"Amora belum pulang?" tanya Anggara d meja makan, hanya dirinya dan sang menantu, Dina di sana, sebab Rahardian sedang pergi ke luar kota untuk beberapa hari, sedang Amora semakin jarang ikut serta makan malam bersamanya.
"Belum, Pak. Tadi sih ngabarin katanya emang pulang telat," jawab Dina sambil menyendok nasi dan lauk untuk mertuanya. "Mau pake sayur?"
"Sayur apa?"
"Sup ayam kampung," jawab Dina.
"Boleh, tapi jangan terlalu banyak!"
Semenjak kepergian Ibu mertuanya, lima tahun silam, Dina berusaha menjadi menantu lebih baik lagi dari sebelum kepergian sang ibu mertua, dia yang kini menyiapkan semua keperluan Anggara seperti yang dulu ibu mertuanya lakukan, dari mulai pakaian, menyiapkan makan, bahkan kadang Dina menemani bapak mertuanya itu untuk jalan-jalan pagi di sekitar perumahan tempat mereka tinggal. Karena jika bukan dia siapa lagi?
Suaminya?
Heh, bahkan mereka berdua sangat jarang sekali mengobrol seperti anak dan bapak, karena seringnya hanya perdebatan yang keduanya lakukan.
Jika masih ada Kimy di rumah mereka, mungkin Kimy lah yang akan bergantian dengannya, namun kini, Kimy si bungsu sudah berpisah rumah dengan mereka.
"Apa Ara keluar bersama teman Satria itu? Siapa itu namanya? Bapak lupa." Anggara mengingat-ingat nama Thomas, karena selama ini beliau memang jarang sekali berkomunikasi dengan pria berwajah Timur Tengah itu.
"Thomas, Pak."
"Ah, iya. Dia. Apa dia keluar bersama pria itu?" selidik Anggara. Meskipun Anggara jarang mengobrol dengan Thomas, tapi dia tahu ada rasa yang Thomas miliki kepada cucu pertamanya.
"Dia gak cerita sih." Dina sedikit terkejut mendengar ucapan mertuanya. "Kok Bapak bisa ngira Amora jalan sama Nak Tom-Tom?"
Apa mertuanya kembali menyuruh orang untuk memata-matai Thomas dan putrinya, seperti yang dia lakukan pada Satria dulu?
"Bahkan cuma dengan melihat sekilas pun, semua orang juga tahu kalau mereka saling suka." Sambil menyeruput kuah sayur dari mangkuknya.
"Tapi si Ayah gak sadar loh, Pak." Dina memberitahu perihal suaminya yang terlihat tak sedikitpun membahas tentang Thomas dan Amora.
"Dia mana peka pada hal yang begitu? Dulu saja kalau bukan kamu yang terus deketin dia, dia mana sadar akan perasaannya sendiri? Apalagi perasaan orang lain." Anggara mengingatkan masa-masa saat Dina mulai pendekatan dengan Rahardian, putranya.
"Gak, Pak. Gak begitu. Dulu emang aku sama si Ayah itu satu organisasi di kampus, jadi—"
"Jadi kamu nyari kesempatan untuk deketin suami kamu yang kayak batu itu!" Anggara tak memberi kesempatan menantunya mengelak. "Naksir sama kok sama Batu, aneh kamu tuh."
"Biar Batu juga tetep ganteng, Pak."
"Saking gantengnya mukanya Batu sampe kamu terus deketin dia."
"Orang kayak gitu kalau gak bisa dikodein emang harus dipepetin." Akhirnya Dina mengaku juga dan itu berhasil membuat Anggara terkekeh karena memenangkan perdebatan dengan wanita yang kini memiliki jabatan tertinggi di rumahnya.
Perjuangan Dina hingga bisa bersama Rahardian seperti sekarang ini adalah masa-masa yang cukup sulit baginya, Rahardian yang kaku, cuek dan tak pernah peka terhadap sinyal yang Dina berikan membuatnya harus ektra lebih getol lagi saat mendekati suaminya dulu. Dan perjuangan Dina kembali diuji saat dirinya harus membangkitkan semangat suaminya saat Rahardian berada dalam keterpurukan, hingga sempat mengalami depresi yang cukup berat. Namun di saat itulah Rahardian baru menyadari keberadaannya di hatinya.
"Bilang pada mereka, jika sudah saling cinta, jangan menunggu waktu lama. Cepat halalkan hubungan mereka!" Anggara memulai topik pembicaraan yang cukup serius. "Mereka sudah dewasa, jangan pernah menunda-nunda untuk kebaikan. Kita juga sebagai orang tua harusnya menasehati keduanya, jangan sampai mereka menikah karena terpaksa harus menikah. Mengerti kan maksud Bapak?" tegas pria paruh baya itu.
Dina mendesah, pasalnya sebelum Anggara mengatakan itu pun Dina sudah lebih dahulu menasehati sang putri. Namun Amora yang masih memiliki ketakutan akan sebuah perpisahan yang pernah ia alami, masih belum bisa menerima keberadaan Thomas untuk menjadi suaminya.
"Amora masih belum bisa nerima Nak Tom-Tom sebagai suami, dia masih trauma." Dina menjelaskan perlahan.
