"Aneuk Mameh, Bek Moe"
(Anak manis, jangan menangis -bahasa Aceh-)
***
Jakarta
Icad
Siang jelang sore ini ia baru pulang dari sekolah. Dan mendapati pintu rumah dalam keadaan terbuka lebar. Sementara beberapa alas kaki ukuran dewasa, tersimpan tepat di depan pintu. Pertanda jika rumahnya sedang kedatangan tamu.
Setelah mengucap salam, ia mengangguk pada para tamu. Lalu menghampiri nenek untuk mencium tangan.
"Wah, ini anaknya Cut, ya?" seru salah seorang tamu, yang merupakan wanita paruh baya.
"Iya," Nenek tersenyum mengangguk. "Yang sulung."
"Masih SMP sudah cakep begini?" seloroh tamu wanita tersebut. "Sini, Tong ... sini ... salam dulu sama Encang."
Ia sempat melihat ke arah Nenek. Sebelum akhirnya menghampiri tamu wanita tersebut untuk mencium tangan. Termasuk seorang kakek dan seorang pria lain yang juga duduk di ruang tamu.
"Siapa namanya, Tong? Kelas berapa?" tanya tamu wanita tersebut penuh semangat.
Ia menjawab seperlunya. Lalu mengangguk ke arah nenek. Meminta pengertian agar memperbolehkannya masuk ke dalam. Sebab perut kosongnya sedari tadi sudah protes minta diisi.
"Baru kelas tujuh sudah setinggi eni? Mana cakep banget lagi ...."
"Persis siapa Mak? Persis Cut apa almarhum lakinya?"
"Banyak orang bilang mirip Yah bitnya."
"Yah bit ntuh si Agam, Mak? Nyang udah kawin sama anak pejabat?"
Tanpa mengganti seragam sekolah, ia segera menuju ke dapur. Mengambil piring dan memenuhinya dengan nasi juga lauk.
Namun ketika tengah menarik kursi untuk duduk. Dari arah belakang rumah terdengar suara berbisik. Seperti orang sedang bertengkar, namun dengan penuh kehati-hatian. Seketika berhasil memancing rasa ingin tahunya. Dan mengabaikan rasa lapar yang sejak tadi membayangi.
Sambil membawa piring, ia bergegas menuju ke belakang rumah. Ingin tahu, kira-kira siapa orang yang begitu kurang kerjaan. Sampai harus berbisik-bisik di tempat yang kotor dan sempit, seperti pekarangan kecil di belakang rumahnya.
"Lagi pada ngapain?" tanyanya heran. Demi melihat Mama, Umay, dan Sasa, sama-sama tengah duduk di bawah tiang jemuran.
Mama sedang mengulek bumbu di atas ceprek. Sementara Umay dan Sasa tengah beradu mulut. Biasalah, dua adiknya itu tak pernah tidak bertengkar.
"Sssttt!" Umay langsung bangkit dan mengulurkan tangan guna membekap mulutnya.
"Apaan, May!" namun ia buru-buru menghindar. Sebelum Umay berhasil menyentuh wajahnya.
"Jangan berisik!" Umay memelototinya. "Nanti ketahuan!"
"Ketahuan sama siapa?" tanyanya tetap tak mengerti.
"Ketahuan sama tamunya lah!" sergah Umay namun dengan setengah berbisik.
"Abang tahu nggak, kalau nenek nenek sama kakek kakek yang ada di ruang yang tamu itu, lagi ngelamar Mama buat dijadiin menantu?" sambung Umay dengan gaya sok tahu yang menyebalkan.
"Haish!" ia tertawa tak percaya. "Dasar bocil (bocah cilik) ...."
"Ih, Abang nggak percayaan!" Umay menggerutu.
Ia masih tertawa meledek. Sambil matanya berusaha mencari-cari bangku kecil. Yang biasa dipakai Mama untuk duduk, saat memasak ataupun mencuci pakaian.
