Titah

Besok paginya, aku kembali bangun terlambat. Semalaman aku melihat Agam membentuk akar Bahar menjadi sebuah gelang. Ia juga melakukannya sambil melantunkan ayat suci Al Qur'an.

Entah kenapa aku jadi tidak mau tidur karena tak ingin suaranya berakhir. Alhasil aku malah bangun kesiangan seperti ini.

Aku terduduk di tempat tidur sambil mengucek mata, namun pandanganku lantas teralih pada dua orang lelaki yang sudah rapi, seolah ingin pergi ke suatu tempat.

"Agam? Kun?" Sapaku, membuat mereka yang sebelumnya memunggungi lantas berbalik dan menatapku. "Kalian udah rapi? Emangnya mau kemana?" Tanyaku bingung.

Agam pun beranjak dan mulai menghampiri ku. "Kami harus kembali ke masa depan." Sahutnya hingga membuatku terbelalak.

"Lah?! Loh?! Kok gitu sih?! Masalah di sini kan belum kelar? Katanya mau nyelesain ini sama-sama??" Desakku tak terima.

"Itu masalahmu, bukan masalah kami!!" Balas Kun ketus.

"Ta.. tapi kan.. kalian sendiri yang bilang begitu?!" Keluhku.

Kun hanya melipat kedua tangan ke dadanya sambil menatapku. "Kami hanya datang untuk sedikit membantumu!!"

Aku mengernyit. "Kalau begitu, apa kalian akan datang lagi? Gue gak tahu harus berbuat apa di sini? Dan lagi, bagaimana cara mencari dua benda yang kalian maksud?!" Gerutu ku dengan suara gaduh.

"Sssst.." Agam langsung mendesis dengan tenang untuk menghentikan intonasi suaraku yang tinggi. "Lakukan yang terbaik. Yaah!!" Ia malah tersenyum sambil berbalik memunggungiku.

Ia membiarkanku melongo dengan nyawa yang belum penuh. Aku terbiasa termenung ketika bangun dari tidur.

Di depan rumah, ia berpapasan dengan Bu Sari. Mereka berdua berpamitan seolah benar-benar tak memperdulikan keadaanku di sini. Mereka tega sekali!!

Bu Sari nampak mengkhawatirkan mereka, dan meminta mereka untuk tinggal lebih lama, tapi Agam mampu memberikan pemahaman bahwa mereka harus segera kembali.

Ia juga bilang kalau mereka sudah mendapatkan keping emas dari bayaran setelah melakukan pengobatan pada jenderal. Keping emas itu mereka gunakan untuk pulang.

Aku mematut, memandang kepergian mereka dengan kesal. Sementara Bu Sari agaknya menyadari kekesalanku. Ia menghampiri dan duduk di dekatku.

"Kenapa, Yu?" Tanyanya lembut.

"Ah, tidak Bu." Sahutku panik.

"Ibu sudah di ajarkan beberapa bacaan untuk shalat. Kata Agam, kamu telah menghafalnya semalaman. Jadi ibu bisa menanyakan beberapa ayat padamu, serta beberapa bacaannya." Pintanya, dan aku segera mengangguk.

Apakah masuknya agama Islam di kerajaan ini, adalah karena Agam?? Seingatku, masuk dan berkembangnya Islam di kerajaan ini memang di bawa oleh saudagar muslim dari Arab.

Bukankah Agam juga mengaku sebagai saudagar muslim dari Arab?? Berarti...

"Hah?!" Aku berteriak tiba-tiba, membuat Bu Sari terkesiap karenanya.

"Ada apa, Yu?" Ia bertanya bingung, sementara aku sendiri malah kaget atas perbuatanku.

"Bu.. bukannya hari ini kita harus ke balai kota untuk menyaksikan pelantikan prajurit baru?!" Tukasku, membuat Bu Sari mengangguk. "Kalau begitu aku harus mandi dan bersiap-siap dulu." Lanjutku sambil beringsut dari atas tempat tidur.

.........

Selepas mandi, Bu Sari telah bersiap dan menungguku di kursi. Kami keluar bersama untuk pergi ke balai kota.

Di sini ada pemandangan yang menarik bagiku. Jarak antara desa terpencil kami dengan balai kota sekitar tiga jam dengan berjalan kaki.

Di bawah teriknya matahari pagi, aku dan Bu Sari menyusuri tanah gersang dengan sedikit pepohonan dan tanpa adanya rumah selama di perjalanan.

Ku kira ini akan menjadi perjalanan yang melelahkan, ternyata malah sebaliknya.

