Jakarta
Kinan
Ia tak tahu mengapa larut dalam tangis kesedihan bersama Mama. Padahal, ia sudah mempersiapkan hati sejak jauh-jauh hari. Sejak Mas Tama datang ke rumah di hari ulang tahun Reka. Saat Mas Tama bertanya dengan sangat datar dan lugas,
"Jadi ... siapa yang maju. Kamu ... atau aku?"
Apakah ini berarti, ia masih mengharapkan Mas Tama?
Entahlah.
Sebab sedingin dan sejauh apapun jarak antara dirinya dengan Mas Tama, ia menyadari sisi kualitas Mas Tama, sebagai sosok suami paling diinginkan oleh hampir sebagian besar wanita. Secara tampilan fisik juga kepemilikan materi. Di luar ego dan ketidakpekaan yang sudah menjadi karakter bawaan Mas Tama.
Atau sejatinya ia hanya merasa khawatir, karena sebentar lagi akan kehilangan fasilitas utama dan status sebagai istri sah Mas Tama.
Tapi mengapa harus khawatir? Toh ia dan Mas Pram bahkan sudah merancang masa depan bersama. Dan ia merasa sangat nyaman akan hal tersebut.
Mungkin memang kecamuk perasaan seperti ini wajar terjadi, saat kita menyadari jika sebentar lagi akan kehilangan sesuatu. Sesuatu yang sejatinya sangat berharga. Namun tersisih karena ia terlalu memberi ruang pada luka masa lalu.
"Kita sudah lama nggak ketemu," ucap Mama lembut. "Kapan terakhir kali kita ngobrol berdua?"
Ia hanya tersenyum malu. Pastinya sudah lama sekali. Hampir seusia Reka mungkin.
Dan selama itu pula Mama tetap berlaku sebagai mertua yang baik. Tak pernah berusaha mencampuri urusannya dengan Mas Tama, yang kian hari justru makin bertambah rumit. Pun tak pernah menuntutnya, untuk bersikap sesuai dengan keinginan stereotip seorang mertua pada menantu.
Mama juga dirinya masih saling berbagi bingkisan di setiap momen spesial keluarga.
Mama bahkan benar-benar memberinya ruang, kebebasan, juga penghormatan. Entah terbuat dari apa hati Mama, hingga bisa berlaku sebijak ini. Mungkin pengalaman hidup yang kaya, berhasil membuat Mama bisa menempatkan diri dengan tepat.
"Mama sedih ... semua harus berakhir seperti ini."
Ia hanya bisa menunduk malu.
"Mama dan Papa, selalu menginginkan yang terbaik untuk kalian semua."
Ia mengangguk mengerti.
"Jika memang perceraian adalah jalan terbaik yang harus ditempuh, kami tetap mendukung apapun keputusan kalian berdua."
Ia menatap Mama dengan penuh penghargaan. Ibu mertua terbaik yang pernah dimilikinya. Yang sebentar lagi akan menjadi orang lain. Sebab sudah tak ada lagi ikatan di antara mereka.
"Untuk malam ini ...." Mama menatapnya lembut. "Kinan menginap di sini, ya?"
Ia tak bisa menolak. Ia pun segera menghubungi Mas Pram yang sudah menunggu di sebuah hotel. Dan meminta maaf karena perjalanan pulang ke Surabaya harus berubah menjadi esok pagi.
"Mama bujuk kamu?" tanya Mas Tama. Ketika untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, mereka kembali berada dalam satu kamar yang sama.
Ia menggeleng, "Mama mendoakan yang terbaik."
Mereka tidur dengan posisi saling memunggungi. Jarak yang begitu dekat namun sebenarnya teramat jauh. Dengan tembok kokoh yang sengaja mereka bangun tinggi-tinggi. Tanpa ada seorangpun yang berkeinginan untuk melanggarnya.
Semua terasa semakin asing, dingin, dan tak mungkin terjangkau lagi.
***
Tama
Ia memandangi punggung Kinan yang bergerak teratur turun naik. Tengah terlelap di alam mimpi.
Dalam keadaan sedekat ini, kemarahan dan emosi yang beberapa pekan terakhir terus merongrong perlahan mulai menguap. Berganti dengan sejumput rasa penyesalan yang tiada berguna.
Ia marah dan hancur saat mengetahui keberadaan Kinan di apartemen bersama Om Pram. Tapi jauh sebelumnya, ia jelas memegang peranan dalam keretakan rumah tangga mereka.