Ia akhirnya berhasil menemukan satu bangku tersisa. Yang letaknya sedikit tersembunyi di bawah tumpukan ember. Bersamaan dengan Sasa yang kedapatan merengek-rengek.
"Ma ... ayo, Ma .... Nanti keburu sore. Nanti Sasa telat datang ke ulang tahunnya Raline," rengek Sasa. Sambil mempermainkan ujung jilbab Mama.
Memelintirnya, lalu dilepaskan. Dipelintir lagi ujung jilbab Mama, kemudian Sasa melepaskannya. Begitu terus sampai membuat orang yang melihat merasa kesal sendiri.
"Iya ...." Mama tersenyum. "Tunggu tamunya pulang," bujuk Mama. "Sebentar lagi juga pulang ...."
"Nggak sabaran amat sih!" sungut Umay ke arah Sasa.
"Pokoknya Sasa nggak mau telat datang ke rumahnya Raline!" Sasa balas memelototi Umay.
"Nggak akan telat ...." Umay mengibaskan tangan. "Percaya sama Abang."
Tapi Sasa terus saja bergumam-gumam pelan. Namun sambil mengubah pola cara merajuk. Tak lagi memelintir ujung jilbab Mama. Kali ini Sasa beralih menarik-narik rok Mama.
"Mereka siapa, Ma?" tanyanya dengan mulut penuh mengunyah nasi dan lauk.
"Tamu nenek," jawab Mama sambil terus mengulek bumbu.
"Udah dibilang mau ngelamar Mama buat dijadiin istri! Ih, Abang!" protes Umay. Merasa tak rela, jika berita yang menurut Umay penting, justru tak dipercaya.
Ia hanya mendesis sebal pada Umay yang sok tahu. Lebih memilih untuk melahap makan siangnya. Sambil memperhatikan Sasa yang tak kenal lelah merengek pada Mama.
"Ma ... cepetan, Ma. Ayo, Ma ...."
Sejak Yah bit tak lagi tinggal di rumah mereka. Entah sudah berapa kali ada tamu berkunjung. Biasanya seorang pria dewasa. Atau bahkan dua orang pria dewasa sekaligus. Datang bertamu sambil membawa banyak bingkisan.
Karena tak menarik bagi dunianya. Ia pun bersikap acuh. Tak pernah ingin tahu atau mencari tahu. Tentang maksud kedatangan para tamu tersebut.
Tapi candaan Cang Romli dan Cing Mahbub di warung Babe Sadeli. Saat ia sedang disuruh nenek untuk membeli gula pasir. Membuatnya mulai berpikir tentang siapa sebenarnya tamu-tamu tersebut.
"Cad, semua orang tahu kalau si Agam udah nggak di rumah. Makanye makin banyak aje orang yang berani deketin si Cut."
"Hari ini ada tamu lagi nggak?"
Ia hanya meringis tak mengerti. Mendengar selorohan Cang Romli dan Cing Mahbub.
"Mama lu cakep sih, Cad. Jadi banyak yang demen."
"Awas jaga baek-baek. Jangan sampai si Cut dikawin sama laki brengsek."
"Heran gua, tahu aja ada barang bagus di kampung enih."
"Gua juga heran. Mana pas banget lagi, si Agam udah nggak tinggal di rumah."
"Tahu aja orang-orang."
"Dasar laki ...." Cang Romli terkekeh. "Ibarat pepatah nih ... ada gula, ada semut."
"Cang Romli!" seru istri Babe Sadeli. "Lu juga laki pan?"
Kemudian meledaklah tawa semua orang yang berada di warung.
Ia masih melahap makan siang dengan cepat. Sembari terus memandangi Mama. Yang baru saja selesai mengulek bumbu. Kini mulai beralih pada sebaskom besar ayam, yang telah ditiriskan usai dicuci bersih.
"Sasa nggak akan telat ke ulang tahunnya Raline," hibur Mama pada Sasa yang terus merengek.
"Sebentar lagi juga tamunya pulang," sambung Mama seraya tersenyum ke arah Sasa.