Seisi desa berbondong-bondong pergi ke balai kota di waktu yang bersamaan. Jadi bisa di bayangkan seperti apa ramainya jalan menuju ke situ.

Kami seperti sedang konvoi dan rasanya menyenangkan sekali. Kami bisa saling bercengkrama selagi menuju ke balai kota.

Mereka menceritakan tentang para remaja lelaki yang merupakan anak dari keluarganya kini telah menjadi pembela kerajaan secara resmi. Raut bangga benar-benar terpancar dari wajah renta mereka.

Di antara keramaian yang ada, aku melihat Nur yang berkumpul bersama teman-temannya. Setelah tak sengaja satu kontak denganku, ia kini berusaha untuk menjangkau ku.

Ia sampai menyempil untuk dapat melewati banyak orang dan menemuiku. "Ayu!! Kau datang juga?!" Tanyanya semangat.

"Tentu saja!! Aku mau lihat prajurit yang akan segera di lantik!! Ada Raka juga kan di sana!!" Perkataanku lantas membuat Nur mengernyit bingung.

"Ya!! Aku masih penasaran dengan hal itu. Bukankah Raka tak lolos, kenapa sekarang dia bisa menjadi prajurit resmi? Apakah sesuatu telah terjadi?" Tanya Nur polos, hingga membuatku mendengus senyum.

"Mungkin kau bisa menanyakannya dengan Raka."

Nur menyipitkan matanya menatapku. "Mana mau dia menjawab hal seperti itu."

"Ya ya!! Kau benar! Dia kan batu yang menyamar menjadi manusia!! Aku benar kan?" Nur hanya terbahak, sementara Bu Sari menoleh heran ke arah kami. Aku langsung mendesis ke arah Nur, tak enak kan kalau kami membicarakan anak orang di hadapan ibunya sendiri.

Setelah berjalan cukup jauh, kami akhirnya sampai di balai kota. Tempatnya benar-benar membuatku takjub. Ini benar-benar balai kota zaman kerajaan seperti di buku-buku sejarah yang pernah ku baca.

Balai kota ini merupakan halaman luas yang memang di khususkan untuk menyelenggarakan suatu acara kerajaan. Di depan balai kota ini, kami bisa melihat pagar tinggi yang mengelilingi istana kerajaan.

Tampak begitu megah, saking tingginya pagar ini, kami hanya mampu melihat atap istana saja dari sini. Aku benar-benar penasaran dengan rupa kerajaan ini pada masanya. Masih indah dan kokoh tentunya. Tapi kasta rendahan sepertiku mana boleh masuk ke dalam. Bahkan melihat atapnya saja sudah sangat luar biasa bagi kami.

Di luar perbatasan balai kota, aku bisa melihat pasar yang menjajakan makanan ringan zaman dulu. Nanti aku mau mampir dan melihatnya juga.

Di antara kerumunan yang ada dan yang berlalu lalang, aku malah sibuk memperhatikan baju yang mereka kenakan.

Kerumunan ini terbagi menjadi kelompok-kelompok. Tentu saja pembedanya ada pada baju yang mereka kenakan. Yang mengenakan baju kain, mereka agaknya tidak sudi bergerombolan di dekat kami. Mereka benar-benar memberikan jarak dan batasan nyata.

Sementara yang mengenakan baju dari kulit kayu, pandangan mereka semua lusuh dan selalu tertunduk seolah tak memiliki harga diri. Ternyata kasta kaya dan miskin sudah sangat terlihat sejak zaman dahulu.

"Ayu, mau ini?" Nur datang sambil menyodorkan ku makanan. Mirip seperti cilok namun di tusuk layaknya sate. Ini juga memiliki saus yang melumurinya. Entah terbuat dari apa.

Aku menerima makanan tersebut. "Wah!! Kau cantik dan sangat baik!! Terimakasih banyak!" Tuturku hingga membuat Nur tersipu.

"Jangan selalu memujiku. Kau bahkan lebih cantik." Balasnya memuji.

Ketika aku hendak menyantap makanan yang di berikan Nur, tubuhku langsung di dorong-dorong oleh orang-orang yang agaknya mulai merapatkan barisan ketika suara lantang pengawal terdengar di balai kota.

Untuk memperbesar suaranya, kami hanya perlu diam dan bungkam, karena mungkin pada zaman ini, mic belum di temukan. Jadi perlu kesadaran tinggi bagi para rakyatnya untuk diam.

