Meurumpok Deungon Gata Lom
(Berjumpa denganmu lagi -bahasa Aceh-)
***
Jakarta
Pocut
"Saya tahu ... kamu nggak akan membuat semua jadi mudah."
Ia harus bersusah payah menelan ludah saat mendengar keluhan Pak Raka.
"Sangat menantang ...." kali ini gumaman Pak Raka hampir luput dari pendengarannya.
"Saya harap ...." ia kembali menelan ludah. "Ini tidak berpengaruh terhadap kerjasama ant ...."
"Enggak lah," Pak Raka tertawa. "Klausul tentang kerjasama dengan Bu Cut Rosyida sudah dibuatkan perjanjiannya. Nggak ada hubungannya dengan ini."
Ia mengangguk sembari mengembuskan napas lega.
Penghasilan Mamak dari jalinan kerjasama dengan Selera Persada jelas lebih dari cukup. Perbandingannya hampir 1 : 3. Bisa diibaratkan jika angka 1 adalah laba yang dihasilkan keude mereka dalam sehari. Sementara Selera Persada bisa memberi mereka angka 3, bahkan tanpa harus melakukan apapun. Murni berasal dari resep racikan Mamak yang khas.
"Saya bukan orang yang suka memohon," ujar Pak Raka kemudian. "Tapi ini jelas perkecualian ...."
"Jadi ... dengan segenap kerendahan hati ... saya meminta secara khusus kepada kamu ... untuk bersedia menjadi sekpri saya ...."
"Untuk jangka waktu kurang lebih selama ... satu bulan."
"Sampai open recruitment bulan depan."
"Bersamaan dengan rencana pembukaan outlet baru di beberapa mall."
"Karena kalau sekarang saya rekrut orang baru ... waktunya nanggung. Nggak match sama program HRD.
"Jadi ... biar sekalian."
"Gimana?" Pak Raka mengerling ke arahnya. Membuat kepalanya spontan tertunduk dengan segera.
"Nanti bulan depan ... begitu saya dapat sekpri baru, kamu bisa langsung resign."
"Saya lagi memohon nih ...." Pak Raka tertawa kecil.
"Skill bisa dipelajari dan diasah," imbuh Pak Raka cepat. Ketika ia hendak menyuarakan sanggahan.
"Tugasnya nggak berat kok," lanjut Pak Raka lagi. "Kamu cukup mengatur jadwal saya setiap hari, menerima dan mencatat panggilan telepon yang ditujukan untuk saya, mengetik surat, menerima tamu ...."
Ia menelan ludah dengan cepat.
"Apalagi ya?" Pak Raka justru balik bertanya. "Udah ... begitu aja tugasnya. Gampang kan?"
Selama ini, Pak Raka sudah banyak membantu dirinya juga Mamak. Dengan sabar membimbing mereka, yang tak tahu menahu tentang bagaimana cara menjalin kerja sama dengan pihak lain secara profesional. Menjadi mengerti dan paham.
Memfasilitasi mereka yang tak pernah berpengalaman, dalam memasarkan cita rasa ke khalayak yang lebih luas. Kini menjadi tahu dan bisa.
"Ruangan yang berbeda ...." sambung Pak Raka karena ia tak kunjung menjawab.
"Pintu yang terbuka lebar. Apalagi?" Pak Raka memandangnya seraya mengerutkan dahi.
"Oh ya ...." Pak Raka mendadak seperti teringat sesuatu. "Saya nggak akan antar kamu pulang ... kalau itu bikin kamu jadi berat untuk menerima tawaran saya."
"Biar saya suruh Hadi buat antar jemput kamu ...."
Ia mulai kesulitan untuk menelan ludah. Lehernya bahkan terasa tercekik.
"Biar orang-orang kantor nggak gosipin kamu. Begitu kan?"
Kali ini lehernya benar-benar merasa tercekik.
