Killing Me Softly
(Membunuhku secara perlahan -makna kiasan-)
***
Surabaya
Kinanti
Ia adalah anak sulung perempuan.
Masa kecilnya kurang lebih sama seperti anak-anak lain yang seusia. Dihabiskan untuk bermain, belajar, menginap di rumah eyang, piknik ke kebun binatang atau tempat wisata alam, berkumpul dengan keluarga besar.
Tapi satu yang membedakan.
Yaitu kedua orang tua, yang sering bertengkar tepat di hadapannya.
Ia bahkan sampai lupa. Kapan kali pertama melihat kedua orangtuanya bertengkar.
Sepertinya, kali pertama ia mampu menyadari tentang dunia beserta isinya, bapak dan ibu sudah bertengkar.
Kala itu ia masih belum sekolah. Entah usia berapa, ia sendiri tak bisa mengingat.
Bapak dan ibu bertengkar di ruang tengah.
Bapak meneriakkan kata-kata yang baru kali itu didengarnya. Begitupula ibu, membalas dengan kata-kata lain yang intinya kurang lebih sama.
Yang ketika didengar, membuat telinganya memanas dan jantung berdegup kencang saking merasa ketakutan.
Ia hanya bisa duduk di kursi sambil menatap nanar. Melihat bapak dan ibu saling tuding dan berteriak. Tanpa ada seorangpun yang mau mengalah.
Pertengkaran diakhiri dengan Bapak yang keluar rumah, sambil membanting pintu dengan begitu keras. Seperti rumahnya akan ambruk saat itu juga. Berhasil membuat dinding yang disandarinya bergetar.
Malam harinya, ia melihat ibu menangis di atas tempat tidur. Sementara bapak tak pulang ke rumah selama berhari-hari.
Sejak saat itu, entah sudah berapa kali ia melihat bapak dan ibu bertengkar. Saling berteriak, saling tuding, tanpa ada seorangpun yang mau mengalah.
Hidupnya seperti sedang berada di medan perang. Harus setiap saat siap dengan ledakan amarah bapak, atau teriakan saling tuding bapak dan ibu, atau linangan air mata ibu ketika menjelang tidur.
Namun semua hal mencekam tersebut tak berlaku jika keadaan sedang "normal" dan baik-baik saja.
Bapak dan ibu akan bergaul layaknya seperti sebuah keluarga yang ideal. Saling menyapa dengan jenis suara paling menyenangkan dan enak didengar, saling melempar senyum bahagia, bercengkerama sambil tertawa, mengunjungi tempat-tempat yang indah.
Entahlah.
Ia sendiri tak tahu dan tak bisa mengerti. Mungkin memang seperti itu "pola hidup" orang dewasa.
Bahagia - tiba-tiba marah - bertengkar - saling berteriak - salah satu pergi dari rumah - saling memaafkan - bahagia - tiba-tiba marah - begitu seterusnya seperti lingkaran setan. Tak ada ujung pangkalnya.
Ia pun bisa dengan mudah, melupakan semuanya begitu saja. Melupakan aura kemarahan penuh emosional, yang seringkali menakutkan jiwa raganya.
Terlebih jika kondisi rumah sedang dalam keadaan normal. Bapak adalah orang yang memiliki sikap paling baik terhadapnya. Bertutur kata penuh kelembutan, senang mencandainya, bermain dengannya.
Bapak juga sering memberinya oleh-oleh sepulang dari bekerja di kantor. Mulai dari makanan, minuman, berbagai jenis aksesoris rambut, baju, sampai mainan.
Berbeda dengan ibu.
Yang terkesan tak terlalu peduli padanya.
Ya, tentu. Kesibukan ibu sebagai seorang bidan sudah banyak menyita waktu. Terlebih ibu sedang mengurus ijin praktek. Agar bisa membuka praktek sendiri di rumah. Seluruh waktu ibu habis untuk mengurus hal tersebut. Tak ada yang tersisa meski sekedar untuk bermain bersamanya.
