The Longest Ride
(Perjalanan panjang)
***
Jakarta
Tama
Dengan hanya berbekal dua travel bag berisi barang pribadinya -karena memang tak memiliki banyak barang, yang harus dibawa dari Surabaya ke Jakarta- ia menemukan sosok Cakra di antara sekumpulan para penjemput, di terminal 3 domestik.
"Mas?" Cakra berjalan menghampiri.
"Lagi libur?" tanyanya heran. Ketika Cakra meraih tangan untuk menyalaminya. Tadi ia pikir akan dijemput oleh Pak Cipto.
"Libur, Mas," Cakra mengangguk.
Lalu dengan gerakan cepat, Cakra mulai membantunya menaikkan travel bag ke dalam bagasi.
Dari bandara, mereka langsung meluncur ke rumah dinas yang diperuntukkan baginya. Di mana beberapa orang petugas, langsung menyambut kedatangannya. Termasuk membantu Cakra menurunkan travel bag dari dalam bagasi.
"Selamat pagi," ucap salah seorang dari mereka. "Selamat datang di Jakarta."
"Perkenalkan, nama saya Devano. Bertugas sebagai sekretaris pribadi komandan."
Ia mengangguk, "Panggil Pak saja."
Seraya menepuk bahu petugas berusia muda itu. Kemudian beranjak menemui Papa, Mama, Anja, Aran, dan dua orang yang baru pertama kali dilihatnya. Yang kesemuanya tengah menunggu di ruang depan.
"Hello ... Pakde Tama ...." Anja mempermainkan tangan Aran agar melambai ke arahnya. Bayi berpipi bulat itu bahkan terkekeh-kekeh melihat ke arahnya.
Tapi ia hanya tersenyum singkat. Berjalan melewati Anja dan Aran. Setelah sebelumnya sempat mencubit pipi Anja, sekaligus mengusap kepala bayi berambut lebat itu.
"Bayi," gumamnya sambil lalu. Beranjak menghampiri Mama yang tersenyum menyambutnya.
"Ih, i'm not a baby anymore (aku bukan bayi lagi), Pakde!" protes Anja tak setuju. "Sebentar lagi usiaku mau satu tahun ... yeay ...."
Diikuti gelak tawa bayi berwajah tampan itu.
Tapi ia hanya menyeringai. Karena tengah mencium tangan Mama. Lalu memeluk tubuh jalan surganya itu dengan penuh hikmat.
"Kinan sama Reka baik-baik aja?" bisik Mama di telinganya. Seolah khawatir bisa terdengar oleh yang lain.
Ia mengangguk, "Baik, Ma ...."
Kemudian Mama mengusap punggungnya berkali-kali dengan mata berkaca.
"Sabar, ya," bisik Mama tepat di telinganya. Meski hampir tak terdengar.
Ia kembali mengangguk. Lalu balas mengusap punggung Mama dengan perlahan. Sebagai pernyataan jika perasaannya telah baik-baik saja.
Saat ia masih berpelukan dengan Mama, seseorang tiba-tiba menepuk bahunya.
"Lancar?" gumam Papa dengan suara berat.
Ia mengangguk, "Lancar, Pa."
Papa berusaha tersenyum, meski gagal. Kemudian kembali menepuk bahunya.
"Tama ... mereka berdua yang akan menemani kamu di rumah ini," ucap Mama, seraya menunjuk pada dua orang berwajah asing. Yang sedang tersenyum dan mengangguk ke arahnya.
"Daripada kamu nyari orang sendiri ...." lanjut Mama. "Itu juga butuh waktu."
"Padahal kamu harus ada yang ngurus."
"Jadi ... Mama carikan orang yang sudah kenal baik."
Sebentar lagi ia akan menginjak usia 40 tahun. Di mana slogannya adalah life begins at forty. Alias hidup yang sebenarnya baru akan dimulai.
Tapi Mama, bahkan masih memperhatikan detail terkecil kebutuhan pribadinya. Definisi nyata dari kasih ibu sepanjang jalan. Atau seorang anak tetaplah anak bagi orangtua? Walau sedewasa apapun usianya.
Once a son, always a son (seorang anak laki-laki, tetaplah anak laki-laki).
"Namanya Agus sama Yuni," terang Mama kemudian. "Teh Yuni ini saudara jauhnya Bi Enok. Sama-sama dari Cihideung."
Ia mengangguk ke arah pasangan tersebut.
"Titip anak saya ya ...." Mama memungkasi sesi perkenalan dengan senyum merekah.
Membuatnya hampir tertawa sumbang. Karena Mama bahkan menitipkannya pada orang lain. Seakan di usia yang sematang ini, ia tak becus mengurus diri sendiri.
Setelah berbincang sebentar dengan semua yang ada di rumah. Termasuk petugas yang menunggu di luar. Ia pun mulai berbenah.
"Mas ...." Anja memandangnya dengan wajah mengerut. "Rumahnya kok dingin begini? Kayak nggak berpenghuni."
Tapi ia tak menjawab. Sebab tengah sibuk memindahkan setumpuk pakaian, dari travel bag ke dalam lemari.
"Suasananya nggak enak banget," Anja bergumam. Tapi masih bisa terdengar oleh telinganya.
"Harusnya di sini dikasih lukisan nih ...." Anja mengarahkan kedua tangan seolah sedang mengukur dinding. "Biar nggak terkesan cold and dark (dingin dan gelap)."
"Terus ...." Anja beranjak ke sisi lain kamar tidurnya. "Di sini ... bisa dikasih sesuatu yang menyegarkan."
Ia hanya menggelengkan kepala. Sama sekali tak menghiraukan Anja.
"Foto-foto Mas mana?" tanya Anja sambil menatapnya curiga. "Biar aku sama Cakra yang pasang."
Ia menggeleng, "Nggak punya foto."
"Nggak punya foto gimana?" Anja merengut. "Masa nggak punya foto sama sekali?"
Namun ia tetap melanjutkan menata isi lemari. Tak berniat memedulikan gerutuan Anja.
"Lukisan aja ya, Mas? Mau?" tawar Anja dengan wajah sumringah. "Nanti aku minta Icad buat lukisin Mas. Pasti keren tuh. Mau pilih foto ya ...."
"Siapa?" kedua tangan yang sedang sibuk merapikan isi lemari, tiba-tiba terhenti dengan sendirinya.
"Icad ...." kini Anja telah berdiri di sampingnya. Turut membantu merapikan tumpukan baju yang masih berantakan. "Keponakannya Abang. Anaknya Kak Pocut."
Tanpa sadar ia menelan saliva.
"Gambarnya Icad bagus banget lho, Mas," lanjut Anja lagi. Sama sekali tak menghiraukan keterpanaannya.
"Mas mau foto mana yang digambar sama Icad? Yang pakai seragam? Atau pakai jas?"
-------
Pagi ini, ia mengikuti upacara sertijab (serah terima jabatan) di sebuah balai pertemuan yang terletak di bilangan Senayan. Sejumlah pejabat utama secara resmi akhirnya berganti.
Saat acara ramah tamah, ia benar-benar menjadi pusat perhatian. Sebab sebagian besar peserta sertijab, yang kebanyakan adalah teman seangkatan ketika di Akpol dulu, meledeknya habis-habisan.
"Wah, Tama! Nyonya mana ... nyonya?"
"Si Tama masih didampingi Papa sama Mama ... kayak anak sekolahan aja lu, Tam."
"Bini kinclong lu mana ... nggak diajak?"
"Duda buaru nih!" seloroh yang lain kian memperjelas. "Ayo ... kita cariin jodoh buat komandan yang satu ini. Siapa punya stok?"
"Fit and proper testnya mesti ngelewatin kita-kita ya, Tam. Hahahaha!"
"Perlu dibikin panselnas (panitia seleksi nasional) nggak? Kita siaplah jadi volunteernya. Hahahaha!"
Ia hanya bisa tertawa sumbang. Sama sekali tak berkutik saat menjadi bulan-bulanan rekan-rekannya.
Begitu acara ramah tamah selesai, ia segera meluncur ke kantornya yang baru di bilangan Slipi.
"Saya mohon doa restu dari rekan-rekan semua," ucapnya saat upacara sambutan di kantor kepolisian resor metro.
"Semoga dalam mengemban amanah dan tanggung jawab yang baru ini, saya diberi kesehatan, keselamatan, dan juga kesuksesan ... dalam melaksanakan tugas-tugas."
Upacara sambutan berlangsung sederhana. Dilanjutkan dengan mengelilingi seluruh ruangan dan bagian yang ada di kepolisian resor metro. Serta berkenalan dengan jajaran petugas di sana.
"Saya mau ngobrol-ngobrol dulu sama Kabag (kepala bagian) dan Kasi (kepala seksi)," jawabnya ketika Devano bertanya. Apakah ia sudah siap untuk pergi ke tempat acara ramah tamah.
Kemarin Devano sudah menginformasikan, seluruh kegiatan yang akan dilakukan pada hari ini. Salah satunya adalah acara ramah tamah. Dengan jajaran pejabat di kepolisian resor metro.
"Yang lain suruh langsung ke sana," lanjutnya. Sebelum memulai obrolan ringan bersama Kabag dan Kasi di ruangannya.
"Nanti kita nyusul ...."
***
Pocut
Ia tak pernah bekerja di kantor sebelumnya.
Ia bahkan sama sekali belum pernah bekerja jauh dari rumah. Di tempat asing. Dengan seabrek tugas yang menggunung. Benar-benar terasa berat bagi orang seusianya.
Yang terbiasa berdiam diri di rumah. Tak pernah mengetahui dunia luar. Hanya berkutat antara urusan sumur, kasur, dapur.
"Hari pertama ... kita penyesuaian dulu ya, Bu," ujar Luky, staf HRD yang ditugaskan oleh Pak Raka untuk mendampinginya.
"Sudah terbiasa menggunakan komputer dan laptop kan?"
Sejak lulus dari sekolah kejuruan dan menikah, ia praktis tak pernah menyentuh benda bernama komputer ataupun laptop. Ia hanya pernah sesekali memindahkan laptop Agam, dari ruang tamu ke kamar. Jika adik iparnya itu lupa untuk membereskan usai mengerjakan tugas sekolah.
Atau membantu Agam mengambilkan laptop dari tempat service, yang kiosnya kebetulan berada tak jauh dari keude.
Jadi, jika sekarang Luky memintanya untuk mengetik surat di komputer. Bisa dipastikan akan memakan waktu yang sangat lama.
"Ibu nggak biasa ngetik di komputer ya?" tebak Luky ketika melihatnya gugup saat mengoperasikan komputer.
Akhirnya Luky memberikan tugas lain, yang tak berhubungan dengan komputer. Seperti mengecek surat masuk dan keluar. Mengarsipkannya secara manual. Mengecek bukti-bukti pengeluaran kantor dan mencocokkannya dengan buku besar. Menyusun bukti pengeluaran di dalam satu file. Dan masih banyak lagi.
"Gimana hari pertama?" tanya Pak Raka ketika mengantarkannya pulang. Padahal ia sudah menolak, namun Pak Raka tetap memaksa.
"Mumpung saya bisa," begitu jawab Pak Raka, ketika ia bersikeras untuk pulang naik bus.
"Mumpung saya lagi stay di sini," lanjut Pak Raka dengan nada suara yang terdengar terlalu tenang.
"Si Luky ngasih banyak kerjaan?" tanya Pak Raka lagi.
Ia menghela napas sebelum menjawab, "Mungkin bisa dipertimbangkan lagi, Pak."
"Saya ... sepertinya kurang cocok untuk bekerja kantoran."
"Saya biasa masak dan ...."
"Hei! Pak Raka menggeleng. "Baru hari pertama. Kok pesimis begitu? Optimis dong. Semangat!"
"Tapi memang kenyataannya, Pak," ia tentu harus mengakui Jika tak memiliki kemampuan mumpuni. Meski hanya untuk mengerjakan tugas seorang staf administrasi.
Rantika yang lulusan diploma 3, jelas lebih memiliki kemampuan dibandingkan dengan dirinya. Ia yakin sekali jika akhirnya Rantika yang terpilih. Bukan dirinya.
Namun Pak Raka justru tersenyum seraya menoleh ke arahnya, "Saya ingin tahu ... apa besok kamu juga akan ngomong begini?"
