Show Me The Meaning of Being Lonely
(Tunjukkan padaku makna kesendirian)
-diambil dari judul lagu milik Backstreet Boys-
***
Surabaya
Tama
Ia berjalan melewati pintu kaca, yang dibukakan oleh seorang pegawai pria berseragam warna navy.
"Selamat malam, selamat datang di City Sky Club. Apakah sudah melakukan reservasi?"
Ia segera menyebutkan nama Wisak. Dan pegawai tersebut langsung mempersilakan untuk mengikutinya.
"Mari, saya tunjukkan tempatnya."
Ia mengekori pegawai tersebut, berjalan melewati deretan meja yang dipenuhi oleh pengunjung. Menuju tempat paling ujung. Berbatasan langsung dengan dinding pembatas kaca. Yang berada tak jauh dari meja bar. Di mana seseorang melambaikan tangan ke arahnya.
Setelah mengucapkan terima kasih pada pegawai yang baru saja mengantar ke tempat duduk, ia segera menyambut ajakan high five Wisak.
"Duda baruuu!" seloroh Wisak sambil terbahak.
Ia hanya menyeringai. Seraya mencomot welcome food yang tersimpan di hadapan Wisak. Yaitu sepotong breadstick dengan cacahan tomat dan lelehan saus keju di atasnya. Memiliki cita rasa yang mirip seperti pizza.
"Welcome to the whole new world (selamat datang di dunia yang baru)," Wisak masih saja terbahak.
"Not so new world (bukan dunia baru) juga sih ahahahaha ...." kali ini Wisak tergelak dengan penuh kepuasan.
Mulutnya yang terasa asam tetap mengunyah breadstick dengan gerakan cepat. Sama sekali tak berminat untuk menanggapi ejekan Wisak.
"Kalian bertiga bisa bikin trio nih," Wisak rupanya sedang bergembira. Sebab sejak menit pertama selalu mengakhiri ucapan dengan gelakan tawa.
"Elu, Rajas, sama Armand," Wisak mengangguk-angguk. "Trio duda manis manja. Buahahahahaah ...."
"Si Riyadh mana?" ia lebih memilih untuk mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru sisi rooftop. Namun tak berhasil menemukan sosok Riyadh.
Siang tadi Riyadh menghubunginya. Mengatakan jika sedang melakukan kunjungan kerja di Surabaya selama dua hari. Dan mereka berjanji untuk bertemu, di hotel tempat Riyadh menginap.
Sementara Wisak, sebenarnya sudah harus kembali ke Jakarta. Usai mengikuti sidak (inspeksi mendadak) menyambut Menteri ESDM (Energi dan sumber daya mineral) di Lombok Barat. Tempat di mana penambangan emas milik Dikara Group yang belum lama diresmikan. Mewakili Rajas, yang kabarnya tengah melakukan perjalanan bisnis ke daratan Eropa.
"Riyadh belum datang?" ia kembali bertanya. Sambil mencomot breadstick yang kedua. Sepertinya ia memang lapar.
"Tadi sebelum gua ke sini, masih meeting katanya," jawab Wisak seraya mengisap rokok dalam-dalam. Lalu mengembuskan asap putih secara perlahan ke udara.
"Never walk alone (tak pernah berjalan sendirian -jargon milik klub sepakbola Liverpool-)?" kini ia memiliki cara untuk membalas ejekan Wisak.
"Brengsek!" Wisak kembali terbahak. "Apaan setengah lusin kalah di kandang! Makan ati gua!"
Ia mencomot breadstick ketiga sembari tergelak.
Wisak adalah Liverpudlian. Dan kekalahan berturut-turut sebanyak 6 kali di laga kandang, jelas menjadi sasaran empuk jokes mereka. Yang paling menyakitkan tentu saja kalah 1-4 dari Manchester City di Anfield.
"Bye, Champions," ia bergumam dengan penuh kepuasan.
Bersamaan dengan datangnya seorang pegawai wanita, yang meletakkan welcome drink and food ke atas meja. Termasuk dua buah buku menu yang juga bersampul warna navy.