"Kalau begitu, jangan beri harapan kepada pria itu. Kalau dirinya sendiri pun masih belum bisa untuk menjalani sebuah komitmen rumah tangga, kenapa sekarang dia bisa menerima Thomas sebagai kekasihnya?" desak Anggara. "Ara bukan trauma. Tapi dia hanya belum menyadari isi hatinya, seperti suami kamu dulu. Kalau memang dia masih trauma, tak mungkin dia mau membuka hatinya untuk pria lain," jelas Anggara, dan hal itu membuat mata hati Dina terbuka lebar.
Tak ada yang salah dari perkataan mertuanya tadi, Amora mungkin memang hanya belum menyadari apa yang ia inginkan.
...--------------------------------...
...----------------...
Jam dinding di ruang tengah sudah menunjukkan pukul 22.20 saat pintu depan terbuka. Siapa lagi pelakunya jika bukan Amora.
Gadis itu terlihat sangat cantik dan anggun dalam balutan gaun putih dan sepatu balet dengan warna putih yang senada dengan gaun yang ia kenakan.
"Darimana?" tegur Dina saat putrinya akan menaiki anak tangga, sepertinya Amora tak menyadari keberadaan dirinya di sana.
Wajah Amora terlihat terkejut melihat sang ibu sedang duduk di ruang televisi, tanpa menyalakan televisi. Jadi sedang apa dia di sana?
Menunggunya pulang?
Sepertinya tak mungkin, sudah lama Dina tak melakukan hal itu kepada dirinya, lebih tepatnya saat dia mulai bekerja di perusahaan keluarganya Dina sudah tak pernah lagi menunggunya pulang.
"Aku dari—" Gugup.
"Kencan?"
Wajah Amora langsung mendongak mendengar perkataan Dina. "Itu— tadi sebenernya aku—" Semakin gugup.
"Jalan sama Nak Tom-Tom, kan?" terkanya lagi.
Makin gerogi saja Amora melihat tatapan sang ibu dengan wajah datar, tak terlihat emosi apapun yang bisa Amora baca dari tatapan ibunya.
"Sini. Ibu mau ngobrol sama kamu!" Dina menepuk-nepuk sofa di sebelahnya.
Dengan detak jantung yang semakin tak beraturan, Amora mendekati sang ibu. Kemudian duduk di tempat yang Dina perintahkan.
Amora yang memang cerdas tahu akan berjalan kemana topik pembicaraan yang akan Dina bahas. Pasti ibunya akan mengorek lebih jauh hubungan dirinya dengan Thomas. Seperti biasa yang selalu ibunya lakukan jika dia sedang dekat dengan seorang laki-laki.
"Ibu mau teh?" Amora yang gugup berusaha mengalihkan pembicaraan, sejenak.
"Suruh Thomas temuin Ayah, lusa! Lamar kamu, atau pisah!" Meski pilihan dari Dina terdengar terlalu dramatis, tapi yang ia sebenarnya inginkan adalah melihat seberapa dalam Thomas telah menguasai hati sang putri.
"Buuuuu!" Amora membelakak, dia begitu terkejut dengan pilihan yang Dina berikan kepadanya.
Menikah atau berpisah?
Hah, keduanya sangat sulit untuk Amora pilih.
"Bu, Ibu tau kan kalau aku masih belum siap untuk menikah? Jadi—"
"Tinggalin Nak Tom-Tom!" Masih dengan nada datar, masih tanpa ekpresi.
"Ini gak mudah buat aku dan Thomas." Amora mengepalkan tangan, berusaha menahan emosinya agar tidak berbicara dengan nada tinggi kepada wanita yang begitu ia sayang.
"Kalau begitu, menikahlah!"
Mengapa semua orang seperti memojokkan dirinya seperti ini?
Mereka seolah menghakimi dan menyalahkan hubungan yang terjadi antara dirinya dan Thomas.
Hidung Amora terlihat merah, dengan mata berkaca-kaca. "Kenapa? Apa alasan kalian terus memaksa aku menikah?" Tenggorokannya begitu sakit saat harus mengeluarkan kata-katanya.
Dina menghela napas. "Pertama, kalian berdua adalah dua orang yang telah dewasa, yang sudah sangat cukup umur untuk membina rumah tangga. Kedua kalian saling mencintai, dan pastinya saling membutuhkan, juga saling menginginkan satu sama lain. Apa kamu bisa menjamin bahwa kalian tetap berada di satu jarak aman? Apa kamu bisa memastikan bahwa tak akan ada hal-hal yang tak seharusnya terjadi di antara kalian?" Kali ini suara Dina sedikit naik, ada emosi yang tersirat di dalamnya.
Amora terdiam, karena dia sendiripun tak bisa memastikan semua yang ibunya takutkan. Hari pertama saat Thomas memeluknya saja Amora malah menikmati pelukan mereka, dan tadi saat dengan sengaja Thomas mengecup pipinya, bukan kesal apalagi marah yang Amora rasa, namun dia hanya bisa terpaku dengan apa yang pria itu lakukan. Lalu bagaimana jika Thomas bertindak lebih jauh lagi?
Apa dirinya bisa menolak perlakuan Thomas yang sejujurnya dirinya pun menginginkannya?
Jadi apa benar menikah adalah hal yang terbaik bagi dirinya dan Thomas?
...Jangan lupa dukungannya!!! 😉...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
putri
sangat tepat onty dan onta kalo nikah 🤭
2024-04-19
0
Novi Wulandari
kawal terus onta dan ontie ke pintu KUA 👍👍👍
2023-08-23
1
Dende Kesie
benar sekali Ra...
2023-07-12
0