Seketika itu juga berhasil membuat mulutnya menganga lebar.
Iya.
Benar apa kata orang-orang.
Kalau Mama adalah seorang wanita yang cantik.
Cantik sekali.
Kenapa ia baru menyadarinya sekarang?
Padahal setiap Mama datang ke sekolahnya untuk mengikuti rapat wali murid atau mengambil raport, pasti ada saja guru yang berseloroh pada Mama. Terutama guru yang baru pertama kali bertemu dengan Mama.
"Ini anaknya atau adiknya?"
Ia pun buru-buru menghabiskan nasi di dalam piring. Lalu berkata pada Mama yang sedang membumbui ayam.
"Abang nggak mau Mama menikah lagi," ucapnya cepat. Sebelum keberaniannya menguap.
"Abang nggak mau punya ayah baru," sambungnya lagi, ketika Mama memandang dengan wajah kebingungan.
"Abang cuma punya ayah satu," sergahnya buru-buru. Ketika Mama terlihat hendak membuka mulut.
"Dan ayah abang sudah meninggal."
***
Pocut
Sejak kejadian tak menyenangkan hampir sebulan yang lalu. Ketika tiba-tiba datang seorang wanita ke keude. Hanya untuk memarahi dan mengatainya. Menuduhnya telah merebut suami orang. Ia tak pernah lagi mau menemui, siapapun tamu pria yang datang ke rumah.
Kecuali pemesan ayam tangkap yang hendak mengambil pesanannya tentu saja.
Selain itu, ia tak bersedia untuk menemui. Ia bahkan selalu meminta bantuan Mamak, untuk menemui dan menyambut para tamu.
Sementara ia sendiri berdiam diri di dalam kamar. Atau bersembunyi di belakang rumah. Menunggu hingga para tamu pria tersebut pamit pulang.
Sebab ia tak ingin kembali terkena fitnah. Sudah cukup sekali ia dipermalukan di depan umum. Yang ujung-ujungnya ternyata hanya salah paham. Karena ia memang tak pernah mengenal siapa suami wanita tersebut.
Ia benar-benar tak pernah menyangka, setelah bertahun-tahun berlalu sejak kepergian Bang Is. Status janda yang disandangnya, kini mulai membawa akibat yang tak menyenangkan. Padahal sebelumnya, semua terasa aman dan baik-baik saja.
"Itu karena orang-orang tahu, di rumah lu masih ada si Agam," begitu kata Cing Ella.
"Orang sekecamatan sini tahu lah siapa si Agam," seloroh Cing Ella.
"Ada gunanya juga dulu si Agam di cap anak nakal dan bandel. Jadi para laki jiper buat deketin elu, Cut," lanjut Cing Ella.
"Sekarang hampir semua orang tahu, kalau si Agam udah kawin sama anak pejabat. Udah pindah rumah. Nggak tinggal di sini lagi. Kesempatan kan buat para laki," pungkas Cing Ella setengah mencibir.
Namun suara mengejutkan Mamak berhasil membuyarkan lamunannya.
"Cut! Nanti ayam pesanan Bu Neswan mau diambil jam setengah lima!"
Ia pun cepat-cepat mengangguk gugup.
"Memasak itu jangan sambil melamun," ucap Mamak lagi. "Nanti masakannya keasinan. Keliru memasukkan garam."
Ia memandang ke arah Mamak dengan wajah malu. Namun Mamak justru tertawa. Membuatnya ikut tersenyum untuk kemudian tertawa.
"Babe Subur itu orang terpandang di kampungnya," namun ucapan Mamak selanjutnya, langsung menguapkan senyum yang tadi sempat terkembang.
"Yanuar anak bungsunya," sambung Mamak seraya terus menatapnya. Tapi ia berpura-pura sibuk sendiri di depan kompor.
"Sudah umur tapi belum ada jodoh."
"Yanuar dulu sempat kuliah tapi tak selesai. Sekarang kerjaannya mengelola angk ...."