Dulu, Bang Is selalu menggodanya. Jika ia adalah jenis orang yang tak memiliki pendirian, tak bisa menolak permintaan orang lain, sekaligus peragu.
Benar-benar kombinasi sifat lemah yang tak menyenangkan. Bahkan ujung-ujungnya, lebih sering merepotkan diri sendiri.
Dan saat ini, ia semakin membuktikan tentang kebenaran dari ucapan Bang Is dahulu. Karena ia tak lagi bisa menolak permintaan Pak Raka.
Ia jelas tak memiliki kemampuan untuk menjadi seorang sekpri. Ia hanya seorang ibu rumah tangga yang tak berpengalaman, tak tahu apa-apa, dan tak memiliki keahlian khusus.
Ia sudah berusaha menolak. Tapi ternyata Pak Raka memohon. Dan di titik inilah ia merasa tak mampu untuk terus berkata "tidak".
"Tolong doakan aku, Mak ...." ucapnya malam ini dengan berat hati.
"Kenapa lagi?" Mamak memandanginya dengan penuh selidik. "Ada masalah di tempat kerja?"
Ia mencoba tersenyum dan menggeleng.
"Doakan aku ... selama sebulan ini, bisa bekerja dengan baik," gumamnya seraya mengembuskan napas panjang.
"Dan semoga bulan depan ... saat aku kembali ke keude, sudah tak ada lagi kejadian seperti kemarin ...."
"Sudah tak ada lagi orang yang datang ke rumah mencari aku," sambungnya dengan hari gundah.
Tapi Mamak masih memandanginya dengan penuh selidik, "Kerjanya jadi sebulan? Nggak tiga bulan?"
"Atau ini pekerjaan yang berbeda?"
Dan ia hanya bisa membalas tatapan Mamak dengan ekspresi gugup.
-------
Dengan penuh rasa bimbang dan keraguan sebab tak bisa menolak, ia akhirnya menerima permintaan dari Pak Raka.
Hanya sebulan ... hanya sebulan, batinnya berulangkali. Berusaha menenangkan diri sendiri.
"Bu!" seru Luky dengan wajah sumringah. Ketika pagi ini ia datang paling awal di kantor. "Akhirnya ibu resmi bekerja di sini."
Ia hanya tersenyum malu.
"Saya seneng sekali, Bu," ujar Luky sungguh-sungguh. "Akhirnya Pak Raka nemuin pawangnya."
Telinganya mendadak awas. Dan matanya berubah waspada, "Pawang gimana maksudnya?"
Luky mengu lum senyum terlebih dahulu sebelum berucap, "Ibu belum tahu ya ... gimana seremnya Pak Raka kalau di kantor."
Ia semakin mengernyit tak mengerti, "Serem gimana?"
"Ibu juga pasti belum tahu ya ... kalau sekpri Pak Raka yang terakhir, minta resign di minggu pertama kerja."
Kedua bola matanya langsung membulat sempurna.
"Nggak ada toleransi untuk kesalahan sekecil apapun," lanjut Luky dengan wajah serius. "Sekali kita melakukan kesalahan ...."
Ia menunggu kalimat lanjutan Luky dengan wajah cemas.
"Habis kita, Bu," Luky menggelengkan kepala dengan mimik ngeri.
"Tapi kayaknya ... kalau ke ibu beda sih ...." seloroh Luky cepat.
"Beda gimana?" keningnya kembali mengerut.
"Yaaa ... beda aja ... cara ngomong Pak Raka ke ibu tuh ... kayak ada sparksnya gitu ...." Luky mengangkat bahu seraya melempar senyum.
Dan ia membuktikannya, di hari pertama resmi bekerja menjadi sekretaris pribadi.
"Pocut! Ke ruangan saya!" seru Pak Raka melalui sambungan telepon ekstensi.
Dengan tergopoh-gopoh ia segera pergi menuju ke ruangan Pak Raka. Di mana Pak Raka terlihat sedang memarahi dua orang pegawai sekaligus.
