Jakarta
Pocut
Dengan kening mengerut, ia berjalan melewati sepatu hitam mengilap. Kemudian melangkah memasuki pintu depan dengan pikiran kosong.
Yang pertama kali tertangkap oleh mata adalah Icad. Sedang berdiri sambil bersidekap di samping buffet. Memasang wajah yang jelas-jelas mengisyaratkan rasa ketidaksukaan. Namun entah ditujukan pada siapa.
Lalu pandangannya beralih pada Mamak, yang sedang duduk di kursi rotan. Sembari tersenyum dan mengangguk. Tengah larut dalam pembicaraan dengan sang tamu.
Tak ketinggalan pula Cang Romli, duduk di samping Mamak. Sedang memamerkan senyum super lebar. Hingga menampakkan gigi palsu, yang ukurannya jauh melebihi kapasitas mulut. Menyajikan pemandangan, yang bisa memancing orang lain untuk tersenyum.
Kemudian Umay, entah sedang mengatakan apa. Terlihat begitu antusias. Lengkap dengan gerakan kedua tangan ke atas udara. Seolah sedang memberi penjelasan melalui bahasa tubuh, sebab tak bisa diungkapkan oleh kata-kata.
Selanjutnya adalah Sasa. Yang sejak ia melangkah memasuki teras depan, tawa Sasa seolah pecah tiada henti. Terdengar begitu riang dan menyenangkan. Sedang duduk sambil memangku boneka bulu berukuran besar. Tepat di samping pria berpakaian seragam warna cokelat. Yang posisinya memunggungi pintu masuk.
Serta merta jantungnya melorot ke perut. Dan tanpa siapapun menyadari, hatinya mendadak gugup sampai harus menelan ludah berkali-kali.
Ia jelas telah berprasangka. Sampai kemudian Sasa berseru riang,
"Itu Mama ... udah pulang!"
Membuat semua yang tengah berada di ruang tamu, menoleh ke arahnya. Termasuk pria berseragam cokelat.
"Ma! Ada tamu nih, Ma! Mama dicariin sama Om!"
Detik itu juga, ia merasa teramat malu. Karena telah berprasangka buruk pada seseorang.
***
Mamak
Hari ini ia pulang ke rumah selepas Ashar. Dengan dibantu oleh Anwar dan Ella, yang ikut membawakan beberapa barang.
Namun di sepanjang gang yang mereka lewati, hampir semua orang mengatakan hal yang sama.
"Mak, barusan ada polisi nanya-nanya alamat rumah Mak Agam. Ada masalah apa tuh, sampai didatengin polisi segala?"
"Si Agam nggak berulah lagi kan, Mak?"
"Si Agam lama nggak keliatan Mak, nggak bikin masalah di luaran kan?"
Membuatnya mempercepat langkah menuju ke rumah. Sebab di rumah hanya ada anak-anak. Dan ini membuatnya semakin khawatir.
"Siapa, Mak?" tanya Ella ingin tahu. "Laki yang demen sama Pocut?"
Ia menggeleng dengan kening mengkerut.
Dan begitu sampai di depan rumah, ia justru dikejutkan oleh suara gelak tawa dari arah ruang tamu. Sama sekali tak ada pertanda yang mengkhawatirkan.
Ia segera melewati pintu sembari mengucap salam. Dan langsung dijawab oleh semua yang duduk di ruang tamu.
"Eh, Da! Ada tamu nih, nyariin Pocut!" seru Romli dengan senyum terkembang.
"Tadi gua lagi duduk-duduk di teras, eh ... ada polisi datang ke rumah elu," terang Romli. "Ya udah, gua samperin."
"Takutnya lu lagi kena masalah, sampai didatengin polisi segala," kali ini Romli kembali tersenyum lebar.
"Ternyata enggak ... lega gua ...." pungkas Romli seraya terkekeh.
Ia berjalan memasuki ruang tamu sambil berpikir.
Sementara seorang pria muda yang mengenakan seragam warna cokelat, bangkit dari duduk begitu melihatnya. Lalu mengangguk takzim.
"Selamat sore, Bu."
***
Sasa
Semalam ia bermimpi. Jika seseorang memberinya hadiah, berupa sebuah boneka beruang berukuran besar yang berbulu halus. Sama seperti boneka yang dilihatnya di rumah Raline.
"Sasa?" seru orang di dalam mimpinya. Sembari memperlihatkan boneka beruang.
"Untuk Sasa ...." orang tersebut berjongkok di hadapannya. Seraya menyerahkan boneka beruang padanya.
"Makasih, Om!" ia berseru riang.
Tapi ....