Namun siklus tetap lingkaran setan masih saja terus berulang. Sampai ia sendiri hapal gerak gerik bapak dan ibu, jika pertengkaran akan segera meledak.
Biasanya ia akan berlari menghambur ke kamar. Lalu bersembunyi di dalam lemari pakaian. Yang memang muat dimasuki oleh ukuran tubuh mungilnya.
Atau bersembunyi di kolong tempat tidur, di belakang pintu kamar, dan di bawah meja belajar.
Hanya untuk menunggu waktu. Sampai suara teriakan bapak dan ibu mereda. Berganti dengan isak tangis ibu. Barulah ia keluar dari tempat persembunyiannya. Lalu berjalan pelan menghampiri ibu yang berlinang air mata.
Berharap ibu akan memeluknya dengan penuh kehangatan. Sembari berbisik lirih, "Kinan takut sayang? Nggak apa-apa, Kinan. Jangan takut ya. Ini hanya soal kecil."
"Bapak dan ibu baik-baik saja. Kinan jangan khawatir."
Tapi pada kenyataannya, ibu justru menghardik begitu menyadari kehadirannya, "Pergi! Jauh-jauh dari ibu! Pergi!"
Itulah kali pertama ia menangis, saat melihat bapak dan ibu bertengkar.
Padahal biasanya, setakut apapun perasaannya, sekeras apapun suara teriakan ibu dan bapak, sekasar apapun kalimat yang diucapkan oleh kedua orangtuanya saat saling tuding, ia tak pernah meneteskan air mata.
Ia anak yang kuat.
Anak yang tegar.
Tidak cengeng.
Tapi kali ini berbeda.
Hardikan ibu membuatnya terkejut. Berhasil menguras "seluruh rasa yang ada". Sekaligus meninggalkan luka. Yang tak pernah ia sadari kedalamannya.
Namun seperti yang sudah sudah. Lambat laun keadaan mulai pulih. Semua kembali normal. Dan kehidupan terus berjalan.
Pertengkaran bapak dan ibu masih saja terjadi. Sering bahkan. Tapi ia sudah berada di tahap tak peduli.
Sebab, meski kedua orangtuanya kerap saling berteriak saat bertengkar, kehidupannya tak pernah kekurangan suatu apapun.
Ia tetap bisa menikmati seluruh fasilitas pertama, hampir di segala bidang. Pendidikan, kesehatan, kebutuhan tersier.
Ia bahkan bisa memiliki barang paling ngetrend, yang banyak diinginkan oleh teman-temannya. Ia juga bisa memperoleh semua hal, yang bersifat menyenangkan hati.
Namun di kedalaman tanpa seorang pun tahu, bahkan dirinya sendiri. Ia tetaplah gadis cilik kesepian, yang haus akan kasih sayang.
Tapi kemudian, satu momen berhasil membalikkan dunianya. Menjadi lebih hancur lagi.
Petang itu sepulang dari les menari, ia kembali melihat bapak dan ibu bertengkar di ruang tengah. Entah kali ini apa yang menjadi masalah. Ia pun tak peduli. Lebih memilih untuk menyimpan sepatu ke dalam rak. Tapi sebuah suara yang cukup keras,
PLAK!
Disusul desisan tertahan ibu.
Berhasil membuat tempurung lututnya seolah jatuh ke bawah. Lemas tak berdaya.
"Ini kali pertama bapakmu memukul ibu," gumam ibu di meja makan, dengan berlinang air mata.
Tentu setelah bapak pergi sambil membanting pintu. Hingga engselnya hampir copot. Lalu terdengar suara deruman mesin. Dan decitan ban mobil tanda penuh amarah.
"Kamu harus jadi anak yang pintar, Kinan," gumam ibu dengan pipi memerah bekas tamparan.
"Sekolah setinggi-tingginya."
"Jangan sampai dijajah oleh lelaki."
"Jangan mau diinjak-injak suami."
"Dan ...." ibu menatapnya dengan wajah penuh air mata. "Jangan menikah sama polisi."
Bibirnya terkatup rapat. Lidahnya kelu. Kedua tangannya bahkan tetap terjatuh di samping pinggang. Tak sekalipun berusaha mengulurkannya untuk menghibur ibu.
Hatinya telah mati. Perasaannya hambar. Bahkan bisa jadi, darahnya telah menjadi dingin.
Namun satu yang tak pernah disadarinya. Bahwa seluruh kalimat yang diucapkan oleh ibu, berhasil masuk ke dalam diri tanpa kecuali.
Semuanya.
Hingga detail terkecil.
Menetap di dalam dan mulai bertindak sebagai penguasa diri.
Ia bahkan tak pernah menyadari. Jika hidupnya telah berubah semenjak saat itu.
Berubah dengan sangat drastis.
--------
Jika ada pukulan pertama, kemungkinan besar akan ada pukulan kedua ... ketiga ... dan seterusnya.
Begitulah.
Masa pra remajanya dihabiskan di dalam rumah, yang dipenuhi oleh aura kemarahan, emosional, kebencian, dan pukulan fisik bertubi-tubi.
Ia tetap diam. Bergeming. Tak pernah mau ambil pusing.
Hingga akhirnya, perilaku kasar bapak mulai tercium oleh keluarga besar dari kedua belah pihak.
Bapak dan ibu disidang oleh eyang dan para pakde.
Ia juga berada di sana.
Mendengar semuanya.
Tapi berusaha keras untuk mengacuhkan.
Dan satu hal lagi, yang tak bisa dipahami olehnya tentang dunia orang dewasa. Yaitu seusai sidang yang berlangsung seharian. Tak lama kemudian, ibu justru mengandung untuk yang kedua kalinya.
Ya. Ia akan memiliki adik di usia 13 tahun.
Apakah sifat dan sikap bapak berubah terhadap ibu? Tak lagi kasar?
Entahlah. Ia benar-benar telah bersikap apatis.
Namun yang pasti, pertengkaran bapak dan ibu masih tetap terjadi. Bahkan di saat ibu sedang hamil tua dan kerepotan setengah mati. Meski tak sesering sebelumnya.
Dan akhirnya, adik lelakinya lahir lebih cepat dibanding perkiraan. Sempat dirawat di Rumah Sakit selama hampir sebulan. Namun begitu sang adik pulang ke rumah, rasa sayang dan cintanya langsung tumbuh.
Miko, begitu adiknya biasa dipanggil. Adalah bayi yang tampan, lucu, dan sangat menggemaskan.
Tapi sayang, perkembangan motorik Miko jauh tertinggal dibandingkan bayi seusianya. Miko bahkan belum bisa duduk sendiri meski sudah berusia lebih dari satu tahun.
Dan setelah mengunjungi sejumlah dokter spesialis. Kemudian melalui serangkaian pemeriksaan medis. Dokter saraf mendiagnosa Miko mengidap Cerebral Palsy.
Miko membutuhkan perawatan dan terapi khusus.
Miko juga harus menjalani serangkaian operasi untuk memulihkan gerak motoriknya.
Tapi seluruh upaya belum ada yang membuahkan hasil.
Miko tetaplah seperti seorang bayi. Yang harus diladeni semua kebutuhannya. Meski usia Miko terus bertambah.
Sejak saat itu, amarah bapak semakin menjadi.
Bahkan lebih dahsyat dibanding sebelumnya.
Semua urusan bisa memancing kemarahan bapak. Bahkan untuk hal kecil yang sepele.
Ia pun ikut terkena imbasnya.
Ketika suatu petang, baru saja pulang dari mengikuti kegiatan ekstra kurikuler di sekolah. Entah bagaimana awal mulanya, tiba-tiba saja bapak naik pitam begitu melihat kemunculannya di rumah.
Dan saat ia lewat di depan bapak, sedang berjalan menuju ke kamar. Sebuah tendangan keras mampir mengenai tulang keringnya.
"Arek (anak) se tan! Jam segini baru pulang!"
Saat itu juga, ruang kosong di hatinya menjadi semakin kosong. Habis tak bersisa.
Ia benar-benar membenci lelaki. Membenci profesi polisi. Dan membenci dirinya sendiri.
