Same Shit, Different Way
(Hal buruk yang sama, cara yang berbeda)
***
Surabaya
Kinan
Ketika malam itu Mas Tama datang ke rumah. Membawa salinan putusan akta cerai yang baru saja keluar. Kemudian mengembalikannya pada ibu. Ia seakan sedang melayang-layang di udara.
Dadanya terasa penuh sesak. Seperti dihimpit oleh satu dump truck penuh batu. Bagai kehilangan separuh nyawa. Benar-benar tiada daya dan upaya.
Bukan.
Bukan karena ia masih menyimpan rasa pada Mas Tama. Atau berharap bisa kembali menjadi satu keluarga yang utuh.
Toh perceraian ini bukan hasil pemikiran satu atau dua hari. Ia dan Mas Tama telah melewati banyak hal, banyak pertemuan, banyak pembicaraan. Dan yang terpenting adalah, sama-sama banyak membuat kesalahpahaman yang tak kunjung terurai. Bahkan hingga putusan cerai resmi keluar.
Tapi sekali lagi. Perpisahan bukanlah hal yang mudah. Meski saat kali pertama ia memutuskan pergi dari sisi Mas Tama, kata cerai seolah terus membayangi dan menghantuinya.
Namun keteguhan hati Mas Tama untuk tetap mempertahankan pernikahan, membuatnya terkadang berpikir. Someday ... somehow ... keadaan mereka akan kembali membaik seperti semula. Terlebih jika mengingat Reka.
Sayang apa la cur, kian kemari justru permasalahan mereka bertambah rumit. Semakin menggerogoti rasa di antara mereka berdua. Hingga akhirnya hilang tak bersisa.
Kemudian ditambah kehadiran tak terduga Mas Pram. Yang memberinya angin segar dan harapan kebahagiaan baru. Tentang bagaimana seorang pria seharusnya bersikap. Penuh kelembutan, sangat mengerti, selalu mengayomi, namun tetap bisa menjadi pemimpin. Benar-benar jelmaan sosok impian yang telah diidamkannya sejak lama.
Dan perpisahan ini berhasil membuat dirinya juga Mas Tama sama-sama hancur. Terutama Reka.
Reka tentu menjadi PR besar baginya. Tentang bagaimana cara memperbaiki sikap acuh dan dingin Reka terhadap Mas Tama.
Padahal ia merasa sudah melakukan yang terbaik. Dengan tak pernah mengatakan hal buruk tentang Mas Tama di hadapan Reka. Ia juga berusaha keras tak terlihat menangis atau bersedih di hadapan Reka.
Selalu berupaya jika keadaan sedang baik-baik saja. Meski ia tengah dilanda dilema akibat trauma mendalam masa kecil. Walau ia sedang bingung dengan apa yang sebenarnya diinginkan oleh diri.
Bahkan saat ia tengah menjalani proses terapi. Dengan resep obat berdosis cukup tinggi yang mengandung penenang. Ia tetap berusaha keras bersikap wajar di hadapan Reka.
Kendati itu artinya, ia harus menekan tumpukan perasaan asing dan emosi negatif. Yang mulai bermunculan selama menjalani proses terapi. Memaksa keluar seolah hendak mengambil alih penguasaan terhadap diri. Sampai ia terkadang lupa, dengan apa yang pernah dilakukan dan diucapkannya sendiri. Benar-benar sedalam itu efek luka masa lalu yang menggerogoti hati.
Namun entah mengapa, ia akan berubah menjadi wanita paling berbahagia jika berhadapan dengan Mas Pram. Menjadi wanita paling diinginkan dan diperjuangkan dengan sepenuh hati. Mas Pram berhasil mengisi ruang kosong di sudut hati. Sekaligus mengobati luka mendalam yang tak kunjung pulih.
"Aku udah cerita ke anak-anak tentang keberadaan kamu," begitu kata Mas Pram. Yang telah lebih dulu berpisah dengan sang istri.
"Dan mereka paham. Kalau aku dan Mami mereka memang tak baik jika terus bersama."
Ia hanya menghela napas. Tentu saja semudah ini. Karena kedua anak Mas Pram sudah berusia dewasa. Sekaligus open minded (memiliki pola pikir terbuka). Tak suka ikut campur. Dan tak mempermasalahkan tentang perihal pribadi orang lain. Bahkan orangtuanya sendiri.
Ia bahkan sudah pernah dipertemukan dengan kedua anak Mas Pram. Dan reaksi mereka tetap sama seperti yang pernah diceritakan oleh Mas Pram. Menerima kehadirannya. Meski bukan berarti dengan tangan terbuka.
