The Longest Ride
(Perjalanan panjang)
***
Surabaya
Tama
"Terima kasih rekan-rekan semua ... atas kerja keras dan kerja samanya selama ini."
"Mohon maaf karena saya masih banyak kekurangan."
"Semoga ... kita semua selalu berada dalam kesehatan dan dilindungi oleh Allah SWT. Amiin Ya Robbal Alamin," ujarnya usai acara serah terima jabatan, di Gedung Mahameru Mapolda.
Tercatat, sejumlah pejabat utama di Polda berganti dan dimutasi. Termasuk Erik, yang ditunjuk menjadi Kasatreskrim Polrestabes (Kepala Saruan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Besar).
"Terima kasih, Komandan. Untuk seluruh ilmu dan teladannya selama ini," Erik memberinya penghormatan.
Ia mengangguk.
Namun sedetik kemudian tawanya justru meledak, "Guayamu ... Rek ... Rek!"
"Saya bangga, pernah menjadi anak buah Mas Tama," Erik masih saja memasang air muka serius.
Ia menggelengkan kepala sambil terus tertawa. Lebih memilih untuk membereskan barang-barang yang masih tersimpan di atas meja. Daripada harus meladeni Erik, yang tiba-tiba bersikap aneh. Seolah mereka akan berpisah selamanya. Padahal hanya mutasi jabatan.
"Apa kita masih bisa bersilaturahmi?" Erik menatapnya ragu. "Mungkin suatu saat saya sedang berada di Jakarta dan ...."
Ia tertawa, "Anytime (kapanpun), Rik. Nomorku masih yang sama."
Malam hari, ia sempatkan untuk berkunjung ke rumah Kinan dan berpamitan. Karena esoknya sudah harus terbang ke Jakarta.
"Reka ke mana?" tanyanya heran. Sebab sejak menit pertama menginjakkan kaki di rumah Kinan, tak sekalipun melihat batang hidung Reka.
Sementara saat ini, ia sudah pamit pulang dan hampir beranjak pergi.
Kinan berdehem sebentar, "Reka di kamar."
Ia mengernyit.
"Lagi ngerjain tugas. Banyak tugas jela ...."
"Dia nggak mau ketemu sama aku?" ia tertawa sumbang. Bahkan di saat terakhir keberadaannya di kota ini, Reka sama sekali tak mau peduli.
"Aku udah manggil dan bujuk dia, Mas," Kinan menghela napas panjang.
Ia mengangguk mencoba mengerti. Saat perpisahan seperti ini, bukan waktu yang tepat untuknya kembali berdebat dengan Kinan.
"Oke ... tolong bilangin ke Reka. Dia bisa datang ke Jakarta kapanpun dia mau," gumamnya pelan.
"I'll be waiting for (aku akan menunggu)," lanjutnya dengan penuh kesungguhan.
Kinan tersenyum menatapnya.
Dan ini membuatnya sedikit tercengang.
Sebab, rasanya sudah lama sekali ia tak melihat senyum menghiasi wajah Kinan.
Tiap kali mereka bertemu dan berbicara, hanya gelayut mendung dan kesedihan yang tertangkap oleh inderanya.
Di luar rasa marah dan luka yang bahkan masih basah, senyum Kinan jelas kemajuan pesat yang tak boleh dilewatkan. Meski sedikit luput dari pengamatannya.
"Are you happy (kamu bahagia)?" dan ia tak bisa untuk tak bertanya.
Sontak berhasil memancing Kinan untuk tertawa. Tawa renyah pertama yang mampir di telinganya. Terdengar penuh dengan kelegaan.
"Kamu ketawa ...." ia mengangguk mengerti. Dengan dada yang terasa sedikit nyeri. Demi menyadari, jika alasan dibalik senyum dan tawa Kinan. Jelas bukan dirinya.
Itu adalah orang lain.
Orang lain yang berhasil membawa kebahagiaan pada diri Kinan.
"Itu sudah menjelaskan semua," desisnya getir.
"Jangan salah sangka, Mas," Kinan menatapnya dengan kening mengerut. Terdapat pancaran rasa iba di kedua mata Kinan.
"Nope (enggak)," ia menggeleng. "I'm happy for you (aku turut berbahagia untukmu)."
Ia memang masih merasa marah, meski entah ditujukan kepada siapa. Namun melihat aura kebahagiaan di wajah Kinan, yang sejatinya bukanlah orang lain baginya. Karena Kinan pernah menjadi bagian hidupnya yang terpenting. Mereka berdua bahkan terikat seumur hidup dengan adanya kehadiran Reka.
Membuatnya sedikit merasa lega. Bahwa perpisahan yang cukup menyakitkan. Ternyata tak melulu meninggalkan luka. Karena komunikasi mereka berdua, justru semakin membaik pasca berpisah. Jauh berbeda ketika masih berstatus sebagai pasangan.
Kinan tersenyum menatapnya.
Begitupula dirinya.
Namun suasana canggung mendadak menyelimuti ruang kosong di antara mereka berdua. Membuat mereka sama-sama membisu kemudian tertunduk.
"Maafkan sikap dan tingkah laku Reka ...." kini Kinan telah kembali ke setelan awal. Yaitu murung.
"Aku akan memperbaiki semuanya," sambung Kinan lagi.
Ia hanya bisa mengembuskan napas panjang. Tak tahu bagaimana harus menanggapi.
"Tolong beri aku waktu," Kinan menatapnya sungguh-sungguh. "Akan aku jelaskan semuanya tentang kita."
Ia menelan saliva dengan cepat, "Aku tahu."
"Jadi ...." Kinan kembali tersenyum menatapnya. "Mas pasti senang bisa kembali ke rumah."
Ia tertawa. Namun seraya bertanya sebab tak mengerti, "Rumah?"
"Rumah," Kinan mengangguk.
Tapi hatinya justru semakin bertanya-tanya. Di mana gerangan rumahnya? Ia merasa tak pernah memiliki rumah. Tak pernah merasa memiliki tempat untuk dituju.
"Jika Mas sudah menemukan orang yang tepat ... jangan lupa kenalkan padaku," gumam Kinan hampir tak terdengar.
"Apa?" ia sampai harus balik bertanya agar tak salah mengerti.
"Kenalkan padaku ... wanita yang membuat Mas jatuh cinta," Kinan menatapnya.
Tapi ia justru tertawa walau tanpa suara.
"Aku ingin memberinya ucapan selamat ...." Kinan masih menatapnya. "Karena berhasil membuat pria yang hampir sempurna ... bertekuk lutut."
Detik itu juga tawanya benar-benar meledak, "What are you talking about (apa yang kamu bicarakan)?"
"Aku ingin tahu ... wanita mana dan seperti apa. Yang bisa membuat Mas jatuh cinta."
"Karena dia pasti sangat luar biasa."
"Mulai dari sekarang ... aku sudah ikut berbahagia untuknya."
***
Jakarta
Pocut
Ia sudah mengusahakan yang terbaik. Sholat istikharah, memanjatkan doa, memohon petunjuk. Namun kemantapan hati belum juga diperoleh.
"Saya tungguin ... ternyata nggak datang-datang ke kantor," ujar Pak Raka. Ketika sore ini tiba-tiba mendatangi rumahnya.
"Maaf, Pak. Saya masih belum yakin," jawabnya berusaha tetap sopan.
"Malah sejak kemarin, ada satu lagi ... orang administrasi yang cuti," Pak Raka justru membahas hal lain. "Kerjaan jadi numpuk."
"Saya hanya lulusan SMK, Pak," ia berusaha menjelaskan tentang keadaan yang sebenarnya. Sebab, ia sadar betul tentang kemampuan diri. Jelas bukan calon pegawai yang memiliki banyak keahlian.
"Belum pernah bekerja kantoran," lanjutnya lagi. "Banyak teori yang saya lupa juga."
"Apalagi sudah belasan tahun berlalu," kali ini ia tersenyum. "Sepertinya saya kurang pantas unt ...."
"Pantas atau enggaknya kan terserah saya," Pak Raka memotong ucapannya dengan cepat.
"Kerjaannya gampang kok. Cuma ngurusin pembukuan sederhana, surat menyurat, sama mengecek beberapa item tertentu," sambung Pak Raka berusaha semakin meyakinkannya.
"Bukan yang harus membuat laporan keuangan perusahaan atau semacamnya."
"Kerjaan administrasi harian ... biasalah yang kayak begitu ...."
"Lagipula ... saya percaya 100% sama kamu," kali ini Pak Raka bicara sembari mencondongkan badan ke arahnya.
"Jaman sekarang ... hire (merekrut) orang gampang-gampang susah."
"Kejujuran jelas poin utama."
"Di luar itu ... semua masih bisa dipelajari. Even skill mumpuni bisa tercipta karena terbiasa."
"Jadi ... saya tunggu di kantor. Besok?"
"Saya benar-benar sudah kewalahan. Banyak tugas harian yang terbengkalai."
"Dan saya ... belum menemukan orang yang tepat selain kamu."
"Bisa bantu saya untuk yang satu ini?"
Namun tanpa mengurangi rasa hormat, ia masih meminta waktu lebih pada Pak Raka untuk berpikir kembali. Sebab, permintaan Pak Raka agar segera bekerja, terdengar cukup aneh dan ganjil.
"Aku tahu Om itu naksir Mama," gumaman Icad membuatnya terhenyak.
"Abang!" ia coba memperingatkan putra sulungnya itu, agar lebih sopan dalam berbicara.
"Makanya maksa maksa Mama buat masuk kerja," sambung Icad tak menghiraukan peringatannya.
"Naksir itu apa, Bang?" tanya Sasa yang sedang asyik bermain Barbie di lantai depan televisi. Yang ternyata ikut mendengarkan obrolan mereka.
"Naksir itu suka," namun justru Umay yang menjawab. Cepat dan tangkas.
"Kalau Sasa suka makan strawberry ... berarti Sasa naksir strawberry, Bang?" Sasa kembali bertanya.
Dan ini sukses membuat Umay bengong. Tapi sedetik kemudian kembali menjawab dengan asal, "Ya ... gitu deh."
"Kalau Bang Umay suka semua makanan ... berarti Abang naksir semua makanan dong?"
Kali ini Umay mendelik, "Nggak gitu lah, Sa. Ah, bocil mana ngerti."
"Bocil ngomong bocil," Icad ikut menyahut.
Ia hanya menghela napas melihat tingkah ketiga anaknya. Lalu beralih ke arah Mamak, yang sedang menyelesaikan sweater rajut untuk Aran.
"Menurut Mamak ... bagaimana?" tanyanya ingin tahu.
"Bagaimana baiknya menurut kata hati saja," jawab Mamak seraya melempar senyum ke arahnya. Namun kedua tangan Mamak tetap aktif memainkan hakpen.
"Aku bingung," gumamnya dengan perasaan yang berkecamuk.
Sebab saat ini, ia benar-benar membutuhkan jalan keluar yang tepat. Untuk menghindar dari para pria yang datang ke rumah. Atau sekedar mengunjungi keude hanya untuk menggodanya.
Ia sungguh merasa jengah dan tak nyaman.
Terlebih, kali terakhir tamu yang datang ke rumah adalah Pak Camat. Camat di wilayah tempat tinggalnya, yang belum lama ditinggal wafat oleh sang istri.
"Almarhumah sering cerita ... tentang ayam tangkap dan masakan Mak Agam lainnya," terang Pak Camat yang datang bersama salah seorang stafnya.
Istri Pak Camat memang termasuk orang yang sering memesan ayam tangkap pada mereka.
"Almarhumah pasti tak akan keberatan ... kalau saya meminta Pocut ... untuk menjadi istri saya."
Ia yang tak pernah mengira, jika kunjungan Pak Camat ke rumah hanya untuk mengatakan hal seperti ini. Hanya bisa terdiam dan tertunduk bingung.
"Terima, Cut," seru Cing Ella penuh semangat. "Pak Camatnya juga masih muda. Gagah lagi."
"Kapan lagi punya kesempatan jadi istri pejabat, Cut," sambung Cing Ella dengan wajah serius.
"Mana pegawai negeri. Dapat uang pensiun. Masa depan jelas terjamin."
"Icad, Umay, Sasa ... bisa sekolah tinggi. Nggak perlu pusing mikir harga-harga yang pada naik."
"Ayo ... terima. Daripada elu selalu kebingungan cari tempat sembunyi."
"Dari semua laki yang mau sama elu ... Pak Camat ini yang paling berkualitas."
Ia menatap Cing Ella sambil menggelengkan kepala.
"Berkualitas," kini Cing Ella mengacungkan dua jempol dengan wajah sumringah.
"Terima. Ya? Ya? Ya?" Cing Ella makin bersemangat.
"Kalau semua cara sudah dilakukan ...." suara Mamak membuyarkan lamunannya. "Sekarang tinggal memikirkan dengan kepala jernih."
"Nanti ketetapan hati akan muncul dengan sendirinya," sambung Mamak seraya kembali tersenyum menenangkan.
Ia menghela napas panjang. Memperhatikan Icad yang sedang asyik menggambar di atas selembar kertas bekas. Lalu beralih pada Umay, yang sedang menggonta-ganti saluran televisi. Terakhir Sasa, yang sedang asyik bicara sendiri dengan boneka Barbienya.
"Kalau Mama kerja di luar ... gimana menurut Abang?" ia coba bertanya pada Icad. Yang sudah lebih dewasa dibanding kedua adiknya.
"Kerja itu apa, Ma?" tapi justru Sasa yang menyahut.
"Kerja itu cari uang," sambar Umay.
"Nanti Mama bisa dapat uang banyak dong?" kedua bola mata Sasa langsung mengerjap dengan gembira.
"Iya," Umay menganggukkan kepala. "Nanti ambil uangnya di mesin ATM. Sama kayak Yah bit. Keren kan?"
Sasa tertawa seraya mengangguk-angguk, "Berarti Mama bisa ajak kita jalan-jalan ke Mall ya, Ma? Kan udah punya ATM. Kayak Yah bit ...."
"Sok tahu," gerutu Icad ke arah Umay.
"Boleh, Ma ...." Sasa mengangguk mantap. "Mama boleh kerja kok. Nanti Sasa di rumah berdua sama Nenek. Ya, Nek?"
Mamak terkekeh mendengar celotehan Sasa.
"Bukan karena mau diajak jalan-jalan ke Mall kan?" tebak Umay campur menuduh.
Tapi Sasa tak menjawab. Sebab sudah kembali asyik di dunia Barbienya.
Menjelang pergi tidur, ketika ia sedang mengusapkan lotion anti nyamuk ke seluruh permukaan kulit tangan dan kaki Sasa, Icad mengetuk pintu kamarnya.
"Kenapa, Bang?"
Icad diam tak menjawab. Tapi mendudukkan diri di atas tempat tidur. Tepat di sampingnya.
"Mama masih ingat ...." Icad menatapnya ragu. "Kalau Abang nggak mau punya ayah baru?"
Ia tersenyum. Lalu mengangguk.
"Mama nggak akan menikah lagi," ujarnya sembari terus tersenyum. "Abang jangan khawatir."
"Mama cuma cin ...."
"Sekarang Abang berubah pikiran," sela Icad cepat.
Ia mengernyit tak mengerti.
"Mama boleh nikah lagi."
Ia semakin mengernyit bingung.
"Tapi sama orang yang Abang suka."
Kini ia mulai bisa tertawa. Lalu bertanya dengan hati was-was, "Memangnya Abang suka sama siapa?"
"Ustadz Arif," jawab Icad lugas.
Ia langsung terbengong-bengong begitu mendengar jawaban yang dilontarkan oleh Icad.
"Abang suka sama orang seperti Ustadz Arif," kini Icad memandanginya lekat-lekat.
"Abang mau punya ayah ... yang seperti Ustadz Arif," sambung Icad tak kalah mantap.
"Keren kayaknya ya, Ma ... kalau punya ayah seperti Ustadz Arif," gumam Icad dengan mata menerawang.
"Astaghfirullahal'adzim ...." ia langsung mengembuskan napas panjang. "Abang?"
"Itu kalau Mama mau," Icad mengangkat bahu. "Kalau enggak ya ... enggak apa-apa."
"Ustadz Arif kan sudah punya istri!" kali ini ia tak bisa untuk tak memelototi putra sulungnya itu.
"Ustadz Arif sudah punya Ustadzah Mutia, Abang," geramnya tak habis pikir. "Sebentar lagi malah Ustadzah Mutia mau melahirkan anak mereka yang ke tujuh."
Icad kembali mengangkat bahu, "Iya. Abang tahu."
"Abang ngomong begini karena nggak mungkin kejadian," sambung Icad enteng. "Makanya berani bilang ... kalau Mama boleh nikah lagi ... tapi sama Ustadz Arif."
Ia kembali mengembuskan napas panjang. Menyimpan sachet lotion anti nyamuk ke atas meja. Kemudian menyelimuti tubuh Sasa yang telah terlelap.
"Abang nggak usah khawatir ...." ia mengusap bahu Icad yang sudah hampir terbentuk sempurna. Makin hari terlihat kian lebar dan bidang. Tanda alami jika sebentar lagi Icad akan mengalami masa akil baligh.
"Mama nggak pernah mikirin tentang menikah lagi."
Icad mengangguk lemah.
"Mama cuma lagi bingung ... baiknya Mama terima tawaran kerja di luar atau enggak."
"Kalau menurut Abang ... gimana?"
Icad menatapnya tanpa ekspresi.
"Terserah Mama," akhirnya Icad menjawab seraya mengangkat bahu.
"Abang tahu kok ... kalau Om Raka orangnya baik," sambung Icad lagi. "Tapi yang bikin Abang nggak suka ... karena Om Raka naksir Mama."
Ia tertawa, "Naksir gimana?"