Sejak tragedi tendangan tulang kering pula, ia tak pernah berbicara dengan bapak. Bahkan untuk sekedar menyapa.
Baginya, sosok bapak telah tiada.
Namun, meski telah mantap untuk memilih jalan diam dan acuh, luka di hati ternyata justru kian menggerogoti.
Ia bisa gemetar ketakutan, hanya karena melihat seragam korps cokelat dari kejauhan.
Ia juga otomatis akan pergi menghindar, jika lawan jenis datang mendekat.
Bahkan teman sekelas yang mendekat, karena ingin bertanya tentang pelajaran. Keringat dingin bisa langsung membanjiri sekujur tubuhnya.
Setakut itu perasaannya terhadap sosok "pria" dan "seragam cokelat".
Ia pun tumbuh dewasa menjadi gadis yang dingin, takut terhadap lawan jenis, dan hati yang telah mati.
Bapak dan ibu akhirnya berpisah. Ketika ia hampir menyelesaikan pendidikan dokter.
Namun seperti sudah menjadi hukum alam. Semakin ia membenci sesuatu, semakin pula ia mendekat pada hal yang dibenci.
Benar-benar tak masuk akal.
Jadi ketika ibu memintanya, untuk berkenalan dengan anak seorang teman. Ia tak bisa menolak.
"Siapa, Bu?" tanyanya ingin tahu.
"Anaknya teman bapak waktu sekolah dulu."
Ia mendesis tak percaya, "Ibu masih percaya dengan bapak? Setelah selama ini?"
Ibu hanya tersenyum, "Ini demi kebaikan kamu sendiri, Kinan."
"Urusan bapak dan ibu itu urusan lain lagi."
"Ini semua tentang masa depan kamu."
"Bibit, bebet, bobotnya dapat semua."
Pria itu adalah Mas Tama.
Ya. Wanita mana yang tak terpesona dengan penampilan gagah dan sikap ksatria yang selalu ditunjukkan oleh seorang Wiratama Yuda.
Ia telah jatuh cinta?
Entahlah.
Karena meski masih ada rasa takut dan keringat dingin yang membanjir. Tapi ia mengakui, jika Mas Tama benar-benar telah memenuhi, seluruh kriteria suami idaman dari gadis manapun di dunia ini.
Tanpa banyak aral melintang, ia bersedia "menyerahkan diri" menjadi istri Mas Tama.
Apakah ia bahagia?
Entahlah.
Toh meski Mas Tama selalu bersikap baik padanya, ia sama sekali tak bisa merasakan "debaran aneh" atau sparks (percikan -cinta-) di antara mereka berdua.
Jadi ketika usia pernikahan mereka semakin bertambah, ia pun mulai menyadari jika Mas Tama bukanlah tipe romantis yang sangat didambakan. Bahkan cenderung workaholic.
Ada sisi lain dalam dirinya yang mendadak "muncul" ke permukaan.
Ia sendiri tak mampu untuk mengatasinya.
"Maaf, Mas. Aku nggak bisa ikut," tolaknya tanpa merasa ragu. Ketika Mas Tama dipindah tugaskan ke sebuah kota kecil di bagian selatan Jawa Timur.
"Reka masih bayi," begitu alasan yang dikemukakannya.
Sejujurnya ia sangat berharap, Mas Tama akan menatap matanya lekat-lekat. Kemudian bertanya dengan penuh kelembutan,
"Kamu nggak apa-apa kan, De? Kamu baik-baik saja?"
Ia pasti akan langsung menghambur ke dalam pelukan Mas Tama. Lalu menangis tersedu-sedu. Menceritakan seluruh kisah paling menakutkan yang pernah dialaminya di masa lalu.
Tapi pada kenyataannya, Mas Tama hanya menatap dengan wajah bingung. Lalu sejurus kemudian mengangguk, "Oke, kalau itu mau kamu."
Saat itu juga, ia benar-benar merasa kehilangan arah dan sandaran.
Merasa tidak dicintai oleh suami sendiri.