"Pocut! Tolong ketikkan surat ini," Pak Raka menyerahkan selembar kertas yang penuh coretan.
"Print rangkap tiga. Kirim soft filenya ke email saya dan Bu Iren," imbuh Pak Raka cepat. "Tahu alamat email saya kan?"
Ia mengangguk.
Di mejanya, terdapat satu buku khusus berisi daftar nama pegawai setingkat kapten ke atas. Beserta nomor ponsel dan alamat emailnya. Dan yang berada di urutan paling atas adalah nama Pak Raka serta Bu Iren.
Ketika ia menyelesaikan tugas mengetik surat yang dimaksud. Kemudian menyerahkannya pada Pak Raka. Dua orang pegawai yang tadi, masih berada di dalam ruangan Pak Raka. Sedangkan yang empunya ruangan, terlihat belum menuntaskan amarah.
"Ini pelajaran berharga!"
Saat ini Pak Raka terlihat jauh berbeda jika dibandingkan biasanya. Aura meledak-ledak penuh emosional terlihat jelas terpancar di wajah Pak Raka.
"Bagaimana cara menghandle complain pelanggan!"
"Keberadaan mereka itu sumber penghidupan kita!"
"Hal sesederhana ini harusnya sudah sangat dipahami oleh kalian berdua, sebagai manager outlet dan corporate secretary!"
"Saya sengaja memilih pegawai dari lulusan top tier university! Tapi kinerja kalian ternyata tak mencerminkan hal itu! Buruk! Sangat buruk!"
Begitu ia kembali ke ruang administrasi keuangan, hampir seluruh pegawai tengah berkumpul di salah satu meja. Sedang saling berbisik membahas masalah, yang membuat Pak Raka mengamuk siang ini.
"Bu Cut!" seru Luky seraya melambaikan tangan ke arahnya.
Luky adalah staf HRD. Ruangannya berada di sebelah. Tapi Luky seolah memiliki kemampuan khusus untuk membelah diri. Sebab pemuda berparas jenaka itu, hampir selalu terlihat di setiap titik keramaian kantor.
"Gabung sini! Jangan sendirian aja!"
Ia tersenyum mengangguk. Tapi tetap tak beranjak dari tempat duduk.
Menggosipkan orang lain jelas bukan hobinya. Terlebih hampir seluruh pegawai yang berada di ruang administrasi keuangan, bersikap acuh padanya. Seolah ia tak berada di sana. Sebagian lagi bahkan terang-terangan memasang wajah masam terhadapnya.
Jadi, lebih aman baginya untuk berdiam diri tak ikut bergabung. Meski itu bisa diartikan sebagai legitimasi, jika ia memang dikucilkan oleh lingkungan.
Hanya sebulan ... hanya sebulan, bisiknya dalam hati untuk menghibur diri.
"Lho, kok sendirian aja, Cut?" teguran dari seseorang berhasil mengejutkannya.
Saat ini sedang jam istirahat. Sebagian besar pegawai tengah berkumpul untuk makan siang bersama. Kecuali dirinya tentu saja.
"Wah ... kalian nggak fair nih," seru Pak Raka, orang yang baru saja menegurnya. Kepada orang-orang, yang sedang duduk berkumpul menyantap makan siang.
"Orang baru malah dicuekin," Pak Raka menggelengkan kepala. "Bukannya dirangkul."
"Enggak, Pak," sanggah Nadia, sang staf accounting mewakili teman-temannya. "Kita enggak nyuekin Bu Cut kok ...."
"Udah diajak tadi," tambah Nadia lagi. "Tapi Bu Cut nya nggak mau ...."
"Bener?" Pak Raka mengernyit. Terlihat tak percaya mendengar penuturan Nadia.
"Betul, Pak," ia segera menyela. "Tadi sudah diajak. Tapi saya mau menyelesaikan ini dulu."
