Have Nothing to Say
(Tak ada lagi yang bisa dikatakan)
***
Surabaya
Tama
Om Jusuf sebenarnya bisa tak jadi meninggal dunia. Namun nahasnya, cara pertolongan pertama tak dilakukan dengan tepat. Sehingga obat penangkal overdosis, bekerja lebih lambat dari maut yang menjemput.
Sebab berdasarkan hasil autopsi yang dilakukan secara maraton dan terburu-buru, menunjukkan jika bukan hanya sabu-sabu saja yang terkandung dalam cairan organ tubuh Om Jusuf. Tapi juga heroin dan naloxone.
Naloxone sendiri adalah obat yang biasa digunakan untuk pertolongan darurat bagi korban overdosis. Sifat senyawanya membantu melancarkan pernapasan yang tercekik akibat racun opioid.
Dalam prosedur pertolongan yang lazim, naloxone disuntikkan ke tubuh korban. Namun dilihat dari hasil pemeriksaan autopsi, yang tak menemukan bekas suntikan di tubuh Om Jusuf. Kemungkinan besar zat ini tak masuk melalui injeksi. Apalagi, ditemukannya di lambung. Bisa dipastikan jika obat ini diminumkan pada Om Jusuf.
Dan karena obat tersebut tak langsung masuk ke peredaran darah. Harus melewati lambung dan empedu terlebih dahulu. Membuat daya kerjanya lebih lambat. Tak bisa membantu menyelamatkan nyawa Om Jusuf.
Penemuan ini membuktikan, jika ada usaha menolong nyawa Om Jusuf yang sedang sekarat. Pertanyaannya adalah, siapa yang meminumkan naloxone pada Om Jusuf. Karena Cundamanik bersikeras tak melakukannya. Dan tak pernah ditemukan barang bukti berupa gelas atau apapun, yang digunakan untuk meminumkan naloxone.
Kecuali jika seseorang telah membuang barang bukti tersebut. Seseorang yang tidak diketahui, kapan masuk dan keluar dari apartemen Cundamanik. Karena hasil rekaman CCTV dan bukti di lapangan tak mendukung teori ini.
"Ada orang lain," begitu yang diyakini Rajas. "Ada yang memanfaatkan situasi ini."
Hingga lebih dari sepekan berlalu, teka-teki terbunuhnya Om Jusuf belum menemukan titik terang. Kondisi sembap paru dan bukti adanya cairan naloxone, belum bisa membawa mereka pada pelaku yang sesungguhnya.
Dan sesaat sebelum prosesi pemakaman Om Jusuf berlangsung, Fidelis sebagai perwakilan dari pihak keluarga meminta mereka untuk menghentikan penyidikan.
"Kami sudah merelakan kepergian om," ujar Fidelis.
"Serangan jantung sudah cukup indah untuk menjadi alasan kepergiannya."
"Kami tak ingin kembali terluka, karena latar belakang kematian om terus menjadi konsumsi publik."
Usai upacara pemakaman, ia bersama Kadiv humas Mabes Polri memberikan pernyataan di depan media. Membacakan hasil autopsi yang baru saja keluar. Bertujuan untuk meredam kesimpang siuran informasi, yang banyak beredar di media selama seminggu belakangan. Terkait kasus kematian Om Jusuf.
Namun pada kenyataannya, penyebab kematian Om Jusuf belum bisa dipastikan. Penyelidikan di lapangan terus berjalan. Dengan Cundamanik yang masih berstatus sebagai saksi.
Ia beserta tim harus benar-benar bekerja keras, dalam usaha menemukan mata rantai yang hilang.
Meski tengah disibukkan oleh penanganan kasus kriminalitas, yang seakan terus bermunculan hampir setiap hari. Ia masih bisa mengingat dengan baik hari ulang tahun Reka.
"Apa yang disukai anak SMP?" gumamnya lebih kepada diri sendiri.