Merasa tidak diinginkan.
Merasa tidak diperjuangkan.
Merasa kerdil, sunyi, sepi, sendiri. Namun tak seorangpun mengerti dan menyadari.
Membuatnya menenggelamkan diri pada pekerjaan, studi, dan aktivitas lain yang berhubungan dengan peningkatan kualitas diri demi masa depan cemerlang.
Apakah ia masih mencintai Mas Tama?
Entahlah.
Karena ia bahkan tak ingat jika pernah mencintai Mas Tama.
Gelombang arus "kemarahan" di masa lalu benar-benar menguasai dirinya. Memimpin langkahnya dengan tanpa permisi.
Dan sebelum ia memutuskan untuk "menjadi istri durhaka", ia telah lebih dulu menemui Dara, adik iparnya yang tinggal di Jogja.
"Simpan semua ceritaku baik-baik," ia berpesan sungguh-sungguh.
"Kelak suatu hari, terjadi hal yang tak diinginkan. Kamu sudah tahu seperti apa cerita yang sebenarnya."
Dara sempat menolak.
Tapi ia memohon.
Sebab ia benar-benar tak lagi bisa menjalani "kehidupan yang normal."
Terlebih kecemasan yang berlebih selama hampir sisa hidupnya, telah menghasilkan vonis frigid terhadapnya.
Dara akhirnya menyanggupi. Meski dengan terpaksa.
"Aku bisa bantu, Mba. Aku bisa bantu ...." ucap Dara berulang kali dengan wajah sendu.
"Aku punya kenalan psikolog yang ...."
Tapi ia menolak.
Ia sedang tak ingin melakukan apapun.
Ia hanya ingin sendiri.
Walau itu artinya, kemungkinan besar ia akan tenggelam dalam pusaran tak bertuan. Yang bisa saja menghancurkan seluruh pencapaiannya.
Inilah jalan yang ia pilih.
***
Keterangan (dari berbagai sumber) :
Apatis. : adalah sikap tak acuh atau tidak peduli terhadap segala sesuatu yang terjadi di sekitar (alodokter.com).
Cerebral palsy : atau lumpuh otak adalah penyakit yang menyebabkan gangguan pada gerakan dan koordinasi tubuh. Penyakit ini disebabkan oleh gangguan perkembangan otak, yang biasanya terjadi saat anak masih di dalam kandungan.
Gangguan perkembangan otak ini juga dapat terjadi ketika proses persalinan atau dua tahun pertama setelah kelahiran (alodokter.com).
Frigid. : merupakan salah satu gangguan se k sual yang ditandai dengan menurunnya gairah se k sual atau li bido pada wanita, sehingga tidak bisa menikmati hubungan dengan pasangan (doktersehat.com).
Killing me softly merupakan judul lagu ciptaan Norman Gimbel dan Charles Fox. Yang dinyanyikan oleh Roberta Flack. Dan sukses menyabet penghargaan Grammy Awards di tahun 1973. Tetapi, lagu tersebut mencapai puncak popularitas saat dicover oleh grup musik hiphop, The Fugees pada tahun 1990-an.
Killing me softly juga merupakan judul film thriller Hollywood produksi tahun 2002. Yang dibintangi oleh Heather Graham.
Killing me softly di bab ini, tidak ada kaitannya dengan dua hal di atas. Hanya mengambilnya sebagai judul bab. Sebab makna tersirat yang tepat dengan isi cerita Renjana Senja Kala.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Yeni Wahyuni
masih gak bosen baca novel ini.. walau entah sdh brapa kali membacanya,, gak pernah bosen... the best kak sera,, kpn lg bikin novel disini kak,, bagus2 bnget ceritanya
2025-01-14
3
dyul
males sebenarnya baca narasi kamu
kenapa gak urus cerai...
knp si mas tama yg di sudutkan
si paling mental healt....
2024-12-26
1
Lia Kiftia Usman
eps. ... ini, moment baca ulang pun masih 😭
knapa harus menerima pernikahan jika diri sendiri menolak berdamai dgn keadaan..😔
2024-12-17
0