Dangerous Liaisons
(Permainan (cinta) yang berbahaya --mengandung makna kiasan--)
***
Surabaya
Pramudya Haribawa
Ia baru dua minggu berada di tanah air. Usai melakukan riset selama hampir 18 bulan di Karolinska Institute, Swedia. Dan harus menghadiri rapat koordinasi antara Kepala Dinas Kesehatan Provinsi beserta jajarannya, para Direktur Rumah Sakit, serta rekan-rekan dari IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Di sebuah resort yang terletak di bilangan Kaliasin.
Ia yang sebelum bertolak ke Swedia lebih sering berdomisili di Jakarta, masih merasa canggung dengan suasana kota Surabaya.
Yang lebih lucu dan sedikit tak masuk akal lagi adalah, ia tersesat saat mencari convention hall di resort tersebut. Walau sudah memperoleh petunjuk yang cukup memadai dari petugas resort.
Padahal waktu dimulainya rakor (rapat koordinasi) sudah lewat. Bisa dipastikan ia datang sangat terlambat. Ini tentu bukan hal yang baik.
Karena meski lahir dan besar di kota ini. Ia adalah pendatang baru. Orang baru. Dan keterlambatan jelas akan menjadi representasi buruk dari integritasnya.
Namun selalu ada dewi penolong dalam setiap kesempitan. Dengan kehadiran seorang wanita muda. Cantik tentu saja. Melintas di hadapannya dengan langkah yang terburu-buru.
"Mba?" sapanya karena tak mempunyai pilihan lain.
"Convention hall di sebelah mana ya?" tanyanya seperti orang bo doh.
"Saya diundang untuk menghadiri rapat koordinasi dengan ke ...."
"Dengan Dinkes dan IDI?" sambar wanita muda itu cepat.
"Ya, betul," ia mengangguk dengan lebih bo doh lagi.
"Saya juga peserta rakor," jawab wanita muda itu seraya menyunggingkan seulas senyum tipis.
Ia pun segera mengikuti langkah cepat wanita muda itu menuju convention hall. Tanpa sempat bertanya nama ataupun berterima kasih. Sebab begitu sampai di depan pintu convention hall, wanita muda itu keburu mengangguk sopan ke arahnya. Seraya berucap,
"Ini tempatnya. Mari ... saya duluan."
Dan ketika ia mendapat kesempatan berbicara di atas mimbar, ia bisa melihat dengan jelas. Jika wanita muda yang tadi menunjukkan jalan padanya, masih duduk manis di dalam convention hall. Di kursi paling belakang. Mendengarkan dengan penuh atensi sambil sesekali mencatat.
Fatal attraction (ketertarikan yang fatal).
Seusai rakor, ia sempatkan secara khusus mengelilingi convention hall. Bermaksud mencari sosok wanita muda itu. Berniat untuk sekedar mengucapkan terima kasih. Atau hal yang sejenis. Namun tak pernah berhasil menemukan sosoknya.
Membuatnya lupa begitu saja.
Sama sekali tak pernah menyangka, jika ia masih memiliki kesempatan yang kedua.
Yaitu saat ia diperkenalkan sebagai Direktur Utama Rumah Sakit yang baru. Kepada seluruh civitas yang hadir.
"Dengan resmi kami perkenalkan, Direktur Rumah Sakit Niroga Utama. Dokter Pramudya Haribawa," ucap MC di atas panggung.
Ia naik ke atas panggung untuk berjabat tangan dengan Direktur Rumah Sakit sebelumnya. Namun matanya justru tertuju pada seseorang, yang duduk di baris kursi paling belakang.
"Kita ketemu lagi?" sapanya cepat. Sebelum terlambat. Dan sebelum wanita muda itu kembali menghilang.
Sebab, jika matanya tak salah menangkap, wanita muda itu terlihat sangat tak nyaman. Ketika berada di tengah keramaian.
***
Kinanti
Hampir semua orang di sekitarnya, membicarakan tentang sosok Direktur yang baru. Namun ia hanya mendengarkan. Sama sekali tak tertarik untuk ikut bergabung. Atau sekedar memberi selentingan informasi sok tahu. Yang banyak digemborkan oleh rekan sejawat.