Ia tetap merasakan aroma asing yang kaku. Namun segera terobati oleh sikap mengayomi Mas Pram. Yang membuatnya bertekuk lutut dan jatuh cinta berkali-kali.
"Begitu masa iddah kamu selesai, aku akan segera melamar," Mas Pram bergumam yakin.
"Kita akan menghabiskan masa tua bersama," lanjut Mas Pram semakin yakin, membuat hatinya sontak menghangat.
Dan malam ini, tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba saja Mas Pram mengajaknya untuk dinner di luar. Sekedar melepas penat setelah seharian, mereka berdua sama-sama berjibaku dengan para pasien dan segala keluhannya.
Namun sama sekali tak pernah menyangka, jika ia akan kembali bertemu dengan seseorang dari masa lalu.
Ya, tentu saja. Mereka berdua tinggal di kota yang sama. Probabilitas pertemuan jelas cukup tinggi. Terlebih jika menilik dari gaya hidup dan selera mereka yang hampir sama.
Hanya saja tak sampai hati meski sekedar hanya mengira, jika di tempat ini ia akan mendapati seorang pria. Yang mengenakan kemeja warna abu berlengan panjang, namun digulung hingga siku. Dengan rambut basah berkeringat dan wajah merah padam. Tengah menggebuk drum dalam penghayatan penuh. Sedang memainkan Moby Dicknya Ledd Zeppelin.
Sama persis seperti bertahun silam. Saat kali pertama ia mengetahui, jika Mas Tama memiliki hobi bermain drum. Instrumental yang dimainkan adalah jenis yang sama.
Momen itu juga, ia langsung tersungkur ke palung laut terdalam. Dengan dada sesak menahan pedih yang teramat menyakitkan.
Ia kembali hancur.
Bahkan semakin hancur.
***
Tama
Riyadh dan Wisak benar. Ia memang sedang ingin menghantam seseorang. Dan seperangkat alat musik drum adalah pelampiasan sempurna. Sejenis exit strategy low impact (jalan keluar tanpa efek buruk yang ditimbulkan).
Terlebih ditambah dengan sambutan meriah dari para pengunjung sky bar. Ditandai oleh tepukan riuh yang menggema. Sesekali bahkan terdengar suitan menggoda. Membuatnya kian bersemangat menggebuki benda yang berada di hadapan.
Kini keringat sudah pasti mengalir deras membanjir di sekujur tubuh. Seiring dengan ritme pukulannya yang semakin cepat.
Namun ia dan Riyadh masih bisa saling melempar tawa lepas. Bukti nyata jika seorang pria tetaplah pria. Mereka membutuhkan mainan yang asyik sebagai pendistrak pikiran dan pelampiasan. Tak ada yang berubah.
Ia hampir berada di penghujung lagu. Ketika bencana tiba-tiba datang menghampiri tanpa diundang. Tepat saat kedua matanya, tak sengaja menangkap bayangan kehadiran sosok Kinan bersama Om Pram.
Hanya dalam satu kedipan mata, keriaan tiba-tiba berubah menjadi petaka. Keseluruhan fungsi tubuh mendadak kacau balau dengan sendirinya.
Dan ketika Riyadh dengan antusiasme tinggi sebab tengah dipenuhi euforia bertanya, "Next?"
Ia justru memasang wajah masam. Lebih memilih untuk meletakkan stick drum pada tempatnya. Kemudian beranjak pergi begitu saja.
Meninggalkan Riyadh yang terheran-heran dengan tingkah ajaibnya. Sekaligus mengabaikan teriakan para pengunjung, yang memintanya untuk kembali bermain.
"Toilet di sebelah mana?" tanyanya cepat, pada seorang pegawai berseragam yang pertama dijumpai.
Dan begitu masuk ke dalam toilet. Ia langsung menghambur ke depan kloset. Lalu memuntahkan seluruh isi perut. Dengan tanpa kecuali.
Bukti konkret jika sisi emosionalnya belum benar-benar pulih. Justru kini kian bertambah parah.
Ia sendiri tak bisa menebak, kira-kira sudah berapa lama berjibaku di dalam toilet. Memasukkan kepala ke lubang kloset. Untuk memuntahkan isi perut secara habis-habisan. Hingga membuat kedua bola mata dan hidungnya berair.
Apakah ia menangis?
Ia langsung terbahak, demi mendengar pertanyaan paling kurang ajar yang entah dilontarkan oleh siapa. Namun terdengar begitu jelas menggema di dalam kepala.
