Dada Thomas bergemuruh mendengar ucapan pria bernama Tama itu.
Apa katanya barusan? Apa Thomas tak salah dengar jika pria itu akan mengundangnya di pesta pernikahannya nanti?
Itu tak akan mungkin terjadi, Junaedi! batin Thomas
Enak saja Tama akan menikung wanita yang telah dia incar sejak Amora masih menyandang status istri Andre, meski saat itu Thomas hubungan Amora dan mantan suami memang sudah di ujung tanduk.
Lama menunggu hari ketuk palu tiba, dan dengan menyedihkannya Thomas dengan telaten menghitung masa iddah janda muda itu, bagaimana bisa dia membiarkan wanita yang sudah dia cap sebagai calon makmumnya itu akan menikah dengan pria lain.
"Maksudnya nikah? Nikah sama siapa?" tanya Thomas yang penasaran.
"Sama siapa lagi?" Tama menggantung ucapannya. "Ayo, Ra! Kita ke depan lagi. Orang lain aja ngeluangin waktu mereka untuk do'ain Kimy and babynya, masa kita di sini?"
Kita? Heh elu aja kali, Kampreto!
"Gak enak juga sama tamu yang lain, kalau gak liat kita sebagai orang terdekat mereka ada di sana," ajak Tama, dengan setengah memaksa.
Orang terdekat katanya?
Thomas murka. Enak saja Tama mencap dirinya orang terdekat dari sepasang calon orang tua itu, dia tidak tahu saja bahwa Thomas berkontribusi besar atas terbentuknya si cabang bayi yang kini sudah bersemayam di perut istri sahabatnya itu.
Masih jelas di ingatan Thomas bagaimana terburuknya Satria dulu karena ancaman Rahardian yang begitu membenci sahabatnya itu, hingga melarang Satria menyentuh istrinya dulu, dan jika bukan karena Thomas yang membawa tubuh mabuk Satria pulang ke rumah mereka, dan menjelaskan semua yang terjadi kepada Kimy, mungkin kedua orang itu sudah menyandang gelar Janda dan Duda.
Dan apa barusan yang Tama bilang?
Dia adalah orang terdekat dari mereka?
Sontoloyo!
Jika saja menggantung manusia bukan perbuatan jahat, mungkin sudah Thomas lakukan sejak ia melihat Tama di restoran dulu.
"Come on, Ra!" Tama mengulurkan tangannya kepada Amora.
Dengan kecepatan cahaya, sebelum Amora meraih uluran tangan Tama, Thomas lebih dulu meraihnya.
"Thomas!" ucap Thomas seperti sedang memperkenalkan diri.
Tama tak bisa menyembunyikan keterkejutannya atas apa yang Thomas lakukan, matanya bahkan membelalak karena tiba-tiba saja uluran tangannya di raih Thomas.
"Kita belum kenalan bukan. Saya Thomas. Sohib si Embek?" cengirnya.
"Heh?"
"Maksudnya, Satria. Kita temenan semenjak SMP, jadi bisa dibilang, kalau saya juga sangat dekat sama mereka. Bukan kamu doang!" Kalimat terakhir terdengar penuh sindiran.
"Oh. Iya, iya. Okey." Tama salah tingkah karena Thomas tak kunjung melepaskan tangannya.
"Yuk, Ra!" ajak Thomas dan tanpa meminta persetujuan Amora, dia menggenggam erat pergelangan kecil tangan Amora.
Yuk, calon bojo, Mas mu akan jagain kamu, dari para Sultan Keremi, kayak gini.
Acara pengajian dan doa untuk sang calon ibu dan bayi berlangsung khidmat, bahkan ada tangis haru saat mendengarkan doa tulus yang terlantun dari mulut calon Eyang Buyut, kala mendoakan cucu tercintanya itu beserta calon cucu buyut yang ada dalam kandungan Kimy.
•
•
•
•
•
•
Acara syukuran telah usai sejak dua jam lalu, hari hampir menuju tengah malam saat itu, dan Thomas dengan rasa penasarannya yang teramat besar, tentang keingintahuannya terhadap hubungan apa yang terjalin antara Tama dan Amora, membuatnya menjadi tamu terakhir yang ada di kediaman Anggara.
Bahkan Gery yang satu jam lalu mengajak sambil setengah memaksanya pulang, tak digubris oleh Thomas.
Pantang pulang sebelum tahu kejelasan atas hubungan calon makmumnya dengan pria yang malas ia sebut namanya itu.
"Elu mau nginep, Ta?" tanya Satria sambil memindahkan sofa dibantu dirinya.
"Gue gak mau mati penasaran. Ada yang meski gue tanya ke elu, Mbek!" Sambil menggeser sedikit posisi sofa yang sedikit miring.
"Emang elu mau mati dalam waktu dekat ini?" tanya Satria asal. Pria yang sedang menggulung karpet itu seperti tak melihat api biru yang sedang berkobar di dada sahabatnya.
"Amit-amit, amit-amit!" Thomas mengetuk-ngetuk kening Satria, membuat si pemiliknya marah.
"Elu amit-amit ke kepala gue, mau gue bikin elu gak punya kepala?"
"Makanya bacot lu dijaga, jangan asal ngomong aja tuh mulut!"
"Lah, pan gue cuma tanya, abis elu bilang elu gak mau mati penasaran, kan tadi!" Satria meninggikan suaranya, karena tak terima mendapatkan makian dari sahabatnya.
"Ya, tapi jangan bilang gitu juga, enak aja lu maen mati-mati aja, sedangkan Dedek Ara belum gue bayar tunai," cicit Thomas karena masih ada Rahardian dan Papa Satria yang juga sedang menggulung karpet-karpet besar yang tadi di gelar untuk acara.
