"Bara Mahardika!" seru inspektur itu ketika Lukas dan Shinta sudah berjalan hampir keluar dari kantor polisi itu.
Mendengar nama yang disebutkan inspektur itu, tiba-tiba Lukas berhenti mendadak. Hal itu membuat Shinta ikut berhenti. Shinta merasa heran, mengapa Lukas berhenti mendadak ketika mendengar nama itu.
"Saya bukan memanggil Anda Pak Lukas," ucap inspektur itu yang juga melihat Lukas berhenti mendadak dan membalik badannya ketika nama itu dipanggil.
"Oh iya. Saya cuma mau ambil handphone saya. Tertinggal di meja." Lukas kembali ke meja tempat ia menandatangani surat itu,lalu mengambil handphone yang memang tertinggal di situ.
"Oh gitu. Saya kira nama Bapak aslinya Bara Mahardika," gurau inspektur itu.
Tapi gurauan itu sepertinya bermakna penting untuk Lukas. Seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan.
"Nggak lah Pak, nama saya kan Lukas. Masa yang dipanggil Bara, yang nengok saya. Hahaha." Lukas tertawa menanggapi gurauan garing dari inspektur itu.
"Ya sudah Pak. Saya mau pulang dulu. Mari!" ucap Lukas pamit.
Tapi setelah ia membelakangi polisi-polisi itu, Lukas menghela nafas panjang. Ia seperti merasa lega setelah melewati sesuatu. Mungkin, polisi-polisi itu tidak melihat ekspresi wajah Lukas. Tapi Shinta melihat semuanya dengan sangat jelas. Ia semakin merasa heran.
Di luar, ketika mereka berdua sudah sampai parkiran, Shinta sudah tak tahan lagi engan semua keheranannya. Ia sudah tak lagi bisa menahan diri untuk tak bertanya pada Lukas tentang siapa sebenarnya dirinya? Kenapa ia sangat tidak ingin berurusan dengan polisi? Dan kenapa dia berhenti saat mendengar nama Bara Mahardika?
"Pak Lukas, boleh saya tanya sesuatu?" tanya Shinta.
"Terserah kamu!" jawab Lukas ketus. Sepertinya ia masih kesal dan sedang tak berempati pada Shinta.
"Pak, saya mau tanya. Kenapa Bapak nggak mau berurusan sama polisi? Padahal kan kalau masalah ini ditangani langsung sama polisi, Nina bisa lebih aman kedepannya." Shinta mengawali dengan pertanyaan pertamanya tadi.
"Itu bukun urusan Anda ya Ibu Shinta. Nina itu anak saya. Saya yang paling tahu apa yang paling baik untuk dia. Saya tidak mau masalah ini dibawa ke polisi. Dan itu keputusan saya, tidak ada yang bisa mengganggu keputusan saya itu." Lukas berdiri tegap di hadapan Shinta dan menegaskan jawabannya di hadapan wanita itu.
Shinta yang tak puas dengan jawaban itu terus mencecar Lukas dengan pertanyaannya, "Tapi Pak, emang apa masalahnya? Toh kan Bapak juga tidak rugi melapor ke polisi? Memang Bapak ini siapa? Sampai anti sekali sepertinya dengan polisi."
"Kamu! Ini keputusan saya! Kalau Ibu Shinta masih mau saya antar lagi pulang, tolong diam saja. Kecuali Anda mau pulang sendiri dengan jalan kaki!" bentak Lukas marah. Tapi ia masih berusaha menghormati Shinta.
Shinta akhirnya diam dan ikut dengan Lukas kembali ke puskesmas untuk mengambil sepeda motornya.
"Sekarang Anda boleh pulang. Silahkan." Lukas menyuruh guru itu pulang, seketika mereka tiba di parkiran puskesmas.
"Pak, boleh saya ketemu sama Nina? Saya mau pamit dulu." Shinta hendak berjalan masuk ke dalam puskesmas untuk menemui Nina.
"Tolong Bu, tolong. Silahkan. Ibu langsung pulang saja. Silahkan. Terima kasih banyak." Lukas melarang Shinta masuk ke dalam.
Shinta tak bisa menjawab apa-apa lagi. Ia tahu kalau Lukas sedang benar-benar marah padanya.
"Baik Pak. Saya permisi." "Silahkan." Lukas mempersilahkan sekali lagi guru itu untuk pergi.
Setelah Shinta pergi, Lukas masuk dan menemui Nina. Ia hendak membawanya pulang.