"Yang mau diambil jam setengah lima, pesanan Bu Neswan saja atau ada yang lain, Mak?" ia buru-buru mengalihkan topik.
"Yang pesanan orang kecamatan tetap diambil setelah Maghrib kan?" tanyanya lagi.
Mamak menatapnya sambil menggelengkan kepala, "Kalau sekiranya ada yang cocok dan anak-anak suka, Mamak tak keberatan kau menikah lagi."
Ia kembali pura-pura sibuk di depan wajan, yang penuh berisi ayam tangkap hampir matang.
"Kau ini masih muda. Anak-anak juga masih kecil. Masih butuh sosok seorang ayah," sambung Mamak, yang dari sudut mata terlihat sedang menatapnya lekat-lekat.
Ia berdehem sebentar untuk menghilangkan gugup yang tiba-tiba melanda. Tapi belum juga angkat bicara, suara tangis Sasa telah lebih dulu terdengar.
"Kenapa?" tanyanya yang tergopoh-gopoh menuju ke ruang tamu. Di mana Umay terlihat sedang menggandeng tangan Sasa yang sedang menangis.
"Ulang tahun Raline sudah mulai?" tebaknya ketika Sasa langsung menghambur ke dalam pelukannya.
"Sasa telat sayang?" bisiknya sambil mengusap punggung Sasa.
"Bukan telat, Ma," jawab Umay dengan muka bersungut-sungut. "Tapi Sasa dimarahi sama ibu-ibu."
Ia mengernyit tak mengerti, "Dimarahi kenapa?"
"Iya," jawab Umay yang masih bersungut-sungut.
"Jadi kan ... di sana tadi ... ada yang bajunya mirip kayak baju punya Sasa," terang Umay dengan napas memburu.
"Terus ... anak yang bajunya mirip sama Sasa, nggak mau kalau bajunya ada yang nyamain," lanjut Umay.
"Jadi dia nangis ke ibunya," kali ini Umay kembali bersungut-sungut
"Terus ibunya datengin Sasa. Marahin Sasa. Nyuruh Sasa buat ganti baju yang lain. Jangan baju yang sama," pungkas Umay sambil membelai rambut Sasa.
"Udah, Sasa jangan nangis lagi," ucap Umay seraya terus membelai rambut Sasa.
"Baju Sasa kan banyak. Tinggal ganti sama yang lain kan? Gampang!" sambung Umay dengan gaya yang Umay sekali.
Ia pun tersenyum sambil mengeratkan pelukan pada Sasa.
"Ya udah, sekarang Sasa ganti baju, ya," bisiknya di telinga Sasa.
"Nanti diantar lagi sama Bang Umay ke rumah Raline," kali ini sambil mencium puncak kepala Sasa.
Tapi di luar dugaan, Sasa justru menggelengkan kepala keras-keras.
"Sasa nggak mau ganti baju!" rengek Sasa di antara isakan. "Sasa mau pakai baju princess yang ini!"
"Zhie bilang ... baju Sasa nggak sama kok ama baju Chirra," rengek Sasa lagi.
"Cuma mirip doang. Nggak sama!" Sasa kembali menggelengkan kepala keras-keras.
"Yah, ulang tahunnya udah mau mulai nih, Sa!" gerutu Umay. "Udah mau tiup lilin sama potong kue."
"Kue ulang tahunnya Raline tadi kelihatan gede banget dan kayaknya enyaaaaakkkk bangeeeettt ...." Umay memejamkan mata, seolah tengah membayangkan kelezatan kue ulang tahun Raline.
"Kalau kita telat ... nanti bisa nggak kebagian kue, Sa!" sungut Umay kemudian.
"Sekarang Sasa ganti baju ya ... biar kita cepet balik ke rumah Raline lagi?" bujuk Umay.
Tapi Sasa tetap menggelengkan kepala, "Sasa mau pakai baju princess! Nggak mau baju yang lain!"
Ia mengembuskan napas panjang. Berusaha mencari kalimat yang pas untuk membujuk Sasa.
