TDSOL- BAB 16

Evan menatap layar ponselnya malas, nama yang tertera di sana membuat Evan ingin melempar benda itu hingga hancur.

"Ada apa?" Sahut Evan ketus ketika memilih mengangkat panggilan itu.

"Tenang lah, tidak usah marah begitu. Aku hanya ingin menyampaikan pesan dari ayahmu."

"Cih, jangan sebut setan tua itu ayah di hadapan ku. Dia lebih pantas di sebut iblis" Geram Evan dengan manik hazelnya yang terus memperhatikan Jasmine dari kejauhan.

"Jika ayahmu itu iblis, lalu kau apa? Darah ayahmu mengalir di tubuhmu. Kau juga iblis Evan."

"Diam kau! Cepat katakan apa tujuanmu, sebelum aku merobek mulut mu itu." Evan mengepalkan tangannya kuat, menjijikkan sekali mengetahui fakta bahwa darah iblis itu mengalir di tubuhnya.

"Ayahmu memintamu untuk kembali ke rumah"

"Tidak akan!" Sahut Evan cepat. "Katakan pada setan tua itu untuk jangan mencampuri urusan ku."

Sungut Evan kesal dan segera mematikan panggilan tersebut.

***

Jasmine mengedarkan pandangannya mencari keberadaan pria itu, untuk apa Evan menyuruh-nya menunggu di parkiran. Tidak taukah di luar sangat dingin.

Berkali-kali Jasmine mengusap telapak tangannya yang mulai terasa membeku. Hingga sesuatu yang hangat terasa menyentuh bahunya.

"Evan, kau menganggetkan ku." Pekik Jasmine, dan pria itu hanya tersenyum sambil memeluk tubuh Jasmine dari belakang "i'm sorry baby"

"Kenapa kau lama sekali?"

"Ada sedikit gangguan saat aku ingin menyusul mu" Evan menuntun Jasmine masuk ke dalam mobilnya. "Masuklah, di luar sangat dingin."

"Sudah tau dingin tapi kau menyuruhku menunggu di luar"

"Agar aku bisa terus mengawasi mu."

Evan menutup pintu mobil itu setelah Jasmine duduk manis dengan seatbelt yang sudah terpasang di tubuh gadis itu.

Dan berputar ke sisi satunya, duduk di kursi kemudi. Mobil hitam itu melaju meninggalkan pelataran gedung restauran dengan kecepatan sedang.

Belum jauh mobil itu melesat, Evan kembali menepikan mobilnya di depan sebuah toko roti. Evan berniat membeli sesuatu untuk Jasmine disana. Mengingat nafsu makan wanita itu yang terlalu besar membuat Evan ingin menyetok makanan di rumah.

Namun, ada obyek lain yang menarik perhatiannya selain toko roti itu, yaitu seorang wanita berbadan gempal dengan pakaian yang sedikit mengetat. Sungguh tidak pas, dan itu membuat jiwa membunuhnya bangkit. Rasanya Evan ingin membatu wanita itu untuk menyelesaikan permasalahannya.

"Kenapa berhenti?" Jasmine menoleh ke samping, dimana Evan sedang melamun. Ah, tidak! Lebih tepatnya sedang menatap seseorang secara intens.

"Kau tunggu disini saja" Evan membuka seatbelt-nya hendak keluar, namun Jasmine menahan tangan Evan.

"Kau mau kemana?"

Evan menoleh sekilas ke arah Jasmine, dan kembali melirik ke arah wanita gempal itu. Kemudian Evan menghela nafas berat, ia bingung harus menjawab apa.

"Aku mau membeli roti." Katanya pelan.

"kau yakin hanya membeli roti?" Jasmine mencium bau bau kebohongan, ia nampak curiga dengan arah pandang Evan pada wanita yang bertubuh gempal itu.

Evan menghela nafas pasrah "baiklah, aku ingin membunuh seseorang."

"What? Are you crazy?! Ini tidak lucu Evan."

"Tapi aku ingin." Pinta Evan dengan nada memelas.

Jasmine berdesis menahan kesal, ia pikir pria di depannya ini sudah insyaf setelah menyatakan cinta padanya. Tapi, nyatanya... Malah makin gila.

"Tidak, aku tidak mengijinkan mu membunuh lagi."

Jasmine berucap tegas dengan sorot mata tajam, hingga membuat Evan bingung. Sisi gelapnya sangat ingin membunuh, tapi ia tidak mau mengecewakan wanita itu.

"Coba kau lihat wanita yang memakai baju merah itu?" Evan menunjuk ke arah wanita yang di maksud, lalu melirik ke arah Jasmine meminta pendapat.