Dan zaman ini sungguh taat akan aturan dan memiliki kesadaran diri tinggi. Semuanya diam bersamaan, berbeda sekali dengan pelaksanaan upacara hari Senin di sekolah. Walau sudah di teriak-teriakan pembina upacara di mic untuk diam, masih saja siswanya berisik dan mengabaikan.

Pengawal kerajaan tersebut berdiri di tempat tinggi layaknya podium. Ia membacakan sebuah gulungan, berisi maksud dan tujuan di adakannya acara ini. Kami mendengarkannya dengan seksama.

Ketika memasuki puncak acara, gerbang istana pun terbuka. Menampakkan kendaraan seperti tandu indah dengan banyak hiasan dan guratan rumit dari kayu mewah yang di bawa dengan cara di pikul oleh empat orang pengawal. Dua di depan dan dua di belakang.

Sementara di sisi kiri, kanan, depan dan belakang tandu tersebut di kawal ketat oleh banyak pengawal istana. Aku benar-benar takjub memandangnya, kedua mataku terbelalak dan tak henti-hentinya berdecak kagum.

Aku mulai celingak-celinguk, berusaha mengintip wajah yang ada di balik tirai tersebut. Namun secara bersamaan, semua orang lantas duduk bersimpuh di tempat sambil menundukkan pandangan, ketika dua buah kaki mulai keluar menuruni tandu.

Aku yang punya gaya reflek yang buruk, hanya melongo beberapa saat. Lenganku seketika di tarik, membuatku jatuh terduduk sambil menoleh ke arah Nur yang melakukannya.

"Apa yang kamu lakukan?! Bersimpuh lah kalau tak mau ketahuan pengawal dan di hukum mati!!" Bisik Nur ketakutan, sementara aku masih saja melongo tak paham.

"Kenapa? Aku benar-benar ingin melihat wajah raja Anggara."

"Sssttt!! Ia mendesis, sedikit kesal. "Mana ada yang boleh menatap yang mulia raja Anggara secara langsung?! Itu perbuatan hina, apalagi di lakukan oleh kasta rendah seperti kita. Itu aib bagi raja! Kalau ketahuan, kau akan di tangkap pengawal yang mengeliling tandu raja." Bisiknya hingga membuatku mengangguk paham. Meski sebenarnya cukup bingung dan tak terima.

"Pengawalnya galak sekali!!" Gerutuku sambil berbisik.

Meski terus tertunduk, namun ekor mataku bisa menangkap Raja yang mulai berjalan ke tempat yang mirip podium. Ia hanya naik ke atas sana sesaat dan mengesahkan para anggota prajurit baru, setelah itu ia kembali menuruni podium dan masuk ke dalam tandu.

Selepas kepergiannya, barulah kami boleh mengangkat kepala kami. Anggota prajurit baru telah berbaris dengan rapi di depan istana kerajaan. Aku langsung saja menemukan sosok Raka di antara ratusan prajurit meski mereka mengenakan pakaian serupa.

Ku lihat Raka nampak menilik sekitar, seolah mencari sesuatu yang hilang. Pandanganku lekat ke arahnya, hingga tanpa sadar, kedua matanya melakukan kontak denganku.

Aku terkesiap kaget, salah tingkah, dan tentunya ada perasaan aneh yang ku rasakan begitu saja. Aku tak mampu menatap kedua matanya berlama-lama, alhasil aku hanya menunduk. Apakah aku malu??? Dia bukanlah yang mulia raja, lantas untuk apa aku menunduk ketika melihatnya?

"Kamu membuatnya karena kamu mencintainya kan?" Terka Kun, namun itu benar-benar membuatku tersedak.

Seketika perkataan Kun kemarin kembali terngiang-ngiang di kepalaku. Mungkinkah.. aku benar-benar??

"Tidak tidak tidak!!" Gumamku panik, membuat Nur menoleh ke arahku.

"Kamu kenapa?" Tanyanya heran, dan aku hanya menggelengkan kepala.

Ku lirikkan lagi mataku menatap ke arah Raka. Ia masih saja memandangiku dari jauh. Kenapa ya?? Rasanya begitu mendebarkan??

Ku tundukkan kepalaku, menatap gelang akar Bahar yang hendak ku berikan padanya. Cemilan dari Nur pun belum sempat ku makan. Aku jadi bimbang, apakah harus ku berikan atau tidak?? Rasanya, tiba-tiba saja aku kehilangan nyali untuk bertemu dengannya.

