When A Blind Man Cries
(Saat pria buta menangis -mengandung makna kiasan-)
-diambil dari judul lagu milik Deep Purple-
***
Surabaya
Erik
Ia berlari secepat kilat menyusuri koridor berlantai licin. Ia bahkan beberapa kali terpeleset hampir jatuh tersungkur, meski urung sebab masih mampu menjaga keseimbangan tubuh. Sembari terus berharap-harap cemas semua belum terlambat.
Ia bisa bernapas lega begitu sampai di depan pintu unit sebelah, matanya menangkap bayangan sosok sang komandan yang sedang membalikkan badan.
"Ma ...."
Namun kalimatnya terpotong di udara dan kelegaan bersifat fana. Sebab dalam hitungan sepersekian detik, tubuh tegap pimpinan sekaligus mentornya itu kembali berbalik, lalu merangsek maju, menerjang pria paruh baya yang tengah duduk di sofa.
BUG!
Ia tak bisa membayangkan seberapa besar kekuatan hantaman yang dilayangkan hingga membuat pria paruh baya itu terjengkang ke belakang.
Sigit dan Wahyu yang sempat terpana mulai bergerak tangkas memegangi tubuh mas Tama. Sambil memaki diri sendiri, ia pun bergerak maju untuk turun tangan.
Dan menghalangi kemarahan seorang Wiratama Yuda, pemegang sabuk hitam karate, jelas bukan perkara mudah. Mereka bertiga harus mengupayakan sekuat tenaga, menahan harimau marah agar tak kembali merangsek ke depan.
Sementara pria paruh baya yang tadi sempat terjengkang, kini bersusah payah berusaha berdiri dibantu seorang wanita. Seseorang yang menjadi alasan utamanya menghalangi sang pimpinan mengunjungi unit sebelah.
Pria paruh baya itu terbatuk dengan hidung yang mengucurkan darah segar.
Lihatlah kekuatan sang Tama. Sekali hantam, lawan langsung jatuh tersungkur tanpa ampun. Tepat mengenai sasaran vital.
Tanpa sadar ia ikut meringis melihat darah semakin deras mengucur, mengotori wajah pria paruh baya tersebut.
"Tahan, Pak! Tahan!" Sigit mencoba melakukan prosedur standar dalam keadaan genting.
Namun mas Tama tak menghiraukan. Tetap bersikeras menerjang. Alhasil mereka bertiga semakin kewalahan menahan.
BUG!
Pukulan kedua berhasil lolos.
Mereka bertiga saling memaki dan menyalahkan sebab telah gagal total mengamankan keadaan. Mengakibatkan pria paruh baya itu kembali tumbang.
"Mas!" jerit wanita cantik berwajah seperti mayat hidup saking pucatnya. Apakah karena terkejut atau ketakutan, ia tak tahu. Panggilan itu juga entah ditujukan pada siapa. Sebab dua orang pria sekaligus menoleh usai mendengar panggilan tersebut.
Satu pria paruh baya yang baru saja tersungkur.
Satu lagi pria yang sedang dijegalnya bersama Sigit dan Wahyu.
Begitu wanita cantik itu mulai membantu pria paruh baya untuk berdiri, ia tak mau kehilangan momen. Segera bergerak taktis menggunakan satu sapuan mendorong tubuh kokoh sang Tama hingga membentur dinding.
Ia bahkan bisa merasakan dengan teramat nyata. Aroma membara akibat api kemarahan. Yang bercampur dengan ketakberdayaan. Sebab harga diri yang telah hancur berkeping-keping.
Membuatnya jatuh iba tanpa perlu berpikir.
"Fucking **** (sialan)!" desisan penuh kegeraman terdengar mampir di telinganya.
Membuat Sigit dan Wahyu terus berusaha menekan tubuh Mas Tama, agar tetap merapat ke dinding. Sementara ia berupaya keras, untuk menghalangi pergerakan pimpinannya itu.
Ketika mereka bertiga merasa, jika Mas Tama tak lagi bersikeras untuk merangsek maju. Dan tubuh tegang serta liat pimpinannya itu mulai mengendur. Pria paruh baya di hadapan mereka telah berhasil berdiri kembali. Meski dengan bahu terhuyung.
"Pukulan pertama bisa dimengerti!" seru pria paruh baya tersebut dengan wajah berlumuran darah.
