Berhari-hari Alka tidak bertemu dengan Onya. Pesan dan panggilannya pun tak dibalas oleh kekasihnya itu. Terakhir kali mereka komunikasi ketika sepulang dari restoran kala itu.
Sempat Alka bertanya pada teman-teman gadis itu. Namun tidak ada yang tahu tentang kabar Onya. Alka tidak menyerah sampai disitu. Dia mencari tahu kabar Onya lewat dua kupu-kupu. Namun sama saja, mereka pun tidak tahu tentang gadis itu.
Kenapa kamu tidak mengabari aku, Onya. Sehari tanpamu bisa membuatku mati rasa. Batinnya memanas. Namun tiba-tiba dia ingat dengan hari ini.
Alka berlari menuju parkiran. Dia menyalakan motornya dan melaju menuju pantai. Di sana pria itu menunggu Onya. Karena biasanya gadis itu akan menggunakan hari itu untuk duduk melukis di sana.
Alka melihat jam tangannya. Di sana tertera jam empat sore. Biasanya gadis itu akan datang pada jam setengah lima sore. Alka duduk merenung ditepi pantai sembari menunggu. Tangannya meraih beberapa batu kerikil dan melemparkannya kedalam air.
Derai ombak diikuti suara burung-burung yang berkicau di udara membuat suasana di tempat itu terasa nyaman. Alka mulai memejamkan kedua matanya sembari menenangkan pikirannya. Beberapa lamanya ketika dia kembali membuka kedua matanya, pria itu melihat jam pada tangannya. Sudah hampir setengah enam. Onya belum juga datang? Pria itu mencari-cari disekitarnya. Namun nihil, tidak ada satu orangpun di sana.
Alka menghembuskan nafasnya dengan kasar. Pria itu memutuskan untuk diam sejenak ditempat itu. Sengaja menunggu sunset kala itu.
Perlahan matahari mulai menghilang di sebelah barat. Tampak warna merah dengan garis-garis merah mudah di langit. Mata Alka sangat mengagumi ciptaan Tuhan itu. Sungguh, segala sesuatu itu indah. Semuanya indah termasuk dia yang kau cipta. Jika dia kau ciptakan untukku, maka berilah kemudahan itu.
Sementara ditempat lain, Onya berdiri diatas balkon kamarnya. Gadis itu meratapi nasibnya yang dikurung layaknya seorang tahanan. Jika dia bisa memilih, dia ingin terbebas dan mendapatkan kebebasan layaknya orang diluar sana.
Terdengar suara ketukan pada pintu kamarnya. Namun Onya enggan untuk membuka. Lagian dia tidak menguncinya sama sekali. Dia memilih diam pada tempatnya. Hingga pintu itu terbuka oleh tangan seseorang.
"Onya, cepat ke ruang makan. Pakai gaun yang tadi mama kasih. Keluarga Eisten sudah datang untuk makan malam bersama" siapa lagi kalau bukan ibunya.
"Onya" sekali lagi Nyonya Eisten memanggilnya. Karena gadis itu tak kunjung menjawabnya. "Onya, mama lagi bicara sama kamu" kali ini nada suara wanita itu terdengar tenang.
"Baiklah" ketus Onya. Dia membalikkan tubuhnya untuk kembali kedalam kamarnya. Dia tidak tahu alasan diadakannya makan malam bersama antara keluarga Wiranta dan Eisten. Onya tidak penasaran dan enggan untuk bertanya. Jadi Onya memilih untuk menurut pada ibunya. Usai gadis itu membersihkan tubuhnya, dia langsung mengenakan gaun yang diberikan sang ibu.
Kini Onya menuruni tangga dengan memasang wajah datarnya. Gadis itu bisa melihat penampilan Frans dan Franky yang terlihat tampan. Mereka yang ada di sana menyambutnya dengan tersenyum hangat. Sungguh, Onya tidak merasa curiga sama sekali. Mungkin karena efek lelah dan mood yang memburuk.
"Ayo, sayang" Nyonya Wiranta membawa anak gadisnya duduk di samping Frans.
Acara malam itu dimulai dengan makan malam. Ada yang mengobrol sambil bercanda tawa. Mereka tidak begitu ambil pusing dengan masalah table manner. Yang terpenting suasana yang mereka ciptakan bisa berlawanan dari kecanggungan.
