"Adek Cantek Boh Hate Abang"
(Adik cantik kesayangan Abang -bahasa Aceh-)
***
Jakarta, dini hari
Pocut
Apakah sekarang ia sedang bermimpi?
Kemungkinan besar. Sebab ia melihat bang Is menyantap makan siang di dapur.
"Abang?" panggilnya sekedar memastikan.
Pria rupawan itu mendongak seraya melempar senyum. Namun tak mengucapkan sepatah kata pun, sama seperti pertemuan mereka sebelumnya.
Entahlah, akhir-akhir ini bang Is kerap datang berkunjung meski mereka tak pernah berbicara. Hanya saling menatap dan melempar senyum. Meski begitu, kehadiran bang Is sudah menjadi momen paling berharga baginya.
Kali ini ia tak ingin membuang kesempatan. Seraya mengembuskan napas meneguhkan hati, ia memberanikan diri mengambil duduk di hadapan pria yang sedang melahap nasi putih dengan lauk favorit, kuah asam keu-eung.
Ia memperhatikan bagaimana jemari kokoh itu menyendok nasi beserta lauk, lalu melahapnya dengan gerakan cepat. Ciri khas bang Is jika sedang makan. Seperti hendak menunjukkan sikap bahwa waktu tak boleh terbuang percuma. Bahwa kehidupan hanyalah secepat mengedipkan kelopak mata.
"Abang mau tambah?" tawarnya demi melihat isi piring sudah hampir kosong.
Bang Is tersenyum mengangguk.
Ia bersegera mengambil piring lalu beranjak ke sisi dapur yang bersisian dengan dinding kamar mamak, tempat di mana sebuah meja kecil menyimpan magic com.
"Nasi banyak atau sedikit?" tanyanya ingin tahu.
Namun tak terdengar jawaban.
Ia pun berinisiatif menyendokkan satu centong nasi ke dalam piring, lalu beralih ke depan kompor mengambil sepotong ikan tongkol dari atas wajan, dan menyiramnya dengan kuah asam keu-eung.
"Abang lapar?" tanyanya begitu meletakkan piring berisi nasi dan lauk ke atas meja.
Pria itu menyambut dengan penuh suka cita. Melahap makanan dari dalam piring tanpa ragu. Sementara ia kembali terpaku memandangi cara suami tercintanya makan. Cepat, tangkas, cekatan, tak ada leha-leha, apalagi bermalas-malasan.
"Loen rindu keu gata (aku merindukanmu) ...." bisiknya tanpa sadar dengan air mata berlinang.
Ia benar-benar merindukan keberadaan bang Is di sisi. Amat sangat merindu.
Ingatannya lantas melayang pada kebersamaan terakhir mereka sebelum berbulan-bulan kemudian bang Is dinyatakan meninggal tertembak perompak. Mereka sekeluarga piknik ke Ragunan, masuk melalui pintu utara, dan langsung disuguhi pemandangan indah berupa taman kandang burung Pelikan. Lengkap dengan sekumpulan burung Pelikan yang berjajar cantik seolah menyambut kedatangan mereka.
Sasa bertepuk tangan dengan riang. Bang Is lantas meraih Sasa dan mengangkat putri bungsu mereka tinggi-tinggi agar bisa melihat burung Pelikan lain yang bersembunyi di taman.
Dari burung Pelikan, mereka beralih melihat sekumpulan orang utan, melewati kandang buaya muara, mengunjungi beruang madu, kemudian mengamati berbagai jenis burung.
"Canciiiik ...." seru Sasa dengan mata takjub ketika mereka melewati burung merak yang sedang meregang memamerkan bulu.
"Sasa suka?" tanya Icad antusias. "Nanti Abang buatin gambar burung merak yang bulunya indah, khusus buat Sasa."
"Aku mau!" Umay mengangkat tangan kanan tak mau kalah. "Aku juga mau digambarin sama Abang!"
"Antre, ya," jawab Icad tak acuh. "Aku mau gambarin buat Sasa dulu."
"Nggak apa-apa antre juga." Umay tetap gembira. "Yang penting aku digambarin buaya yang tadi, sama beruang madu, burung beo, sama ...."