"Om siapa?" tanyanya ingin tahu. Sebab wajah orang yang memberinya boneka tak begitu jelas, terlihat samar.
Tapi orang tersebut hanya tersenyum sambil mengusap kepalanya.
Lalu terdengar suara Mama yang berbisik di telinganya, "Sasa ... bangun sayang, waktunya sekolah."
Jadi, ketika sore ini, ia sedang bermain petak umpet di halaman seberang rumah bersama teman-temannya. Lalu tiba-tiba rumahnya kedatangan pak polisi. Yang membawa boneka beruang berukuran besar. Ia pun langsung berlari meninggalkan teman-temannya.
"Sasa! Mau kemana? Giliran kamu jaga!" seru teman-temannya.
"Aku udahan!" teriaknya sambil terus berlari menuju ke teras rumahnya.
Lalu bertanya dengan napas tersengal, "OM? Ke sini nyari Sasa ya, Om?"
"Itu boneka buat Sasa?"
Pak polisi itu sempat tertegun, tapi kemudian tersenyum. Lalu berjongkok di hadapannya.
"Om lagi nyari rumahnya Pocut," ucap Pak Polisi sambil memeriksa kertas yang sedang dipegang. "Benar ini rumahnya?"
Ia menganggukkan kepala keras-keras sambil mengacungkan jempol, "Pocut nama Ma ...."
"Sasa!" seru Bang Icad yang sudah berdiri di depan pintu dengan memasang wajah kesal. "Sini, masuk! Jangan ngobrol sama orang asing!"
***
Tama
Ia ditugaskan berada di Jakarta selama dua hari. Dengan jadwal yang sangat padat.
Dari mendampingi Metro 1 melakukan rapat terbatas dengan Timor Bandung 1 (Kapolri). Kemudian memberikan laporan faktual tentang kasus kematian Om Jusuf pada Kabareskrim (Kepala badan reserse kriminal). Melakukan koordinasi dengan tim dari Bareskrim. Menghadiri upacara pemakaman Om Jusuf di Karawang. Serta melakukan konferensi pers, terkait kasus kematian Om Jusuf bersama Kabid Humas Mabes Polri.
Benar-benar tak ada waktu luang tersisa.
Ia bahkan sampai lupa, kapan terakhir kali bisa tidur nyenyak. Sebab seminggu belakangan, seluruh fokus dan energi dikerahkan maksimal. Guna mengungkap kasus kematian Om Jusuf, yang sampai sekarang masih menjadi misteri. Meski hasil visum et repertum telah keluar.
Tapi berada di Jakarta, jelas mengingatkannya akan sesuatu. Atau pada seseorang?
Entahlah.
Apakah pikiran melanturnya ini, bisa dibenarkan atau tidak. Karena ia sudah terlanjur meminta bantuan pada Gigih, yang kebetulan juga sedang berada di Bareskrim.
"Pinjem anak buah lu sebentar."
Tanpa harus menunggu, seorang petugas berusia muda telah berdiri di hadapannya.
"Ini alamatnya," ia menuliskan alamat yang telah dihapalnya di luar kepala, pada selembar kertas post it berwarna kuning.
"Ini uangnya," kemudian menyerahkan sejumlah rupiah. "Kalau kurang, kasih tahu saya. Kalau lebih, ambil buat kamu."
"Tolong beli semua yang disukai anak-anak," ujarnya cepat. "Dan pastikan nama yang tertera di sini ...." ia menunjuk kertas yang telah bertuliskan sebuah alamat.
"Yang menerimanya," sambungnya lagi. "Pakai dokumentasi."
"Kalau sudah selesai, langsung hubungi nomor saya."
Begitu petugas muda itu pergi, Gigih langsung terbahak.
"Mainan baru?"
Ia balas tertawa tak kalah sumbang. Lalu berkata dengan tanpa berpikir, "Masa depan baru."
Membuat tawa Gigih semakin pecah, "Si Tama jadi ba ji ngan sekarang!"
"Inget bini di rumah!" seloroh Gigih dengan wajah tanpa dosa.
Berhasil membuat pening di kepalanya yang belum juga mereda, kini semakin menjadi.
***
Pocut
Polisi muda yang membawa sejumlah bingkisan telah pamit pulang. Cang Romli yang tak henti mendesaknya, agar segera memilih satu dari sekian pria yang datang ke rumah, juga sudah beranjak pergi.
"Buru kawin, Cut," Cang Romli terlihat bersungguh-sungguh. "Nggak baek lama-lama sendiri."
"Mumpung banyak yang mao sama elu," Cang Romli menyeringai. "Tinggal pilih satu dah. Yang menurut lu paling pantes buat jadi babenya anak-anak."