"Ya ...." Icad merengut. "Naksir sama Mama. Dari cara bicara Om Raka ke Mama ... udah kelihatan banget."
Ia kembali tertawa, "Abang ... Om Raka itu orang berada. Nggak mungkin naksir sama Mama yang orang biasa."
"Lagian kalau Om Raka itu mau cari istri ... pasti memilih yang masih single, belum punya anak, cantik, sama-sama orang berada .... Bukannya sama Mama yang udah punya banyak buntut," ia menggelengkan kepala, merasa tak habis pikir dengan kecurigaan Icad.
"Yah bit?" Icad mengernyit. "Ma bit (bibi) Anja juga orang kaya. Tapi bisa suka sama Yah bit."
"Yah bit kan orang biasa seperti kita," Icad menatapnya tak mengerti.
Tapi ia menggelengkan kepala, "Kalau Yah bit sama Ma bit ... beda lagi."
"Karena ada Dekgam?" tebak Icad.
"Abang ...." ia mengernyit tak setuju.
"Ya udah," Icad cemberut. "Kalau Mama mau kerja. Abang setuju setuju aja."
"Tapi Abang nggak setuju ... kalau Om Raka ngedeketin Mama."
"Abang nggak suka. Titik."
Dua hari kemudian, barulah ia berhasil menemukan jawabannya. Yaitu ketika seorang wanita, tiba-tiba datang ke keude hanya untuk memarahinya.
"Nggak usah ganjen lu! Mau ngerebut Pak Camat dari gue?"
Wanita cantik berpenampilan modis dan terhormat itu, terus saja mengatainya tanpa ampun. Sampai membuat beberapa pria pengunjung keude, berusaha menjauhkan wanita tersebut, agar tak bisa melayangkan pukulan padanya.
Kesalahpahaman masih saja terjadi. Keadaan bahkan hampir tak pernah menguntungkan dirinya. Berdiam dan mengurung diri di rumah jelas bukan jalan keluar yang terbaik.
Mungkinkah, dengan beralih sejenak ke tempat yang berbeda, bisa sedikit memperbaiki keadaan.
"Bismillah ...." Mamak tersenyum mengangguk, ketika ia meminta izin untuk mulai bekerja di Selera Persada. "Luruskan niat ...."
"Baru percobaan Mak," ia tersenyum. "Belum tentu diterima."
"Kontraknya juga hanya tiga bulan. Sampai pegawai yang lama bisa kembali bekerja," sambungnya lagi.
Mamak kembali mengangguk, "Hati-hati membawa diri."
"Mohon doanya selalu, Mak," ia beranjak untuk memeluk Mamak. "Semoga setelah tiga bulan ... keadaan sudah membaik."
Mamak mengusap punggungnya dengan perlahan.
"Aku bisa kembali berjualan di keude dan hidup dengan tenang ...."
"Aamiin ...." Mamak terus mengusap punggungnya lembut.
Ia akhirnya resmi, menerima tawaran Pak Raka untuk bekerja di Selera Persada.
Kantor pusat Selera Persada sendiri terletak di daerah Slipi. Berada satu lokasi dengan restoran Dapur Mitoha, yang terlihat selalu ramai pengunjung.
Dan tugasnya adalah, menggantikan pegawai di bagian administrasi yang sedang cuti. Dengan jam kerja sejak pukul 07.30 WIB sampai pulang di pukul 17.00 WIB.
Namun untuk seminggu pertama, ia masih berada dalam masa percobaan.
"Semangat ya, Cut," Pak Raka tersenyum ke arahnya. "Jangan mau kalah sama anak jaman sekarang."
Karena ia harus bersaing memperebutkan posisi di bagian administrasi. Dengan seorang gadis muda, yang baru saja lulus dari kuliah diploma.
"Saya yakin, Iren bakalan setuju-setuju aja kalau saya acc kamu ...." sambung Pak Raka dengan senyum terkembang.
"Ini hanya formalitas aja ...."
***
Keterangan :
The Longest Ride adalah sebuah novel terjemahan dari novel asli Amerika Serikat karya Nicholas Sparks. Kemudian diadaptasi ke dalam film dengan judul yang sama. Dibintangi oleh Scott Eastwood.
Akil baligh. : atau pubertas adalah proses perubahan fisik saat tubuh anak berubah menjadi tubuh dewasa, yang mampu melakukan reproduksi seksual (Wikipedia).
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
desember
😆😆😆😆😆 abang ich nu benerr baeee
2024-03-18
1
may
Woowww🤭
2024-01-23
0
Hayu Ayuk
prank....
2023-11-18
1