Sedangkan dadanya kini kembali penuh sesak. Entah diakibatkan oleh apa atau siapa. Ia tak mau tahu dan tak ingin mencari tahu. Sebab perasaannya juga bak teriris sembilu. Pedih campur nyeri yang menghujam.
Ia kembali tertawa sendiri. Tawa paling getir dan terdengar menyedihkan yang pernah ada. Lalu buru-buru beranjak keluar. Mendekati wastafel. Dan langsung mencuci muka di sana.
Untung saja kondisi toilet sedang sepi. Hanya terdapat satu dua orang yang masuk ataupun keluar. Menjadi setting sempurna bagi orang semengenaskan dirinya.
Kemudian ia beralih memandangi kaca. Dan langsung menemukan sesosok wajah asing yang basah. Tanpa sadar tangannya bergerak mengusap di sepanjang garis cambang.
Ia pun mendesis kesal. Sebab baru menyadari jika lama tak bercukur. Membuat wajahnya terkesan kotor dan tak terawat.
Ia kembali memandangi kaca. Kali ini untuk memperhatikan pantulan diri dengan sungguh-sungguh.
Ia adalah seorang pria dewasa. Bukan anak kecil rapuh yang membutuhkan uluran tangan dari orang lain.
Namun pukulan telak yang berhasil menghancurkan harga diri, benar-benar membekas dan sulit untuk dilupakan.
Damned!
"Kirain udah mati lu!" seloroh Wisak. Begitu melihatnya berjalan dengan langkah gontai menghampiri meja bar.
Ia hanya menyeringai malas. Lalu mendudukkan diri di sebelah Riyadh.
"Mereka langsung pergi begitu tahu lu ada di sini," gumam Riyadh. Tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel.
Ia tertawa sumbang. Berpura-pura untuk tak menghiraukan.
"Ah!" Riyadh menggumam kesal. "Jam berapa sekarang?"
Ia tak peduli. Begitu juga dengan Wisak. Yang tengah asyik menyesap gelas berisi minuman berwarna kuning keemasan.
"Sep?" Riyadh bicara melalui ponsel. "Di mana?"
"Masih di kantor?"
"Belum beres?"
"Istri saya belum pulang ke rumah. Bisa tolong jemput ke kampus nggak?"
Ia masih duduk diam. Sementara Wisak mulai menyorongkan gelas lain ke arahnya, yang juga berisi minuman berwarna kuning keemasan.
Tapi ia menggeleng, "Gua nyetir sendiri."
Akan sangat lucu jika ia mendapatkan jackpot kemudian tak bisa pulang ke rumah. Atau lebih sial lagi, menyetir dalam keadaan mabuk lalu mendapat masalah.
"Bukan! Bukan yang di Setiabudi!" suara Riyadh mendadak meninggi.
Membuat dirinya dan Wisak menoleh.
"Di DU (Dipati Ukur) ... DU!" lanjut Riyadh dengan suara yang terdengar semakin kesal.
"Ya!"
"Kalau udah ketemu langsung kabari saya, Sep!"
Riyadh segera memutus sambungan ponsel dengan wajah keruh.
"Kenapa?" Wisak mengangkat dagu ingin tahu.
Riyadh menggerutu, "Jam segini Inne belum pulang ke rumah!"
Wisak kembali menyesap minumannya. Sementara ia memilih untuk memesan summer breeze, daripada harus meminum Cognac pemberian Wisak.
"Inne kayak punya masalah serius sama daya ingat," sungut Riyadh lagi. "Udah berkali-kali pergi ke DU, pulangnya masih nyasar juga."
"Bawa mobil sendiri nyasar?" Wisak mengernyit heran.
"Naik angkot," gumam Riyadh dengan wajah sebal.
"Hari gini ...." kini gantian Wisak yang menggerutu. "Taxi online bertebaran di mana-mana. Kenapa nggak bawa sendiri?"
Riyadh hanya mendecak. Meraih segelas mocktail lalu menyesapnya.
"Makasih," sementara ia baru saja menerima summer breeze dari bartender, dan langsung meminumnya.
"Inne nggak bisa nyetir," gerutu Riyadh. "Even naik motor pun nggak bisa."
"Tuh ... kado kawinan ngejogrok di rumah nggak pernah dipakai," gumam Riyadh yang kembali memeriksa ponsel.
"Udahlah ...." Wisak yang entah sudah menghabiskan berapa gelas Cognac, kini mulai bergumam-gumam dengan suara tak jelas.