"Ogah, ah!" tolak Icad cepat. "Kamu bukannya nyuruh orang ngegambar tapi ngerjain! Itu sih minta digambarin sekebun binatang namanya!" Icad menolak mentah-mentah.
"Ah, Abang pilih kasih! Nggak adil!" Umay kesal dan berkacak pinggang.
"Umay gambarin juga dong, Bang," gumam bang Is berusaha meredam gejolak adik-kakak.
"Umay juga." Bang Is melihat ke arah Umay yang merengut, tak terima mendapat penolakan dari sang kakak. "Minta gambarnya jangan banyak-banyak. Secukupnya saja."
"Tuh!" Icad bersorak kegirangan sambil menunjuk muka Umay.
"Ya udah!" Umay akhirnya menyerah. "Gambarin aku burung elang aja."
Ia dan bang Is tergelak bersama.
Dari kandang burung, mereka melewati kandang harimau putih yang berhasil menghipnotis Icad dan Umay. Dua putranya itu terkesima melihat betapa gagah seekor harimau putih berjalan dari satu sisi kandang ke sisi lain. Kemudian mereka beralih memperhatikan harimau Sumatera, lalu singa.
"Hauuuummm!" Tiba-tiba Umay mengagetkan Sasa.
"Hiiiyy! Abang kakal (nakal)!" jerit Sasa marah. Diikuti jeweran Icad ke telinga Umay.
Setelahnya ada gajah Sumatera.
"Sasa sayang, mau naik gajah?" tawar Bang Is.
Sasa dengan menggeleng kuat-kuat, "Atuuut (takut) ...."
Jadilah yang berkesempatan menaiki Gajah hanya Icad dan Umay.
"Pegangan, May!" Bang Is meneriaki Umay yang tergelak-gelak di atas punggung gajah entah sedang menertawakan apa. Sementara Icad diam membisu lengkap dengan ekspresi wajah kaku dan tegang.
Dari kandang gajah, mereka melihat jerapah, mengelilingi kawasan pusat primata, melihat gorilla, lutung, kera, monyet.
Namun karena anak-anak mulai kelelahan, mereka memutuskan beristirahat di sekitar patung primata, menggelar tikar sambil menikmati makan siang yang dibawa dari rumah.
Ketika hendak membereskan sisa makanan, bang Is bergumam seraya mengerling. "Biar aku yang bereskan."
Ia hanya menggeleng tertawa. Tetap melanjutkan kegiatan memisahkan sampah dan wadah yang hendak dibawa pulang.
"Adek cantek boh hate Abang (adik cantik kesayangan Abang) ... tolong belikan Abang kopi saja," sambung Bang Is sembari mengambil alih membereskan sampah di atas tikar.
"Rasanya harus di doping sama kopi, nih. Setelah seharian menggendong anak gadis keliling Ragunan," kalimat yang diucapkan bang Is membuatnya tertawa.
Tapi tidak kali ini, karena ia justru memandangi bang Is yang telah selesai makan dengan air mata berlinang. Ia hampir kembali mengucapkan kata rindu. Ketika pria tampan itu tiba-tiba berucap pelan, "Adek cantek boh hate Abang ... tolong buatkan Abang kopi."
Isak tangisnya tak terbendung lagi. Ia bahkan tersedu sedan dengan hebatnya.
"Aku mau buatkan Abang kopi setiap hari," bisiknya dengan suara bergetar.
"Sampai kita sama-sama tua," imbuhnya di sela isakan.
"Sampai anak-anak tumbuh besar. Sampai aku jadi nenek-nenek. Sampai lututku tak kuat lagi untuk berjalan. Sampai mataku rabun dan susah untuk melihat wajah tampan Abang. Sampai aku pikun dan lupa pada diriku sendiri. Aku akan tetap ingat untuk membuatkan Abang kopi setiap hari. Tapi kenapa justru Abang pergi lebih dulu?" Tangisnya semakin menjadi tak terkendali.
Ia telah mengikhlaskan kepergian bang Is dengan cara yang cukup tragis. Namun seandainya boleh meminta, ia ingin memiliki waktu lebih lama lagi bisa hidup bersama bang Is. Tak terpisahkan jarak dan waktu demi menyambung hidup, walau hanya dalam mimpi.