"Cowok atau cewek?" sambar Erik yang tengah menghadapi setumpuk berkas penyelidikan.
"Reka," jawabnya cepat.
Erik mendongak ke arahnya, "Banyak."
"Gadget terkini, action figure, perlengkapan olahraga, all about games," sambung Erik yakin. "Reka hobinya apa?"
Ia menggeleng.
Ketika masih duduk di bangku SD, Reka pernah aktif berkegiatan di salah satu SSB (sekolah sepakbola). Ia juga sempat beberapakali menonton pertandingan di sejumlah turnamen.
Tapi sepertinya waktu telah berlalu cukup lama. Ia bahkan sudah lupa, kapan kali terakhir menonton Reka bermain bola.
Jadi, ketika akhirnya memutuskan untuk membeli PS5 sebagai kado ulang tahun. Namun reaksi Reka hanya mengangkat alis dengan wajah mengernyit. Membuatnya sadar, jika pengetahuannya tentang Reka nol besar. Dan ini telak menghantam ulu hatinya.
Ditambah kehadiran Om Pram di tengah-tengah momen penting Reka. Disambut dengan hangat oleh Reka, bahkan ibu mertuanya. Berhasil menghantam kembali harga dirinya yang bahkan masih terserak.
"Yang mau menggugat cerai siapa? Aku atau kamu?" tanyanya dingin.
Kinan sempat menatapnya dengan wajah penuh air mata. Tapi ia benar-benar telah berada di ambang batas kesabaran.
Apakah ia mencintai Kinan?
Ia tentu bukanlah sejenis pria bo doh. Yang mau menikahi wanita meski tak dicintainya. Sosok Kinan teramat pantas untuk dipuja. Cantik, berpendidikan, mandiri. Pun dengan kehadiran Reka di kehidupan mereka.
Tapi untuk saat ini, cinta hanyalah bullshit (omong kosong) baginya.
"Terserah," Kinan menjawab dengan gumaman lirih.
Ia mengangguk. Lalu meraih cangkir kopi yang sepertinya sudah mulai dingin. Menyesapnya perlahan. Masih cita rasa yang sama. Namun dengan suasana yang jauh berbeda.
"Apa Mas nggak ingin bertanya, kenapa aku bisa berada di sana," Kinan memandanginya dengan tatapan sendu.
Ia memaki dalam hati. Lalu mendesis untuk mengurai kemarahan.
"Kenapa aku justru menemukan rasa nyaman pada diri orang lain," sambung Kinan. Membuatnya kembali memaki walau tak terucap.
"Mas nggak pernah tahu, atau Mas nggak pernah mau mencari tahu? Saat aku nggak mau ikut ke mana Mas pergi, saat aku menghindari Mas, saat aku memilih sendirian ...." Kinan masih menatapnya.
"Saat itu aku ingin diraih," ucap Kinan lirih, namun menghujam. "Aku ingin ditemukan sama kamu, Mas. Aku ingin ...."
"I've done with this (aku sudah selesai dengan yang ini -makna kiasan-)," potongnya cepat.
"Jangan mundur ke belakang," ia kembali mendesis menahan emosi yang siap meledak.
"Aku tahu aku bukan suami yang baik," kali ini ia memaksakan untuk tersenyum. "Aku nggak bisa ngertiin kamu."
"My bad (kesalahanku)," ia memang harus mengakui untuk yang satu ini. "So sorry (sangat menyesal) ...."
"Mungkin memang perjalanan kita cukup sampai di sini," ia menatap Kinan sungguh-sungguh. Amarah yang tadi menggumpal kini perlahan mulai terurai.
"Kamu berhak bahagia dengan pilihan dan keinginan kamu," ia menghela napas panjang.
"Aku yang mengajukan," ucapnya dengan berat hati.
Kinan hanya memberinya tatapan kosong. Sama sekali tak memberikan reaksi.