"Kasih driver ... aman ...."
"Daripada bini lu kenapa-napa di jalan."
Riyadh hanya mendesis ke arah Wisak. Kemudian suasana di antara mereka bertiga mendadak hening. Hanya terdengar gumaman orang saling berbicara di sekeliling mereka.
Sementara dari arah panggung, suara musik menghentak yang digawangi oleh seorang DJ kenamaan, rupanya telah berhasil membakar dance floor. Menciptakan suasana panas yang riuh rendah.
Namun mereka bertiga tetap sibuk dengan pikiran masing-masing. Sama sekali tak terpengaruh oleh hingar bingar yang menggoda.
Tak lama kemudian, Riyadh kembali mengangkat panggilan yang masuk ke dalam ponsel.
"Ya?"
"Oke. Makasih, Sep!"
"Kan ... Inne nyasar lagi," gumam Riyadh sebal usai meletakkan ponsel ke atas meja bar. "Untung ketemu sama Asep."
"Jago juga Asep nyari bini lu!" Wisak terkekeh.
Tapi Riyadh menggelengkan kepala, "Nope. Inne sendiri yang datang ke Magna karena nyasar. Untung Asep belum jadi pergi."
Sementara ia sama sekali tak memedulikan obrolan Riyadh dan juga Wisak. Lebih memilih untuk menyesap habis summer breeze miliknya.
Kini mereka bertiga kembali terdiam. Tak ada yang berminat untuk membuka pembicaraan. Semua tenggelam dalam renungan sendiri.
Wisak menghembuskan asap putih ke udara. Sambil sesekali menyesap gelas minumannya.
Sementara Riyadh sibuk di depan layar ponsel dengan kening berkerut.
Sedangkan ia sama seperti Wisak. Mengisap rokok dan berharap seluruh penat bisa langsung hilang, bersamaan dengan asap yang membumbung ke udara.
"Selamat malam ...." sebuah sapaan lembut berhasil mengejutkan mereka bertiga. "Dengan Mas Wisak?"
Ia mengernyit heran. Begitu juga dengan Riyadh. Demi mendapati seorang gadis berusia awal 20an, yang memiliki wajah cukup familiar. Kini telah berdiri di hadapan mereka bertiga dengan senyum merekah.
Familiar karena ia tahu, gadis tersebut adalah seorang influencer yang cukup ternama. Dalam beberapa kesempatan terakhir bahkan sudah sering tampil di layar kaca.
Ia dan Riyadh sempat saling melempar pandang sebab tak mengerti.
Namun gadis cantik tersebut tanpa sungkan langsung berjalan mendekati Wisak. Dan mengambil duduk di sisi sebelah kiri Wisak.
Sontak membuat dirinya dan Riyadh kembali saling melempar pandang. Namun kali ini sambil menyeringai sebal. Begitu menyadari, jika Wisak tak pandang bulu dalam melancarkan virus womanizernya.
"Gua cabut dulu," Riyadh menyimpan ponsel ke dalam saku. "Jam tujuh pagi ada meeting sama orang Pemprov."
Ia pun menguap. Mengikuti jejak Riyadh berkemas. Setelah sebelumnya meletakkan selembar rupiah ke atas meja.
"Buru-buru amat, masih sore nih," Wisak terkekeh senang.
Tapi ia dan Riyadh sudah keburu beranjak.
"Thanks, bro," ujar Riyadh sembari melambaikan tangan ke arah influencer cantik di samping Wisak. Lalu mengangguk, "Mari ...."
"Buru-buru amat mau ke mana, Om?" seloroh gadis belia tersebut.
Membuatnya terbahak tanpa suara. Sementara Riyadh hanya tersenyum kecut karena dipanggil dengan sebutan Om. Padahal Wisak tadi disapa Mas dengan nada yang teramat manis.
"Makasih traktirannya," ia menepuk bahu Wisak sekilas sebelum melangkah pergi.
"Eh, lu ikut cabut juga, Tam?" Wisak menatapnya tak percaya.
"Udah kenyang," ia menepuk perut yang telah kosong akibat muntah-muntah tadi.
"Perut iya kenyang," Wisak tersenyum jahil. "Bawah perut belum diservice."
Ia hanya menyeringai getir. Lebih memilih untuk melambaikan tangan. Lalu segera berlari mengejar Riyadh yang telah terlebih dahulu beranjak pergi.
Dan di dalam lift mereka berdua hanya saling berdiam diri. Sampai Riyadh keluar di lantai 15. Di mana mereka akhirnya berpisah. Karena ia masih harus meluncur ke bawah menuju basement.