"Silakan. Nanti kalau mau pesan, bisa panggil saya," pegawai wanita itu mengangguk ramah.
"Makasih, Mba," ia balas tersenyum.
Begitu pegawai tersebut berlalu, ia dan Wisak kembali saling mengejek. Berdebat tentang siapa yang akan menjadi juara Liga Primer di musim ini. Apakah tim asuhan Pep Guardiola atau justru Setan Merah yang tampil secara mengejutkan.
Ketika Riyadh muncul dari kejauhan dengan langkah tergesa.
"Sori, telat," ujar Riyadh begitu sampai di hadapan mereka berdua. "Lama nunggu?"
"Untuuung lu datang, Ri!" Wisak bernapas lega. "Habis gua dibantai sama si setan merah!"
Ia tergelak dengan penuh kepuasan.
"Keseringan bongkar pasang pemain sih!" Riyadh langsung larut dalam arena pembantaian. "Kebanyakan judi di starting eleven (11 pemain di menit pertama)!"
"Harusnya begitu kalah dua kali di kandang, udah bisa ketemu tuh penyakitnya," Riyadh ikut mencomot breadstick.
"Ini malah makin menjadi!" Riyadh menggelengkan kepala.
Mereka bertiga kembali larut dalam ejekan. Sambil sesekali terbahak. Membahas semua hal yang bisa mengendurkan urat syaraf. Mulai dari sepakbola hingga menilai deretan lalu lalang para wanita, yang tampil stand out di sky bar ini.
"Cakep cakep ceweknya," Wisak menyeringai. "Pantes lu betah tinggal di sini, Tam!"
Ia balas menyeringai.
"Oi, si Tama mana ada waktu kelayapan!" Riyadh tertawa sumbang. "Dia udah mabok ngejar gembong narkoba sama mafia."
Ia mengangguk setuju ke arah Riyadh.
"Nggak harus kelayapan toh?" Wisak tertawa. "Tinggal pilih, bisa delivery."
"Lu kate pesen ayam goreng!" Riyadh memaki namun sambil tergelak.
"Ayam fresh dong ah!" Wisak mendesis.
"Ngomong-ngomong tentang ayam, gua laper berat," ia tak mampu menyembunyikan rasa lapar yang sedari tadi mengganggu.
Wisak mengangguk setuju, "Kita fine dining. Full course menu."
"Gua baru aja makan," Riyadh menolak. "Dessert aja lah."
"Bro ... bro ...." Wisak melihat ke arah Riyadh lalu mengerling padanya. "Kita jamu duda baru dooooong."
"Sakit hati bisa sedikit terobati dengan lezatnya makanan ... dan perut yang kenyang. Iya nggak, Tam?" Wisak menabok bahunya lumayan keras.
"Ba ji ngan!" ia memaki. Tapi sambil tertawa sumbang.
Seraya menikmati pemandangan kota Surabaya di malam hari dari lantai 21 hotel berbintang. Menyaksikan hamparan lampu gedung pencakar langit dan juga kendaraan di bawah sana. Mereka memulai dengan starter yang lezat yaitu oriental salad.
Sembari terus memperbincangkan banyak hal. Namun ujungnya tetap bermuara pada bahasan tentang pekerjaan masing-masing.
Wisak yang tengah disibukkan oleh keberadaan tambang emas baru milik Dikara di Lombok. Riyadh di mana kementerian tempatnya bekerja, sedang giat melakukan pembangunan infrastruktur. Terutama jalan tol trans Jawa. Sementara ia tentu saja, berkisar tentang seputar kasus Om Jusuf, yang belum juga menemukan titik terang.
"Gua disuruh ngeluarin SP3 (surat perintah penghentian penyidikan)," ia menggelengkan kepala tak habis pikir.
Wisak ikut menggeleng tanda tak percaya.
Sementara Riyadh mengumpat pelan, "Gila!"
Dari masalah pekerjaan yang cukup memusingkan, mereka beralih membicarakan hal yang lebih privat. Seperti,
"Gimana rasanya bebas?" Wisak mengu lum senyum penuh arti. "Flying like a bird (terbang seperti burung). Fantastis ...."