Dari pandangannya yang terbatas sebab tertutup deraian air mata, ia bisa mengetahui bang Is mengulurkan tangan kanan dan mulai menyentuh wajahnya. Namun yang terasa bukan belaian lembut, justru tepukan ringan di lengan.
"Cut? Cut?"
Ia masih terisak, sangat berharap itu adalah suara bang Is yang memanggilnya. Tapi bang Is tak pernah memanggilnya dengan sebutan Cut. Bang Is selalu menyapanya dengan nama dara ceudah (gadis cantik) atau ade cantik boh hate abang, jika sedang ada maunya.
"Pocut? Pocut?"
Suara orang memanggil dan tepukan halus di lengan kembali mengusik. Dalam sekejap berhasil mengembalikan kesadarannya.
"Mak?" Ia terkejut mendapati wajah mamak yang memandanginya dengan tatapan cemas.
"Kau bermimpi?" tanya mamak dengan kening berkerut.
Ia buru-buru mengusap air mata yang meleleh kemudian bangkit.
"Sudah jam berapa?" tanyanya dengan suara serak berusaha mengalihkan perhatian mamak.
Mamak masih tertegun menatapnya, namun sejurus kemudian tersenyum tipis. "Sudah hampir Subuh."
"Aku kesiangan?" keluhnya sambil beringsut turun dari tempat tidur.
Tapi mamak justru menepuk bahunya lembut. "Tak apa sekali-kali bangun kesiangan. Kau sedang tidak sholat ini."
***
Ia sedang mengacau kuah sie itiek (kuah bebek) di atas panci ketika Sasa berteriak dari dalam kamar mandi.
"Maaaa! Handuknya mana?"
"Sebentar, nak," jawabnya yang sedang mencicipi rasa.
"Dingiiiin, Maaa!" teriak Sasa tak sabar.
Setelah yakin telah memperoleh rasa yang diinginkan, ia segera mematikan kompor bergegas mengambil handuk dan menghampiri Sasa.
"Nanti simpan handuk di dalam kamar mandi saja, Ma," pinta Sasa setengah menggerutu.
"Nanti jatuh lagi," ujarnya mencoba mengingatkan.
Sasa sempat beberapa kali terpeleset ketika hendak mengambil handuk dari atas gantungan. Atau handuk yang terjatuh ke lantai kamar mandi sebab posisi gantungan cukup tinggi, lumayan menyulitkan bagi Sasa yang bertubuh mungil.
"Buat gantungan baru, Ma," rengek Sasa.
Ia mengangguk. "Iya. Nanti Mama beli gantungan baru di toko bang Ahmad."
"Eh ...." Tiba-tiba Sasa seperti teringat sesuatu. "Tunggu Yah bit ke sini aja deh, Ma."
"Kenapa?" tanyanya tak mengerti. Sementara tangan terus bergerak menyelimuti tubuh Sasa dengan handuk.
"Mama kan dulu pernah, buat gantungan baru di kamar kita, tapi gagal," sungut Sasa.
Ia tertawa sambil membimbing bahu Sasa keluar dari kamar mandi.
"Mama nggak jago." Sasa menggelengkan kepala. "Aku mau nunggu Yah bit ke sini biar gantungannya nggak gagal lagi."
Ia kembali tertawa.
"Yah bit masih lama ke sininya." Ia menggeleng tak setuju. "Yah bit sekarang tinggalnya jauh, di Bandung."
Tapi Sasa tetap menggelengkan kepala. "Sasa sabar kok, nunggu Yah bit datang."
Ia mendesis tak percaya. Ketika melewati ruang tamu, dilihatnya Icad sedang asyik menggambar di atas meja. Sedangkan Umay tengah memelototi layar televisi.
"Umay!" gelengnya tak setuju. "Masih pagi sudah nonton TV!"
"Lagi seru, Ma," jawab Umay tanpa menoleh dengan tangan kanan menunjuk layar televisi.
Sebelum masuk ke kamar, ia sempat melirik layar televisi yang tengah menayangkan acara ....
"Anda masih bersama kami di Buru Sergap!" Menjadi kalimat yang diucapkan oleh pembaca berita di layar televisi.
"Nonton acara anak-anak, Umay!" serunya dari dalam kamar.
Tapi tak seorangpun yang menjawab seruannya.
"Aku mau nonton Cloud Bread, Abang!" teriak Sasa, yang kini sedang mengeringkan tubuh dengan handuk.
Sementara ia tengah berusaha mengambil baju seragam Sasa di dalam lemari.
Tapi tetap tak ada sahutan dari arah ruang tamu.
"Cepetan, Ma, pakai bajunya!" rengek Sasa dengan terburu-buru. "Aku mau nonton Hongshi sama Hongbi."
Ia mengangguk. Lalu membantu Sasa untuk mengenakan baju.
"Ma?"
"Ya?"
"Nanti sore ... aku pergi ke ulang tahun Raline, pakai baju yang dikasih sama Om ganteng ya, Ma?"
Ia menghentikan kegiatan sejenak dari mengancingkan baju seragam Sasa.
"Baju princessnya baguuuus ...." mata Sasa mengerjap dengan gembira. "Sasa sukaaaa bangeeeet ...."
Ia menelan ludah sebanyak dua kali. Lalu menghela napas panjang.
"Pakai baju lebaran yang dibelikan sama Nenek juga bangus, Sa," tawarnya mencoba peruntungan.
Tapi Sasa menggelengkan kepala keras-keras. Lalu berbisik di telinga kanannya, "Kalau baju yang dibelikan Nenek ... sama dengan baju punya Zhie, Ma."
Lalu Sasa mengerutkan kening, "Aku mau pakai baju princess yang dari om."
Ia mengembuskan napas panjang. "Ya sudah ... kita lihat nanti, ya."
"Tapi kalau kata Mama sih, bagusan baju lebaran Sasa," gumamnya seraya berusaha memasang wajah seantusias mungkin.
"Mama pasti salah lihat!" protes Sasa. "Orang bagusan baju yang dibelikan sama om kok."
"Sasa!" ia tiba-tiba merasa pening. "Tolong jangan bilang om-om terus, Sa. Kepala Mama jadi pusing."
Sasa menatapnya tak mengerti, "Kenapa kepala Mama pusing kalau dengar nama om?"
"Apa om nakalin Mama?" tanya Sasa penuh selidik.
"Aduh!" gumamnya tanpa sadar.
"Ya ... pokoknya Mama nggak suka dengar Sasa menyebut-nyebut nama om terus," ujarnya masih di luar kesadaran.
"Kenapa Mama nggak suka?" Sasa kembali bertanya dengan kening yang semakin mengkerut.
Oh ya ampun, ia benar-benar lupa jika Sasa memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Ini jelas blunder terburuk yang dilakukannya di hadapan Sasa.
"Kan omnya baik sama Sasa ...." Sasa masih menatapnya dengan penuh selidik. "Baik juga sama Mama. Waktu itu kan kita ...."
"Sssstttt!" ia buru-buru menghentikan kalimat Sasa.
"Udah, Sa." Ia memijit kening yang mendadak benar-benar terasa pusing. "Mama jadi pusing beneran ini."
"Berarti tadi ... Mama pusing bohongan dong?" tebak Sasa dengan mata membulat.
"Hhhhhh!" Ia mengusapkan telapak tangan guna menyapu wajah dengan gemas.
"Sudah," ucapnya dengan nada tegas. "Sekarang Sasa tunggu di luar. Mama ambilkan sarapan dulu."
"Berarti boleh ya, Maaa ... Sasa pakai baju princess yang dikasih sama om?"
Ia menatap Sasa tak percaya, "Terserahlah Sasa ...."
"Yeeeee!" Sasa melompat kegirangan. Lalu berlari keluar kamar.
"Abang! Nanti sore Sasa mau pergi ke ulang tahun Raline pakai baju princess lho!"
Ia mengembuskan napas panjang mendengar seruan gembira Sasa. Sebab kepalanya mendadak berdenyut tak karuan.
