Tutt tutt tutt
Suara mesin pendeteksi detak jantung memenuhi seluruh isi ruangan. Bara yang mulai sadarkan diri, membuka matanya pelan-pelan.
"Arghh.." desah Bara seraya memegangi kepalanya yang masih sedikit terasa sakit.
"Bara?! Nak!" seru Ibunya yang sudah datang dan menjaganya sejak tadi.
"Ibu? Aku dimana?" tanya Bara sambil masih meringis nyeri.
"Kamu tenang dulu, Bara. Jangan banyak gerak. Kamu di rumah sakit. Kondisi kamu lumayan serius jadi harus dirawat di sini." Ibu Bara mencoba menjelaskan semuanya supaya putranya itu tak terlalu banyak bergerak.
"Bu, tapi Putri. Arhhh..." desis Bara lagi ketika ia berusaha menggerakkan badannya.
"Mas Bara, Mas tenang dulu. Mas harus sembuh dulu suapay bisa cari anak kami." Bapaknya Putri berdiri di samping tempat tidur Bara dan menyuruhnya kembali berbaring.
"Pak, Bu, saya..." Bara tampak merasa bersalah.
"Mas Bara, Mas sendiri yang bilang kalau kami boleh anggap Mas Bara sebagai anak kami. Tidak ada orang tua yang memaksa anaknya yang sakit untuk bekerja. Kami mengerti apa yang Mas Bara lakukan untuk Putri. Ini bukan salah Mas Bara. Mas Bara harus sembuh kalau mau cari Putri." Giliran Ibunya Putri yang bicara.
Tapi itu tak mengurangi rasa bersalah Bara yang gagal membawa Putri pulang. Bara benar-benar merasa dirinya tidak berguna.
"Sudahlah, Bara. Kamu nggak boleh sedih, Sayang. Kamu harus sembuh cepat dan lanjutkan tugas kamu. Cari Putri. Ya?" Ibu Bara mencoba menenangkannya.
"Iya Bu." Bara menjawab pasrah.
Semua orang keluar dari kamar rawat itu dan membiarkan Bara beristirahat. Tersisa Bara sendiri yang masih memaksa dirinya untuk tidur tapi tak bisa.
"Kecewa boleh, tapi jangan berlarut-larut. Seorang pahlawan tak pernah mengalah, Pak. Seorang pahlawan akan berjuang menemukan jalannya, bukan terpuruk karena kondisi seperti ini. Setidaknya kalau bukan otot, gunakan otak dan hati, Pak."
Seorang dokter perempuan tiba-tiba masuk dan mengatakan itu semua. Dokter itu ternyata hendak memeriksa infus dan keadaan Bara.
"Semua sudah normal. Alat-alat menyebalkan ini bisa dilepas. Permisi," ucap dokter cantik itu melepas beberapa alat yang tadi menempel di tubuh Bara.
"Kamu?!" tanya Bara terkejut saat melihat wajah dokter itu dengan jelas.
Ternyata dokter cantik itu adalah gadis yang menjadi sandera para perampok bank beberapa waktu yang lalu itu.
"Ya, Pak. Aku. Aku gadis yang diselamatkan oleh pahlawan bernama Pak Bara beberapa hari lalu. Entah kemana perginya pahlawan itu, yang ada malah Si Lemah ini di sini." Gadis itu membereskan alat-alat yang sudah selesai ia lepaskan dari Bara.
"Hei, apa maksudmu lemah? Aku tidak lemah!" seru Bara tak terima dibilang lemah.
"Mana ada manusia kuat yang cuma menunduk tidak jelas saat masih punya masalah. Kalaupun tak bisa melawan, setidaknya mereka akan menyusun strategi baru. Bukan tunduk diam sepertimu, Pak," ucap gadis itu seraya melangkah pergi dari ruangan Bara.
"Tunggu!" seru Bara tepat sebelum dokter cantik itu keluar dari kamarnya.
"Apa lagi Pak?" tanya gadis itu, menghentikan langkahnya.
"Siapa namamu?" tanya Bara datar.
"Bening."
Gadis itu pergi meninggalkan Bara dan saat yang sama ketika dokter cantik bernama Bening itu memutar badannya, saat yang sama Bara merasa seseuatu menggetarkan hatinya.
"Bening." Bara tak engaja mengeja kembali nama gadis itu.
"Pak Bara?" sapa Fajar membuyarkan lamunan Bara tentang Bening.
"Eh, iya Fajar. Ada apa?" tanya Bara.
"Saya cuma mau tanya, kira-kira apa yang harus kita lakukan sekarang Pak? Kalau terlalu lama, saya khawatir dengan kondisi Putri." Fajar menagih perintah dari atasannya itu.