Tapi ia menjawab dengan sangat serius, "Jujur ... gua lega. Akhirnya masalah sama Kinan selesai."
Kemudian mengembuskan napas panjang, "Tapi gua juga nyesel bisa sampai di titik ini."
"Nyesel lepasin bini lu?" Wisak mengernyit.
"Bukan," ia menggeleng. "Nyesel kenapa gua nggak usaha dari dulu. Tahu-tahu udah ...." ia kembali menghela napas panjang.
"Nggak bisa ditolong lagi," lanjutnya dengan berat hati.
"Kalian berapa kali mediasi?" Riyadh tertarik ingin tahu. "Ada tuh temen gua, bolak balik mediasi nggak ada titik temu."
"Stres dia," lanjut Riyadh. "Dari urusan gono gini, balik nama asset, sampai hak asuh anak."
"Meh," Riyadh menggelengkan kepala.
"Kita nggak ada ribut-ribut soal itu sih," jawabnya seraya mengembuskan napas.
"Reka udah jelas sama Kinan," ia tersenyum getir. "Orang sama gua kelihatan benci banget."
"Parah lu sampai dibenci anak sendiri," Riyadh menggelengkan kepala. "Lu nggak ada usaha buat ngedeketin dia?"
Ia mengangkat bahu, "Titik ini yang gua sesali habis-habisan."
"Kinan ngomong jelek tentang elu ke Reka?" tebak Wisak.
Ia menggeleng, "Gua nggak ngurusin itu, man. Terserah Kinan mau ngomong apa ke Reka. I don't care."
"Yang gua sesali adalah .... gua ke mana aja selama ini? Sampai kami berdua jadi seperti orang asing," ia kembali menghembuskan napas panjang.
Mengingat tentang Reka selalu menimbulkan rasa pedih di dada. Pertemuan pertama mereka berdua beberapa hari lalu bahkan berakhir buruk.
Karena Reka memilih untuk kabur darinya, saat permisi pergi ke toilet. Sementara ia terus menunggu seperti orang bodoh di tengah restoran yang ramai. Sampai hampir satu jam lamanya. Sebelum akhirnya Kinan menelepon dan meminta maaf. Memberitahu jika Reka sudah berada di rumah.
"Waktu benar-benar nggak akan pernah kembali," pungkasnya dengan napas berat.
"Jadi ... lu nggak ada mediasi mediasian?" Riyadh kembali bertanya. "Langsung tancap gas?"
"Dua kali mediasi dan sidang, kami berdua sama-sama memutuskan untuk nggak hadir," jawabnya seraya melahap main menu berupa wagyu steak. Yang sebenarnya lezat, namun entah mengapa terasa hambar begitu memasuki mulutnya.
"Langsung ketuk palu," sambungnya miris.
"Kalau mediasi antar keluarga?" Riyadh mengernyit. "Pasti alot tuh Om Setyo kasih ijin cerai."
Ia kembali mengangkat bahu, "Masalah gua sama Kinan udah terlalu lama. Udah kronis akut. Kinan bahkan udah nggak pernah nginjak rumah orangtua gua sejak Reka balita."
"Sades!"
"Parah!"
Riyadh dan Wisak menatapnya iba.
"Dulu awal-awal Kinan menghilang dari keluarga besar gua, kita sempat beberapa kali disidang," ia mencoba mengingat.
"Duduk berempat sama Papa Mama."
"Gua maunya apa. Kinan maunya apa."
"Tapi ...." ia menggeleng pasrah. "Nggak pernah ada titik temu. Yang ada gua makin stres."
"Daripada pusing ... mending gua lampiaskan ke pekerjaan. Right?" ia melontarkan pertanyaan retoris pada dua orang sahabatnya itu.
"Itulah, Tam," Wisak mendesis. "Married is worst thing ever (menikah adalah hal terburuk)."
"Not my type (bukan tipeku)," Wisak menggeleng mantap. "Mana kalau cerai mesti ngurus ke Vatikan. Kayak si Rajas tuh! Berat!"
