"Sebaiknya Abang pikirkan lagi untuk menikahiku." Roma melepaskan pelukan Tommy lalu pergi meninggalkan Tommy.
Tommy yang telah bersalah pada Roma hanya bisa merutuki dirinya sendiri. Dengan cepat ia menyusul Roma.
Baru kali ini ia melihat Roma marah karena selama ini yang ia kenal Roma adalah wanita yang periang. Ternyata setahun lebih tak bertemu dengannya manjadikan Roma pribadi lain. Banyak sekali perubahan Roma yang dirinya tidak ketahui. Padahal menurut Orang yang dekat dengannya Roma tetaplah Roma, tidak ada yang berubah darinya selain logat bicaranya.
Tommy melihat Roma masih berdiri di tepi jalan langsung menghentikan mobilnya dan menghampiri Roma. Ia memang sengaja menunggu Roma pergi lebih dulu namun sepertinya Roma tidak juga mendapatkan taksi. Karena di daerah itu memang tidak ada taksi lewat bahkan taksi online pun akan sulit ditemukan.
"Iish ngapain sih dia pake datang segala. Susah banget lagi pesen taksi online dari sini. Ga mungkin kan aku minta jemput Bang Bany. Kasihan dia kalau harus bolak-balik." gerutu Roma saat melihat Tommy berjalan kearahnya.
"Masuklah dek, biar Abang antar kamu pulang."
"Ga usah, aku bisa pulang sendiri." Roma menepis tangan Tommy saat Tommy ingin menggenggamnya.
"Dek, kamu boleh marah sama Abang. Oke terserah kalau kamu masih marah. Tapi tolong jangan jadikan Abang laki-laki brengsek yang ga bisa tanggung jawab mengantarmu pulang." Tommy menegaskan bicaranya.
"Memang aku masih marah sama Abang. Abang ga tahu gimana perasaanku sekarang. Bagaimana aku berusaha agar Abang terlihat baik didepan keluargaku tapi belum juga bertemu dan mengenal keluarga ku Abang sudah merusak semuanya."
"Iya Abang salah, dan Abang janji akan berusaha dan minta maaf dengan keluargamu. Tapi sekarang biarkan Abang mengantarmu pulang."
"Abang antar aku ke Rumah Sakit saja, mobil aku masih disana."
"Ayo kenapa diam saja katanya mau diantar kerumah sakit, ini sudah hampir malam."
Roma berjalan mendahului Tommy dan langsung masuk kedalam mobil.
Sepanjang dalam perjalanan Roma memilih untuk diam, dirinya sudah terlalu lelah bekerja. Apalagi ia masih kesal dengan Tommy yang tidak ada kabarnya dan tiba-tiba muncul langsung menuduhnya yang bukan-bukan.
"Dek, masih marah?"
Roma tak memperdulikan Tommy ia mengalihkan pandangannya keluar jendela. Entah mengapa hatinya masih sakit teringat dengan ucapan Tommy padanya.
"Apa benar Bang Tommy menyukaiku dan ingin menjadikanku istrinya? Apa ia dia mencintaiku? Jika memang dia mencintaiku kenapa dia harus melukaiku? Belum juga jadi istrinya tapi kenapa rasanya sesakit ini? Kenapa aku harus mencintai pria ini? Apa begini rasanya patah hati? Inikah yang orang-orang sering katakan? Sakit tapi tidak berdarah."
Roma tersadar dari lamunannya saat tahu kalau Tommy bukan mengantarnya ke Rumah Sakit tapi malah mengantarnya pulang kerumahnya.
"Kenapa Abang ga antar aku ke Rumah Sakit?"
"Abis dari tadi Abang panggil-panggil kamu diam saja. Abang kirain kamu tidur. Makanya Abang langsung aja ngantar kamu ke rumah. Sekalian mau minta maaf sama Bapak karena udah buat anak gadisnya nangis. Terus mau minta maaf juga karena udah ga nepati janji ketemu Bapak kemarin."
"Jangan merasa sok akrab, Abang belum tahu gimana Bapak aku."
"Makanya kasih tahu Abang, kisi-kisinya sifat Bapak itu seperti apa?"
"Percuma aku kasih tahu. Lagian untuk apa Abang repot-repot mau ketemu sama Bapak. Tadikan aku udah bilang. Abang pikirkan aja lagi buat nikahin aku."
Tommy tiba-tiba menghentikan mobilnya. Entah kenapa Tommy begitu tidak suka mendengar ucapan Roma barusan.
Tommy menarik nafasnya kasar, mencoba mengontrol emosinya.