"Aku konsultasikan dulu sama pimpinan," entah mengapa ia merasa amat lega.
"Tolong kamu siapkan surat bersedia untuk diceraikan," ia tahu, cepat atau lambat mereka harus membahas hal seperti ini.
"Kirim saja ke alamat kantorku."
"Begitu ijin pimpinan keluar, langsung kuminta pengacara untuk masukkan gugatan."
Kinan masih menatapnya dengan tanpa ekspresi.
"Tapi ada hal penting lain yang harus kita lakukan berdua," ini bagian yang paling tak disukainya. "Kamu mau pamit sama orangtuaku dulu, atau aku kembalikan kamu ke orangtuamu?"
Kinan menarik napas panjang lalu bergumam lirih, "Kita ke Jakarta dulu."
Ia mengangguk, "Oke. Beri aku waktu untuk mengurus semua."
Kinan terlihat menundukkan kepala.
"Tapi sebelum ke Jakarta, aku minta satu hal."
Kinan mendongak.
"Kita berdua harus ngomong sama Reka."
Kinan mengembuskan napas panjang, "Aku tahu."
"Tolong kamu atur waktunya."
---------
Ia sudah berkonsultasi ke bagian watpers (perawatan personel). Sebelum mengajukan surat tertulis permohonan perceraian pada satuan kerja. Ia juga sudah menghadap langsung pada Metro 1, sebagai pejabat yang berwenang untuk memberikan izin.
Dan Metro 1 hanya mengembuskan napas panjang sambil menggelengkan kepala, "Akhirnya nyerah sekarang?"
Gosip tentang kondisi rumah tangganya yang rumit, tentu sudah menjadi konsumsi empuk bagi sebagian besar orang. Ketidakhadiran Kinan dalam setiap kegiatan yang dilakukan, jelas menjadi alasan utama. Jika bukan karena nama baik Papa di korps ini, kariernya tentu akan jalan di tempat. Sebab kealpaan Kinan dalam menjalankan tugas sebagai pendamping seorang perwira, memegang peranan yang cukup penting.
Dan petang ini menjadi waktu yang dipilih oleh Kinan. Untuk membicarakan tentang rencana perceraian mereka berdua dengan Reka.
Bertempat di sebuah restoran Jepang. Yang berada di lantai 5 salah satu pusat perbelanjaan. Ia sangat berharap, ini bisa menjadi setting sempurna dalam usaha mengurai benang kusut di antara mereka bertiga.
"Gimana sekolah kamu?" ia merasa sedang beralih peran, menjadi ayah tak bertanggung jawab. Yang kerap muncul dalam adegan serial drama.
Reka hanya mengangkat bahu, "Gitu gitu aja."
"Masih ikut SSB?"
Reka mengernyit ke arahnya.
Disusul gumaman gugup Kinan tentang hal yang baru kali ini didengarnya.
"Sejak Reka cedera ACL, sudah off dari sepakbola."
"Cedera?" ia gantian mengernyit. "Kapan? Kenapa? Waktu tanding?"
Kini Reka mulai melemparkan tatapan tak suka ke arahnya.
"Hampir setengah tahunan yang lalu," jawab Kinan dengan ekspresi tak nyaman. "Waktu Mas jenguk ke rumah."
"Oh," ia ingat sekarang. "Yang itu? Akhirnya bikin kamu berhenti main bola?"
"Apa kita harus ngobrolin ini, Bun?" gumaman ketus Reka membuatnya terhenyak.
"Reka!" tegur Kinan cepat.
Ia mengerti medannya sekarang. Dan itu sama sekali tak menyenangkan. Begitu menyadari, jika Reka ternyata tak menyukai keberadaannya. Bahkan mungkin membencinya.
"Ada hal penting yang mau ayah omongin," ia berusaha mengabaikan hantaman ke sekian yang menohok ulu hati.
Reka tetap melanjutkan makan. Sama sekali tak memberi atensi.
"Ayah minta maaf, karena selama ini jarang bersama Reka," ia mencoba merangkai kalimat terbaik.
"Tapi Reka tak perlu khawatir," ia berusaha tersenyum. "Ayah tetap sayang sama Reka."
Reka terlihat menghentikan suapan. Tapi tak jua melihat ke arahnya.
"Keadaan ayah dan bunda ... jangan sampai memengaruhi kondisi Reka."
Ia memandangi wajah tertunduk putra tampannya itu. Seolah sedang berkaca.
Membuatnya kemudian berpikir, apakah waktu seusia Reka, ia juga bertingkah semenyebalkan ini? Kemungkinan besar iya.
"Reka harus tetap sekolah yang rajin, terus belajar, agar bisa mencapai cit ...."
"Apa kita lagi cosplay konseling guru BK?" potong Reka cepat. Dan sinis.
"Reka!" kali ini Kinan menghardik. "Ingat pesan bunda? Hormati ayahmu!"
Ia hanya bisa mendesis-desis menahan emosi.
"Oke, Reka," ia harus bertindak sekarang. "Ayah dan bunda ... akan berpisah."
Reka mengernyit menatapnya, "Apa bedanya? Selama ini bukannya udah begitu?"
"Reka!" Kinan kembali bersuara.
"Ayah nggak pernah pulang, nggak pernah nemuin Reka, nggak pernah ...."
"Reka!"
"Biar!" ia memotong ucapan Kinan. "Ayo ... katakan semuanya Reka. Kalau perlu, marahi ayah."
Reka memandangnya dengan mata berkilat.
"Biar tahu salah ayah di mana," lanjutnya dengan hati berdebar. Menanti penghakiman dari buah hatinya sendiri.
"Mungkin sampai besok nggak akan selesai," gumam Reka sinis.
"Apa?" ia mengernyit tak mengerti.
"Kesalahan ayah terlalu banyak," tegas Reka berhasil menamparnya. "Sampai besok juga nggak akan selesai dibahas."
"Reka!" Kinan menatapnya dengan ekspresi gugup.
"Sebanyak itu kesalahan ayah?" ia memandang Reka tak percaya.
Reka hanya mencibir tak menjawab.
"Bagaimana cara menebusnya?" tanyanya cepat.
Reka memandangnya tanpa ekspresi.
"Katakan ... bagaimana cara ayah harus menebus kesalahan yang banyak itu," ia bergumam dengan hati yang kembali tercerai-berai.
Reka masih memandangnya dengan tatapan dingin. Lalu beralih ke arah Kinan. Sebelum akhirnya berucap dengan intonasi yang sangat cepat, "Ayah sama bunda bercerai aja. Itu salah satu cara ayah menebus kesalahan."
Kemudian Reka bangkit dan beranjak pergi, "Aku mau ke toilet."
Ia memandangi punggung Reka yang sedang berjalan dengan penuh ketergesaan.
"Kamu nggak pernah cerita ke Reka tentang semua aktivitasku?" tanyanya tak percaya.
"Aku cerita ...." Kinan tertunduk. "Aku minta maaf untuk yang satu ini."
Lalu Kinan menatapnya sendu, "Reka sedang masa pencarian jati diri. Dia tipe pemberontak."
Kali ini ia tak mampu menahan tawa. Ya, tentu saja. Bukankah sejatinya ia adalah tipe pemberontak? Like father like son. Bukan hal yang baru.
Ia mengangguk mengerti, "Nanti aku ajak Reka jalan berdua."
"Mungkin setelah putusan keluar," lanjutnya mencoba memastikan. "Aku akan bicara sama dia sebagai sesama laki-laki."
"Harus," Kinan mengangguk. "Dari semua kesalahpahaman rumit di antara kita berdua ... Reka tetap memiliki seorang ayah yang hebat."
"Hebat?" ia tertawa sinis.
Kinan tersenyum. Mungkin senyum pertama dalam pertemuan mereka kali ini. Setelah sebelumnya Kinan terus-terusan memasang ekspresi wajah gugup.
Kinan masih tersenyum. "Makasih banyak, Mas ... obrolan sepenting ini bisa berjalan dengan sangat normal."
Ia tertawa sumbang. Yang benar saja, sejak awal ia bahkan ingin membalikkan meja hanya dengan satu tangan. Untung akal sehatnya masih bisa berfungsi dengan baik.
"Makasih banyak untuk semuanya selama ini ...." lanjut Kinan, yang memandanginya dengan tatapan penuh kelegaan.
"Aku tunggu ... kapan harus datang ke Jakarta," sambung Kinan lagi.
Ia mengangguk, "Nanti kukabari."
Kinan mengembuskan napas panjang, lalu berucap lirih hampir tak terdengar, "Kita cukup sampai di sini?"
Ia kembali mengangguk, "Cukup sampai di sini."
"Maaf dan terima kasih ...." sambungnya setengah bergumam.
Kinan tersenyum menatapnya, "Maaf dan terima kasih ...."
Saat ini ia merasa, beban berat yang menghimpit perlahan mulai berkurang. Meski tetap menyisakan rasa sakit. Yang tak terdefinisikan.
Malam hari ia mencoba menghubungi Sada. Ia jelas sedang mencari dukungan. Terlebih jika nanti harus berhadapan dengan Papa dan Mama.
"Aku pisah sama Kinan."
"Finally (akhirnya)."
"Brengsek!" makinya. Demi mendapati reaksi datar Sada.
"Harusnya udah dari bertahun-tahun lalu," keluh Sada tanpa perlu bersopan santun padanya. Sialan memang adik yang satu ini.
"Aku menghargai Mama," ia memberi alasan. "Mama minta jangan sampai pisah."
"Kalau Mama tahu kejadian di apartemen, kamu langsung diseret pulang!" gumam Sada lebih kurang ajar lagi.
"Fucking shit (sialan)!" ia memaki dengan sepenuh hati.
Brengsek. Bagaimana Sada bisa tahu tentang kejadian di apartemen? Dunia benar-benar tanpa batas.
"Congratulation (selamat)," seloroh Sada semakin punya nyali untuk meledeknya.
"Jadi ... kapan kita bergerak? Jangan sampai keduluan sama Om Raka. Nanti bis ...."
Saat itu juga, ia ingin memiting leher Sada.
--------
Surat izin bercerai telah turun. Ia juga sudah menghubungi salah satu kenalan pengacara, meminta untuk mengurus seluruh proses hingga tuntas.
Tak ada klausul tentang perebutan hak asuh anak maupun sengketa harta gono gini. Reka tentu tetap tinggal bersama Kinan. Dan ia sangat bersedia untuk bertanggungjawab penuh terhadap masa depan Reka.
Dan selama menunggu proses di pengadilan agama, ia mengajak Kinan untuk berpamitan pada Papa dan Mama.
Jelas bukan perjalanan yang menyenangkan. Mereka berdua bahkan berangkat menggunakan pesawat yang berbeda. Baru benar-benar bertemu di sebuah pusat perbelanjaan. Sebelum akhirnya meluncur ke rumah bersama. Seolah semua dalam keadaan baik-baik saja.
"Mba Kinaaan?" seru Anja riang, ketika melihat kemunculannya dan juga Kinan di rumah.
"Apa kabar, Mba? Ya ampun, terakhir kita ketemu waktu aku masih SMP apa ya, Mba?" celoteh Anja.
Dan Kinan pun terkaget-kaget saat mengetahui keberadaan Aran.
"Ini baby aku, Mba," jawab Anja dengan hidung terkembang.
Sementara ia hanya berdiri mematung di belakang mereka. Sibuk menyusun kalimat terbaik untuk disampaikan pada Papa dan Mama.