Membuatnya buru-buru meraih handuk. Agar tak terhanyut dalam perasaan kesal, terhadap orang yang disebut om oleh Sasa.
Ketika menyibak korden kamar, dilihatnya Sasa sedang tertawa-tawa dengan Icad. Sementara Umay masih memelototi layar televisi.
"Umay! Sudah sarapan belum?" hardiknya. Merasa kurang suka jika pagi-pagi televisi sudah menyala.
Tapi Umay tak menjawab. Karena sedang terpaku di depan layar televisi.
Membuatnya penasaran dengan apa yang membuat Umay bergeming dari hardikannya.
"Pemirsa, berikut kami tayangkan rekaman ekslusif, detik-detik penggrebekan dua tempat perjudian terbesar yang berada di Surabaya," urai pembaca berita.
"Semalam .... Tim dari Polda Jatim, yang dipimpin langsung oleh Dirreskrimum (direktur reserse kriminal umum) Kombes Pol Wiratama Yuda. Berhasil melakukan penggrebekan, di dua tempat perjudian terbesar, yang sempat meresahkan warga Surabaya."
"Bang! Abang!" pekik Umay dengan penuh semangat. "Keren, Bang! Kayak di film film!"
Ia masih memperhatikan layar televisi. Yang kini tengah menayangkan, sesosok pria berkaos polo warna navy, tengah membentak seorang pria yang berwajah ketakutan.
"Kamu siapa! Pengelola apa pemilik!"
"Bukan, Bang. Bukan."
Disusul teriakan pria lain, yang berada di sekeliling sosok berkaos navy. Dengan pistol teracung ke atas.
"Diam! Jangan bergerak!"
"Ada berapa orang di sini?"
"Jawab! Heh!"
"Ampun, Bang .... Ampun ...."
Dengan gambar latar belakang, beberapa orang berperawakan tegap, tengah menggelandang puluhan pria yang tertangkap basah sedang berjudi. Juga beberapa wanita berpakaian se ro nok.
"Wiiih! Keren banget ...."
Dan gumaman kagum Umay, akhirnya berhasil mengembalikan kesadarannya.
"Umay!" hardiknya yang semakin merasa kesal. "Matikan TV! Waktunya sarapan!"
"Yaaah ...." Umay merajuk tak setuju. "Lagi seru ini, Ma."
"Pemirsa ... berikut kami sampaikan wawancara langsung reporter kami, dengan Dirreskrimum Polda Jatim. Tentang penggrebekan dua tempat perjudian terbesar beromzet milyaran rupiah."
"Pak Wiratama Yuda ... bagaimana tanggapan anda tentang operasi penggrebekan yang anda pimpin?"
"Abang!" pekik Umay dengan suara keras. "Itu ... itu ... orang itu ...." Umay menunjuk layar televisi dengan mata melotot.
"Ya, dapat kami sampaikan bahwa ...." pria berkaos navy di layar televisi mulai menjawab pertanyaan reporter.
"Orang itu bukannya O ...."
Klik!
Ia mematikan televisi melalui sumbernya langsung. Dengan menekan tombol power.
"Waktunya sarapan!" ujarnya sambil memelototi Umay. Yang hingga kini masih memasang wajah takjub. Meski layar televisi telah mati.
"Orang tadi ... pak polisi yang tadi ...." desis Umay dengan nada kagum yang tak bisa ditutupi.
"Itu Om yang ada di rumah Dekgam bukan, Bang?" tanya Umay ke arah Icad. Yang hanya mengangkat bahu.
"Tahu," jawab Icad tak peduli.
Membuatnya lagi-lagi harus mengembuskan napas panjang dengan berat.
"Iya! Bener! Pak polisi yang di TV tadi sama dengan om-om yang ada di rumah Dekgam!!" seru Umay masih dengan mata berbinar.
"Aku tahu ... aku tahu .... Umay tak pernah salah!"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
dyul
pocut ada ser..... tapi ya gitu....
merasa gak ctk, tdk sepadan
ah.... pocut
2024-12-26
0
YuWie
kenapa pocut malah salting..hmmm
2025-02-01
0
kusrini 09
mewek 😭😭😭
2024-09-18
0