Meski saat acara ramah tamah beberapa bulan yang lalu, Direktur tersebut menghampirinya dan menyapa.
"Kita ketemu lagi?"
Ia hanya tersenyum canggung seraya menggeleng. Sebab benar-benar tak bisa mengingat, pernah bertemu di mana dengan sang Direktur.
"Nggak ingat?"
Ia sempat menangkap nada kekecewaan. Yang terlontar dari mulut pria berkulit bersih dan berwajah oriental itu. Tapi tak terlalu mengambil pusing.
Baginya, disapa oleh Direktur baru bukanlah suatu kebanggaan. Apalagi prestasi. Hanya hal random yang sangat lumrah terjadi.
Pikirnya, mungkin saja Pak Direktur salah mengira orang. Karena menurut sebagian besar teman-temannya, ia memiliki tipe wajah yang cukup pasaran. Alias banyak orang, yang sekilas berwajah mirip dengannya.
Namun ketika ia tiba-tiba, sering diikutsertakan dalam berbagai kegiatan pendukung Rumah Sakit. Yang sebagian besar tak berhubungan dengan tanggung jawab pekerjaan. Ia mulai bertanya-tanya. Meski tak pernah terucap.
"Dokter Pram iku setengah dudo loh (Dokter Pram itu setengah duda lho)," begitu selorohan dan bisik-bisik yang banyak beredar di sekelilingnya.
"Sing wedhok njaluk tinggal ndek Jakarta timbang melok tinggal bareng ndek kene (istrinya lebih milih tinggal di Jakarta, daripada ikut pindah ke sini)."
"Heh, wedhok'an model opo ngunu iku, nggak ngancani bojone (istri macam apa nggak ngikut suami)."
"Ancen njaluk'e ngunu, Kan, sing wedhok desainer sukses (memang istrinya kan desainer sukses)."
"Mosok? Sopo? Sopo jenenge? (yang benar? siapa? siapa namanya?)."
"Iku loh, desainer Ratna Musawa. Sing duwe butik uakeh (itu loh, desainer Ratna Musawa. Yang punya butik banyak)."
"Loala iyo ta? Ket ero aku. Dadi Mba Ratna Musawa iku bojone dokter Pram ta? Sing hasil rancanganne biasa digawe rabine artis-artis iku, se (Iya kah? Baru tahu aku. Jadi Mba Ratna Musawa itu istrinya dokter Pram? Yang desainnya sering dipakai buat nikahan artis artis itu kan)?"
"Iyo. Sopo maneh (iya. siapa lagi)."
"Wiih ... keren yo."
Ia hanya menjadi pendengar setia. Sebab posisinya juga sama seperti istri dokter Pram. Tak mengikuti suami. Lebih memilih tinggal terpisah. Dan di cap sebagai istri yang tak berbakti.
***
Pramudya Haribawa
Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Beberapa bulan ke depan, usianya genap 58 tahun. Putra sulungnya bahkan sudah memasuki jenjang spesialis. Dan dalam hitungan minggu, ia akan memperoleh cucu pertama, dari putri keduanya.
Jelas bukan usia yang muda lagi.
Dan jika jatah hidup manusia dipukul rata, akan habis di usia 64 tahun. Maka waktunya tinggal 6 tahun lagi. Seharusnya dipergunakan untuk lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Agar sisa hidupnya berakhir dalam kedamaian.
Namun pesona seorang optalmologis termuda, benar-benar tak bisa dinafikkan.
Ia bahkan tanpa sadar, telah melakukan hal-hal di luar nalar akal sehat. Seperti memasukkan nama optalmologis tersebut ke dalam tim. Yang sebenarnya tak berhubungan dengan tugas seorang optalmologis.
Dan pertemuan tak terduga mereka di acara keluarga besar Madangkara, benar-benar menjadi titik terang. Tentang apa yang sebenarnya ia inginkan.