"Ohiya, langsung saja kita bahas perjodohan ini" ucapan Nyonya Eisten membuat Onya terpukul. Gadis itu langsung melebarkan kedua matanya sembari menatap heran pada mereka yang ada di sana.
Ya, ampun. Cobaan apa lagi ini. "Maksudnya?" tanya Onya seakan lupa dengan perkataan sang ibu diwaktu lalu. Bukan lupa, lebih tepatnya pura-pura lupa.
"Jadi begini, Onya. Sewaktu Franky dilahirkan, kami sudah sepakat untuk menjodohkan anak-anak kami. Awalnya tujuan perjodohan ini untuk memperkuat tali persahabatan dan kekerabatan kami. Tapi... karena mama dan papa-mu hanya dikaruniai satu saja anak perempuan, jadi tujuan kami menjodohkan kalian bertambah. Beruntung kami memiliki dua anak laki-laki, jadi kami bisa membagi-bagikan warisan kami dengan mudah. Dan orang yang akan kamu pilih akan memimpin perusahaan ayahmu. Tapi hanya sementara, karena akan diteruskan oleh anak laki-laki yang akan kamu lahir-kan nanti. Kami sepakat untuk memberikan anak itu nantinya pada keluarga Wiranta" ucap Nyonya Eisten panjang lebar. Sementara Onya hanya tersenyum miring sembari terkekeh mendengarnya. "Dan sisanya kami serahkan pada kalian untuk memutuskan. Karena Franky dan Frans sudah sepakat kalau yang akan dijodohkan dengan kamu adalah Frans" timpalnya lagi.
"Bagaimana jika aku menolak perjodohan ini?" Sebenarnya saat ini Onya benar-benar syok. Namun dia berusaha tenang dengan mencoba memberi tawaran pada mereka.
"Onya, mama sudah bilang padamu kalau perjodohan ini tidak bisa ditolak ataupun dibatalkan. Ini menyangkut generasi Wiranta, sayang" ujar Nyonya Wiranta selembut mungkin. Walau terdengar tegas, tidak ingin dibantah.
"Kenapa aku tidak bisa memilih?" tanya Onya dengan menatap nanar ibu dan ayahnya. "Jika ini masalah harta, biarkan aku memilih pria yang ingin aku nikahi. Dan aku akan membuat perjanjian dengannya untuk memberi hak Wiranta pada salah satu anak kami" dia berusaha memberi tawaran yang lebih menguntungkan dirinya. Karena jika dia bisa memilih, dia tidak ingin menikah dengan salah satu dari Franky maupun Frans. Mereka sudah dia anggap sebagai kakaknya sendiri. Dan akan sangat menggelikan jika mereka diikat dalam pernikahan.
"Tidak bisa, Onya. Jangan keras kepala seperti itu. Mama tidak bisa percaya dengan pilihan manapun, kecuali Franky ataupun Frans" ucap Nyonya Wiranta dengan tegas. "Sudah cukup. Mama akan memberi kamu waktu untuk berpikir. Karena pernikahan kalian masih lama, yaitu setelah Frans lulus kuliah. Untuk sementara waktu kalian harus diikat dengan pertunangan" tambahnya tidak ingin dibantah. Dia tidak memberi cela pada anaknya untuk berpendapat lagi.
"Egois..." dengan kasar Onya membanting sendok-nya diatas piring. Gadis itu bergegas berdiri dari tempat duduknya dan meninggalkan tempat itu.
"Biarkan aku saja" ucap Frans pada mereka yang ada di sana. Pria itu ikut berdiri dari tempat duduknya, dan mengejar Onya.
Sementara Nyonya Wiranta menjadi resah. Wanita itu menghembuskan nafasnya dengan kasar kala melihat anak gadisnya pergi dengan tidak sopan santun.
"Mungkin karena kamu yang tidak mengatakannya dari dulu pada Onya, jadi dia menjadi syok seperti itu" ucap Nyonya Eisten.
"Atau mungkin Onya sudah punya pacar yang dia cintai, jadi dia seperti itu?" tebak Tuan Eisten langsung mendapat pukulan halus dari istrinya. "Seharusnya kita tidak boleh egois pada mereka. Tapi biarlah, sepertinya anakmu itu sudah jatuh cinta dengan Onya sejak dulu" ucap Tuan Eisten setengah berbisik pada istrinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments