Trauma

Akkhhh

Vira menjerit sekuat tenaga. Menggapai apapun yang berada di sampingnya. Matanya memejam erat dengan bibir bergetar. Tubuhnya kaku dan terasa tak bertenaga. Suara-suara aneh memasuki gendang telinganya. Berputar-putar di atas kepala bagai nyanyian yang amat nenyiksa.

Vira menjerit meraung meminta pertolongan dalam hati. Berharap sang ibu akan mendengarnya lalu menghampiri memberi pelukan menenangkan.

Malam ini hujan turun membasahi bumi membawa angin dan petir bersamanya. Vira berada di dalam kamar saat lampu padam menjadikannya gelap gulita. Petir saling menyambar di luar jendela. Kilatannya terlihat jelas.

Semua kacau Vira tidak dapat berpikir jernih. Arka keluar kamar beberapa saat lalu setelah puas memarahi Vira. Perempuan itu merasakan ketakutan yang teramat. Dalam situasi genting bahkan Vira lupa meletakkan ponselnya.

Vira menangis pilu karena rasa traumanya. Ia butuh Melisa, suara-suara aneh itu tidak mau pergi. Tubuhnya lemas seiring petir yang bersahutan. Vira merasa pasokan oksigen di sekitarnya habis tak tersisa.

Vira berbatuk memukul dada yang mulai sesak. Suaranya nyaris tak terdengar lagi. Suhu tubuhnya pun semakin dingin. Vira berharap ada seseorang yang bersedia membantunya tanpa melihat ia siapa. Seseorang yang memandangnya dengar rasa iba.

Kesadaran sudah direnggut darinya. Menyisakan tubuh tak berdaya yang tergeletak kaku di tempatnya. Suara langkah kaki memasuki kamar yang sangat gelap. Mengandalkan senter ponsel untuk membantunya melihat. Tidak ada yang aneh hingga cahaya berhenti tepat di samping tempat tidur. Seorang perempuan meringkuk memeluk tubuhnya.

"Hey, bangun." Tidak ada sahutan saat Arka menyenggol kaki Vira. Ia berdecak sebentar sebelum akhirnya berjongkok di depan wajah Vira.

Menggoyahkan bahu perempuan yang sudah menjadi istrinya itu sedikit kasar. Usahanya gagal karena Vira tidak merespon. Kerutan di dahi menandakan ia teringat akan satu hal, pingsan.

Arka menyibak rambut yang menutupi wajah Vira. Meletakkan jarinya di depan hidung merasakan hembusan nafas yang lirih. Beralih pada leher meletakkan dua ruas jari merasakan denyut nadi yang melambat. Menyentuh kulitnya yang sedingin es. Sekarang Arka tahu jika Vira bukan sedang tidur, tapi benar pingsan.

"Dasar menyusahkan." Sisi kemanusiaannya memberontak ingin menolong sedangkan dari sudut kebenciannya ia tertawa renyah menyaksikan Vira yang menderita.

Mengesampingkan rasa bencinya dan lebih menuruti rasa kemanusiaan. Arka memindahkan Vira pada ranjang. Menyelimuti sebatas leher. Dia bangkit duduk di sisi lain ranjang.

Arka justru memikirkan Arleta yang belum juga ditemukan. Berbagai cara sudah dilakukan, tapi Arleta seperti tikus yang bersembunyi di tempat-tempat tak terduga. Dibandingkan Vira, Arleta lebih sempurna dan yang lebih penting Arleta adalah cinta Arka. Alasan Arka membenci Vira karena perempuan itu bersedia menggantikan Arleta dan merenggut semua milik Arleta. Ia tidak suka miliknya diusik dan dengan beraninya Vira melakukan hal itu.

Di mata dan hatinya tertanam kebencian yang teramat dalam untuk Vira. Andai saat itu Vira menolak dengan tegas dan bukan hanya diam menerima tanpa perlawanan. Andai memberitahu lebih cepat jika Arleta pergi maka nasib Vira tidak akan seperti ini. Rentetan kata andai yang tidak akan pernah bisa untuk diulang.

Matanya menelisik melihat Vira yang bergumam tak jelas. Kamar menjadi terang ketika kilat menyambar sehingga Arka dapat melihat Vira yang tidak nyaman dalam tidurnya. Kadang menggeleng lalu mengerutkan dahi dengan bibir bergetar.

Arka terusik dengan Vira yang tidak bisa diam. Gumamnya kembali memasuki pendengarannya. Arka mendekatkan telinganya pada bibir Vira. Mendengarkan apa yang Vira ucapkan.

"Tolong aku, aku sangat takut. Ayah akan memukulku." Arka diam ia pernah mendengar perkataan yang diucapkan Vira. Tanpa sadar ia menoleh melihat Vira yang tak kunjung membuka mata.

Gelengan keras Arka lakukan mengenyangkan segala pikiran yang beradu.

"Dingin." Kata itu menyadarkan Arka sehingga ia membenarkan posisi selimut Vira.

Memberanikan diri Arka menyentuh dahi Vira yang panas, sangat panas. Racauan Vira tak kunjung berhenti. Arka dibuat bingung dengan keadaan Vira. Jikalau tidak memiliki rasa iba Arka tidak mau repot-repot mengurus Vira. Gelap masih mendominasi dan entah kapan cahaya akan datang.

"Sakit hiks sangat sakit." Kini bukan lagi racauan melainkan tangisan yang membuat Arka semakin pusing. Ingin mengabaikan tapi hatinya berkata lain. Akalnya berbisik tidak, tapi hatinya memelas.