Hari kedua, ia masih terlalu lambat. Sama sekali belum terbiasa. Tapi ia sudah bisa mengoperasikan komputer sendiri. Meski rasa takut salah masih menghantui.
"Bu, kerjanya yang semangat ya," bisik Luky ketika mengajarinya mengetik di MS Word.
"Kalau ibu berhenti di tengah jalan, nanti saya yang kena."
"Kena gimana?" tanyanya tak mengerti.
Tapi Luky hanya menatapnya sembari meringis.
"Kamu kena marah sama Pak Raka ... begitu?" tebaknya meski ragu.
Dan Luky pun kembali meringis. Kali ini semakin lebar.
Hari ketiga, ia salah mengarsipkan surat perjanjian kerja sama dengan salah satu supplier. Alhasil, ketika terjadi gagal bayar dan sang supplier menagih di luar waktu yang telah disepakati. Seluruh penghuni ruangan administrasi dan keuangan, sibuk mencari surat perjanjian yang terselip.
"Saya minta maaf ...." ujarnya dengan penuh penyesalan. Merasa tak enak karena sudah merepotkan banyak orang.
Tapi Pak Raka, seperti biasa, hanya tersenyum. "Salah itu wajar. Mesin saja bisa salah."
"Namanya juga masa percobaan. Jangan gampang menyerah dong."
Hari keempat, semua orang di ruangan administrasi dan keuangan, memberinya tatapan masam. Kecuali Luky tentu saja. Luky menjadi satu-satunya orang yang ramah, tetap ramah, dan selalu ramah padanya.
"Nggak mungkinlah saya berani sama Bu Cut ...." ucap Luky sungguh-sungguh.
Tapi ia justru ingin tertawa melihat ekspresi wajah serius Luky. Pemuda berusia seperempat abad itu, memiliki jenis wajah yang jenaka. Jadi, jika Luky memasang tampang serius, malah terlihat lucu.
"Nanti saya bisa di ...." Luky mempraktekkan cara menggorok leher sendiri. "Sama bos."
Ia menggelengkan kepala, "Jangan begitu. Saya memang nggak bisa kerja. Tegur saja kalau saya melakukan kesalahan. Jangan ragu."
"Jangan sampai saya merepotkan banyak orang karena kekurangilmuan saya."
"Canda, Bu ... canda, Bu ...." sergah Luky cepat seraya mengacungkan dua jari membentuk tanda v, victory.
"Maaf ya, Bu. Jangan diambil hati," ujar Luky lagi. "Dan jangan laporin saya ke Pak Raka."
"Saya nggak mau dipotong gaji," lanjut Luky dengan wajah memelas. "Tiga bulan lagi saya mau nikah, Bu."
"Perlu modal banyak."
Ia mengerutkan dahi, "Kamu sampai dipotong gaji gara-gara saya?"
"Enggak, Bu ...." Luky terkekeh. "Enggak ... canda elah, Bu."
"Tapi kalau yang mau nikahnya serius, eheheheheeh ...."
Ia kembali menggelengkan kepala.
Hari kelima, semua orang di ruangan administrasi dan keuangan, membuang muka dan tak menyapanya. Termasuk Rantika. Kecuali Luky tentu saja.
"Ibu tahu nggak ... kenapa mereka pasang wajah asem?" tanya Luky ketika sedang mengajarinya membuat laporan keuangan sederhana di Excel.
Ia tersenyum dan menggeleng dalam satu waktu.
"Habis ibu cakep sih," bisik Luky sambil menengok ke kanan dan ke kiri. Seperti orang yang takut ketahuan.
"Mana deket lagi sama Pak bos," lanjut Luky.
"Luky!" ia seperti sedang menegur Icad yang berbicara tanpa filter.
"Saya nggak deket sama Pak Raka. Saya cuma pegawai dalam masa percobaan. Saya sama dengan yang lain."
Tapi Luky hanya menyeringai.
Lima hari kerja. Dan ia belum bisa melakukan banyak hal. Masih harus dibantu oleh Luky. Belum mahir mengoperasikan komputer ataupun laptop. Dan sederet ketidakbecusannya yang lain.
Jadi ketika Bu Iren memanggilnya ke ruangan. Lalu menyodorkan surat kontrak untuk tiga bulan ke depan. Ia hanya bisa terbengong-bengong.