"Gak sudi gue punya kakak ipar elu."
"Tapi gue ikhlas ridho nerima lu jadi adek ipar gue!" balas Thomas.
"Nangis kejer bini gue kalo elu sampe jadi kakak iparnya!" Satria tak mau kalah.
"Cinta ditolak dukun bertindak, gue gak mau ada yang menghalangi hubungan gue sama Dek Ara."
"Sejak kapan si Amora, jadi adek angkat elu!"
"Bukan adek angkat, pea!" Thomas mendorong kening pria yang juga atasannya di kantor, tanpa rasa berdosa. "Bae-bae aja lu sama gue kalau gak mau gue dukunin!" acam Thomas.
"Mana mungkin cewek kayak Amora naksir elu. Percaya diri itu boleh, tapi kalau overdosis, bikin orang mual."
"Sekali-kali ngapa Mbek, elu dukung gue!" bentak Thomas membuat Rahardian dan Edwin yang masih sedang melipat karpet melirik ke arah mereka.
"Kalian tuh udah pada tua aja becandanya kayak pada masih bocah! Inget umur! Udah pada tua!" Edwin menekankan pada kata tua. "Dari dulu gak ada akurnya!"
"Mereka temenan sejak kecil?" tanya Rahardian sambil meletakkan gulungan karpet di sudut ruangan.
"Dari SMP kalau gak salah," jawab Edwin sambil mengingat-ingat.
"Tapi tuaan Thomas setaun, dia ga naek kelas waktu SMP soalnya, makanya kita bisa sekelas," sindir Satria, karena memang itu kenyataannya.
"Heh, gue bukan gak naek kelas, tapi syarat gue diterima di sekolah itu, emang harus ngulang ke kelas satu lagi! Lagian juga pelajaran di sini sama di London tuh jauh beda, gak nyambung lah kalau gue tetep lanjut di kelas 2."
Thomas memang lahir dan besar hingga usia remaja di London, namun saat kedua orang tuanya memutuskan bercerai, ibunya yang asli Indonesia memilih kembali ke tanah air, dengan membawa Thomas dan kedua adiknya.
Maka dari itu saat pindah ke Indonesia, dia masih kurang fasih berbahasa Indonesia, oleh karena itu saat pindah ke sekolah barunya Thomas Remaja jadi sedikit sulit bergaul, meski sekolahnya adalah sekolah internasional, namun tetap saja Thomas sering kesulitan dalam berkomunikasi dengan yang lainnya, ditambah lagi jiwa pemberontak seorang remaja yang kurang mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya, membuat dirinya menjadi sosok yang malas bergaul dengan para anak-anak abege yang rata-rata adalah anak dari orang-orang penting ataupun para kaum jetset. Tapi itu tak berlangsung lama saat Satria masuk ke sekolah itu, karena di D.O dari sekolah sebelumnya, juga nasib yang Satria alami karena kurangnya perhatian orang tuanya, membuat Thomas seperti menemukan teman senasib seperjuangan yang bisa diajak liar bersama.
"Gue gak bego, ya. IQ gue lebih tinggi 4 poin dari elu, inget!" jawab Thomas jemawa.
"Wah masih pada asik ngobrol nih kayaknya. Mau aku bikinin minuman sama bawain cemilan buat temen ngobrol?" Suara lembut Amora menyapa gendang telinga para pria beda generasi itu.
"Ide bagus tuh! Bawain es balok kalau ada buat ngompres si Onta!" sambut Satria.
"Lu pikir gue bocah, yang lagi sumeng!" Thomas tak terima. "Gak usah ngerepotin, aku bisa bikin minum sendiri. Kamu istirahat aja, dari siang kamu kurang istirahat, kan!" ucap Thomas penuh perhatian.
"Kamu dari mana? Ayah kira udah tidur."
"Abis ngobrol sama Tama."
APAAAAAA!
Emang kampreto delisioso tuh orang, kesel-kesel besok subuh gue lamar juga nih, biar jodoh gue gak dipatok ayam.
Asap karena kebakaran lokal yang terjadi dalam diri Thomas mengepul di kepalanya. Bahkan alarm tanda bahaya sedang berbunyi kencang dalam dirinya.
"Ayah kira Tama udah pulang, bukannya dia pamit dari tadi?"
"Iya, kita ngobrol-ngobrol bentaran di luar, tadi siang kan aku belum sempet ngobrol sama dia," jelas Amora, "kalau gitu aku tidur dulu deh ya!" Si Cantik itu pun berlalu.
"Tama itu masih ada hubungan family dengan Pak Hardi?" Thomas memberanikan diri bertanya, sambil berdoa jika prasangkanya itu benar.
"Calon anggota keluarga lebih tepatnya. Kan belum nikah." Rahardian menjelaskan, dengan penuh semangat.
Langit seolah runtuh, bumi seakan terbelah, awan kelabu menggulung di atas kepala Thomas bersama kilatan petir yang menghantam kepalanya.
Tubuhnya lemah, seolah tulang dan otot-otot di tubuhnya melunak. Dia mencengkram lengan kokoh Satria, berusaha menopang tubuhnya yang tinggi.
"Kiamat, Mbek!"
...Jeng, jeng, jeng lagi🤭...
...Apakah Tama adalah batu penghalang calon jodoh Thomas? ...
...Atau.... ...
...Ada yang bisa nebak-nebak??? ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Ardiansyah Gg
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2024-10-15
0
putri
kepala s onta makin meledug saja 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2024-04-12
0
Asngadah Baruharjo
wa ha ha 🤣🤣🤣🤣
2024-03-04
0