Ketika itu ia sedang berbincang dengan para sesepuh, saat melihat kehadiran sang optalmologis dengan seorang pria. Gagah, penuh wibawa, pastinya jauh lebih muda dibandingkan dirinya. Dan yang terpenting adalah, dikenal baik olehnya.
Tama. Terhitung masih sepupu jauh dengannya. Walau tanpa ikatan darah.
Keluarga mereka telah berhubungan baik sejak lama. Ia bahkan pernah beberapa kali mengunjungi kediaman pribadi orangtua Tama di Jakarta.
"Kita ketemu lagi?" sepertinya ia tak banyak memiliki perbendaharaan kosakata, jika berhadapan dengan sang optalmologis.
***
Kinanti
"Dokter Kinan ... dipanggil ke ruangan direktur."
Menjadi kalimat yang sering terdengar di setiap kesempatan.
"Gimana menurut dokter Kinan, tentang konferensi kardiovaskular di Dubai? Apa saya perlu ikut?"
Ia sempat terbengong-bengong, mendengar pertanyaan tak relevan dari dokter Pram.
Ia jelas bukan orang yang kompeten untuk menjawab. Bidang yang mereka geluti saja jauh berbeda.
"Dokter Kinan ... buruan ... dipanggil Pak bos tuh di ruangan."
"Ecieee ... ciee .... Ada yang kangen nih, baru pulang dari Dubai."
"Jangan lupa mintain oleh-oleh ke dokter Pram. Nanti bagi ke kita-kita yaa ...."
Ia memang wanita dingin, kaku, dan tak berperasaan. Tapi sikap dan perhatian berlebih dokter Pram terhadapnya, jelas mulai mengusik. Namun ia berusaha keras untuk terus menafikkan. Dan bersikap seolah semua biasa saja.
"Eh, Nan, gua baru ngeh ... kalau lo ternyata mirip banget sama Mba Ratna waktu masih muda," seloroh Eduard, dokter spesialis THT yang asli Jakarta.
"Mba Ratna siapa sih?"
"Istri dokter Pram."
"Oh, pantesan, dokter Pram sering manggil Kinan ke ruangan."
"Ternyata mengingatkan pada sang istri toh."
"Wah ... wah ... wah ...."
Ia pun berusaha keras untuk menjaga jarak dengan dokter Pram. Namun tak bisa menolak, jika dipanggil secara khusus ke ruangan direktur.
"Kamu udah makan siang belum? Ada tempat makan enak di ...."
Ia berusaha meyakinkan diri sendiri, jika semua yang terjadi adalah wajar dan sangat lumrah. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tidak ada yang perlu ditakuti. Dan tidak ada yang perlu dicemaskan.
Ia berusaha menjadi staf yang patuh terhadap pimpinan. Ia juga berusaha keras membentengi diri, dari bombardir perhatian dan sikap menyenangkan dokter Pram.
Ia adalah wanita dingin, kaku, dan tak berperasaan. Jadi perhatian dari seorang dokter Pramudya Haribawa, bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan. Ia pasti akan bisa melalui semua, dengan sangat normal dan biasa. Tak akan ada hati yang berbicara.
Tapi ia telah salah.
Salah dalam menilai kapasitas diri.
Benar-benar telah melakukan kekeliruan yang teramat fatal.
Sosok dewasa dan kebapakan dokter Pram lambat laun berhasil menyentuh hatinya yang hampa. Berhasil menghangatkan sisi terdalam yang dingin dan sunyi.
Jadi ketika dokter Pram mengatakan, "Kehidupan pernikahan saya sudah berada di ujung tanduk. Kami menjalani kehidupan masing-masing. Tak kurang dan tak lebih."
Ia dengan naifnya langsung berurai air mata. Menangis tersedu-sedu. Di hadapan sosok kebapakan yang teramat didambakannya sejak lama.
Sejak ia mendengar bapak dan ibu saling berteriak di ruang tengah.
Sejak ia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana bapak memukul ibu.
Sejak ia merasa sangat sakit ketika bapak menendang tulang keringnya.