Selama itu pula keadaan lift kosong melompong. Tak ada orang lain selain dirinya.
Membawa ingatannya kembali melayang pada luka menganga.
Some shit, different way, batinnya sinis.
Membuatnya kini bisa memahami satu hal. Yaitu betapa ia dan Kinan sama-sama terluka saat masih bersama. Semakin terluka ketika memutuskan untuk berpisah. Dan luka yang justru kian dalam meski mereka benar-benar telah berpisah.
Luka yang berasal dari perpaduan sempurna antara amarah, sakit hati, kekecewaan, kesedihan, sekaligus penyesalan.
Sisi lain dari pasangan yang memutuskan untuk berpisah. Terlebih sudah memiliki buah hati. Namun jarang terungkap ke permukaan.
Ting!
Terbukanya pintu lift serta merta berhasil membuyarkan lamunan.
Dan sembari melangkah keluar, relung hati yang terdalam seakan berbisik walau masih diliputi secercah keraguan.
Kau memerlukan obat.
Obat yang mujarab.
Ia segera melangkahkan kaki panjang-panjang menuju tempat di mana kendaraannya terparkir. Dengan kepala yang dipenuhi oleh berjubel pertanyaan. Dan satu dari sekian banyak yang paling mengusik adalah,
Di mana ia bisa menemukan obat yang mujarab?
Apakah ia bisa menemukannya?
Ataukah ia akan terus berkubang dalam luka, hingga seluruh harga diri habis tak bersisa lagi?
***
Keterangan :
Masa iddah. : adalah masa tunggu. Masa di mana seorang wanita yang telah ditinggal wafat oleh suaminya atau diceraikan karena talak. Untuk menunggu dan menahan diri dari menikahi laki-laki lain.
Masa iddah terbagi menjadi beberapa ketentuan :
Pertama, wanita yang ditinggal wafat suami dan dalam keadaan hamil, maka iddahnya adalah hingga melahirkan. Berdasarkan QS 65 : 4.
Kedua, wanita yang ditinggal wafat suaminya dan tidak dalam keadaan hamil, maka iddahnya selama 4 bulan 10 hari. Tidak ada perbedaan antara wanita yang belum haid, masih mengalami haid, atau sudah berhenti haid (menapouse). Pun tidak ada bedanya apakah sudah pernah bergaul suami-istri atau belum. Berdasarkan QS 2 : 234.
Ketiga, wanita yang dicerai suami dalam keadaan hamil, maka iddahnya hingga melahirkan.
Keempat, wanita yang dicerai suami, tidak dalam keadaan hamil, sudah pernah bergaul suami-istri, dan sudah/masih haid, maka iddahnya adalah tiga kali quru. Berdasarkan QS 2 : 228.
Kelima, wanita yang dicerai tidak dalam keadaan hamil, sudah pernah bergaul suami-istri, dan belum haid atau sudah menopouse, maka iddahnya adalah selama tiga bulan. Berdasarkan QS 65 : 4.
Keenam, wanita yang dicerai namun belum pernah bergaul dengan suaminya, maka tidak ada masa iddah baginya. Berdasarkan QS 33 : 49.
Adapun bulan yang menjadi patokan penghitungan adalah bulan hijriyah (sumber tentang bab masa iddah diambil dari : nu.or.id).
Summer breeze : adalah minuman yang terbuat dari campuran jus jeruk, soda berwarna biru, serta jamur enoki sebagai isi. Rasanya segar, dengan sedikit asam dari jeruk (Wikipedia).
Mocktail. : merupakan minuman kombinasi dari sari atau jus buah, dengan berbagai macam minuman bersoda (idntimes).
Jackpot. : adalah terlalu banyak mengonsumsi minuman beralkohol. Hingga menjadi mabuk, kepala pusing, muntah-muntah, terkadang sampai tak bisa berdiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Jong Nyuk Tjen
yg pertama selingkuh itu ya kamu nan tp kok se olah2 yang salah d sini s mas tama , aneh kamu nan. Kamu itu emang ga pny rasa syukur n terimakasih pny suami seperti mas tama. Ga ad suami yg sempurna.
2025-01-19
0
YuWie
Magna?..ehh cakra ngajar bimbel dimana..kok lupa2 ingat. magna jg bukan? Bosnya siapa ya Riyad kah..ahhh lupa bgt hrs luncur lagi buka BP
2025-02-01
0
💐Tari Nyonya Sibuea💐
murahan..n nggk ad iman pst na😏
2025-01-10
0