Yunus sedang asyik di dapur belakang. Entah apa yang dia lakukan di sana.
Lukas sibuk menata roti di etalase kedai. Hari semakin siang, para pembeli mulai berdatangan. Beberapa memang sudah langganan bahkan sudah menganggap Lukas sebagai teman.
Ketika hari menjelang sore, guru itu datang lagi ke kedai. Ia datang dengan pakaian yang jauh lebih santai. Dan itu membuatnya tampak lebih cantik.
"Sore Bu Shinta!" sapa Lukas.
"Sore Pak! Saya mau jemput Nina. Tadi saya sudah janji untuk mengajaknya ke pasar. Apa boleh saya bawa Nina?" tanya Shinta.
"Oh gitu. Boleh Bu. Kasian juga dari siang di dapur sama Pak Yunus. Nina! Sayang! Ada Bu Guru Nak! Nina!" teriak Lukas memanggil putri kecilnya itu.
"Bu Shintaa! Ayah, Nina mau ke pasar sama Bu Shinta ya? Ayah nggak mau ikut?" Nina sudah menggandeng tangan Shinta.
"Iya Nak, boleh. Tapi Ayah nggak ikut ya. Ayah masih ada kerjaan. Nanti kalau Ayah udah selesai, Ayah susul aja ke pasar ya." Lukas mengizinkan Nina pergi.
"Oke Ayah. Dadah Ayah!" Nina melambaikan tangannya.
"Dah Sayang!" Lukas juga melambaikan tangannya.
"Mari Pak. Saya ijin bawa Nina." Pamit Shinta.
"Iya Bu, silahkan." Lukas mengantar mereka dengan senyum.
Setelah Nina dan Shinta pergi, Lukas kembali bekerja. Pak Yunus juga melanjutkan pekerjaannya di dapur. Meski tak sampai penuh, tapi pelanggan selalu saja ada. Itu yang selalu Lukas syukuri.
Klinting! Gubrakk Brakk
Mungkin setengah jam dari sejak Nina pergi bersama Shinta, tiba-tiba ada orang yang dengan tergopoh-gopoh masuk ke kedai Lukas. Orang itu adalah Minto, kuli panggul di pasar.
"Minto! Kenapa kamu Min?!" teriak Lukas panik.
"Mas Lukas, itu! Itu! Anaknya! Nina!" Minto terengah-engah seperti habis berlari dengan jarak jauh.
"Nina kenapa?! Minto!" tanya Lukas panik.
"Itu Nina! Nina..." ucap Minto masih terengah-engah.
"Kau ngomong yang jelas. Jangan bikin aku panik kau Minto!" Giliran Pak Yunus yang tak sabar menunggu Minto bicara.
"Nganu Mas, itu Nina kecelakaan... di pasar." Minto akhirnya berhasil mengatakan apa yang terjadi pada Nina.
"Kecelakaan?! Kok bisa?!" Lukas langsung berlari keluar dari kedai dan hendak menuju ke pasar.
Tapi sebelum ia berlari jauh, Minto memberitahunya hal lain, "Mas Lukas ke puskesmas aja! Nina udah di sana!"
Mendengar itu, Lukas langsung berbelok ke arah puskesmas yang Minto maksud. Ia tak peduli lagi. Nina adalah hidupnya, tak ada yang lebih penting dari Nina.
"Suster, pasien anak kecil yang barusan kecelakaan dimana?" tanya Lukas panik pada perawat yang ada di depan puskesmas.
"Di ruang rawat 1 Pak. Itu yang mengantar duduk depan ruangannya." Perawat itu menunjuk ke arah Shinta yang sedang duduk cemas di kursi tunggu.
Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Lukas langsung bergegas menuju Shinta.
"Anak saya mana?!" bentak Lukas pada Shinta.
"Di dalam Pak. Saya minta maa..." "Udah nanti aja!" Lukas langsung memotong kata-kata Shinta dan bergegas masuk ke dalam uang perawatan.
Di luar, Shinta hanya bisa menangis dan merasa bersalah karena tidak bisa menjaga Nina.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments