Seven Deadly Sins
(Tujuh dosa paling mematikan)
***
Surabaya
Tama
Sebenarnya ia masih ingin menenggelamkan diri lebih lama di dalam bathtub. Agar kepala yang sedari tadi terasa bergolak mendidih, bisa berangsur menjadi dingin.
Tapi ketukan membabi buta Yu Adah di pintu kamar mandi, memaksanya untuk segera bangkit.
"Lapo (kenapa), Mas? Pean gak popo ta (anda nggak kenapa-napa kan)?" sambut Yu Adah dengan wajah cemas, begitu melihatnya keluar dari kamar mandi.
"Aku mau krungu suara banter. Kayak ono sing pecah (saya tadi mendengar suara keras, seperti ada yang pecah)," sambung Yu Adah sambil memanjangkan leher, berusaha untuk melihat ke dalam kamar mandi. Namun ia sudah keburu menutup pintunya.
Membuat Yu Adah yang sedang memegang sapu, memandangnya curiga.
Tapi ia bergeming. Tak mengucapkan sepatah katapun. Hanya berdehem pelan. Lalu berjalan melewati Yu Adah yang terbengong-bengong.
Dan sebelum masuk ke dalam kamar. Ia mendadak teringat sesuatu, "Ojok mlebu jedhing sek (jangan masuk ke kamar mandi dulu)!"
Sebab ia meninggalkan kamar mandi dengan begitu saja. Dalam keadaan kacau balau. Masih dipenuhi oleh bekas pecahan kaca wastafel. Yang berserakan di atas lantai.
Ia berniat akan membersihkan sendiri. Kekacauan yang baru saja diperbuat. Meski waktunya entah kapan.
"Iyo (baik), Mas."
Ia masih bisa mendengar jawaban patuh Yu Adah. Sebelum menutup pintu kamar. Lalu menguncinya.
-----------
"Aku bakalan nggak mole suwe (saya bakalan lama nggak pulang ke rumah)," pesannya pada Yu Adah, yang saat ini sedang mencuci piring di dapur.
"Lapo (kenapa) loh, Mas?"
Tapi ia tak menjawab. Lebih memilih untuk mengecek barang yang hendak dibawa.
Setelah yakin semuanya lengkap, termasuk revolver andalan. Ia kembali berkata pada Yu Adah.
"Kemungkinan Kinan mau datang ke sini ...." ia menghela napas sebentar.
"Mau ambil barang atau apa," ia kembali menghela napas.
Sementara Yu Adah yang sudah selesai mencuci piring, mulai berjalan mendekatinya.
"Suruh masuk aja," sambungnya. "Sekalian tolong ingetin Kinan ... jangan sampai ada barang yang ketinggalan."
Yu Adah menatapnya dengan kening mengkerut. Wanita bertubuh tambun itu bisa dipastikan memiliki banyak pertanyaan berbalut rasa keingintahuan.
Tapi sikap sopan santun rupanya berhasil menahan Yu Adah, untuk tetap mengkerut. Tanpa melontarkan pertanyaan apapun. Yang kemungkinan besar bisa membuatnya kembali diselimuti amarah.
Yu Adah justru berjalan ke arah meja makan sembari mengangguk, "Nggeh (baik), Mas Tama. Mengke kulo sanjang teng Mba Kinan (nanti saya sampaikan ke Mba Kinan)."
"Sarapan sek (sarapan dulu), Mas," lanjut Yu Adah, seraya menunjuk piring di atas meja makan.
"Mau Edi tuku sego krawu. Aku titip pisan (tadi Edi -anak Yu Adah- beli nasi krawu. Saya sekalian titip)."
Sejujurnya ia tak merasa lapar. Bahkan tak memiliki nafsu makan sama sekali. Tapi demi mengingat, jika ia baru tidur selama kurang dari satu jam. Kemudian setelah ini, bisa dipastikan akan langsung disibukkan dengan proses penyidikan kasus kematian Om Jusuf.
Maka fisik dan psikis yang lelah, ditambah tidak sarapan pagi, jelas akan menjadi perpaduan yang buruk. Membuatnya memutuskan untuk menuruti saran Yu Adah. Dengan mengambil duduk di meja makan.
"Niki (ini) ... kale ote-ote, senengane Mas Tama (sama bakwan, kesukaan Mas Tama)," sambung Yu Adah, yang terang-terangan tersenyum senang. Begitu melihatnya mulai mengambil piring yang berisi sebungkus nasi krawu.
Dan sebelum membuka bungkusan nasi krawu, ia lebih dulu mencomot sebuah ote-ote, lalu melahapnya.
"Suwon (makasih), Yu."
---------
Setelah menyelesaikan laporan pada Metro 1 (Kapolda). Ia segera memimpin koordinasi antara tim dari Mapolda dan Polrestabes. Memberikan tugas dan arahan, serta pesan khusus dari Metro 1. Sebab kasus Om Jusuf dipastikan akan menjadi berita nasional.
Ia sempat menyambangi Cundamanik, yang kini sudah berada di ruangan penyidik di lantai tiga. Telah didampingi oleh dua orang petugas wanita. Sedang dibujuk agar mau makan.
Namun Cundamanik bergeming. Sama sekali tak menghiraukan ucapan petugas. Hanya duduk diam dengan mata menerawang kosong. Sepertinya gadis belia itu masih shock. Belum bisa diajak berkomunikasi secara normal.
Dari Cundamanik ia beralih menemui Erik. Memberikan beberapa perintah khusus. Kemudian barulah ia meluncur menuju TKP. Bergabung dengan tim identifikasi, yang tengah menyisir keseluruhan ruangan. Berusaha mengumpulkan sekecil apapun informasi dan barang bukti tambahan.
"Pak?" sapa setiap petugas yang berpapasan dengannya.
Ia hanya mengangguk. Sebab tengah berkonsentrasi memperhatikan detail terkecil, yang diharapkan bisa menjadi petunjuk. Barangkali mampu membawanya pada titik terang.
Ia pun berusaha menempatkan diri. Membayangkan, seolah tengah berada di antara Om Jusuf dan Cundamanik. Memikirkan berbagai kemungkinan alur, yang bisa saja terjadi.
Sementara di sekelilingnya, beberapa petugas berompi dengan tulisan Bidlabfor Polda (Bidang laboratorium forensik kepolisian daerah) di bagian punggung, tengah berusaha mengamankan sidik jari, yang menempel di handle pintu, sisi-sisi pintu, meja, kursi, lantai, dan juga keran.
Kini ia sudah beralih ke pantry, memeriksa bekas ceceran bubuk putih. Yang menurut Cahyo termasuk ke dalam sejenis methamphetamine. Sambil memperhatikan keadaan pantry secara keseluruhan. Berupaya mencari petunjuk yang tersembunyi.
Ketika tiba-tiba terdengar suara keributan di depan pintu masuk.
Ia baru hendak bertanya. Namun urung. Begitu melihat jika ternyata, sosok Rajas yang baru saja menerobos masuk ke dalam ruangan.
Ia mengangkat tangan dan mengangguk, pada tiga orang petugas yang berusaha menghalangi Rajas.
"Dia tamu saya."
Membuat para petugas segera melepaskan cekalan pada lengan Rajas. Lalu mengangguk patuh, "Siap, Pak."
----------
Ia dan Rajas kini tengah berdiri di balkon apartemen. Mengisap rokok sambil memperhatikan pemandangan kota Surabaya. Dari atas ketinggian gedung berlantai 52. Sekaligus memandangi jembatan Suramadu. Yang menjadi view utama dari tempat mereka berdiri.
Namun meski mereka berdiri bersebelahan. Ia sangat yakin. Jika isi pikiran dan apa yang sedang mereka berdua rasakan, jauh berbeda.
Rajas pastinya sedang merasakan kesedihan akibat kematian tragis Om Jusuf. Sekaligus memikirkan berbagai kemungkinan. Tentang skenario hilangnya nyawa Om Jusuf. Dan siapa orang yang paling bertanggung jawab di balik tragedi ini.
Sementara dirinya, pikiran terpecah antara keadaan terakhir pantry dan petunjuk yang cukup tersembunyi. Serta ruang tamu unit sebelah. Di mana Kinan hanya mengenakan bathrobe. Sementara Om Pram menunjuk mukanya dengan pandangan sengit.
Damned (sialan)!
Mengapa beban dan masalah, seolah menyambanginya silih berganti tiada henti. Tanpa jeda. Membuatnya benar-benar merasakan penat yang sangat.
"Seven deadly sins (tujuh dosa paling mematikan)," gumam Rajas seraya menggelengkan kepala.
Membuat bayangan Kinan yang hanya mengenakan bathrobe, buyar dalam sekejap.
"Pride (kesombongan), greed (ketamakan), envy (iri hati), anger (kemarahan), lust (hawa nafsu), gluttony (kerakusan), sloth (kemalasan)," sambung Rajas dengan kepala terus menggeleng.
Ia terbatuk sebab tenggorokan yang terasa kering.
"Mama meninggal karena anger (kemarahan)," Rajas masih saja bergumam.
"Papa karena rakus," imbuh Rajas.
"Dan kakek karena pride (kesombongan) and greed (ketamakan)."
Ia semakin mengisap rokok dalam-dalam. Lalu mengeluarkannya melalui hidung. Hingga udara di sekitar mereka berubah pekat.
Namun itu tak berlangsung lama. Karena angin telah lebih dulu menerbangkan asap ke segala penjuru.
"Ares bahkan hampir mati akibat kemalasan," imbuh Rajas seraya tertawa getir.
Membuatnya kembali mengisap rokok dalam-dalam.
"And then (lalu) Om Yus ...." Rajas melihat ke arahnya setengah bertanya. "Lust (hawa nafsu)?"
Ia hanya menyipitkan mata. Tak menjawab apapun. Lebih memilih untuk memandangi jembatan Suramadu di kejauhan. Dengan kepala pening yang semakin menjadi.
-----------
Rajas mengklaim, jika dirinya adalah perwakilan resmi dari pihak keluarga korban. Rajas bahkan membawa surat kuasa, yang ditandatangani oleh nama-nama tersohor dari klan Parawihardja. Mendesak pihak kepolisian, untuk segera melakukan tindakan autopsi terhadap korban.
"Lakukan dengan cepat," Rajas menatapnya tajam. Lebih seperti perintah. "Sebelum mereka membawa paksa Om Yus."
"Mereka tak akan mengijinkan autopsi," gumam Rajas dengan mata berkilat. "Aku tahu pasti."
Ia masih belum paham, tentang siapa yang dimaksud dengan sebutan 'mereka'. Dan mengapa Rajas mendadak berubah menjadi kaku. Sekaligus memaksa, agar diikutsertakan dalam proses autopsi.
"Aku harus melihat langsung ... apa yang sebenarnya dialami oleh Om Yus," gumam Rajas, lebih seperti geraman amarah.
Dan kemunculan tiba-tiba sejumlah orang di Rumah Sakit, ketika proses autopsi masih berlangsung. Di mana salah satu di antara mereka terdapat sosok Fidelis Parawihardja. Putra dari pemegang tampuk tertinggi klan Parawihardja, Junus Parawihardja. Mulai menjelaskan tentang keadaan yang sebenarnya sedang terjadi. Intrik khas old money family (keluarga kaya lama).
"Kami sudah menjalankan semuanya sesuai dengan prosedur ...." ia berusaha menenangkan Fidelis dan beberapa orang lainnya. Yang memaksa untuk menerobos masuk ke dalam ruang autopsi.
"Proses sudah berlangsung sejak satu jam yang lalu," ia masih menjelaskan. "Dan proses autopsi awal hanya memakan waktu satu sampai dua jam."
"Jika di tahap ini, tim ahli forensik sudah berhasil menemukan penyebab kematian, autopsi akan segera diakhiri," sambungnya setengah berjanji.
Karena Fidelis terus memaksa bahkan mengancam, jika autopsi seharusnya dilakukan di Rumah Sakit tertentu. Yang ditunjuk secara resmi oleh keluarga besar Parawihardja di Jakarta.
Ia masih beradu argumen dengan Fidelis. Ketika Heru (Kabid humas polda : Kepala bidang hubungan masyarakat) yang baru selesai memberikan pernyataan di hadapan para awak media. Muncul dan membantunya memberi penjelasan pada Fidelis.
"Kita ikuti dulu prosedurnya ...." Heru mencoba memberi penjelasan secara prosedural.
Sedangkan ia sudah tak berminat untuk ikut beradu argumen. Sebab kepalanya sudah bertambah pening berkali lipat.
Pikirannya kini hanya satu, yaitu meminta obat pada dokter. Agar pening di kepalanya bisa sedikit berkurang. Karena berbagai masalah pelik, dipastikan telah menunggunya di depan sana.
***
Kinanti
Sudah empat hari berlalu. Sejak Mas Tama memergokinya, tengah berada di dalam apartemen bersama dengan Mas Pram.
Selama itu pula, ia tak pernah bertemu ataupun berkomunikasi dengan Mas Tama. Meskipun selama tiga hari berturut-turut, ia dan Mas Pram rutin mendatangi ruangan penyidik Mapolda. Guna memberikan keterangan sebagai saksi.
Ia memang tak berusaha menghubungi Mas Tama. Dan Mas Tama juga tak pernah mencoba untuk menghubunginya.
Sepertinya mereka berdua sama-sama masih memerlukan waktu. Untuk berdamai dengan diri masing-masing. Usai kejadian mengejutkan yang penuh dengan kesalahpahaman tempo hari.
Entahlah.
Sebenarnya petunjuk sudah ia peroleh sejak jauh-jauh hari. Salah satu yang paling kuat adalah saat ia bercakap-cakap dengan Reka.
Tapi pada waktu itu, ia belum sepenuhnya memahami. Jika apa yang dirasakan merupakan sebuah petunjuk. Petunjuk bahwa perpisahan dengan Mas Tama, adalah jalan yang terbaik.
"Reka kangen nggak sama ayah?" tanyanya suatu ketika pada Reka.
Ia tahu pasti, sejak mereka tak lagi tinggal bersama. Menjauh pulalah hubungan antara Reka dengan sang ayah.
Meski Mas Tama tak pernah alpa memberikan nafkah. Namun ketiadaan kehadiran secara fisik, telah membuat banyak hal berubah drastis.
"Memangnya Reka masih punya ayah?" tutur Reka di luar dugaan. Dingin dan asing. Bahkan tanpa melihat ke arahnya.
Ia hanya bisa mengembuskan napas panjang. Demi mendengar jawaban yang terlontar dari anak usia 12 tahun itu.
"Reka nggak boleh begitu," ia mendudukkan diri di samping Reka. Menyandarkan punggung ke dinding kamar dengan perasaan lelah luar biasa.
"Reka masih punya ayah," sambungnya cepat. "Ayah Reka orang yang baik, bertanggungjawab, sa ...."
"Ngasih Reka kartu ATM yang unlimited, bukan berarti udah jadi ayah kan, Bun?" Reka balik bertanya sambil menoleh ke arahnya.
"Nelepon seminggu sekali cuma untuk bertanya basa-basi ... semua orang juga bisa kan? Nggak harus jadi ayah dulu?" Reka masih menatapnya tanpa ekspresi.
Ia kembali menghembuskan napas panjang.
Ia jelas memiliki andil besar dalam membentuk sikap acuh Reka terhadap Mas Tama. Terlebih kesibukannya dalam pekerjaan, kini nyata menjadi boomerang.
Ia tentu tak boleh mengulang sejarah kelam yang sama. Bagaimana ia dulu (bahkan hingga saat ini) begitu membenci sosok bapak.
Reka tak boleh membenci Mas Tama.
Selain karena sejatinya Mas Tama adalah seorang pria yang baik. Mas Tama juga merupakan sosok ayah yang baik. Walau pada kenyataannya, Mas Tama tak selalu bisa bersikap hangat. Tapi secara umum, Mas Tama adalah representasi figur ayah yang bertanggung jawab.
"Sekarang Bunda kasih tahu," ia menatap Reka sungguh-sungguh. "Reka harus ingat baik-baik."
"Ayah sayang banget sama Reka. Begitu juga Bunda ...." ia menelan ludah sebentar, berusaha menahan kaca yang mulai mengaburkan pandangan.
"Sayang banget sama Reka," sambungnya cepat.
"Tapi ada keadaan ... yang membuat Ayah dan Bunda ... harus seperti ini."
"Ayah punya istri lagi?" cibir Reka setengah tertawa. Namun terdengar begitu sumbang di telinganya. Sangat tak mengenakkan.
"Reka!" hardiknya tak setuju.
"Ada beberapa temen Reka di sekolah, yang ayahnya nggak pernah pulang ke rumah," Reka membalas pandangannya dengan tatapan yang tak kalah tajam.
"Itu karena ayahnya kawin lagi. Punya istri baru. Punya ke ...."
"Reka!" ia segera memotong ucapan Reka. "Ayah Reka nggak seperti itu. Ayah Reka orang baik. Ayah sibuk kerja dan nggak pernah pulang. Itu yang terjadi."
Reka hanya mengendikkan bahu.
"Inget kata Bunda tadi!" ia menatap Reka tajam. "Ayah sama Bunda sayang sama Reka."
Jadi hari ini, hari kelima usai kejadian mengejutkan di apartemen. Ia memberanikan diri untuk mendatangi rumah Mas Tama.
Ia menggeleng.
Bukan rumah Mas Tama. Tapi seharusnya rumah mereka. Dirinya, Mas Tama, juga Reka.
Seharusnya.
"Lho, Mas Tama wes pirang dino iki durung muleh, Mba (lho, Mas Tama sudah berhari-hari nggak pulang ke rumah, Mba)," sambut Yu Adah. Ketika ia memeriksa seluruh ruangan di dalam rumah. Dan menanyakan tentang kabar Mas Tama.
"Terakhir telung dino opo petang dino wingi (terakhir tiga atau empat hari yang lalu)," sambung Yu Adah.
"Pamit nang aku, nek kate nggak mole nang umah (pamit ke saya, kalau nggak akan pulang ke rumah)," imbuh Yu Adah lagi.
Ia mengangguk mengerti.
Pasti kasus terbunuhnya seorang konglomerat di unit apartemen sebelah, membuat Mas Tama harus bekerja keras untuk segera menuntaskan penyidikan.
"Aku nang kamar sek (saya ke kamar dulu), Yu," ujarnya sambil membuka handle pintu kamar.
"Monggo (silakan), Mba."
Ia masih sempat mendengar suara Yu Adah mempersilakannya. Sebelum menutup pintu kamar rapat-rapat. Sebab air mata keburu berlompatan keluar.
--------------
Ia menyusut air mata, yang sesekali masih berjatuhan. Sembari mengedarkan pandangan, mengelilingi seluruh sudut kamar. Yang kesemuanya tak berubah. Masih tetap sama seperti kali terakhir ia datang ke sini. Dan sama persis dengan desain yang diinginkannya pada waktu itu.
Penataan ruangan, model furniture, termasuk warna korden, sprei, selimut. Semuanya sama. Tak ada yang berubah.
Ia seperti sedang berada di rumahnya sendiri.
Rumah yang dengan sadar telah disia-siakan.
Ia kembali menyusut mata dan hidung. Lalu melangkah, sembari ujung telunjuknya menelusuri setiap benda yang terlewati.
Dinding dengan motif wallpaper kesukaannya. Kemudian melewati pintu kamar mandi. Yang ketika dibuka, udara yang tercium terasa kering namun sedikit lembab.
Tanda alami jika kamar mandi tersebut, tak pernah digunakan dalam jangka waktu yang cukup lama. Membuatnya kembali menutup pintu kamar mandi.
Meneruskan dengan menyentuh lemari built in, yang di dalamnya masih dipenuhi oleh beberapa baju dan barang pribadi miliknya.
Kemudian meja rias.
Namun ia mendadak tertegun saat berdiri di depan meja rias.
Demi mendapati sebuah benda berkilauan yang tersimpan di atasnya.
Yaitu cincin pernikahan, yang biasa dikenakan oleh Mas Tama.
Detik itu juga, air matanya kembali berjatuhan.
-----------
"Mas Tama nggak ngomong opo-opo (Mas Tama nggak pesan apa-apa), Yu?" tanyanya begitu keluar dari kamar Mas Tama. Sambil membawa travel bag, yang berisi baju dan barang-barang miliknya.
"Oh ... anu ... itu, Mba," Yu Adah mendadak terlihat gugup.
"Mas Tama pesen ... nek Mbak Kinan ojok sampe onok sing keri (Mas Tama pesan ... kalau Mba Kinan jangan sampai ada yang ketinggalan)."
Ia mengembuskan napas panjang sebelum mengangguk lemah.
"Mek pesen iku tok (cuma itu pesannya)?" sebab ia masih berharap, Mas Tama memberinya pesan yang lain. Yang lebih spesial.
Yu Adah mengangguk berkali-kali, "Pun Mbak. Mek iku tok pesene Mas Tama (sudah, Mba. Cuma itu saja pesannya Mas Tama)."
Ia kembali mengangguk.
Sepertinya hati mereka benar-benar telah terpisahkan. Tak ada satupun hal yang bisa kembali mengaitkan mereka berdua.
Namun sebelum benar-benar pergi, ia teringat akan sesuatu.