Langkah kakinya berpijak kasar pada lantai melangkah menjauh dari Vira. Membuka laci yang terdapat pada lemari. Tangannya terulur mengambil benda untuk mengatur suhu tubuh dan juga sebuah kompres penurun panas.

Entah perasaan apa yang menyusup pada hati yang terbelenggu akan rasa benci. Tidak dapat dikatakan pasti jika perasaan itu hanya sebuah rasa iba.

Arka mengukur suhu tubuh Vira merekatkan penurun panas di dahi Vira. Secara spontan Arka mengelus rambut Vira. Mengelap bulir keringat membasahi wajah Vira.

Dalam keadaan sadar atau tidak sadar Vira memiringkan tubuh dan melingkarkan tangan di pinggang Arka yang terduduk di sampingnya. Nafas panas Vira terasa oleh Arka. Pria itu menegang di tempat.

"Ayah." Vira berhenti meracau menyusup masuk memeluk Arka dengan lancang. Pria itu tidak bergerak hanya diam menerima.

☘☘☘

Kegaduhan terjadi di pagi hari yang cerah. Di lantai bawah rumah mewah tersebut terdengar suara menggelegar tertuju pada gadis yang menunduk melihat ujung sepatunya. Tubuh yang kaku bak patung semakin gencar dijadikan sasaran. Berkali-kali meringis ketika telapak tangannya menjadi korban. Yang tadinya tidak ada apa-apa kini memerah karena pukulan yang diterima. Bambu yang panjang dijadikan alat untuk memukul telapak tangan gadis itu.

Killa menahan nafas tak kalah bambu itu melayang kembali dan mendarat ditangannya.

"Killa!"

Jeritan dari atas mengalihkan kedua orang yang berada di bawah. Mereka kompak melihat Vira yang masih menggunakan piyama tidur menuruni anak tangga dengan wajah pucat serta plester penurun demam yang belum lepas.

"Apa yang mama lakukan pada Killa. Kenapa mama memukulnya apa yang Killa perbuat hingga mama memukulnya." Vira mengambil bambu yang dipegang Lydia menyembunyikan di belakang tubuhnya.

"Tidak mungkin kamu tidak tahu apa yang sudah Killa lakukan. Lihat dia." Lydia menunjuk Killa yang masih menunduk. "Untuk apa dia memakai seragam kalau dia skors dan lihat ini dia berusaha menyembunyikan surat panggilan untuk orang tua." Lydia menunjukkan kertas yang sudah lusuh.

Vira beralih melihat Killa yang hanya diam. Membuang bambu yang sempat diambilnya lalu memperhatikan telapak tangan Killa yang memerah.

"Kenapa." Satu kata yang sangat mewakili semua pertanyaan Vira.

Kenapa Killa menyembunyikannya. Kenapa Killa berbohong dan kenapa Killa bersikap seperti tidak ada yang terjadi.

"Seharusnya kamu bisa mencegah hal seperti ini terjadi. Kamu kan guru Killa apa susahnya menggunakan posisimu itu jangan karena dia adik iparmu kau jadi memanjakannya." Lydia terus berbicara tanpa melihat bagaimana Killa terluka karenanya.

"Ini hanya pertengkaran kecil antar siswa. Tidak ada hal serius...."

"Hah, tahu apa kamu tentang Killa dan apa saja yang sudah dia perbuat. Jangan bersikap seolah kamu mengetahui semuanya."

"Killa kamu masuk kamar gih. Biar kakak yang bicara sama mama," ujar Vira lembut. Menyentuh bahu Killa dan sedikit mendorongnya agar gadis itu bergerak.

"Berani sekali kamu! Killa! Mama belum selesai bicara" Lydia hendak mengejar Killa yang sudah menjauh. Namun, ditahan oleh Vira. Kedua perempuan itu saling bersih tatap menyalurkan pertanyaan melalui sorot matanya.

"Killa tidak berbuat salah. Semua hanya salah paham dan sebentar lagi akan kembali normal. Mama tidak perlu memarahi Killa seperti itu."

"Apa sekarang kamu juga mengkritik caraku mendidik seorang anak." Gelengan kuat diberikan oleh Vira. Ia tidak bermaksud demikian hanya saja Lydia seharusnya tidak perlu menggunakan kekerasan tanyakan secara lembut kan bisa.

Di sudut ruangan yang tidak terlalu jauh dari Lydia dan Vira ada seorang pria yang mengawasi mereka berdua. Menyaksikan dan mendengarkan apa yang mereka bicarakan sedari tadi.

Ialah Arka yang baru pulang lari pagi. Tadinya ia sudah ingin menghentikan Lydia yang terus memukul tangan Killa tapi berhenti ketika mendengar suara Vira yang menggelegar, padahal semalam perempuan itu sangat lemah tak berdaya.

Arka melangkah lebar menarik tangan Vira agar kembali masuk kamar. Lydia yang melihatnya bertambah murka, ia berteriak memanggil Arka untuk berhenti tapi dihiraukan oleh putranya. Terus melangkah menarik Vira bersamanya.

Susah payah Vira meneguk ludahnya sendiri. Karena sikap Arka yang terlihat marah. Vira tidak sempat menyiapkan sangkalan atas tuduhan Arka jikalau pria itu menanyakan beberapa hal karena sudah melawan Lydia.

***

Happy reading

Kok gitu ya kok Lydia jahat bener sama Killa.

Salam sayang dari aku.

Terpopuler

Comments

EndRu

EndRu

bener bener keluarga aneh

2023-12-01

0

Liiee

Liiee

kluarga aneh

2023-11-03

0

YK

YK

Lydia hanya ibu tiri???

2023-09-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!