Sooner or Later
(Cepat atau lambat)
***
Surabaya
Tama
Ia kembali disibukkan oleh pekerjaan. Tenggelam dalam rutinitas sebagai penegak hukum. Bersama tim dan jajarannya, berusaha mengungkap berbagai kasus terbaru yang cukup menyita perhatian masyarakat.
Terlebih data di lapangan menunjukkan, adanya eskalasi peningkatan, untuk kasus kejahatan tertentu di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya.
Semua itu berhasil menjadikan waktu seminggu seolah hanya sekejap mata. Tanpa terasa sudah kembali bertemu dengan weekend. Yang untuk saat ini menjadi waktu paling spesial bagi dirinya.
Ya. Sebab usai berpisah dengan Kinan, ia memperoleh jadwal khusus bersama Reka di tiap weekend. Menyenangkan bukan?
Ia bahkan selalu meminta Yu Adah, untuk membersihkan kamar Reka. Berharap suatu saat Reka mau menempatinya.
Iya lagi. Jika saat ini dirinya masih tinggal di rumah mereka. Meski proses balik nama di atas kuasa sudah dilakukan. Sebab rumah ini sejatinya telah menjadi hak milik Reka.
"Mas silakan tempati rumah itu," ucap Kinan saat malam itu ia mengembalikan Kinan pada ibunya.
"Sayang kalau dibiarkan kosong. Nanti malah rusak."
"Repot lagi untuk biaya perbaikan."
Ia mengangguk.
Ya, tentu saja. Kinan pasti enggan untuk menempati rumah mereka. Sebab sudah terlanjur nyaman berada di rumah sendiri.
Sementara sampai saat ini, ia masih belum bisa memikirkan tempat tinggal selain rumah mereka.
"Beri aku waktu," gumamnya. "Kalau dapat rumah kontrakan baru atau apartemen, aku langsung pindah."
Kinan diam, sama sekali tak bereaksi. Hanya memberinya tatapan, yang diselimuti rasa penuh penyesalan.
Dan untuk mempersiapkan pertemuannya dengan Reka, ia telah berusaha menghubungi Dara. Menanyakan semua hal yang ingin diketahuinya. Sekaligus meminta saran tentang apa yang harus dilakukan. Agar hubungan rumitnya dengan Reka bisa berangsur membaik.
"Anak bisa saja merasa kehilangan, marah, bingung, cemas, dan sederet emosi negatif lainnya akibat dari perpisahan kedua orangtua," ujar Dara melalui sambungan ponsel.
"Anak juga mungkin sering bertanya-tanya, walau tak pernah terucap. Tentang mengapa perpisahan bisa terjadi?"
"Apakah karena kesalahannya, hingga membuat orangtua berpisah?"
"Dan rasa bersalah ini bisa menumpuk, lalu mengendap. Akhirnya memancing stres, memancing perilaku di luar nalar, atau masalah kesehatan lainnya."
"Tapi yang paling parah bisa sampai depresi."
Ia hanya bisa menghela napas panjang mendengar penuturan Dara.
"Reka bahkan mengalami kebingungan sejak balita," gumamnya getir. "Can i fixed this (bisakah aku memperbaikinya)?"
"Harus bisa," jawab Dara cepat.
"Harus?" ia tertawa sumbang. "Berarti hampir nggak mungkin dong?"
"Yang dibutuhkan anak dari orangtua sebenarnya sederhana," sambung Dara.
"Apa?"
"Kehadiran orangtuanya."
Ia mengernyit.
"Bukan hanya tentang kehadiran secara fisik. Tapi kehadiran emosional."
Ia semakin mengernyit.
"Bagaimana orangtua meluangkan waktu untuk sekedar mengobrol."
"Bagaimana orangtua menunjukkan jika cinta dan kasih sayang itu benar-benar tanpa syarat."
"Kita bisa menunjukkannya melalui sikap, perbuatan, dan tauladan."
"Agar anak tahu, orangtua bisa menjadi rumah bagi mereka."
"Membuat mereka tak perlu khawatir dan takut untuk menjadi diri sendiri."
"Dan anak menjadi tahu, bahwa seburuk apapun keadaan, orangtua tetap memiliki cinta dan kasih sayang yang sama. Tak berkurang sedikitpun."
Ia kembali menarik napas panjang. Kalimat yang diucapkan oleh Dara bagai serentetan peluru tajam. Yang dengan tanpa ampun mengoyak keseluruhan dirinya.
"Reka mungkin masih bingung dalam mengambil sikap, Mas," lanjut Dara.
"Dia sendiri sedang merasa kewalahan dengan hormon pubertas. Ditambah perpisahan orangtua."