---------------
"Aneuk mameh, bek moe (anak manis, jangan menangis) ...." hibur Mamak yang sedang memangku Sasa.
Sementara Sasa, meski sudah tak menangis dan merengek lagi. Tapi masih memasang wajah kesal dan cemberut.
Ia akhirnya mengikuti nasehat Mamak. Membiarkan Sasa tetap mengenakan baju princess favorit. Lalu mengantarkan Sasa pergi ke ulang tahun Raline. Sambil membawa bekal baju yang lain. Untuk berjaga-jaga.
"Aneuk mameh, bek moe (anak manis, jangan menangis) ...." ulang Mamak sambil mencium kepala Sasa. Saat melepas kepergian mereka ke rumah Raline.
Begitu sampai di rumah Raline. Yang berada di pinggir jalan besar. Sederetan dengan rumah Bu Neswan. Tempat orang-orang berada di sekitar Pasar Kemiri tinggal. Mereka langsung disambut oleh kemeriahan.
"Sasaaaa!" pekik beberapa gadis cilik sambil menghambur ke arah Sasa.
"Cepetan! Udah mau nyanyi tiup lilin!" seru para gadis cilik yang mengerubuti Sasa.
Ia pun tersenyum mengangguk, ketika Sasa meminta persetujuan padanya.
"Sasa masuk ke dalam sama Bang Umay, ya," ia tersenyum. "Mama nunggu di depan garasi sama ibu-ibu yang lain."
Sasa mengangguk senang dan langsung tertawa-tawa dengan teman-temannya.
"Jagain adik, May," pesannya pada Umay. Yang juga sudah bergabung dengan para anak laki-laki.
"Bereeees, Ma," Umay mengacungkan jempol.
Setelah memastikan Sasa dan Umay telah masuk ke dalam rumah Raline. Ia pun beranjak menuju ke depan garasi. Tempat di mana kursi telah disediakan berjejer. Khusus untuk para ibu yang mengantarkan putra putrinya. Lengkap dengan meja panjang berisi aneka cemilan.
Ia sedang berbincang dengan Mama Zhie dan Mama Queensha, teman sekelas Sasa di sekolah. Ketika seseorang tiba-tiba menepuk bahunya.
"Kamu ibunya Sasa?" ujar orang tersebut tanpa basa-basi.
"Iya, betul," ia mengangguk. "Ada apa, Mam?"
"Saya kan udah bilang tadi," gerutu orang tersebut. "Nyuruh Sasa buat ganti baju. Kenapa masih pakai baju yang sama?"
"Oh ...." ia tersenyum. "Ini dengan Mama Chirra, ya?" sapanya berusaha ramah.
Karena memang baru kali ini ia bertemu dengan Mama Chirra. Sepertinya kenalan Raline di tempat les balet atau musik. Sebab menurut sepengetahuannya, tak ada nama Chirra di kelas ataupun sekolah Sasa.
"Saya nggak mau anak saya nangis lagi gara-gara anak situ!" tapi rupanya Mama Chirra sedang tak ingin berbasa-basi.
"Ibu ih, meni galak amat," Mama Zhie ikut nimbrung. "Baju sama ya nggak masalah."
"Iya, Mam," ia mengangguk sopan ke arah Mama Chirra. "Saya sudah bawa baju ganti untuk Sasa," imbuhnya seraya mengangkat tote bag berisi baju Sasa yang lain.
"Tapi anak saya nggak mau kalau bajunya disamain ama temennya!" sela Mama Chirra dengan nada tinggi.
"Tadi Chirra datang duluan ke sini!" lanjut Mama Chirra berapi-api. "Jadi anak situ yang harusnya ganti baju!"
"Iya, Mam. Nanti tinggal ganti," ia masih berusaha tenang. Meski Mama Zhie, Mama Queensha, dan beberapa ibu lain di sekitar mereka mulai ikut menggerutu.
"Masalahnya tadi Sasa tetep mau pakai baju kesukaannya. Jadi saya nggak bisa maks ...."