Sejak luka tercipta dan hingga kini terus menggerogoti.
Itulah kali pertama, ia berani membuka diri di hadapan orang lain. Yang sayangnya benar-benar orang lain. Bukan siapa-siapa baginya.
Tanpa rasa canggung, dibeberkannya kisah paling menyakitkan, yang selama ini ia simpan baik-baik.
Diceritakannya seluruh rasa sakit, yang mengungkungnya sejak lama.
Diluapkannya semua amarah, yang membuatnya tertekan.
"I'll always have your back (aku akan selalu ada di belakangmu)."
Menjadi ucapan keramat dari dokter Pram, yang seolah berhasil mengobati luka menganga dalam dirinya.
Ia tahu ini adalah sebuah kesalahan.
Kesalahan terbesar.
Yang akan menghancurkan dirinya, Mas Tama, Reka, bahkan dokter Pram dan keluarganya. Hanya dengan sekali pukulan.
Tapi ia benar-benar tak bisa berbuat apa-apa.
Ia merasa nyaman.
Merasa menemukan dunianya yang telah lama hilang.
Merasa memperoleh apa yang selama ini ia inginkan.
Tak pernah ada pernyataan cinta di antara mereka. Kalimat penuh makna yang mendayu. Atau rayuan nan melenakan.
Hanya sebuah kalimat sederhana, "Panggil saja Mas. Kita bukan orang lain. Kita telah saling mengenal."
Mas Pram berhasil membujuknya untuk menemui seorang psikolog. Namun ternyata belum cukup. Ia diharuskan menemui seorang psikiater. Dan mendapat bantuan terapi melalui obat-obatan. Sebab trauma dan rasa sakitnya benar-benar telah merajalela.
"Everything gonna be ok (semua akan baik-baik saja)," begitu seringkali Mas Pram berusaha menenangkannya.
Ia dan Mas Pram benar-benar menjalani hubungan penuh kenyamanan yang begitu dewasa.
Tak ada sentuhan fisik.
Ya tentu saja, ia masih berada dalam kondisi psikis yang labil. Masih menjalani sederet terapi dan perawatan.
Lagipula ia adalah seorang wanita terhormat. Ia memang sakit, tapi belum gila. Belum.
Dengan Mas Tama yang suaminya sendiri dan gagah perkasa saja ia tak sanggup. Apalagi dengan Mas Pram. Yang notabene termasuk orang asing. Meski secara emosional terasa begitu dekat.
"Kemarin istriku sudah memasukkan gugatan," ucap Mas Pram suatu hari.
Tapi ia hanya bisa tersenyum kecut, "Beri aku waktu."
Apa karena ia masih mencintai Mas Tama?
Hanya kemungkinan kecil.
Karena yang menjadi ketakutan terbesarnya bukanlah kehilangan sosok suami idaman sejuta wanita seperti Mas Tama. Tapi ketakutan dalam mengambil keputusan. Ketakutan bagaimana nanti. Ketakutan tentang apa yang terjadi kemudian.
Tapi kesalahan terbesarnya adalah, tidak berusaha mengomunikasikannya dengan Mas Tama.
Hubungan mereka praktis hanya sebatas soal Reka semata. Tak ada yang lain.
Jalur komunikasinya seakan buntu. Ia bahkan tak bisa menemukan kalimat yang tepat. Untuk sekedar membuka percakapan dengan Mas Tama.
Ia benar-benar merasa ... telah berubah menjadi sosok yang baru. Yang menjadi orang asing, dalam hubungannya dengan Mas Tama.
"Persembahan terbaik ...." Mas Pram memberinya hadiah spesial di momen ulang tahunnya.
Sebuah apartemen mewah dengan unit terbatas. Yang terletak di tengah kota. Tepat berada di atas pusat perbelanjaan kalangan menengah ke atas.
"Kamu bisa melakukan terapi di sana," sambung Mas Pram cepat. Mungkin merasa jika ia akan menolak.
"Biar kamu nggak perlu antre di rumah sakit. Cukup telepon psikolog dan psikiaternya suruh datang."