"Banyak yang aku lewatkan ya, Mas?" gumam Kinan. Ketika mereka tengah menunggu Papa di ruang Perpustakaan.
Ia hanya mengembuskan napas panjang. Sama sekali tak berminat untuk menjawab.
"Aku selalu minta Dara untuk cerita tentang keadaan Papa dan Mama," sambung Kinan. "Termasuk waktu Papa kena stroke."
Kinan memang sempat menjenguk Papa. Sewaktu masih dirawat di Jakarta maupun saat di Singapura. Namun mereka berdua tak pernah saling bersua.
"Tapi Dara nggak pernah cerita kalau Anja udah nikah," Kinan melihat ke arahnya. "Udah punya baby."
"Sama ... apa tadi, suami Anja habis kecelakaan?" lanjut Kinan sembari menggelengkan kepala. "Banyak hal telah kulewatkan."
Ia sendiri baru tahu, jika seminggu yang lalu, Cakra sempat mengalami kecelakaan motor di Bandung.
"Aku juga cuma nelepon ke Teh Dara aja kok, Mas," kilah Anja saat ia protes karena tak diberi kabar. "Mas Sada juga mungkin nggak tahu. Kalau Teh Dara nggak cerita."
"Lagian Cakranya juga nggak kenapa-kenapa kok, cuma hidung patah doang," lanjut Anja cepat.
Adik kecilnya itu benar-benar telah berubah 180 derajat. Bukan lagi gadis cilik manja yang tingkahnya merepotkan semua orang. Sekarang sudah bisa bertanggungjawab dengan hidupnya sendiri.
Dan begitu Papa Mama duduk di hadapan dirinya juga Kinan. Lidahnya mendadak kelu. Bahkan keberaniannya dalam sekejap, telah berubah menjadi partikel kecil yang berserakan ke segala penjuru. Kacau balau.
Namun Papa tak mengatakan apapun. Hanya menepuk bahunya sebanyak dua kali. Lalu beranjak lebih dulu dengan wajah mengeras. Meninggalkan Mama yang sedang menangis sambil memeluk Kinan.
"Maafkan Tama ya, Kinan. Maafkan Tama kalau ada salah."
Ia yang sedang membantu Papa berjalan menuju ke kamar, masih bisa mendengar suara Mama dan Kinan terisak bersama.
"Bukan Mas Tama yang salah, Ma."
"Saya yang salah."
"Saya mohon maaf."
"Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya."
***
Keterangan :
Opioid : adalah obat penghilang rasa sakit, yang bekerja dengan reseptor opioid di dalam sel tubuh.
Obat ini dibuat dari tanaman opium seperti morfin (Kadian, Ms Contin) atau disintesis di laboratorium seperti fentanil (Actiq, Duragesic) (hellosehat.com).
Seluruh penjelasan tentang sebab kematian Om Jusuf, terinspirasi dari artikel yang dimuat di majalahtempo.com edisi 12 Februari 1994.
Cedera ACL : ligamen krusiatum anterior. Umumnya cedera ini terjadi pada bagian ligamen penahan persendian lutut. Cedera ACL ini sendiri, biasanya disebabkan karena adanya kontak langsung seperti tackle dari pemain lawan atau karena penyebab non-kontak fisik seperti jatuh dengan posisi yang salah (lifepack.id).
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
dyul
setiap part inii gw mikirr.....
gakk tau malu ini perempuan....
bisa keluar omongan gini
elu udah jauhin Bpk sama anak...
jauhin cucu sama kakek neneknya.....
tanpa jelas mereka ada salah apa
2024-12-26
0
YuWie
Kapan Reka tau klo ibuknya yg egois dan punya pacar baru..hahahaha
2025-02-01
0
dyul
mama.... mas tama gak salah.mama gak tau kan si kinan lg kumpul sapi sama om2 sepupu, dgn alesan pengobatan
2024-12-26
1