Pak Raka beralih melihat ke arahnya, "Ngerjain apaan lagi jam istirahat? Mending temenin saya makan siang."
Hanya sebulan ... hanya sebulan, ia kembali membisiki diri sendiri. Berusaha menguatkan hati karena suasana yang serba tak mengenakkan.
Mulai dari Pak Raka, yang terang-terangan memberi perhatian lebih. Hingga rekan seruangan, yang kian hari kian memasang wajah masam padanya. Termasuk selentingan gosip tentang dirinya, yang mulai beredar di kantor.
"Bu ...." ujar Luky siang ini. Saat sebagian besar orang di ruangan, sedang turun ke bawah untuk jajan bakso.
"Saya bukannya kurang ajar ya, Bu ...." seloroh Luky dengan wajah malu-malu. "Cuma penasaran aja. Hehehe ...."
"Kenapa?" tanyanya sambil tertawa.
Menghadapi Luky selalu memancingnya untuk tertawa. Padahal usia Luky jauh di atas Agam. Tapi gaya dan kepribadian Luky masih seperti anak sekolah.
"Ibu calon istrinya Pak Raka, ya?"
"Astaghfirullahal'adzim!"
"Bu! Jangan bikin saya kaget dong! Masa langsung nyebut sih? Emangnya saya musibah?" gerutu Luky. Karena ia mengucapkan istighfar dengan nada yang cukup tinggi.
Ia kembali beristighfar, lalu mengembuskan napas panjang.
"Bukan, Luky. Saya bukan calon istri siapapun. Apalagi Pak Raka," jawabnya dengan hati setengah mendongkol.
"Suami saya cuma satu, tapi sudah meninggal dunia," imbuhnya dengan suara bergetar. "Dan saya nggak ada rencana untuk menikah lagi."
Luky hanya melongo mendengar penjelasannya, "Padahal cocok lho, Bu. Sama Pak Raka."
"Pak Raka yang meledak-ledak ... sama ibu yang lembut, adem kek ubin mesjid ...."
"Luky!" di saat seperti ini, ia selalu merasa, jika Luky adalah Icad yang sedang berbicara sembarangan.
Ia tentu tak ingin gosip yang beredar di kantor semakin bertambah parah. Selain tak sesuai dengan kenyataan. Juga bisa menghambat pekerjaan. Karena pergerakannya yang lambat dalam mengerjakan tugas, menjadi semakin lambat karena takut salah.
"Cut! Tolong cari PKS (perjanjian kerja sama) dengan ...." ucap Pak Raka melalui sambungan telepon ekstensi. Seraya menyebutkan sejumlah nama perusahaan rekanan.
"Antar ke ruangan saya ... sekarang!"
"Baik, Pak."
Sejak pagi, ia telah disibukkan oleh tugas yang menumpuk. Ia bahkan tak sempat memakan bekal makan siang yang dibawa dari rumah. Sebab saking banyaknya dokumen yang harus diketik kemudian dikirimkan.
Dan panggilan Pak Raka kali ini, menjadi kesempatan pertamanya, untuk beranjak sejenak dari depan layar komputer.
Sambil membawa setumpuk file yang diminta oleh Pak Raka, ia berjalan keluar ruangan. Melewati pintu ruang HRD, kemudian ruang rapat. Lalu menyusuri selasar yang membelah tepat di depan convention hall.
Ruangan khusus berkapasitas besar, yang sering disewa oleh sejumlah instansi. Untuk menyelenggarakan event tertentu, rapat kerja dan hal sejenis lainnya.
Namun ada yang berbeda kali ini. Di depan pintu convention hall, terlihat beberapa pria berseragam cokelat sedang mengobrol sambil tertawa.
Sementara dari arah pintu convention hall yang terbuka lebar. Terdengar alunan musik dangdut yang sedang hits.
"Ayo goyangnya mana, Pak ...."
"Mari ...."
Suara serak-serak basah khas biduan dangdut terdengar jelas mampir di telinganya.