"Mas Tama nggak tau gawe jedhing sing nang njero ta (Mas Tama nggak pernah pakai kamar mandi yang di dalam ya), Yu?" tanyanya ingin tahu.
"Lapo (kenapa), Mba? Opo ono kecoro (apa ada kecoa)?" Yu Adah justru balik bertanya.
Ia menggeleng, "Nggak anok kecoa. Tapi udarane lembab, koyo nggak tau digawe (nggak ada kecoa. Tapi udaranya lembab, seperti nggak pernah dipakai)."
"Lha yo, Mas tama ancen biasa gawe jedhing jobo (Oh iya, Mas Tama memang selalu pakai kamar mandi yang di luar)," Yu Adah tersenyum lebar.
"Nggak ero lapo'o (nggak tahu kenapa)," Yu Adah menggelengkan kepala.
Membuatnya penasaran untuk membuka pintu kamar mandi, yang tepat berada di hadapannya.
"Eh, Mba!" pekik Yu Adah panik. "Mas Tama bilang, ojok mlebu nang jedh (jangan masuk ke kamar man) ...."
Tapi ia sudah lebih dulu membuka pintu kamar mandi. Dan terkesiap begitu melihat, ada banyak pecahan kaca yang berserakan di atas lantai.
"Ya ampun Gusti ... Mas Tama ... kok amburadul ngene. Ono opo iki (Ya ampun Gusti ... Mas Tama ... lha kok berantakan. begini ... kenapa ini)?" Yu Adah kembali memekik begitu melihat keadaan di dalam kamar mandi.
"Owalah ... Mas ... Mas ....." Yu Adah masih menggeleng kebingungan.
"Pantes ... wektu iku aku krungu suara banter. Tibakno pancen ono sing pecah (Pantesan ... waktu itu saya denger suara keras. Ternyata memang ada yang pecah)."
"Mas Tama ... Mas Tama .... Lapo kok dadi koyo ngene iki (kenapa kok jadi begini ini) ...."
Yu Adah masih terus berkomentar, sembari menggelengkan kepala tak percaya.
Sementara ia merasa, jika seseorang sedang menusuk- nusuk dadanya berulangkali. Dengan tanpa ampun. Hingga terasa amat pedih dan sesak.
Maafkan aku, Mas.
Maafkan aku.
***
Keterangan :
Seven deadly sins : dosa-dosa yang mengakibatkan dosa lain dan kebiasaan buruk yang lain.
Sebagai contohnya seseorang yang membiarkan dirinya terus dikuasai kemarahan, suatu saat dapat melakukan balas dendam dengan membunuh. Seseorang yang dikuasai ketamakan dapat melakukan korupsi (mencuri) jika ada kesempatan. Membunuh dan mencuri merupakan dosa akibat dari dosa lain, yaitu dosa-dosa pokok (Wikipedia).
Nasi krawu. : adalah kuliner khas Gresik, yang banyak ditemui di Surabaya. Cirinya adalah nasi yang pulen dan disajikan dengan daun pisang. Lauknya dapat berupa sayatan daging sapi, semur daging, jeroan sapi, sambal petis dan serundeng. Sambal terasi yang disajikan bersama dengan nasi krawu memiliki rasa pedas yang khas (Wikipedia).
Autopsi : pemeriksaan tubuh mayat dengan jalan pembedahan untuk mengetahui penyebab kematian, penyakit, dan sebagainya; bedah mayat; (KBBI).
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
💐Tari Nyonya Sibuea💐
ya gmn mau dkt sm ayah na,org sengaja dijauhkn pulk tmpt tinggalnya. sbgai ibu jg nggk berusaha mmbrikn penjelasan klu dia sngaj mnjauh dari ayahnya,krn lbh mementingkan karier na sndiri tp sbgaia manusia dia salah si playing victim 😠😠
2025-01-10
1
YuWie
akibat ibu yg egois..ehhh anak jadi benci ayahnya. Kenapa setelah kinan menjual keseduhannya seperti gak ada yg simpati ya..kecuali pram sepertinya 😄
2025-02-01
0
dyul
sok sedih sok nangis....
udah seneng sama si pramuka, sok ngerasa bersalah... si tama sibuk, karena berusaha gak marah sama kamu dia nyibukin diri....
korbannya si reka... sampai benci ayahnya sendiri
2024-12-26
1