"Ida udah kasih restu kok. Iya, Da?"
Mamak mengangguk, bahkan sebelum Cang Romli menyelesaikan kalimatnya.
Dan di sela-sela waktu Maghrib hingga Isya ini, suasana rumah terasa sunyi. Hanya terdengar suara televisi yang menyala. Tengah menayangkan siaran berita petang terkini.
Mamak sedang merajut di kursi. Katanya ingin membuat jaket baru untuk Aran.
"Jaket yang lama sudah kekecilan," begitu kata Mamak. "Biar bisa dipakai, kalau Aran jalan ke Bandung nengok ayahnya."
Icad sedang mengerjakan PR. Umay dan Sasa tengah anteng duduk di depan televisi, sambil menikmati seabrek jajanan. Yang tadi dibawakan oleh polisi muda. Sementara ia sedang menulis pembukuan sederhana, tentang daftar pemesanan ayam tangkap dan pembayarannya.
"Kuenya enak ya, Bang," gumaman riang Sasa mampir di telinganya.
"He eh," Umay jelas setuju. "Besok kita bekel ke sekolah ya, Sa?"
Ia mendongak dari buku yang sedang ditulisinya, dan melihat Sasa mengangguk mantap.
Bertepatan dengan layar televisi, yang menayangkan berita kematian seorang konglomerat. Membuat perhatiannya tertuju pada benda berbentuk tabung itu.
"Nama tenar dan indikasi pemakaian obat terlarang, menjadi sorotan utama dalam kasus kematian yang menimpa konglomerat Jusuf Parawihardja."
"Termasuk terseretnya nama artis muda berbakat kesayangan masyarakat Indonesia, Cundamanik Larasati."
Kemudian layar beralih menayangkan gambar, tentang liputan kasus kematian sang konglomerat. Mulai dari TKP yang bertempat di Surabaya, hingga prosesi pemakaman sang konglomerat yang cukup megah.
"Berikut konferensi pers, yang dilakukan oleh Kabid Humas Polri bersama Dirreskrimum Polda Jatim, tentang hasil visum et repertum almarhum Jusuf Parawihardja."
Kini layar televisi menampilkan gambar, dua orang polisi berseragam lengkap. Yang sedang melakukan konferensi pers.
"Tidak ada tanda kekerasan di tubuh korban," terang seorang pria yang berwajah cukup familiar.
"Namun terdapat sembap paru."
"Yaitu banyaknya air yang terdapat dalam paru-paru korban."
"Kondisi sembap paru juga bisa disebabkan karena suatu penyakit."
"Tapi prosesnya akan berlangsung lambat jika dikaitkan dengan waktu kematian korban."
"Jadi di sini kami ...."
"MA!" pekikan keras Sasa membuatnya terlonjak kaget.
"Iya, Sa?" tanyanya gugup.
"Yang di TV bukannya ... Om yang pernah antar Sasa ke dokter ya, Ma?"
"Bukan!" namun justru Umay yang menjawab. "Yang di TV itu, polisi yang kemarin nangkap penjahat. Yang Umay tonton!"
"Ih," Sasa menjengit. "Bukaaaan. Itu Om yang antar Sasa ke dokter. Terus ngajak Sasa makan di restoran yang baguuuuus ... yang ada bad ...."
Ia langsung terhenyak mendengar celotehan Sasa. Lalu buru-buru mencegah Sasa dari mengatakan hal tak penting lainnya, "Sasa! Ayo kerjakan PR! Jangan nonton TV terus!"
Sementara dari sudut mata, ia tahu pasti jika Mamak sedang menatapnya tajam.
"Umay!" ia berusaha menutupi rasa gugup dengan memanggil nama Umay.
Yang masih saja ribut berdebat, tentang siapa sebenarnya pak polisi di layar televisi. Apakah orang yang mengantar Sasa ke dokter, atau orang yang ditonton Umay di televisi.
"Matikan TVnya! Sebentar lagi Isya!" serunya lagi sambil membereskan buku catatan penjualan. Lalu buru-buru masuk ke dalam kamar.
***
Keterangan :
Visum et repertum : disingkat VeR adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter dalam ilmu kedokteran forensik atas permintaan penyidik yang berwenang.
Mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati. Ataupun bagian atau diduga bagian tubuh manusia. Berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah. Untuk kepentingan pro yustisia (Wikipedia).
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Lily
padahal keluarga ada dijakarta malah ingat orang lain ndan 😁
2024-12-14
0
Jong Nyuk Tjen
rupanya bang tama mulai ad rasa ke .......
2025-01-16
0
Lily
itu calon papa baru anak anak
2024-12-14
0