"Pukulan kedua ... pasti akan kubalas!" lanjut pria paruh baya tersebut seraya mendesis kesakitan.
Membuat Mas Tama kembali memberontak, dan berusaha untuk menerjang. Namun mereka bertiga telah lebih dulu sigap menghalangi.
"Kalau ada pukulan ketiga ...." pria paruh baya tersebut mengacungkan telunjuk dengan berapi-api.
"Aku tuntut situ pakai pasal penganiayaan!"
------
Melalui isyarat mata, ia meminta Sigit dan Wahyu supaya tangkas memegang kendali. Sementara ia segera menarik lalu mendorong tubuh pimpinannya agar segera keluar dari unit rasa neraka itu.
"J ancok (brengsek)!" umpat Mas Tama ketika ia berusaha mendorong tubuh tegap pimpinannya itu, agar terus menjauh dari unit ja hanam.
Menyusuri koridor sialan berlantai licin. Membuat langkah mereka seakan terseok dan tak berujung.
Dan karena tak ada tempat lain lagi. Ia pun terpaksa mendorong tubuh Mas Tama agar memasuki TKP. Di mana penyanyi belia nan jelita, tengah dibimbing oleh Teguh untuk keluar ruangan.
Ia tak mengatakan apapun. Baik kepada Teguh maupun gadis menawan itu. Karena sedang berkonsentrasi pada Mas Tama, yang sedari tadi mengumpat dan memaki pada diri sendiri.
Namun melalui anggukan kepala, ia meminta Teguh untuk segera membawa gadis cantik itu ke tempat yang aman. Sebelum hari kian beranjak pagi. Dan wartawan mulai berdatangan seperti semut menghampiri gula.
Ia terus mendorong punggung Mas Tama, melewati meja makan yang menjadi tempat terakhir korban. Sedang dianalisis oleh tim gabungan dari Reskrim (reserse kriminal) Polres dan Polda. Menuju pintu kaca yang mengarah ke balkon. Kebetulan telah terbuka lebar.
Dengan satu gerakan cepat cenderung kasar, ia mendorong punggung Mas Tama ke arah balkon. Lalu segera menutup pintu kaca yang berada di balik punggungnya.
***
Tama
Ia terus mengumpat dan memaki. Meski entah ditujukan pada siapa.
Pada diri sendiri yang merasa menjadi kaum pandir paling mengenaskan?
Atau pada pria paruh baya yang dikenal dengan sangat baik olehnya?
Apa mungkin pada Kinan, yang tampak pucat dan polos sebab hanya mengenakan bathrobe (jubah mandi).
Oh, brengsek sekali!
Ia mengepalkan tangan dengan geram. Lalu menghantamkannya pada pinggiran balkon. Yang terbuat dari besi baja dengan sekuat tenaga.
Sakit?
Pedih.
Mungkin saja buku-buku jarinya telah berdarah bahkan terluka.
Namun rasanya tak sesakit seperti saat ia berada di ruangan terkutuk tadi.
"Mas?"
Suara deheman Erik dan uluran rokok membuatnya menoleh.
Dengan gerakan kasar sekaligus gemetar, ditariknya sebatang rokok. Sementara Erik membantu untuk menyalakannya.
***
Erik
Entah sudah berapa lama mereka berdiam diri dalam suasana hening. Sementara dari kejauhan nun di bawah sana, sayup-sayup mulai terdengar suara adzan Subuh, yang berkumandang saling bersahutan.
Namun tak lama kemudian, suara adzan telah menghilang. Berganti dengan desau angin yang cukup kencang.
Rupanya tekanan udara yang semakin rendah. Dan lapisan udara yang semakin tipis juga renggang. Telah berhasil menghalau aneka ragam suara yang berasal dari bawah.
Dan punggung tegap yang tengah berdiri di depannya tetap bergeming. Tak beranjak sedikitpun. Terus memandang lurus di kejauhan. Memperhatikan kerlip lampu jembatan Suramadu. Yang menjadi view utama dari balkon di lantai 52 ini.
Ketika ia merasa waktu semakin menipis. Sebab hari kian beranjak pagi. Seseorang terdengar mengetuk pintu kaca yang berada di belakang punggungnya.
"Ijin lapor, Pak!" Cahyo telah lebih dulu membuka pintu kaca. Membuatnya bergerak menyingkir ke samping. Agar tak menjadi penghalang.