"Respons paling mudah ya ... marah."
Ia mengangguk mengerti.
Dan saat ini, ia tengah menunggu Reka, yang sedang berlatih bersama klub renangnya.
"Reka udah nggak tertarik sama sepakbola sejak cedera," terang Kinan beberapa waktu lalu. "Sekarang lagi seneng berenang."
Ia segera bangkit dari duduk. Lalu berjalan mendekat ke pagar pembatas. Agar bisa melihat Reka dengan lebih baik. Yang kini tengah bersiap melakukan start, untuk 50M gaya bebas.
"Raffi!"
"Filio!"
"Arsya!"
Pekik beberapa orang yang duduk di bangku penonton. Sebagian besar adalah para orangtua yang sedang menunggu. Termasuk anak-anak seusia SMP sesama anggota klub. Yang duduk berbaris di pinggir kolam.
"AYO REKA!" ia ikut berteriak.
Bertepatan dengan bunyi bel.
BYUR!
Enam anak usia SMP sudah melakukan start terbaiknya. Disusul dengan teriakan para penonton.
"Habisin Filio!" pekik anak-anak di pinggir kolam.
"Habisin!"
"Habisin!"
Dan ia hanya bisa mendesis. Ketika Reka harus finish di tempat kedua dari belakang.
"Reka, 40,11 detik," pelatih meneriakkan catatan waktu yang diraih oleh Reka.
Ia pun langsung menuliskannya di dalam ponsel.
Reka. : 40,11 detik
Finish 1 : 32,23 detik
Ada selisih waktu hampir delapan detik. Cukup jauh.
Tapi jika dilihat dari semangat yang ditunjukkan Reka. Ia yakin, suatu saat putranya itu bisa melampaui catatan waktu terbaik di klub ini.
"Jalan ke mana kita?" tanyanya riang. Begitu Reka muncul dari arah ruang ganti. Sembari mencangklong back pack berwarna hitam.
Tapi Reka tak menggubris pertanyaannya. Justru sibuk sendiri berpamitan dengan beberapa orang teman-temannya.
"Iku (itu) ayahmu ta?"
Lagi-lagi Reka tak menjawab pertanyaan teman-temannya.
Membuatnya berinisiatif untuk melempar senyum, pada semua orang yang mereka lewati seraya melambaikan tangan, "Iyo, iki ayahe Reka (iya, ini ayahnya Reka)."
Beberapa teman Reka terutama anak perempuan, langsung saling berbisik sambil sesekali cekikikan. Tapi sembari terus melihat ke arahnya. Sementara Reka memasang wajah murung dan berjalan cepat meninggalkan dirinya.
"Reka! Tunggu!"
"Kenapa Ayah masuk ke dalam?" gerutu Reka saat mereka telah berada di tempat parkir.
Ia mengernyit tak mengerti.
"Besok tunggu di parkiran aja!" sambung Reka yang semakin bersungut-sungut.
Ia hanya bisa menghela napas panjang. Lebih memilih untuk menekan remote mobil. Daripada harus meladeni kekesalan Reka. Sepertinya, ini akan menjadi hari Sabtu yang teramat panjang.
"Ada ide kita mau ke mana?" ia telah menyalakan mesin kendaraan.
Tapi Reka tak menjawab. Sebab tengah sibuk dengan ponselnya.
"Habis latihan pasti cape," kini ia sudah mengarahkan kemudi keluar dari tempat parkir. "Mau makan apa?"
"Terserah!" jawab Reka ketus. Tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel.
Ia mengangguk mengerti.
Jauh sebelum berangkat menjemput Reka, ia telah mengafirmasi diri mengikuti saran dari Dara. Jika ia harus tetap tenang, sabar, dan jangan sampai terpancing dengan tingkah Reka.
Untuk memecah kesunyian, ia pun mulai memutar audio di dalam mobil. Berusaha mencari frekuensi radio yang easy listening.
Senyumnya langsung terkembang, begitu mendengar nada yang cukup familiar.
Well, I won't give up on us
Even if the skies get rough
I'm giving you all my love
I'm still looking up
And when you're needing your space
To do some navigating
I'll be here patiently waiting
To see what you find
(Jason Mraz, I won't give up)
Dan karena Reka tetap diam seribu bahasa. Ia akhirnya memutuskan, untuk mengarahkan kemudi menuju restoran cepat saji favorit Reka di masa kecil. Yang berada tak jauh dari rumah Kinan. Menjadi destinasi sempurna sebagai tempat kongkow bersama ABG di hari Sabtu.