"Ya, lalu kenapa?" Jasmine mengerutkan dahinya bingung.

"Aku ingin membantunya mengecilkan badan" kata Evan berusaha sehalus mungkin mengungkapkan niatnya pada Jasmine.

"Dengan cara apa?" Jasmine menatap manik hazel Evan dengan tatapan menyelidik.

"Memotong tubuhnya menjadi beberapa bagian. Aku kasihan melihat wanita itu memakai baju agak kesempitan." Kata Evan dengan nada polos.

F*CK!

"Kau..." Jasmine menarik jaket di bagian leher yang di kenakan Evan, agar pria itu mendekat dan bertukar posisi.

"Biar aku yang menyetir, kita pulang sekarang." Jasmine sudah menarik paksa Evan yang sedikit menolak. Namun akhirnya mereka sudah berpindah tempat, dengan Jasmine menduduki kursi kemudi.

"Tapi aku mau membantunya sayang, itu sebuah kebaikan bukan?" Rengek Evan seperti anak kecil yang tidak di beri mainan oleh sang ibu.

"Dengan cara memutilasi tubuh wanita itu?!" Jasmine bertanya dengan nada tidak percaya dengan kata katanya barusan.

Oh my God, ia bisa ketularan gila lama lama.

Evan menganggukkan kepala mantap. Dan Jasmine kembali berceramah. "Itu bukan kebaikan. Jika kau mau kebaikan maka duduk diam lah di sana maka semua akan baik baik saja."

Evan menatap korbannya dengan raut kecewa, mata hazel-nya menandakan sebuah kesedihan karena tidak bisa membantu wanita gemuk itu. Padahal ia sudah berniat baik, agar wanita itu tidak tersiksa lagi dengan baju kesempitan-nya.

Jasmine memajukan mobil Evan dengan segera, meninggalkan bangunan itu bersama wanita incaran Evan atau lebih tepatnya target untuk di bunuh. 

Korban ku...

Kurang lebih begitu isi hati Evan, setelah mobil yang di naikinya melesat jauh meninggalkan calon korban yang empuk baginya.

***

"Bagaimana?" Tanya seseorang di balik kursi kebesarannya, sambil mengisap rokok di tangannya.

"Dia menolak" sahut Joe, pria yang tadi menghubungi Evan.

Benedict tersenyum samar, "dasar keras kepala"

"Dia punya pendirian yang kuat" kata Joe.

"Dari dulu dia memang lebih tangguh dari yang lain. Dan, aku ingin dia kembali ke rumah."

Joe mengangguk setuju,

"Yah, Evan yang terbaik. Bahkan pria itu membunuh dengan rapih tanpa meninggalkan jejak."

"Kau sudah mengurus semua mayatnya?"

"Sudah, dan pihak kepolisian menganggap mereka korban perampokan." Senyum licik terukir di sudut bibir Joe.

"Kerja bagus" Benjamin meletakan rokok itu ke wadah yang sudah di siapkan oleh Joe.

"Kau tau siapa wanita yang bersama dengan putra ku?" Benedict berdiri dari kursi kebesarannya, berjalan ke arah jendela kaca yang menampilkan pemandangan kota Valencia yang gemerlap dengan lampu kecil bertebaran bak lukisan.

"Dia pegawai di sebuah coffe shop di tengah kota, dan seorang mahasiswi dengan jalur beasiswa di universitas terbaik." Jelas Joe pada pria itu.

Benedict tersenyum meremeh, ternyata Evan menunjukkan kelemahan-nya tanpa di sadari.

"Katakan pada Evan, kembali kerumah, atau ku habisi wanitanya."

Joe menganggukan kepala, kemudian pergi dari ruangan itu.

Tidak ayah, tidak anak sama saja. Seenaknya menghabisi nyawa orang seperti mainan.

Dasar keluarga gila!

Joe melangkahkan kakinya melewati lorong gedung itu, dan mencari cara untuk menemui gadis itu lebih dulu tanpa sepengetahuan Evan.

🍁🍁🍁

to be continued...

Terpopuler

Comments

VS

VS

pantess, ayahnya iblis, anaknya malaikat pencabut nyawa

2021-12-13

1

Wulhan Agustyna Ismail

Wulhan Agustyna Ismail

Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya kecuali di bawa kelelawar 😃

2021-11-14

1

" Ira_W "

" Ira_W "

Evan ganteng kalo mau berbuat baik tu u kasih dia duit buat bli baju yg di nyaman atau yg pas sama ukuran dia jgn di bikin metong Mulu astagah Evan kalo buat Baek extrim yeeee

2021-11-01

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!