"Biar kamu cepat pulih."
"Aku tahu kamu akan sembuh."
"Aku tahu."
Predikatnya pasti kini telah bertambah. Dari istri durhaka menjadi wanita yang tak tahu diri. Karena menerima hadiah yang cukup fantastis dari pria lain.
Tapi ia benar-benar membutuhkannya.
Untuk kesembuhannya.
Untuk kelangsungan hidupnya di masa depan.
Tapi seperti sudah menjadi hukum alam. Setiap hal buruk yang coba disembunyikan, pasti akan terkuak jua.
Sore itu ia kembali melakukan terapi di apartemen. Dan baru tuntas ketika waktu telah beranjak malam. Ia benar-benar lelah. Dan memutuskan untuk menginap.
Tak pernah menyangka, jika Mas Pram akan datang mengunjunginya. Langsung dari bandara. Selepas mengikuti WCC (World Congress Cardiologi) di Jenewa, Swiss. Namun sempat transit di Jakarta.
Ia sedang membaca Riley in the morningnya Sandra Brown, sambil berendam di bathtub. Dengan aneka lilin aromaterapi yang menenangkan. Ketika ponselnya berdering. Memberitahu jika Mas Pram telah berdiri di depan pintu apartemen.
Tanpa berpikir panjang. Ia langsung menyambar bathrobe. Dan segera membukakan pintu. Walau sebenarnya Mas Pram bisa masuk sendiri, tanpa harus dibukakan pintu olehnya.
Mereka duduk di ruang tengah. Membicarakan banyak hal menyenangkan. Sembari menyesap teh manis hangat. Sampai lupa waktu. Jika malam telah beranjak pagi.
Ia mulai mengantuk. Menguap berkali-kali. Dan berniat untuk tidur.
Namun ketukan keras di pintu mengubah segalanya.
Mas Pram yang membukakan pintu.
Dan ia terkejut setengah mati. Demi mendapati dua orang petugas reserse berpakaian sipil. Telah berdiri di depan pintu apartemen. Dan beberapa petugas lainnya terlihat lalu lalang. Keluar masuk ke unit apartemen sebelah.
Ia tahu, jika masa penghakiman telah tiba.
---------
Para reserse itu sudah pergi. Setelah berpesan, jika kesaksian mereka berdua sangat dibutuhkan dalam proses penyelidikan.
Ia dan Mas Pram menyanggupi.
Kini, ia tengah merawat luka akibat hantaman keras Mas Tama. Yang berhasil membuat hidung Mas Pram hampir patah.
"Aku harus temui Tama," gumam Mas Pram dengan wajah memerah sebab amarah.
Tapi ia menggeleng, "Nggak usah. Biar aku saja."
"Akan segera kuselesaikan urusan dengan Mas Tama," sambungnya cepat.
***
Keterangan :
Niroga. : bebas dari penyakit (bahasa Sansekerta)
Dangerous Liaisons adalah judul dari sebuah film produksi Hollywood tahun 1988. Yang dibintangi oleh John Malkovic dan Michelle Pfeiffer.
Dangerous Liaisons juga merupakan judul dari sebuah film produksi Tiongkok tahun 2012. Dibintangi oleh Zhang Ziyi, Cecilia Cheung, dan Jang Dong Gun.
Yang diadaptasi dari novel berjudul Les Liaisons Dangereuses karya Pierre Choderloss de Laclos.
Dangerous Liaisons di bab ini, tidak ada kaitannya dengan tiga hal di atas. Hanya mengambilnya sebagai judul bab. Sebab makna tersirat yang tepat dengan isi cerita Renjana Senja Kala.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
dyul
aneh ya bahasa si kinan
masa penghakiman tiba....
iya deh... si paling mental healt
2024-12-26
0
dyul
perempuan gak berhati
kl merasa gak mau knp gak nolak
kl merasa gak di cinta
knp gak cerai.....
2024-12-26
1
💐Tari Nyonya Sibuea💐
in lah pelakor si flying fictim 😅😅
2025-01-10
0