Kemudian Mas Tama menoleh dengan ekspresi wajah keras dan kaku.
"Tim sudah selesai melakukan penyisiran TKP!"
"Semua barang bukti telah berhasil diamankan."
Mas Tama mengangguk.
"Ada satu yang menjadi perhatian," lanjut Cahyo.
"Apa?" sergah Mas Tama cepat.
"Di pantry banyak ditemukan ceceran serbuk berwarna putih," jawab Cahyo. "Terduga sebagai methamphetamine (sabu-sabu)."
"Kami meminta instruksi selanjutnya!" pungkas Cahyo.
***
Tama
Erik bersikeras bisa menangani keadaan dengan baik. Tapi ia tetap harus turun langsung ke lapangan. Terlebih yang menjadi korban adalah Om Jusuf. Pria matang yang cukup diseganinya. Sebab selain sebagai paman dari sahabatnya, Om Jusuf adalah guru terbaik di bidang bisnis. Profesi sampingan yang tengah mulai coba digelutinya.
Dari TKP ia kembali meluncur ke rumah.
"Mau mandi dulu," begitu alasannya pada Erik. Padahal ia sudah terbiasa mandi, bahkan tidur di kantor. Terlebih jika tengah menangani kasus penting.
Ia bahkan memiliki lemari khusus di ruang kerjanya. Yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan beberapa stel pakaian dan perlengkapan pribadi. Agar ia tak harus pulang pergi dari kantor ke rumah.
Tapi begitu masuk ke dalam rumah, dan menghambur ke kamar mandi. Ia bukannya langsung membersihkan diri. Tapi justru menubruk kloset.
Lalu memuntahkan seluruh isi perut tanpa kecuali.
----------
Ia menyandarkan kepala ke sisi dinding bath tub. Hingga posisinya kini tengadah sempurna. Sementara shower terus dinyalakan. Dengan posisi yang sengaja diatur agar menghadap tepat di wajahnya.
Membuat air terus menerus berjatuhan membasahi keseluruhan wajahnya. Berharap mampu menyamarkan rasa pedih dan perasaan terbuang yang kini tengah mengoyak jiwa. Hingga hancur lebur tak berbentuk lagi.
Pramudya Haribawa, batinnya geram.
Dokter spesialis jantung yang juga merupakan Direktur Utama Rumah Sakit tempat Kinan membuka praktek, jelas bukan orang asing baginya.
Mereka bahkan saling mengenal dengan baik.
Dengan sangat baik.
Keluarga mereka sering saling mengunjungi.
Sebab selain karena Mas Pram, begitu hampir seluruh orang terdekat memanggil nama pria tersebut, adalah atasan Kinan. Mas Pram juga masih terhitung saudara jauh baginya. Walau tak memiliki hubungan darah.
Kakak pertama eyang dari pihak Papa, menikah lagi dengan eyang dari pihak istri Mas Pram. Begitulah mereka bisa memperoleh julukan saudara jauh.
Tapi Kinan?
Ia mengembuskan napas panjang dan berat. Lalu terbatuk. Karena kucuran air yang berasal dari shower, berhasil membuatnya tersedak.
Ia bahkan terbatuk tanpa henti selama beberapa menit. Membuat hidung dan tenggorokannya terasa pedih.
Setelah berhasil menguasai diri, ia kembali menyandarkan kepala ke salah satu sisi bath tub. Lagi-lagi membiarkan air deras kucuran shower mengenai wajahnya. Meski dengan resiko, ia bisa tersedak lagi.
Sambil memejamkan mata, ia coba mengingat kejadian beberapa waktu lalu. Saat tengah berada di Jakarta. Sedang mengurus kepulangan Papa dari Singapura. Juga aqiqah Aran, bayi Anja.
Yu Adah memberitahunya tentang sesosok pria yang datang bersama Kinan ke rumah mereka.
"Saya yakin pernah lihat bapak itu," begitu kata Yu Adah.
"Nggantenge koyo ngono yo ra iso lali (gantengnya begitu sampai nggak bisa lupa)."
Ia tak terlalu ambil pusing. Meski tetap merasa penasaran.
Namun hati kecilnya berusaha memikirkan seribu satu alasan. Mungkin Kinan sedang ingin refreshing. Bersama teman atau rekan sekerja. Atau bahkan saudara sepupu. Terbukti Yu Adah merasa familiar ketika menjumpai pria yang mendatangi rumahnya bersama Kinan.