"Kamu tidak perlu memberitahu aku semua tentang Bapak dan keluarga mu. Biar aku cari tahu sendiri. Tapi Abang ga suka kalau kamu nyuruh Abang berpikir ulang tentang Abang yang ingin menjadikanmu istri Abang." Tommy membalikkan badannya menghadap Roma. "Abang memilihmu bukan karena kamu temannya Zia. Bukan juga karena kamu yang sudah tahu tentang penyakitku, Bukan juga karena Mami yang suka padamu–." Tommy menghentikan ucapannya. Roma menatapnya dengan tatapan mata yang berbinar. "Abang memilihmu karena memang hati Abang yang memilih kamu. Belum pernah Abang merasakan perasaan seperti ini dengan wanita manapun. Bahkan saat Abang masih belum lurus dijalan yang benar. Bersamamu Abang merasakan apa itu bahagia, bersamamu Abang merasakan apa itu rindu, bersamamu Abang tahu bagaimana rasanya patah hati, bersamamu Abang tahu bagaimana rasanya cemburu, bersamamu–" Tommy menundukkan kepalanya ia menangis dirinya sangat menyesali perbuatannya yang sudah melukai hati wanita yang sudah berhasil menguasai hatinya itu.
"Bang–."
Tommy mengangkat kepalanya dan menatap mata wanita yang sangat dicintainya itu saat dengar Roma memanggilnya.
"Bersamamu Abang jadi tahu apa itu Cinta. I love you."
"I Love you too Bang." balas Roma dalam hati.
Roma terdiam dan terpaku, ia tak menyangka kalau Tommy benar-benar mencintainya. Hatinya sangat bahagia. Ini pengakuan cinta yang pertama dan terlengkap yang Tommy ucapakan padanya. Karena sebelumnya Tommy hanya mengatakan kalau dia ingin menjadikan Roma sebagai istrinya tanpa ada ungkapan cinta sebelumnya.
"I love you dek." Roma menyentuh pipi Tommy dan menghapus airmatanya dan Tommy langsung memeluk Roma.
"Dek–, masih marah?" tanya Tommy penasaran karena Roma hanya diam saja.
"Haa, Apa?"
"Masih marah?"
Roma menggelengkan kepalanya.
"Terus mau sampai kapan begini terus?"
"Maksudnya?" Roma tidak mengerti dengan ucapan Tommy.
"Apa kamu ga mau balas pelukan Abang?"
"Apaan sih Bang–." Roma memukul punggung Tommy pelan.
"Sakit dek–."
"Udah lepas makanya–."
"Bales dulu dong dek."
"Enggak, lepas ah." Roma meronta-ronta minta dilepaskan dari pelukannya namun bukannya dilepas Tommy malah memeluknya lebih erat.
"Jangan gerak terus dek, tangan kamu nyenggol si Juni tuh. Ntar dia berontak loh pengen keluar nyari sarangnya."
Roma tahu kemana arah pembicaraan Tommy langsung memukul punggung Tommy lagi.
"Dasar Duda mesum." cibir Roma.
"Kok bawa-bawa status sih dek." Tommy melonggarkan pelukannya
"Iis kok sensi sih, kan emang bener Abang Duda."
"Iya Duren. Duda keren tapi kan?" Tommy kembali memeluk Roma. "Kamu udah ga marah lagi kan Adisba?"
Roma mendorong tubuh Tommy melepaskan pelukannya saat mendengar Tommy menyebut nama wanita lain. "Siapa Adisba?"
"Cemburu kok sama diri sendiri." Tommy menoel hidung Roma.
"Maksud Abang?"
"Adisba itu panggilan sayang aku buat kamu. Dulu waktu masih di London Abang tuh nyimpan nama kamu di HP Abang itu namamu Abang buat Gadis Batak jadi Sekarang Abang singkat jadi Adisba." Roma tersenyum setelah mendengar penjelasan dari Tommy.
"Jadi kamu udah ga marah lagi kan dek?" Tommy kembali memeluk Roma.
"Abang lepasin ah, dari tadi peluk-peluk mulu."
"Tapi kamu belum balas pelukan Abang, Abang ga akan lepasin sebelum kamu balas peluk Abang, dek–."
Roma pun membalas pelukan Tommy. Pria yang sangat dicintainya sejak pertama kali bertemu dengannya.
"Udah ah, cepetan jalan–! Ntar Abang kemaleman pulangnya kerumah."
"Gampanglah, Abang nginep aja dirumah kamu."
"Iiih, ga boleh. Belum sah jadi suami."
"Kan bisa tidur di kamar kamu eh kamar tamu dek."
"Pokoknya enggak."
"Nanti Abang ijin sama Bapak langsung aja deh."
"Abang yakin mau ketemu Bapak sekarang?"
"Iyalah. Abang ga mau nanti keduluanan sama Paribanmu itu."
"Haha– taupun takut tapi pake acara ngambek segala! Sampe 5 hari pula tuh–." sindir Roma.
"Ungkit terrruussss!"
"Haha– marah dia."
Like.... Like... Like...😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments