The Man Who Can't be Moved
(Pria yang tak mau pergi)
-diambil dari judul lagu milik The Script, band rock asal Dublin, Irlandia-
***
Jakarta
Tama
"Yen ku pandang gemerlap nang mripatmu
(Jika kulihat gemerlap di matamu)
Terpampang gambar waru ning atimu
(Ada gambar waru (hati) di hatimu)
Nganti kapan abot iku ora mok gugu
(Sampai kapan beban ini tak kamu pedulikan)
Mung dadi konco mesra mergo kependem cinta
(Hanya jadi teman mesra karena memendam rasa)
-Nella Kharisma, Konco Mesra-
Suara musik dan alunan lagu yang berasal dari Duo Lebah Madu kian terdengar jelas. Memenuhi keseluruhan udara di ruangan pantry.
Namun ia masih terpaku di tempat. Memperhatikan Pocut yang kini tengah membersihkan tumpahan air panas di punggung tangan dengan menggunakan selembar tissue.
"Pak?" Devano kembali memanggil namanya.
Tapi ia mengangkat tangan kiri. Meminta Devano agar diam.
Ia masih memperhatikan Pocut. Yang saat ini kembali mengisi cangkir dengan air panas dari dispenser.
Kakinya hampir maju selangkah. Sebab gerakan tangan Pocut yang menekan tombol bertuliskan "HOT" terlihat gugup dan gemetaran. Ada rasa khawatir kejadian yang sama kembali terulang, Pocut tersiram air panas.
"Pak Dandim sudah menunggu di conv ...."
Ia kembali mengangkat tangan kiri. Sambil menoleh ke arah Devano dengan kesal.
"Di convention hall. Bapak harus ke sana sekarang ju ...."
Namun rupanya Devano tak kunjung mengerti. Membuatnya terang-terangan memberi tatapan penuh peringatan.
"Bapak ditung ...." Devano tak melanjutkan kalimat. Demi melihat ekspresi kesal yang memenuhi air mukanya. Ditambah kilatan amarah yang menguasai sorot matanya.
"Maaf ...." Devano menganggukkan kepala dengan hormat. Baru memahami jika harus menutup mulut dan tak mengacaukan situasi.
Bertepatan waktunya dengan Pocut yang mengulurkan cangkir kopi padanya.
"Tadi Pak Raka meminta membuat kopi untuk ...." Pocut terlihat semakin gugup. Seperti kebingungan hendak menyebutkan namanya dengan cara seperti apa.
Pak? Mas? Anda?
Hell yeah!
Namun sebelum Pocut kembali berkata. Di luar kendali tangannya telah terulur dengan sendirinya. Mengambil alih cangkir berisi kopi panas dari tangan Pocut.
"Terima kasih," gumamnya kaku.
Pocut mengangguk.
Dengan tanpa permisi apalagi berbasa-basi, Pocut beranjak dari hadapannya. Berjalan cepat menyeberangi ruangan pantry dengan kepala tertunduk. Melewati Devano yang masih terbengong-bengong di depan pintu dengan wajah kebingungan.
"Sungguh sayang aku tak bisa langsung mengungkapkan
Perasaan yang ku simpan buat ku tak tenang"
-Nella Kharisma, Konco Mesra-
Suara serak serak basah nan seksi milik Duo Lebah Madu yang mampir di telinga, serta merta berhasil memulihkan kesadaran diri.
Dengan dahi yang masih berlipat, ia segera berjalan menuju pintu keluar. Menyerahkan cangkir kopi yang masih menguapkan hawa panas ke tangan Devano.
"Jaga baik-baik!" gumamnya sambil lalu. "Saya minum setelah bertemu dengan Dandim."
Kemudian melangkah melewati Devano yang terlihat bertambah bingung.
"Jangan sampai orang lain menyentuh cangkir itu!" ujarnya seraya membalikkan badan. Sekaligus memberi tatapan memperingatkan.
Mulut Devano sudah setengah terbuka. Mungkin ingin bertanya. Tapi ujungnya tetap mengangguk dengan hormat. Mengiyakan perintah randomnya.
"Siap, Pak."
"Ini tugas negara! Jangan kecewakan saya!" gumamnya lagi sembari menahan senyum.
Kemudian melanjutkan langkah menuju convention hall. Meninggalkan Devano di belakang. Pastinya sedang terbengong-bengong kebingungan usai mendengar kalimat absurdnya.
***
Pocut
Ia mengayunkan langkah kaki secepat mungkin meninggalkan pantry. Sembari mengembuskan napas lega berulang kali. Berharap bisa sedikit menghalau rasa gugup, yang sejak beberapa menit lalu berhasil membuat jantungnya berdetak lebih cepat seolah sedang berkejaran.
Kenapa jantungnya bisa berdegup lebih kencang?
Ia menggelengkan kepala. Benar-benar tak habis pikir dengan reaksi aneh yang menguasai diri. Sekaligus merasa malu. Meski malu entah ditujukan pada siapa.
Namun yang pasti, tak sengaja bersua lalu bersitatap dengan orang yang paling tak ingin ditemui, telah berhasil membuat suasana hatinya berubah jadi tak menentu.
Ia jelas sangat menghindari kakak ipar Agam yang satu itu. Bahkan jikalau memungkinkan, mereka berdua jangan sampai bertemu lagi. Sebab bayangan tentang momen memalukan yang pernah terjadi di rumahnya, tak kunjung hilang dari ingatan.
Saat bagaimana kain roknya tersingkap ke atas. Disusul hangatnya selimut yang menjalar di sepanjang kakinya. Semua masih bisa dirasakan hingga saat ini. Ditambah orang itu berhasil melihat keseluruhan dirinya tanpa hijab.
Memikirkan hal menjengkelkan tersebut membuatnya kembali menggelengkan kepala dengan hati menggondok campur malu. Sebab satu-satunya pria dewasa yang pernah melihat rambut tergerainya hanyalah Bang Is seorang. Kecuali Agam tentu saja. Saat masih anak-anak dan belum baligh. Tapi Agam jelas tak masuk hitungan untuk masalah ini.
"Udah ... bikin kopinya?" tanya Bu Amalia, sang manajer keuangan. Begitu melihatnya masuk ke ruang administrasi dan keuangan.
Ia mengangguk, "Sudah, Bu."
Yang mendapat tugas dari Pak Raka untuk membuat kopi sebenarnya Mas Winarto, office boy kantor. Tapi Mas Win sedang disuruh Bu Amalia pergi mengambil dokumen di Raja Raos cabang Kemang.
"Cut, kamu saja yang bikin kopi," ujar Bu Amalia beberapa menit lalu, ketika ia baru kembali dari ruangan Pak Raka.
"Nanti antar ke ruangan Pak Raka," lanjut Bu Amalia tanpa menoleh ke arahnya.
Selama ini ia tak pernah menolak pekerjaan apapun yang diberikan padanya. Meski tak ada kaitannya dengan tugas pokok sebagai sekretaris direksi. Seperti membuatkan teh setiap pagi untuk Bu Amalia dan staf keuangan yang lain misalnya.
Tapi membuatkan kopi untuk orang itu, lalu diantarkan ke ruangan Pak Raka. Ia mungkin harus menola ....
"Cepet buatin!" seruan gemas Bu Amalia berhasil mengagetkannya. "Udah ditungguin sama Pak Raka."
Ia menelan ludah dengan gugup. Keberanian untuk menolak perintah Bu Amalia langsung menguap tak bersisa.
Dan kejadian selanjutnya tak kalah memalukan dibandingkan dulu. Sapaan bersuara bass dalam sekejap berhasil membuyarkan konsentrasinya. Mengacaukan keseimbangan gerak tangan dan pikirannya. Hingga tanpa sengaja tersiram air panas yang berasal dari dispenser.
Kini ia tengah meniupi punggung tangan yang kulitnya perlahan berubah memerah mulai melepuh. Disertai rasa panas yang semakin menggigit.
Tapi ini bukan masalah besar. Tersiram air panas atau terkena cipratan minyak panas dan hal sejenis lainnya, sudah menjadi hal biasa baginya yang seumur hidup berkutat di dapur. Tak harus diobati, nanti juga sembuh sendiri.
Tapi kehadiran orang itu di sini? Di Jakarta?
"Itu Pak Tama yang punya Selera Persada. Bos dari segala bos hehehehe ...." jawab Luky ketika ia bertanya, mengapa orang itu bisa berada di sini.
"Gossipnya baru pindah ke Jakarta," sambung Luky.
"Pindah?" ia mengernyit.
Luky mengangguk mantap, "Kenapa, Bu? Pak Tama ganteng ya? Hehehehe ...."
"Hampir semua cewek yang kerja di sini ngefans sama Pak Tama," bisik Luky lagi. "Dibanding Pak Raka yang emosional atau Pak Sada yang hidupnya sempur ...."
"Apakabar semuanya?"
Sebuah sapaan berhasil membuat seluruh mata tertuju ke arah pintu masuk.
"Tuh orangnya datang," gumam Luky. "Panjang umur Pak Tama ...."
Ia menelan ludah dan langsung berpura-pura sibuk di belakang meja. Sementara hampir semua orang di dalam ruangan, kini riuh menjawab sapaan Tama dengan antusias.
"Baik, Pak ...."
"Pak Tama apakabarnya? Makin seger aja nih, Pak?"
"Kantor barunya yang di mana, Pak?"
"Bisa sering mampir ke sini dong, Pak."
"Pak Tama ... kita bisa foto bareng sama Duo Lebah Madu nggak?" permintaan tanpa tedeng aling-aling Luky berhasil memancing gelak tawa semua yang ada di sana.
Kecuali dirinya. Sebab sedang merasa kebingungan harus melakukan apa agar terlihat sibuk dan tak peduli.
"Yang mau foto sama artis bisa minta ke Devano," jawab Tama tenang sambil meraih kursi yang tersimpan tak jauh dari pintu masuk.
Entahlah. Tapi ini benar-benar sebuah kebetulan yang cukup menjengkelkan. Sebab mejanya menjadi yang berjarak paling dekat dengan pintu masuk.
Dengan tanpa canggung sedikitpun, kini Tama telah menyimpan kursi tepat di hadapannya. Kemudian meletakkan secangkir kopi ke atas meja. Membuatnya kian menundukkan kepala dalam-dalam.
"Pak Devano yang mana orangnya, Pak?" tanya Nadia dengan penuh semangat. "Kalau masih single boleh dong Pak ... kenalin ke kita kita ...."
Tama tertawa, "Cari aja yang paling ganteng."
"Wah, asyiiiik!" Nadia bersorak kegirangan. "Gantengan mana sama Bapak?"
Tama makin tergelak. Tapi bukannya menjawab selorohan Nadia. Tama justru melihat ke arahnya sembari bergumam, "Gimana tangannya?"
Ia menelan ludah sebelum menjawab singkat, "Baik."
"Udah diobati?"
Ia mengangguk. Terpaksa berbohong.
"Lho ... Pak Tama udah kenal sama Bu Cut?" tanya Bu Amalia dengan penuh selidik. "Kok bisa?"
"Kami kan saudara," jawab Tama enteng, tanpa merasa jengah ataupun ragu.
"Oh ...." gumaman terkejut orang-orang langsung menggema memenuhi ruangan.
"Saudara ipar ...." sambung Tama dengan ketenangan yang luar biasa.
"Oh ... ternyata ...." orang-orang kembali terkejut. Sebagian bahkan mulai saling berbisik satu sama lain.
Membuatnya kian merasa tersudut. Sebab, ia memang tak pernah menceritakan asal-usulnya pada penghuni di ruang administrasi dan keuangan. Bahkan mungkin hanya manajer HRD yang mengetahui informasi lengkap tentang dirinya.
Selama ini orang-orang di sekitar sering saling berbisik, mencurigai keberadaannya yang tak memiliki kecakapan dalam berkerja tapi bisa menduduki kursi sekretaris direksi.
"Lho ... baru pada tahu?" suara Tama terdengar keheranan.
"Bu Cut mah pendiam, Pak," terang Nadia. "Jarang gabung sama kita-kita ...."
"Diajak gabung dong," Tama menimpali. Namun sambil melihat ke arahnya.
"Kamu ...."
Tululut! Tululut! Tululululut!
Ucapan Tama terpotong oleh bunyi telepon masuk.
"Baik, Pak," jawabnya mengiyakan permintaan Pak Raka.
Diiringi tatapan tajam Tama, dengan susah payah ia berusaha mengambil dokumen yang diminta oleh Pak Raka. Kemudian segera berlalu meninggalkan ruangan.
Begitu sampai di luar, ia masih bisa mendengar suara Tama yang bercanda dengan orang-orang di ruang administrasi keuangan. Terdengar semakin riuh dan gaduh. Namun ia bergegas menuju ruang direksi. Sambil berusaha keras menormalkan degup jantung yang makin tak beraturan.
"Saya minta materi meeting di Kemang besok. Tolong kamu ambil draftnya di ruang HRD ...."
Ia sedang mendengarkan baik-baik perintah Pak Raka. Ketika pintu ruang direksi terbuka disusul suara yang membuatnya hampir terlonjak.
"Tinggal dulu, Om!"
"Sukses, Tam!"
"Siap!"
Ketika ia kembali ke ruang administrasi keuangan, orang-orang terlihat tengah berkumpul di meja Rantika. Namun begitu melihatnya masuk, semua langsung membuang muka.
"Gue udah curiga dari dulu. Kok bisa tanpa kirim lamaran, tanpa tes, ujug-ujug bisa langsung kerja."
"Nepotisme masih ada gaes ...."
"Hari gini masih pakai orang dalem ... kaciaaan deh lo!"
"Asal punya skill, it's okay lah. Yang parah itu kalau unskilled (tak terdidik) plus untrained (tak terlatih) tapi nggak tahu malu."
"Dasar muka tembok!"
"Mimpi apa kita bisa sekantor sama buibu gaptek."
"Iyuh banget ih!"
Telinganya mendengar dengan baik semua obrolan yang terjadi di meja Rantika. Dan itu berhasil membuat kegugupannya kembali meningkat. Ia bahkan sampai menjatuhkan sejumlah file yang sedang dipilah-pilah di atas meja.
Namun usai mengambil file yang terjatuh, rasa gugup justru kian melanda. Ketika tanpa sengaja matanya tertumbuk pada benda di atas meja.
Membuatnya tanpa sadar mengembuskan napas panjang. Demi melihat cangkir yang tadi diletakkan oleh Tama kini telah kosong. Hanya menyisakan ampas kopi yang tertinggal.
***
Tama
Dandim hanya berkunjung sebentar. Membuatnya bisa segera menyambangi ruang administrasi keuangan. Tempat di mana ia sempat melihat sosok Pocut berada.
Sayangnya tak ada kesempatan untuk bertanya banyak hal. Pocut bahkan pergi meninggalkannya terlebih dahulu.
Kekesalannya kian bertambah, ketika membuka pintu ruang direksi dan melihat Pocut berdiri di samping meja Om Raka. Namun tak ada pilihan lain. Sebab ia harus segera kembali ke kantor.
Wait, what (tunggu, apa)?
Mengapa harus merasa kesal?
Sepertinya ada yang tak beres dengan dirinya.
"Apakabar, Obos!" seru Hadi, salah seorang pegawai lama. Ketika ia berjalan keluar menuju tempat parkir.
"Wah! Apakabar, Di?" ia berhenti sejenak untuk mengobrol dengan Hadi. "Lancar kerjaan?"
Hadi mengacungkan jempol, "Alhamdulillah, Bos! Lancar seperti air sungai yang mengalir."
Ia tertawa mendengar ungkapan berlebih Hadi.
"Saya punya tugas tambahan sekarang," pamer Hadi dengan senyum terkembang.
"Mantap. Apa tuh?"
"Antar jemput calon bininya Pak Raka," jawab Hadi makin sumringah.
"Siapa?" ia mengernyit.
"Calon bini Pak Raka. Pegawai baru yang cakep itu. Tiap hari saya yang antar jemput ...."
Rasa kesal yang awalnya mulai pudar, kini kembali muncul dan bertambah berkali lipat.
Tapi ia tak memiliki banyak waktu luang untuk membiarkan rasa kesal berlarut-larut. Sebab di malam hari, ia mengadakan acara syukuran dan ramah tamah untuk masuk ke rumah dinas baru.
“Puji syukur kita panjatkan kepada Allah, karena saya telah menempati rumah jabatan Kepolisian Resor," ucapnya saat memberi sambutan.
"Saya telah diberi amanah untuk melaksanakan tugas ke depan. Harapannya kita semua bisa bekerja sama dengan baik."
Acara yang dihadiri oleh perwira dan anggota serta Bhayangkari, Dandim, Danramil, sejumlah anggota Kodim dan Koramil, tokoh masyarakat, warga sekitar serta beberapa awak media ini dibuka dengan pengajian. Yang ceramahnya disampaikan oleh Ketua MUI kota.
Usai pengajian, acara ramah tamah berlangsung hangat. Semua tamu membaur menjadi satu. Dihibur oleh band dadakan yang personelnya terdiri dari para anggota.
