What You See, What I Feel
(Yang kau lihat, yang kurasakan)
***
Surabaya
Kinanti
Sepuluh hari telah berlalu. Sejak ia pulang ke rumah, dan mengambil barang-barang miliknya.
Ia bahkan sengaja menandai setiap harinya. Dengan cara mencoret kalender duduk, yang tersimpan di atas meja praktek. Semata-mata agar ia tak melewati batas waktu. Dalam menyelesaikan masalah di antara dirinya dan Mas Tama.
Dan selama rentang waktu itu pula, Mas Tama tak pernah berusaha untuk menghubungi atau menemuinya.
Ia pernah mencoba menelepon Mas Tama. Karena ingin semua menjadi terang benderang. Namun tak sempat terhubung. Sepertinya karena ponsel pribadi Mas Tama benar-benar dimatikan, selama menangani kasus kematian sang konglomerat.
Sementara untuk menghubungi nomor dinas milik Mas Tama, ia tak memiliki nyali yang cukup.
Padahal dua hari lagi, Reka berulang tahun. Namun jarak yang terlanjur membentang di antara mereka, benar-benar telah menggerus seluruh keberaniannya hingga tak bersisa.
Terlebih sejak ia mendapati cincin kawin Mas Tama, yang tersimpan di atas nakas. Seolah menjadi pertanda, jika Mas Tama telah melepaskannya. Tak ada lagi yang tertinggal di antara mereka berdua. Sudah cukup sampai di sini.
Tapi, apakah ia merasa lega?
Tidak.
Dadanya justru terasa kian sesak. Dihimpit oleh perasaan bersalah yang menggunung.
Mengapa harus merasa bersalah?
Entahlah. Ia sendiri tak tahu.
Yang jelas, Mas Tama bukan tipikal suami bertabiat buruk yang wajib dihempaskan. Terhitung sejak mereka menikah, Mas Tama tak pernah memakinya. Tak pernah berkata kasar padanya ataupun Reka.
Mas Tama juga bertanggung jawab penuh terhadap kehidupan mereka berdua, dirinya dan Reka.
Mas Tama bahkan masih rutin mentransfer sejumlah rupiah tertentu untuk ibunya, juga Miko.
Tapi kehidupan pernikahan bukan melulu soal tanggung jawab dan limpahan materi berlebih. Ada hati dan perasaan yang juga berperan di sana. Tentang cinta, pengertian, saling.
Dan keengganan dirinya juga Mas Tama untuk menyelesaikan masalah secara tuntas, benar-benar menjadi boomerang paling mengerikan. Menjadi bom waktu yang akhirnya meledak, ketika Mas Tama memergokinya tengah berada di apartemen bersama Mas Pram.
Jadi, tatkala sosok Mas Tama tiba-tiba muncul di hari ulang tahun Reka. Ia benar-benar tersudutkan. Tak ada lagi emergency exit (pintu keluar darurat) yang tersisa. Ia harus berani menghadapi, walau pahit dan menyedihkan.
"Selamat ulang tahun, Reka."
Ia hanya bisa tertegun, melihat Mas Tama mengulurkan kado berbentuk kotak yang cukup besar kepada Reka.
"Makasih," jawab Reka datar.
"Semoga panjang umur, jadi anak yang berbakti ...." gumam Mas Tama seraya merentangkan kedua tangan.
Tapi Reka hanya diam mematung. Sama sekali tak memberi sambutan.
Membuatnya mengambil alih situasi dengan tersenyum kaku, "Terima kasih, Ayah. Terima kasih."
Mas Tama sempat memandangnya dengan mata terluka. Namun sejurus kemudian, Mas Tama telah berseloroh ke arah Reka, "Coba ... buka kadonya."
Reka sempat menoleh ke arahnya meminta persetujuan.
Dan begitu ia mengangguk, Reka pun mulai membuka kado dari Mas Tama.
"Wah!" hampir semua orang yang berada di ruang tengah bertepuk tangan, ketika mendapati isi kado yang dibawa oleh Mas Tama.
Tapi Reka justru memasang wajah masam seraya bergumam, "Aku punya dua dong."
Sontak berhasil membuat wajah sumringah Mas Tama berubah menjadi kelabu, "Kamu udah punya PS5?"
Reka menatapnya tak percaya. Lalu berujar dengan ketus ke arah Mas Tama, "Ayah emang nggak tahu apa-apa tentang Reka."
---------
Ia meletakkan secangkir kopi ke atas meja.
Merk kopi instant favorit kesukaan Mas Tama. Diseduh dengan air mendidih yang baru matang. Bukan air dari dispenser.
Diaduk sebanyak 30 kali memutar ke arah kanan. Agar terseduh sempurna dan tercampur rata. Begitu kebiasaannya dulu. Dulu sekali. Entah sudah berapa lama berlalu. Ia bahkan sudah lupa. Kapan kali terakhir membuatkan kopi untuk Mas Tama.
Tapi hampir lima menit berlalu, sejak ia meletakkan secangkir kopi ke atas meja. Suasana masih saja sunyi. Hanya sesekali terdengar sayup-sayup suara obrolan dan gelak tawa, yang berasal dari ruang tengah.
Selebihnya hanya bisa berdiam diri. Sembari memperhatikan Mas Tama yang sibuk merokok. Dengan memasang wajah kaku.
"Mas masih merokok?" ia berusaha mencairkan keadaan.
Mas Tama tertawa kecil. Terdengar sinis. Lalu bergumam langsung pada intinya, "Dia berani datang ke rumah ini?"
Sudah pasti Mas Tama akan membahas keberadaan Mas Pram di rumahnya. Tepat di hari ulang tahun Reka.
"Aku nggak bisa menolak tamu," jawabnya mencoba berdiplomasi.
Membuat Mas Tama kembali tertawa. Dan kali ini terdengar lebih sinis lagi.
"Dia yang ngasih Reka PS5?"
Ia menggeleng, "Reka beli sendiri. Pakai uang bulanan dari Mas."
Suasana di teras belakang kembali hening. Ia masih mereka-reka kalimat yang tepat. Sementara Mas Tama sibuk mengepulkan asap putih ke udara.
"Gimana perkembangan kasus terbunuhnya kongl ...."
"Ayolah, Kinan," Mas Tama memotong kalimatnya dengan cepat. "Kita mulai saja."
Ia menelan ludah yang terasa pahit, "Mulai dari mana?"
Mas Tama kembali tertawa sumbang, "Terserah."
Ia memijat pangkal hidung yang mendadak terasa pegal. Sementara suara canda tawa masih saja terdengar dari arah ruang tengah.
"Aku percaya dengan apa yang kulihat," gumaman sinis Mas Tama justru membuatnya siap untuk meledak.
"Apa Mas pernah mengerti apa yang kurasakan?"
"Oh, come on (ayolah) ...." Mas Tama menggelengkan kepala. "Kamu mau A, aku ikuti. Kamu mau B, aku oke. Kamu mau C, silakan!"
"Kita nggak pernah benar-benar bicara tentang alasan mengapa aku memilih A, B, dan C," sahutnya dengan perasaan marah.
"Masalahnya apa, Kinan?" suara Mas Tama tiba-tiba meninggi.
Detik itu juga, deraian air matanya lolos tak tertahankan.
"Mas cinta sama aku?" tanyanya sambil menahan isakan.
Mas Tama menatapnya tak mengerti.
"Mas sayang sama aku?" tanyanya lagi sembari menantang tatapan Mas Tama.
"Hal basic kayak gini kamu tany ...."
"Justru karena hal basic makanya harus diungkapkan!" ucapnya setengah menjerit.
"Aku yang salah?" Mas Tama justru menatapnya tajam.
"Oke," sambung Mas Tama cepat. Seraya mengangkat kedua tangan ke depan dada. "Aku salah. Aku minta maaf."
Ia menyusut hidung dan sudut mata dengan gerakan cepat. Kemudian menghela napas panjang. Hingga dada terhimpitnya terasa kian sesak.
"Aku nggak bisa ngertiin apa mau kamu," ucap Mas Tama sambil menggerus rokok ke dalam asbak.
"Mungkin Om-om itu bisa lebih ngertiin kamu," lanjut Mas Tama, sambil menunjuk ke arah ruang tengah dengan rahang mengeras.
Membuat air matanya hampir berderai lagi.
"Aku nyerah," Mas Tama menatapnya dengan penuh penyesalan.
"Yang penting kamu dan Reka baik-baik aja," sambung Mas Tama seraya menatapnya lekat-lekat.
"Jadi ... siapa yang maju. Kamu ... atau aku?"
Ia mengernyit mendengar pertanyaan Mas Tama, "Maju?"
"Yang mau menggugat cerai siapa, kamu atau aku?"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
dyul
iya.... kudu tegas...
minta a dituruti, minta b di kasih minta c jadi ngelunjak
hari gini nanyain cinta, kemarin kemana aja?.... laki2 jarang bisa ngomong cinta, mereka nunjukin aksi
kayaknya bu dokter kebanyakan baca novel, kesel kan....dari dulu kesel, baru komen sekarang😉😉😉😉
2024-12-26
1
Jong Nyuk Tjen
good job mas tama , msh bnyk perempuan lain yg baik2 n siap jd istri yg ga egois
2025-01-17
1
dyul
kamu yg gak bersyukur....
kl kamu niat pertahanin
pasti kamu konseling... tanpa di minta, sebelum merasa tersakiti
dokter tapi aneh....
2024-12-26
1