"Saya juga masih memikirkannya. Apa kalian tidak mendapatkan petunjuk sama sekali kemana perginya mereka? Begini, selama belum ada petunjuk, terus identifikasi orang yang ada di gambar kemarin. Masukkan orang itu di daftar." Bara mengintruksi Fajar untuk bekerja dengan apa yang mereka punya dulu.
"Baik Pak. Kalau begitu saya permisi," ucap Fajar pamit.
Bara menunduk. Fajar meninggalkan ruangan itu. Dan sekarang Bara kembali sendiri.
"Kalau aku tidak sebodoh kemarin dan menyusun rencana yang lebih matang, ceritanya tak akan jadi seperti ini. Bara bodoh!" rutuknya pada diri sendiri.
Sepanjang malam, Bara tidak bisa tidur dengan nyenyak. Rasa bersalah selalu membuatnya kacau dan terbangun saat ia mencoba memejamkan matanya. Hatinya tak tenang mengingat seorang gadis masih terancam nyawanya di tangan orang-orang itu.
Tiba-tiba suara dering telepon memecah heningnya malam di kamar rumah sakit itu. Cepat-cepat Bara mengangkatnya.
"Halo?" ucap Bara mengangkat telepon misterius di tengah malam itu.
"Bara, bagaimana permainanku? Menyenangkan bukan?" sahut seorang pria misterius dari seberang sana.
Dari suaranya, Bara bisa mengenali kalau orang ini adalah orang misterius yang kemarin. Ia punya kesempatan yang baik untuk menanyai manusia keji ini.
"Hey, dengar. Beri tahu saya dimana kamu sembunyikan gadis itu. Hadapi aku dengan sportif. Kalian pecundang!" gertak Bara, tanpa berteriak.
"Eheii, sabar dulu. Jangan marah-marah dulu. Dengar, aku sudah kirimkan gadismu itu. Ayo datanglah ambil dia di sini. Aku sudah puas memakainya sebagai umpan untukmu." Pria itu tertawa kencang.
"Hei! Hei! Beraninya kamu! Dimana gadis itu?! Hei jawab!" teriak Bara lebih keras.
"Aku sudah membuangnya di tempat yang sama aku membawanya. Ingat satu hal, jangan berani-berani kau mengganggu kami, atau akan ada orang lain yang kugunakan untuk menjatuhkanmu lagi."
Tutt tutt tutt
"Hei! Halo?! Halo?!" teriak Bara marah. Tapi telepon itu sudah diputus.
Bara sudah tak sabar, ia harus segera pergi ke tempat itu. Ia harus menjemput Putri. Jalan satu-satunya adalah memanggil Fajar untuk menjemputnya.
"Halo! Fajar, jemput saya! Penjahat sialan itu sudah membuang Putri. Kita harus mencarinya! Cepat!" seru Bara di telepon.
"Baik Pak! Segera!" sahut Fajar tegas dan sigap.
"Dokter! Dokter!" teriak Bara di lorong rumahakit mencari dokter untuk melepaskan infusnya.
Tak ingin nekad mencabutnya sembarangan, Bara memilih untuk mencari dokter saja. Ia berjalan menyusuri lorong sambil membawa tiang infusnya. Dan berhenti di ruang jaga para perawat.
"Suster, tolong lepas infusnya! Saya ada pekerjaan khusus! Ayo cepat!" seru Bara.
"Tapi Pak, Bapak belum boleh keluar dari rumah sakit. Silahkan Bapa..."
"Sudah, suster tenang saja. Saya jamin, saya akan kembali. Gelangnya belum saya lepas. Tapi sekarang juga saya harus pergi. Ini berkaitan dengan nyawa orang. Ayo cepat!" gertak Bara memotong teguran perawat itu.
"Tapi Pak..."
"Suster, lepas!" teriak Bara keras.
Teriakan itu membuat perawat tadi panik. Mau tak mau, ia melepaskan infus Bara. Sesaat setelah jarum itu keluar dari kulit punggung tangannya, Bara langsung berlari menuju tangga dan turun ke lantai dasar.
Mobil Fajar rupanya juga sudah tiba. Tanpa membuang banyak waktu, Bara meminta Fajar segera menjalankan mobilnya menuju tempat pertama kali mereka menemukan motor Putri.
"Fajar ke ruko tempat motor Putri kemarin. Cepat!" seru Bara.
"Siap Pak!"
Mobil dinas kepolisian itu melesat dengan cepat menyusuri jalanan kota yang sudah sepi dan langsung menuju ke tempat itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
💞 Lily Biru 💞
semangat kk
2021-05-19
0