"Mencintai kamu
Bisa-bisa membunuh diriku
Bikin patah hati
Terus langsung dicuekin
Mencintai kamu
Sama saja menggantung leherku
Bikin sakit hati
Terus langsung ditinggalin"
(Slank, Balikin)
Dendangan lagu Balikin dari Slank menjadi background malam yang semakin larut. Para tamu penting sudah banyak yang pamit pulang. Tinggal tersisa beberapa anggota dan awak media. Mereka masih asyik menikmati malam sambil menyaksikan penampilan band dadakan yang ternyata cukup menjanjikan.
"Balikin oh balikin
Hati gue kayak dulu lagi
Elo harus tanggung jawab
Kalau gue nanti, nanti mati"
(Slank, Balikin)
"Kusut amat, man," desis Armand. Satu-satunya sahabat yang bisa hadir di acara ramah tamah malam ini.
Prasbuana menetap di Aussie, Riyadh di Bandung, Rajas berhalangan sebab sibuk, sementara Wisak sore tadi masih berada di Padang. Tengah mengecek tambang emas milik Dikara Corp.
Ia tak menjawab. Lebih memilih untuk menyesap rokok dalam-dalam. Kemudian mengembuskannya perlahan.
Armand tadi datang bersama Salasika. Aktris A list yang film terbarunya digadang-gadang akan mampu meraih Piala Citra tahun ini.
Dan Salasika datang menggandeng temannya. Seorang model papan atas. Yang wajahnya sering ia jumpai di iklan produk bergengsi.
"Dia lagi kosong."
"Hah?" ia tak mengerti maksud dari ucapan Armand.
"Lavanya is available ...."
Ia hanya mendesis.
"Move on lah," tanpa diminta Armand mulai memasuki setelan problem solving. Ciri khas yang tak terbantahkan. "Wake up (bangun)."
"I'm working on it (aku sedang melakukannya)," jawabnya malas.
"Then ... how bout she (lalu bagaimana dengan dia)?"
"Who (siapa)?" ia mengernyit.
"Lavanya lah. Siapa lagi," Armand terlihat kesal dengan kelambatan proses berpikirnya.
Ia tertawa sumbang, "Sorry, not my type (maaf, bukan tipeku)."
Tapi Armand balas tertawa sambil menggelengkan kepala, "Lavanya jelas type lu banget. Gua tahu lu, Tam!"
Ia bergeming. Lebih memilih untuk asyik menikmati rokok daripada harus mendebat Armand. Sambil mengarahkan pandangan ke atas panggung. Di mana band dadakan masih terus menampilkan lagu yang easy listening.
"Kau terindah, 'kan selalu terindah
Aku bisa apa 'tuk memilikimu?
Kau terindah, 'kan selalu terindah
Harus bagaimana 'ku mengungkapkannya?
Kau pemilik hatiku"
(Armada, Pemilik Hati)
"Gua akui dia cantik," gumaman Armand memecah kesunyian di antara mereka berdua. "Tapi dia cuma wanita out of nowhere (entah dari mana)."
"Latar belakang keluarga, pergaulan, life style (gaya hidup) ...." Armand menggelengkan kepala. "Terlalu jauh jarak membentang."
"Gua termasuk orang yang nggak pernah percaya kisah Cinderella ala fairytale," lanjut Armand. "Hidup ini terlalu rumit."
"Sekelas elu yang bakal jadi jenderal ... harus pilih pasangan yang selevel."
"Nggak bisa asal falling love with someone (jatuh cinta dengan seseorang) terus lu main serbu," Armand kembali menggelengkan kepala.
"Sementara karier dan masa depan lu jadi taruhannya."
"Kita lagi ngomongin siapa?" tanyanya sambil lalu. Dengan pandangan yang tak bisa fokus pada satu titik.
"Your off limit woman (wanita terlarangmu)."
"Oh, shit (sialan)!" makinya sambil tertawa sumbang. Begitu menyadari jika Armand ternyata sedang membahas tentang Pocut.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
dyul
Khan.... Khan...... tambah panas doi, di kipasin sibhadi, mkn gede apinya🤣🤣😉😉
2024-12-27
0
dyul
pas banget lagunya🤣🤣🤣🤣
kl gabut balik sini kangen pak pici
2024-12-27
0
dyul
hahaha..... yg di gibahin nongol, auto kliyengan🤣🤣🤣🤣
2024-12-27
0