"Maaf, Bu," ia menelan ludah berkali-kali. "Apa nggak salah?"
"Seharusnya Rantika yang lolos. Bukan saya."
Bu Iren tersenyum, "Rantika baru aja tanda tangan kontrak sebelum Mba."
Ia semakin melongo, "Jadi ... kami berdua sama-sama diterima, Bu?"
Bu Iren mengangguk, " Ini ... tanda tangan di sini ya."
"Meski kita masih keluarga. Tapi untuk urusan bisnis ... tetap bisnis," seloroh Bu Iren.
Ia tersenyum malu. Meraih kertas kontrak kerja di hadapannya dengan tangan gemetar.
"Apakabar Cakra?" tanya Bu Iren. Ketika ia sedang mengambil pulpen untuk menandatangani surat kontrak.
"Alhamdulillah ... terakhir kami jumpa ... baik, Bu," ia tersenyum. Mulai bersiap untuk membubuhkan tanda tangan.
"Titip salam untuk Cakra ya."
Ia mendongak.
"Saya kagum sama dia," gumam Bu Iren. "Pemuda yang pantang menyerah."
Ia tersenyum, "In syaAllah, Bu. Nanti saya sampaikan kalau ketemu."
Kemudian kembali berkonsentrasi pada lembaran surat kontrak, yang tersimpan di atas meja.
Namun sebelum tangannya bergerak membubuhkan tanda tangan, matanya sempat menangkap sebaris tulisan yang cukup mencolok. Yaitu,
Diterima bekerja sebagai ... sekretaris pribadi Direktur Utama.
Ia memandang Bu Iren dengan tangan gemetaran, "Maaf, Bu. Saya ... nggak bisa ...."
-------
Pak Raka menatapnya tak percaya, "Kenapa kamu nggak mau tanda tangan surat kontrak?"
Ia menelan ludah dengan gugup, "Maaf, Pak ... jika saya lancang."
"Tapi ... Bapak bilang, saya akan menggantikan staf administrasi yang se ...."
"Iya," Pak Raka menyela ucapannya. "Awalnya begitu."
"Tapi ternyata ... saya juga sedang butuh sekretaris pribadi. Jadi ... kenapa enggak?"
"Kamu jelas orang yang bisa saya percaya."
"Atau gajinya kurang?"
Ia menggeleng, "Bukan begitu, Pak."
"Saya tidak memiliki kemampuan menjadi seorang sekretaris pribadi."
"Kemampuan bisa diasah, Pocut," sergah Pak Raka. "Ingat nggak kata-kata saya?"
"Skill itu bisa dipelajari."
Ia kembali menelan ludah, "Maaf, tapi saya nggak mungkin bekerja di temp ...."
Pak Raka mengembuskan napas panjang, "Oke ... saya paham."
"Kamu khawatir akan timbul fitnah karena posisi saya ... dan status kamu sebagai ...." Pak Raka tak melanjutkan kalimat.
"Kita buat aturan sendiri ... gimana?" tawar Pak Raka kemudian.
Ia mengernyit tak mengerti.
"Kita nggak akan berada di satu ruangan," sambung Pak Raka dengan nada bicara yang sudah lebih tenang.
"Nanti meja kamu tetap berada di ruang administrasi keuangan."
"Saya minta orang buat nyambungin telepon khusus ke ruangan saya di meja kamu."
"Dan kalau saya manggil kamu ke ruangan saya ... pintu akan saya biarkan terbuka lebar."
"Gimana?" tanya Pak Raka dengan penuh harap.
***
Keterangan :
The Longest Ride adalah sebuah novel terjemahan dari novel asli Amerika Serikat karya Nicholas Sparks. Kemudian diadaptasi ke dalam film dengan judul yang sama. Dibintangi oleh Scott Eastwood.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
may
Hai mas devano, banyakin stok sabarnya yaaa🤭
2024-11-20
1
Lia Kiftia Usman
gitu deh...😁
2024-12-17
0
himawatidewi satyawira
ajudan paket lengkap tama..merangkap konsultan gratis ttng cintrong, t4 curhat tak sadar tama jg yng nampung omelan tama
2024-04-13
1