Membuatnya berusaha untuk segera mempercepat langkah. Melewati sekumpulan pria berseragam cokelat, menuju ruangan direktur yang berada di seberang.
Ia mengetuk pintu kaca terlebih dahulu sebanyak dua kali.
"Masuk!" suara Pak Raka terdengar mempersilakannya.
Dengan sekuat tenaga, didorongnya pintu kaca yang lumayan berat itu. Lalu melangkah masuk ke dalam ruangan.
Tapi ternyata Pak Raka tidak sendirian. Ada Bu Iren yang tengah duduk di sofa tamu. Sedang tertawa-tawa dengan seseorang, yang posisi duduknya memunggungi pintu masuk. Hingga ia tak bisa melihat wajahnya dengan jelas.
"Ini filenya, Pak," ucapnya sambil berjalan mendekat ke meja Pak Raka.
Detik itu juga, orang yang sedang tertawa-tawa dengan Bu Iren menoleh ke arahnya.
Dan ia merasa, jika saat ini sedang mendapatkan mimpi buruk. Mimpi buruk yang sangat mengejutkan.
"Lho, kok di sini?"
Ia bahkan hampir tak bisa bernapas. Begitu menyadari, jika pria yang sedang berbincang dengan Bu Iren adalah kakak ipar Agam. Kakak pertama Anjani.
Ya, tentu saja ia masih bisa mengingat nama pria tersebut. Hanya sedang tak ingin menyebutkannya.
"Kok ... bisa?"
Tama bahkan beranjak dari duduk. Dan memperhatikannya lekat-lekat seperti sedang melihat hantu.
"Bisalah," seloroh Pak Raka. "Sini, Cut."
Ia mengangguk dengan gugup. Lalu berjalan melewati Tama, yang setengah ternganga demi melihat kemunculannya.
"Eh, serius ini!" suara Tama terdengar bergerak hingga berada tepat di balik punggungnya. "Kok bisa nyampai ke sini?"
"Kamu ...." kini Tama telah berdiri di sampingnya. Menatapnya dengan kening berkerut.
"Kerja diaaa ...." jawab Pak Raka cepat. "Kenapa kaget begitu sih, Tam?"
"Surprisingly ...." seloroh Bu Iren.
"Kerja?" Tama masih menatapnya dengan wajah bingung. "Di sini?"
"Sejak kapan?"
"Udah lama?"
"Baruuu ...." jawab Pak Raka lagi. "Sekpriku dia. Keren kan ... Pocut bisa jadi sekpri?"
"Sekpri? Sekertaris pribadi?" suara Tama terdengar tak menyenangkan di telinganya.
"Seriously (serius)?" kini tatapan mata Tama juga terlihat tak menyenangkan.
Semua serba tak menyenangkan.
Namun ledakan tawa Pak Raka dan Bu Iren langsung mengejutkannya. Memberi kesadaran, jika ia sedang tak bermimpi buruk. Melainkan tengah berdiri di atas bara api, yang sebentar lagi akan membakar dan menghanguskannya.
Ia masih berdiri dengan canggung. Diikuti oleh tatapan Tama yang masih merasa kebingungan.
Sementara Pak Raka justru mencandai, sekaligus meledeki ketidaktahuan Tama.
Untuk menghalau perasaan tak nyaman, ia memutuskan untuk mengulurkan tangan yang mendadak gemetaran. Berusaha meletakkan file, yang tadi diminta oleh Pak Raka ke atas meja.
***
Keterangan :
Top tier university. : universitas terbaik
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
dyul
kak pocut sebenernya dari pertama udah tertarik, cmn dia tau diri, jadinya gemeter🤣🤣🤣🤣
2024-12-27
0
YuWie
seriuosly..iya lah. Pocut insecure sama kamu tam2 ma
2025-02-01
0
dyul
hahaha.... mas tama kaget, saingan udah terdepan🤣🤣🤣
2024-12-27
0