"Kamu bisa beli baju mahal kayak gitu di mana?" tapi Mama Chirra justru menanyakan hal lain.
"Itu kan baju anak-anak yang harganya mahal. Cuma dijual di mall tertentu. Nggak mungkin banget kan ... orang kampung Koneng bisa beli baju semahal itu!" sembur Mama Chirra tak tanggung-tanggung.
Ia berusaha menarik napas panjang. Sementara ibu-ibu di sekeliling mereka mulai saling menuding.
"Eh, menghina orang kampung, ya!"
"Kalau nggak ada kampung ... nggak akan ada sebutan kota!"
"Iya deh, yang orang kota!"
"Atau itu baju kw pasti!" tuduh Mama Chirra. "Beli di grosir ya? Tapi modelnya di mirip-miripin sama yang ori!"
Ia masih mengembuskan napas panjang. Berusaha memilih kalimat yang tepat untuk menjawab tuduhan Mama Chirra. Dengan background suara ibu-ibu, yang masih saja saling menuding.
Namun belum juga ia berhasil menemukan padanan kata yang mengena. Sebuah mobil prestisius telah berhenti tepat di depan pintu gerbang rumah Raline. Tak jauh dari tempat mereka duduk.
Cukup menarik perhatian semua yang ada di sana. Karena seorang pria berpenampilan menarik, tiba-tiba turun dari dalam mobil. Lalu membuka pintu samping seraya berseru riang, "Kita sampai gadis-gadis ...."
"Terima kasih Papa Alisya ...." seru beberapa gadis cilik sekaligus. Yang satu per satu mulai keluar dari dalam mobil.
"As my pleasure, girls (dengan senang hati, para gadis) ...." jawab sang pria berpenampilan menarik dengan gaya kocak.
"Have fun semua yaaa!" ucap pria tersebut lagi seraya melambaikan tangan. "Alisya! Nanti Papa jemput jam tujuh malam."
"Iya, Pa," jawab gadis cilik terakhir, yang turun dari mobil.
Hampir semua orang di sekelilingnya berbisik-bisik, mengagumi pria berpenampilan menarik tersebut. Yang dengan isengnya membuka kacamata hitam, kemudian bergaya setengah membungkuk pada mereka semua.
"Mari, ibu-ibu ...."
Sebelum kembali menghilang di balik kemudi. Dan melajukan mobil prestisius, menjauh dari rumah Raline.
"Ohhh ...."
"Gantengnyaaaa ...."
"Artis ya tadi?"
Namun bukan pria berpenampilan menarik yang membuatnya terkesima, lalu tersenyum senang. Tapi karena ... seluruh gadis cilik yang baru saja turun dari dalam mobil, mengenakan baju princess yang sama seperti kepunyaan Sasa dan Chirra. Hanya warnanya saja yang membedakan.
Saat itu juga, Mama Chirra langsung ngeloyor pergi.
Sedangkan ibu-ibu yang lain justru bersorak kegirangan.
"Owalah ... itu yang katanya baju mahal?" seloroh ibu-ibu.
"Yang cuma bisa dibeli di mall tertentu."
"Yang nggak mungkin semua orang bisa beli."
"Ternyata malah jadi dress codenya anak kecil."
Sementara ia hanya bisa duduk di kursi sambil tersenyum lega.
"Aneuk mameh, bek moe (anak manis, jangan menangis) ...." bisiknya dalam hati.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Fitri Handayani
udah baca berulang kali tetap saja nangis
2024-08-24
1
himawatidewi satyawira
bisa disleding ma dilakban ndak ya mama chirra ini?
2024-04-12
1
Putri Dhamayanti
Lhaaa.. turunanx Hamzah ishaq yo pasti gwuanteng. Cakra ganteng, bang is jg pasti ganteng. secara hamzah n cut kak ida kan good looking. nah Bang is ganteng trs kak pocut cuantiikk yo pasti ae icad ganteng to the max
2024-01-17
2