Tak ada yang paling benar ataupun paling salah di sini. Ia dan Kinan sama-sama berada di sisi yang benar tapi juga salah.
Terlebih ia bukanlah sejenis pria suci, yang tak pernah tertarik pada wanita manapun selain Kinan. Ia bahkan sudah memberi ruang tersendiri untuk satu sosok yang cukup menarik perhatian. Sosok terlarang yang seharusnya dihindari.
"Penerbanganmu jam berapa?" tanyanya usai menemani Papa berolahraga ringan di halaman samping.
Ia pikir mereka akan pulang ke Surabaya bersama. Tapi ternyata Kinan sudah memiliki agenda sendiri.
Dan ia hanya bisa tersenyum getir, saat mengetahui, siapa orang yang menyambut Kinan di sebuah hotel.
Sudah cukup sampai di sini.
---------
Surabaya
Dua kali panggilan mediasi, dan mereka berdua sepakat untuk melewatkannya. Hakim akhirnya mengabulkan putusan cerai. Selang waktu seminggu, ia telah mengantongi akta cerai.
"Saderengipun kulo nyuwun pangapunten ingkang kathah, Bu (sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, Bu)," ucapnya ketika malam ini sepulang dari kantor, menjadi waktu yang dipilih untuk berpamitan dengan ibu.
"Ojo ngono, nak. Mestine ibu sing njaluk sepuro (jangan begitu, nak. Seharusnya ibu yang minta maaf)," ibu menggeleng tak setuju.
"Ibu nggak iso ngewangi opo-opo (ibu nggak bisa membantu banyak)."
Ia mengangguk, "Kulo kaleh Kinan mpun mutusi badhe pisah (saya dan Kinan sudah memutuskan untuk berpisah)."
"Pangapunten ingkang kathah sedoyo kalepatan kulo (mohon maaf yang sebesar-besarnya atas semua kesalahan saya)," sambungnya sungguh-sungguh.
"Menungso iku panggonane salah. Tulung ikhlasno kelakuane Kinan yo, nak (manusia itu tempatnya salah. Tolong ikhlaskan perilaku Kinan ya, nak)," ibu kini mulai terisak.
"Kulo titip Kinan kaleh Reka teng mriki (saya titip Kinan dan Reka di sini)," ia berusaha menenangkan.
"Iyo (iya), nak. Iyo," ibu masih saja berlinang air mata. "Kinan mbek Reka In syaAllah aman ndek kene (Kinan dan Reka aman di sini)."
Ia bisa menghadapi ibu tanpa kesedihan berlebih. Namun saat berpamitan dengan Miko, ia hampir tak mampu menguasai diri.
Miko yang berbeda dengan mereka. Miko yang membutuhkan perhatian lebih dari siapapun. Namun bisa berucap dengan jelas, "Terima kasih, Mas Tama. Untuk semuanya selama ini."
"Sehat-sehat ya, Mik," ia menepuk bahu Miko perlahan. "Titip Reka di sini."
Miko mengangguk, "Iya, Mas. Aku jagain Reka biar nggak nakal."
Ia tersenyum. Miko menjadi sosok yang membuatnya berat untuk mengucap salam perpisahan.
Selepas berpamitan dengan ibu, ia juga mengajak Kinan untuk mengunjungi bapak. Yang kini tinggal bersama keluarga barunya.
Dan selama ia berbicara dengan bapak, Kinan tak henti-hentinya meneteskan air mata.
"Semakin aku membenci bapak ... ternyata semakin aku mencintainya," isak Kinan di dalam mobil saat hendak pulang.
Ia hanya bisa menghela napas panjang.
"Aku benci bapak," imbuh Kinan dengan air mata berderai. "Tapi aku tahu kalau aku juga cinta sama bapak, hormat sama bapak, menghargai bapak. Aku ...."
"Luka ini benar-benar membunuhku ...." Kinan makin terisak.
"Mungkin seharusnya aku memeluk luka. Bukannya menjauhi dan memusuhinya ...."
"Mungkin harusnya aku berdamai dengan diri sendiri. Bukannya mencari pembenaran ...."
Ia tak mengatakan apapun. Ia juga tak melakukan apapun. Berusaha memberi kesempatan seluas-luasnya pada Kinan untuk meluapkan perasaan.
Sebab fokusnya kini hanya satu. Yaitu bagaimana caranya bisa meraih Reka kembali. Benar-benar PR yang sulit juga rumit.