"Nggak ada pilihan lain apa?" Reka mengernyit ketika ia membelokkan kemudi memasuki halaman depan restoran.
"Lho ...." ia tertawa. "Ini kan restoran favorit kamu waktu kecil."
Reka melihat ke arahnya dengan sengit, "Aku bukan anak kecil lagi."
Ia yang baru saja selesai parkir mengernyit, "Oke ... kamu mau kita makan di mana?"
Tapi Reka justru membuang muka. Kemudian melepas seat belt dengan kasar. Dan langsung membuka pintu. Hanya untuk membantingnya sejurus kemudian.
***
Reka
Ia benar-benar tak tahu apa yang harus dilakukan.
Karena saat ini, keinginannya hanya satu. Yaitu melampiaskan amarah pada sosok pria yang dipanggil ayah.
Meski tak pernah terucap, ia bukannya tak tahu, jika bunda sering menangis sendirian di malam hari.
Ia bahkan pernah tak sengaja menemukan, tempat penyimpanan obat milik bunda. Yang ketika nama obatnya di searching di internet, jawaban yang keluar adalah sejenis anti depresan berdosis tinggi.
Apa sebenarnya yang sedang terjadi?
Ia benar-benar tak bisa memahami.
Bunda yang terlihat tegar, namun ia tahu pasti teramat rapuh. Dan ayah yang jarang bahkan hampir tak pernah pulang ke rumah, dengan dalih disibukkan oleh pekerjaan.
Detik itu juga, rasa bencinya terhadap ayah mulai menumpuk. Bahkan semakin hari kian berlipat ganda.
Ia tak lagi bisa mengingat, kapan kali terakhir bermain dan bercanda bersama ayah. Seperti yang sering dilakukan oleh teman-temannya.
Ayah memang memberinya kartu sakti. Yang bisa membeli apapun barang keinginannya.
Ayah juga sesekali mengirim pesan chat, meski hanya untuk bertanya kabar. Atau menelepon, yang tak pernah ia angkat.
"Apa kita hanya duduk di sini seperti orang asing?"
Suara berat ayah kini mampir di telinganya. Membuyarkan lamunan yang membuatnya bersungut kesal.
"Ayah ingin kita berteman."
Ia mengalihkan pandangan dari piring makanan miliknya. Mencoba menantang mata ayah yang terlihat memohon.
"Aku nggak berteman dengan bapak-bapak," jawabnya ketus. Kembali melahap makanan di hadapannya.
Ayah tertawa, "Kalau sahabat ... gimana?"
Ia mendecak kesal. Tapi tetap melanjutkan makan. Berusaha mengacuhkan tawaran yang terdengar aneh.
"Ayah kirim nomor ponsel dinas ke kamu ya," gumam ayahnya seraya memegang ponsel.
"Hanya orang-orang tertentu yang tahu nomor ponsel dinas ayah," lanjut ayah lagi.
"Dan sekarang kamu tahu ...." ayah pasti sedang menatapnya. Tapi ia justru kian menundukkan kepala.
"Itu artinya ... kamu spesial di mata ayah," sambung ayah. "Sangat spesial."
Namun kalimat terakhir yang diucapkan ayah, justru membuatnya ingin muntah.
Lagipula ia telah berjanji dalam hati. Tak pernah ada jalan yang mudah untuk ayah. Sebagai akibat dari mengacuhkan bunda juga dirinya. Menepikan mereka berdua selama bertahun-tahun. Melewatkan begitu banyak momen penting yang takkan bisa terulang lagi.
"Kamu bisa nelepon ayah sepanjang waktu selama 24 jam," ayah kembali berucap.
Tapi ia tetap acuh. Sama sekali tak memberikan jawaban atau reaksi apapun.
***
Tama
Weekend pertama, kedua, dan seterusnya. Semua berlalu tanpa perkembangan berarti.
Reka tetap memasang wajah kecut, dingin, dan tak banyak bicara.
Reka juga selalu menjawab pertanyaannya dengan nada ketus. Dan hanya berupa potongan kalimat singkat.
"Iya."
"Enggak."
"Nggak tahu."
Reka pernah mengatakan kalimat yang lumayan panjang. Tapi itu saat meminta izin untuk kemping di sebuah bukit bersama teman-temannya.
"Bunda bilang harus minta izin ke ayah," gumam Reka dengan wajah kesal.
Itu artinya, jika Kinan tak menyuruh Reka untuk meminta izin padanya, maka takkan ada kalimat panjang yang dilontarkan padanya.
"Sabar ...." begitu kata Dara ketika ia hampir menyerah.
Jujur saja, ia lebih suka berhadapan dengan residivis berbahaya daripada harus meraih hati putranya sendiri. Sebab semua terasa begitu sulit seolah tanpa harapan.
"Yang penting Mas sudah hadir secara fisik. Meski hanya seminggu sekali."
"Kenyamanan itu butuh proses."
Membuatnya kembali melampiaskan kegamangan pada tugas dan pekerjaan. Terlebih kasus kematian Om Jusuf masih menjadi sorotan nasional. Media seolah berlomba mengorek informasi dari berbagai penjuru. Menerbitkan berita yang dijamin laris seperti kacang goreng, sebab kasus ini menyangkut pesohor negeri.
Tapi ia harus tetap mematuhi perintah. Dengan mengeluarkan SP3 dan mempetieskan kasus Om Jusuf.
Cundamanik yang masih berstatus sebagai saksi mau tak mau harus dilepaskan.
Dan dengan disponsori oleh Rajas, artis belia itu memutuskan untuk menenangkan diri sementara waktu ke Stockholm, Swedia.
"Gua yakin bisa ungkap pelakunya," gumam Rajas. "Asalkan Cundamanik gua pegang."
Ia jelas tak lagi bisa membantu. Perintah sudah diputuskan dan harus dilaksanakan.
"You doing well (kau melakukannya dengan baik)," Rajas menepuk bahunya dengan penuh pengertian.
Tapi ia tahu, terhitung detik ini juga, ia telah memiliki satu hutang besar kepada Rajas. Yang entah kapan bisa ditunaikan.
Ia hanya bisa berharap, kisah kelam antara Papa dan Hamzah Ishak, tak terulang padanya.
Pasti akan sangat menakutkan.
Entah ... apakah kelak ia bisa menghadapinya atau malah tumbang?
Media tentu tak tinggal diam dengan keputusan sepihak yang diumumkan. Banyak kalangan bahkan merasa tak puas. Namanya sebagai seorang Dirreskrimum jelas sedang dipertaruhkan.
Tapi terkadang, jalan keluar justru datang dari arah yang tak terduga.
Tanpa ada desas desus mendahului sebelumnya, Metro 1 memanggilnya. Menyampaikan perihal keputusan yang telah ditetapkan melalui telegram. Tentang perombakan jabatan di korps mereka.
"Ada sejumlah perwira tinggi dan perwira menengah yang dimutasi dalam jabatan baru."
Ia menjadi salah satu dari sekian perwira menengah yang dimutasi.
Ke satu tempat yang bahkan tak pernah dibayangkannya.
Jakarta.
"Ini mungkin pertemuan rutin terakhir kita," ucapnya dengan berat hati pada Reka. Yang seperti biasa, tetap tenggelam di hadapan layar ponsel. Sama sekali tak menghiraukannya.
Alih-alih hubungan mereka berdua menunjukkan kemajuan. Yang ada malah bagai menegakkan benang basah.
Dan sekarang, mereka kembali harus terpisahkan jarak, ruang, dan waktu. Membuat segalanya terasa semakin sulit.
"Kita masih bisa melakukan banyak hal bersama," ia mengikuti saran dari Dara.
"Ayah janji ... akan datang ke Surabaya sebulan sekali."
Reka mendongak ke arahnya.
"Dua minggu sekali?" ia mencoba tersenyum.
Namun Reka justru kembali tenggelam di depan gadgetnya. Sama sekali tak bereaksi seperti yang diinginkannya.
"Atau Reka yang liburan ke Jakarta ...." ia kembali menawarkan opsi.
"Nanti ayah ajak ke tempat-tempat terb ...." namun kalimatnya terpotong di udara karena Reka menyela.
"Kapan selesainya?"
"Apa?" ia mengernyit tak mengerti.
"Kapan pulang? Ini udah lebih dari waktu yang biasanya," sungut Reka. "Kemarin jam segini aku udah di rumah."
Ia menghela napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. Benar-benar perlahan. Sebab ia sedikit mengalami kesulitan untuk memilih. Antara menutup luka yang kembali menganga atau menunjukkan dominasi sebagai seorang ayah.
Setelah aura hening yang tak seberapa lama. Ia akhirnya berhasil menemukan kalimat yang sepertinya cukup tepat,
"Oke, Reka ... ayah tunggu di Jakarta."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
dyul
emakmu.... yg ngejauhin
si paling mederita
2024-12-27
0
Fitri Handayani
padahal Kinan yang menciptakan jarak dari reka dan mas Tama .
2024-08-25
0
Fitri Handayani
sumpah kebanyangin berada di posisi reka itu berat banget . jadi sampai nangis kasihan sama reka
2024-08-25
0