Toh selama bertahun-tahun situasi rumit pernikahan mereka, ia bukanlah sejenis orang suci. Tekanan pekerjaan dan adrenalin yang sering terpacu, mengharuskan sisi maskulinnya harus tetap terasah.
Sudah tak terhitung berapa kali trio konglo gesrek mengiriminya kado tak terduga. Namun justru paling diinginkan oleh (mungkin) sebagian besar pria (normal).
Ia memang selalu berusaha menolak.
Bagaimanapun juga, ia masih berstatus sebagai seorang suami. Juga abdi negara. Harus menjaga integritas dengan sebaik mungkin.
Ia tentu tak ingin, karier cemerlang yang dibangun dari tangga terbawah, akan hancur dalam sekejap. Hanya gara-gara ia tak mampu menahan diri.
Namun terkadang, pertahanannya akan jebol jika sedang berkumpul bersama teman-temannya itu. Yang memiliki gaya hidup bebas ala metropolis.
Walau tak sampai mengkhianati janji pernikahan. Sebab masih ada sosok Riyadh yang menjadi benteng terakhirnya. Masih memiliki kewarasan dalam memegang teguh norma.
"Happy happy oke lah," begitu Riyadh selalu bergumam. "Gua juga butuh refreshing."
"Kerjaan bikin stres!"
"Tapi kalau sampai making love," Riyadh menggelengkan kepala. "Not my type (bukan tipeku)."
"Lu bakalan nyesel sampai mati! Hanya gara-gara 30 menit with someone from nowhere (seseorang dari antah berantah). Lu mau ngancurin masa depan?!" sambung Riyadh dengan berapi-api.
Ya, tentu saja. Pengalaman telah berbicara. Tragedi yang menyertai perjalanan cinta Riyadh, jelas menjadi pengalaman berharga bagi sahabatnya itu.
Ia pun melakukannya tanpa harus melakukannya.
If you know what i mean (jika kau paham apa yang kumaksud).
Tapi Kinan?
Bersama Mas Pram?
Di apartemen eksklusif berdua?
Dini hari?
Hanya mengenakan bathrobe (jubah mandi)?
Dan lebih telaknya lagi, semua itu tersaji di depan mata, tepat di hadapan seluruh anak buahnya.
Detik itu juga berhasil menghancurkan harga dirinya dengan tanpa ampun.
Ia pasti sedang berada di neraka sekarang.
Sebab yang tersisa hanyalah rasa marah, kecewa, pedih, nyeri, ngilu, sekaligus tak berdaya.
Dan semua dorongan terburuk itu berhasil menggerakkan tangannya untuk meraih benda terdekat. Lalu melempar hingga tepat mengenai kaca wastafel.
PRANGNG!
Lemparan jitu yang berasal dari botol shampoo berhasil menghancurkan kaca hanya dalam waktu sekian detik. Menghamburkannya hingga berserakan memenuhi hampir setengah permukaan lantai kamar mandi.
Ia pun kembali menyandarkan leher ke salah satu sisi dinding bath tub dengan perasaan lelah. Menerima kucuran air dari shower. Berharap bisa mematikan api yang menyala dan membakar sekujur tubuhnya.
Namun sejurus kemudian pintu kamar mandi justru diketuk dari arah luar.
Tok! Tok! Tok!
Kemudian diikuti suara panik Yu Adah.
"Mas Tama? Mas!"
"Pean di dalam ta, Mas (anda di dalam -kamar mandi-, Mas)?"
"Mas!"
"Lapo (kenapa), Mas?"
"Mas Tama!"
Suara ketukan di pintu kamar mandi masih terus terdengar. Tapi ia tetap bergeming. Justru semakin menenggelamkan diri ke dalam bath tub.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Jong Nyuk Tjen
ud bang buang aja s kinan ke laut , ngapain marah2 , istri seperti itu mah ud ga ad nilainya walaupun pny beribu ribu alasan utk selingkuh . Suami bs menjaga hrg diriny ini malah istri yg ga pny akhlak
2025-01-13
1
dyul
perempuan yg katanya mental healt
tapi di ajak konseling gak mau
si perempuan paling merasa korban
padahal dia yg nyakitin org2 sekelilingnya
2024-12-26
1
dyul
sedih banget....
perempuan terzolimi....
tapi sering ngamar sm sepupu sendiri...
2024-12-26
0