Ia tetap melanjutkan makan. Sementara Riyadh terlihat berpikir.
"Jadi ... lu mutusin buat pisah, udah melalui banyak pertimbangan?"
Ia memandang Riyadh, "Ratusan kali."
"Bahkan ribuan kali berpikir mungkin," lanjutnya lagi. "Gua nggak pernah yakin kalau perceraian adalah hal yang tepat."
"Meski gua nggak bahagia. Dan gua yakin banget ... Kinan juga tersiksa."
"Yah, bro ...." Wisak tertawa sumbang. "Kalau kalian berdua tersiksa, kenapa mesti dipertahankan?"
"Hidup hanya sekali!" Wisak menggeleng tak setuju. "Harus kita nikmati."
"Maksud gua ...." ia menelan saliva yang juga terasa pahit. "Gua selalu berpikir ... someday (suatu hari) ... somehow (entah bagaimana caranya) ... gua masih bisa memperbaiki keadaan sama Kinan."
"Tapi ternyata ...." ia mengangkat bahu. "Malah makin rumit."
"Gua tahu kami berdua sama-sama nggak bahagia," sambungnya. "Tapi melihat Kinan bersama orang lain ...."
"Paman elu, man," sela Wisak tanpa tedeng aling-aling. "Paman elu sendiri! Bukan orang lain!"
Ia hanya menyeringai masam ke arah Wisak. Lalu bergumam getir, "Melihat Kinan bersama Om Pram di apartemen. Sampai seluruh anak buah gua menghalangi buat kita bisa ketemu."
Ia memaki demi mengingat kembali kejadian di apartemen.
"Kita bahas yang lain lah," Riyadh memandangnya khawatir. "Eh, Sak! Gimana kabar proyek di Belitung? Udah diberesin sama Yugo?"
Tapi ia kembali meneruskan kalimat, "Melihat mereka berdua di depan mata. Bikin gua bener-bener nggak bisa mikir lagi!"
"Apalagi waktu kita ketemu untuk yang kedua kali ... di hari ulangtahun Reka," sekarang ia sedang tak ingin berhenti berbicara. "Bang sat!"
"Gua pikir ... enough (cukup). Gua sama Kinan nggak ada jalan lain lagi kecuali pisah."
Suasana di antara mereka bertiga mendadak hening. Hanya terdengar suara denting sendok yang beradu dengan piring. Serta gumaman percakapan orang-orang di sekeliling mereka. Dan sajian live music dari arah panggung.
"Kita buka lembaran baru ...." seloroh Wisak memecah kesunyian. Lalu merangkul bahunya. Namun ia mengendik, berusaha melepaskan rangkulan Wisak.
"Selamat tinggal masa lalu dan segala penyesalan elu!" namun Wisak terus berusaha merangkulnya. Hingga mereka berdua terlibat adu otot. Karena ia terus berusaha menghindar.
"Singkirin tangan lu!" makinya berang.
Namun Wisak justru terbahak. Pun dengan Riyadh.
"Mungkin dengan perceraian ... lu berdua jadi bisa berteman," Wisak yang tak lagi berusaha merangkulnya mempermainkan alis naik turun.
"Yang pasti ... ada banyak bunga nungguin elu, Tam!" Wisak merentangkan kedua tangan ke samping.
"Tuh lihat ...." kemudian Wisak menunjuk ke satu arah.
"Cewek di sana dari tadi ngelihat ke arah kita terus," sambung Wisak dengan senyum sumringah.
"Iya sih, utamanya pasti lihatin gua ... siapa lagi kan," imbuh Wisak dengan gaya narsisnya.
Lalu Wisak terbahak, "Gila! Dari tadi nggak kedip lihatin elu!"
"Parah nih! Gua kalah set lagi sama duda! Brengsek!" Wisak pura-pura memaki.
"Duda selalu terdepan, bro," Riyadh mendesis.
Tapi ia hanya menyeringai malas, "Gua nggak mikir hal selain Reka."