"Ayah, ayo pulang." Nina yang tampak sudah mengantuk meminta Lukas untuk membawanya pulang.
"Iya Sayang. Kita pulang sekarang ya." Lukas menggendong putrinya itu dan membawanya pulang.
Hari sudah gelap, waktu menunjuk pukul setengah sembilan malam. Lukas menidurkan Nina di kamarnya.
Lukas keluar dari kamar dan mencari sesuatu untuk ia makan. Sejak siang ia belum makan, karena pelanggan yang terus silih berganti mendatangi kedainya. Lalu juga kejadian kecelakaan Nina yang membuatnya lupa semuanya.
Sepiring nasi dan telur mata sapi menjadi menu makan malam Lukas hari itu. Kesendirian seperti ini membuatnya punya kesempatan untuk melamun. Entah apa yang sedang ia pikirkan.
Setelah makanannya habis ludes, Lukas hendak menaruh piringnya di dapur. Baru beberapa langkah ia berjalan, ada suara.
Tokk tokk tokk
Suara itu berasal dari pintu depan rumahnya. Selarut ini, siapa yang akan bertamu ke rumah seorang pemilik kedai roti? Demi memuaskan keheranannya, keluarlah Lukas dan membuka pintunya.
"Iya sia..pa?" ucap Lukas sempat terputus saat melihat orang-orang yang berdiri di depan pagar rumahnya.
Delapan orang berbadan tinggi besar berdiri di depan pagar dan memasang wajah sangar mereka. Lukas terlihat takut melihat mereka. Tapi ia keluar dan membuka pintu pagar rumahnya. Lalu seketika itu juga, orang-orang itu memaksa masuk ke pekarangan rumah Lukas.
"Kamu yang namanya Lukas?!" tanya salah satu dari raksasa-raksasa itu dengan wajah datar.
"I-iya Pak. Ada apa ya?" Lukas benar-benar takut melihat mereka semua.
"Kamu masih punya utang sama bos kita. Kamu harus ikut dan bayar utang kamu!" bentak orang itu.
"Sebentar, sebentar. Di luar saja bicaranya, anak saya lagi tidur." Lukas menutup pintu rumahnya dan mengajak preman-preman itu keluar dari pekarangan rumahnya.
"Kita nggak mau tahu. Kamu harus bayar utangmu sekarang!" bentak preman itu lagi.
"Tapi saya nggak pernah utang sama siapa-siapa Pak," ucap Lukas mencoba membela diri.
"Kamu bayar utangmu atau kita hajar kamu sekarang?!" "Pak, tapi saya beneran nggak punya utang!"
"Banyak omong kamu! Serang!" teriak preman itu menyuruh teman-temannya menghajar Lukas.
Malam itu, Lukas bagai bola yang dioper kesana kemari untuk dipukul. Dari satu preman ke preman lainnya, ia dilempar dengan sebuah tamparan menyakitkan.
"Pak, ampun Pak! Saya nggak punya utang Pak!" seru Lukas berusaha meminta preman-preman itu meninggalkannya.
"Lo harus bayar dulu utang lo!" "Tapi saya nggak punya utang Pak! Siapa bos kalian? Mungkin saya lupa kalau ada utang yang belum lunas." Lukas meminta keterangan dari mereka tentang siapa yang menyuruh mereka.
"Udah! Nggak usah banyak ngomong kamu! Kalau kamu nggak ada uangnya, kita bakal pukulin kamu terus sampai kamu ngomong kapan mau lunasin utangmu!" bentak preman itu seraya mencengkeram erat kerah kemeja yang Lukas pakai.
"Oke! Oke! Saya kan bayar!" seru Lukas yang kemudian membuat semua preman itu menghentikan serangan mereka.
"Mana?!" tanya preman itu teriak dan meminta. uang dari Lukas.
"Tapi aku harus tahu, siapa yang meminta uang tagihan itu dariku?" tanya Lukas sambil memegangi pipinya yang sudah memar karena dipukuli.
"Mana uangnya?!" teriak preman itu lagi.
"Iya, saya pasti kasih uangnya. Tapi saya harus tahu dulu siapa yang menagih. Siapa?" tanya Lukas tak kalah kukuh.
"Banyak bicara kamu! Orang yang nyuruh kita ke sini itu Bos Guntur!" jawab preman itu membuat Lukas terhenyak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Alea Lee
makasi yaa
2021-05-01
2
💞 Lily Biru 💞
semangat, penulisannya juga rapi, ak suka
2021-04-30
2