***
Jakarta
Pocut
"Boleh lihat tangan kanannya, Cut?" tanya tamu wanita dengan perhiasan berkilauan itu padanya.
Ia sempat tertegun karena bingung. Namun sebelum sempat menolak, tamu wanita tersebut telah meraih pergelangan tangan kanannya.
"Wah?" tamu tersebut menatapnya dengan mata berbinar. "Tangan kamu bagus sekali."
"Urat hijaunya kelihatan jelas," sambung tamu itu lagi. "Kontras dengan kulit kamu yang putih bersih."
"Mak Agam ...." ucap tamu wanita tersebut ke arah Mamak. "Saya cocok ini sama Neng Cut."
"Istri pembawa keberuntungan," lanjut tamu tersebut dengan penuh keyakinan. "Urat hijau yang jelas terlihat, pertanda bisa membawa suami pada kemasyhuran, nama besar, kekayaan."
Mamak berdehem. Sementara ia mulai merasa jengah dan tak nyaman.
"Mau ya, jadi istri keempat suami saya?"
Ia bersedia menerima tamu tersebut karena datang dari jauh. Sekaligus menghargai sebagai sesama wanita. Tapi ternyata, ujung-ujungnya mengarah pada hal yang mati-matian dihindarinya.
Ia telah berulangkali menolak lamaran. Bukan hal yang baik memang. Ia bahkan tak pernah menginginkannya. Apalagi dilamar oleh pria beristri, dijadikan istri ke sekian, atau dijodohkan dengan seorang kenalan.
Menikah lagi sama sekali tak pernah ada dalam pikirannya. Meski hanya sekedar lintasan.
Baginya, Bang Is adalah suami pertama dan satu-satunya. Tak ada lagi orang lain.
Ia tentu ingin kembali berjumpa dengan Bang Is. Dan menikah lagi membuatnya tak bisa mendampingi Bang Is kelak. Terlebih, Icad sudah mengultimatumnya untuk tak menikah lagi. Ia bahkan terang-terangan mengucap, tak mau memiliki ayah baru.
Toh ia masih bisa membesarkan anak-anak sendiri. Apalagi ia sudah berjanji pada diri sendiri, akan terus mendampingi Mamak sampai kapanpun.
Jadi, ketika tamu yang berdatangan ke rumah semakin beragam dan terasa kian mengganggu. Sementara ia juga tak bisa terus menghindar dengan bersembunyi di belakang rumah, atau berdiam diri di kamar, atau bahkan menumpang bersembunyi di rumah tetangga.
Tawaran dari Pak Raka sejak jauh hari, tentang kesempatan baginya untuk bekerja di Selera Persada mulai mengusik.
Lagipula keude sudah bisa dipegang oleh Cing Ella. Dengan dua orang tukang masak yang kerap diperbantukan. Mamak hanya tinggal mengawasi.
Anak-anak juga sudah semakin besar. Icad, Umay, dan Sasa sudah bisa mandiri. Tak lagi bergantung penuh padanya.
"Kamu dulunya lulusan SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas)©, bukan?" Pak Raka mencoba memastikan.
"Bisa lah untuk pembukuan keuangan dan administrasi sederhana."
"Kebetulan ada staf administrasi yang kena musibah kecelakaan. Harus off sampai benar-benar pulih."
Dan ketika ia coba mengeluhkan tentang banyaknya tamu yang berdatangan, Mamak hanya berucap.
"Jangan lupa memohon petunjuk."
"Mamak lebih tenang kalau kau menikah lagi."
Ia menghela napas panjang mendengar penuturan Mamak.
"Tapi kalau memang sudah tak nyaman dengan tamu yang tak bisa kita tolak kedatangannya, Mamak hanya bisa mendoakan yang terbaik."
"Yang penting luruskan niat dalam bekerja."
***
Keterangan :
SMEA sekarang dikenal dengan nama SMK (sekolah menengah kejuruan)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Jong Nyuk Tjen
s kinan perempuan ga tau malu , blm cerai aja sikapny sebagai istri tama seperti itu . Ketemuan d tempat seperti itu , apartemen hotel . Lah istri macam ap kamu nan .
2025-01-18
0
dyul
loe bukan sedih nyesel
loe cmn bingung
om om kesayangan elo, bisa gak kasih privilege kayak mas tama kasih ke klg loe....
2024-12-26
0
dyul
cuman miko yg tau Terima kasih
karena dia tau mas tama yg ngurus klg kinan, cmn bingung, seorg ibu kok gak bisa mengingatkan anak perempuan nya
2024-12-26
1