"Gua udah pernah gagal sekali," lanjutnya getir. "Gua nggak mau terluka lagi."
"Ah, serius amat sih!" Wisak mengernyit tak senang.
"Gua tahu, lu lagi pingin gebukin orang," seloroh Riyadh.
Ia tertawa keras menyetujui ucapan Riyadh.
"Soal gebuk menggebuk sih emang elu jagonya!" Wisak ikut tertawa. "Tuh!"
Ia dan Riyadh mengikuti arah pandangan Wisak.
Sejurus kemudian, Riyadh dan Wisak sama-sama menyeringai. Tapi ia menggelengkan kepala menolak mentah-mentah.
Tapi sepuluh menit berlalu, ia justru telah bersiap di belakang drum. Tengah menunggu Riyadh yang masih menyetel bass. Sementara Wisak duduk tepat di depan panggung. Sambil mengacungkan dua jempol ke atas tinggi-tinggi.
Sebenarnya, menggebuk drum adalah hobi lamanya yang hampir terlupakan. Dulu jaman SMP, ia sempat memiliki band bersama beberapa orang teman. Namun begitu masuk ke SMA berasrama, masa depan bandnya langsung bubar jalan. Dan menggebuk drum hanya menjadi kegiatan sampingan bersama teman-teman terdekat. Ngejam ala kadarnya untuk menghilangkan penat sebab tuntutan hidup dan pekerjaan.
"Siap?" Riyadh menoleh ke arahnya.
Ia mengangguk.
Tadi mereka berdua sempat berbicara dengan penanggungjawab homeband. Meminta izin untuk memainkan musik yang sedikit menghentak.
"Just one song (hanya satu lagu)," Riyadh berjanji. Diiringi anggukan persetujuan dari penanggungjawab homeband dan manager sky bar.
Ia tersenyum sendiri saat mengangkat stick drum. Dengan kaki kanan bersiap di atas pedal. Kemudian mulai memukulkannya pada snare, bass, dan juga cymbal dengan penuh semangat.
Drum! Drum! Drum! Casss!
Memancing Wisak untuk menjadi satu-satunya orang, yang berdiri dari kursi sembari bertepuk tangan dengan penuh semangat.
Kini ia tengah memainkan intro. Namun karena saking lamanya tak pernah bermain drum. Kaki kanannya sempat terbang dan terlambat menginjak pedal. Alhasil ia beberapa kali ... blak! Terkena hantaman beater pedal. Dan rasanya lumayan sakit.
Tapi ia justru tertawa. Dengan penuh semangat langsung masuk ke Moby Dicknya Led Zeppelin. Sementara Riyadh berusaha mengimbangi permainannya menggunakan bass.
Dan di luar dugaan, hampir seluruh pengunjung yang berada di sky bar ini langsung bertepuk tangan menyambut permainan musik mereka berdua. Memberikan atensi luar biasa pada penampilan dadakan yang sama sekali tak direncanakan.
Ia terus memukul drum dengan penuh semangat. Meluapkan amarah, penyesalan, dan perasaan buruk lain. Yang beberapa minggu terakhir begitu mengganggu.
Berusaha melepaskan seluruh prasangka dan perasaan negatif yang melingkupi.
Tunjukkan padaku makna kesendirian, bisik sudut hatinya yang terdalam.
Itu adalah seluruh rasa pedih, menyakitkan, sekaligus penyesalan.
Dan suara tepuk tangan meriah berhasil mengejutkannya. Padahal ia masih berada di tengah-tengah alunan ciamik Moby Di ck.
Disusul tolehan kepala Riyadh ke arahnya dengan senyum terkembang,
"Lagi?"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
dyul
udah sakit, tambah sakit, selingkuhan si kinan, omnya sendiri....
gak gila atau bunuh diri aja udah keren
2024-12-26
0
YuWie
doble kill tam...sante saja kinan akan gelo nantinya ninggalin kamyu
2025-02-01
0
mentari
ternyata mertua yg terlalu baik dan ngga ikut campur,bikin mantu ngelunjak ya.
2024-10-07
0