Acara pelantikan pun selesai. Para prajurit di bubarkan dari barisan. Di keramaian, tubuhku kembali mendapat dorongan dan tabrakan, hingga memisahkan aku dengan Nur dan juga aku tak dapat menemukan Bu Sari sejak tadi. Mereka bubar serentak ketika acara telah selesai, dan aku benar-benar terkurung di antara mereka.

Aku berjalan terbawa arus, benar-benar tak dapat pergi dari kerumunan ini. Tubuhku terus terdorong dan merasakan sakit, sampai ada yang tanpa sengaja menyikut kepala dan tubuhku, membuatku lantas terjatuh begitu saja di atas tanah.

Cemilan ku jatuh dan terinjak-injak tanpa ampun. Aku menengadah ke atas, ketakutan dengan orang-orang berbadan besar yang sepertinya benar-benar mampu untuk menginjak-injak tubuhku seperti yang mereka lakukan pada makananku.

Ketika aku memejamkan mata, aku merasakan sebuah dekapan hangat yang membuatku membuka mata dengan cepat.

Kedua mataku langsung memandanginya dalam jarak yang teramat dekat. Lelaki itu menatapku dengan sendu, dan ia menggunakan tubuhnya sendiri untuk melindungiku.

"Raka?" Gumamku takjub.

"Ayo pergi dari sini! Kalau kau diam, kau benar-benar bisa mati terinjak-injak." Ucapnya sambil menarik tanganku, membuatku beranjak dari tempatku terjatuh.

Ia memelukku dari samping, seolah menjaga agar tak ada yang bisa menabrak dan mendorong tubuhku seperti tadi.

Aku memang terlindungi karena tubuh Raka, tapi lelaki ini beberapa kali meringis ketika dorongan demi dorongan menghantam bagian tubuhnya.

Ia membawaku ke samping kerumunan, di mana ada tempat yang lumayan aman di ujung sana.

Kami bisa bernapas lega ketika berhasil terlepas dari lautan arus manusia. Sesak sekali di sana, dan kalau tak ada Raka, aku tak tahu bagaimana nasibku tadi.

"Terimakasih ya Raka, kau telah melindungiku dari kaki-kaki gajah it-" Perkataanku lantas terhenti, ketika menatap Raka yang berjarak dekat dengan ku, dan lagi ia masih memelukku.

"Kamu membuatnya karena kamu mencintainya kan?" Terka Kun, namun itu benar-benar membuatku tersedak.

"Gyaaaaah!!" Aku langsung mendorong tubuh Raka ketika perkataan Kun kembali muncul di ingatanku. Raka meringis kesal, mungkin saja ia kaget karena aku mendorongnya tiba-tiba.

"Kau!!" Sentaknya.

"Maafkan akuuu!!" Pekikku ketakutan, sambil melindungi kepalaku, sekalian menutupi wajahku yang terasa memanas. Pasti sekarang wajahku memerah padam.

"Kenapa kau ketakutan begitu? Berhentilah berbuat konyol begitu!! Aku tak akan membunuhmu di sini, bodoh!!" Bentaknya hingga membuatku mengintipnya dari balik bulu mata.

"A.. anu.. Aku juga tak tahu kenapa bisa ketakutan begini!" Jawabku apa adanya.

Ia hanya mengernyit sambil menggelengkan kepalanya. "Di mana ibu?" Tanyanya, dan perkataan itu sukses membuatku panik sambil menoleh ke sekelilingku.

"Sudah ku duga kalau kau akan terpisah dari orang-orang di desa." Ia terdengar mengeluh, meski masih saja tak berekspresi.

"Iya!! I.. Itu memang benar!! Tapi setidaknya, aku bisa bertemu denganmu sebelum kau masuk ke istana kan?" Ujarku spontan, membuatnya menatap heran.

"Kenapa memangnya? Kau ingin bertemu denganku?" Tanyanya tak percaya.

"Bu.. bukan begitu maksudku!! Yang ku maksud adalah.." Aku terdiam. Ayo Ayu, katakan sesuatu!! Kau tak suka di ejek Kun bodoh, tapi kenyataannya kau memang bodoh Ayu!!

"Tak usah mengatakan apapun. Kau terlihat depresi sejak ku tatap dari jauh tadi."

Aku kembali terkesiap. Jadi sungguh, tadi itu dia memang benar-benar memandangiku??

"Katakan pada ibu, semua baju dan peralatanku sudah ku ambil dari camp." Ujarnya.

"Jadi.. kau langsung ingin masuk ke dalam istana?!" Tanyaku tak percaya, dan ekspresi diam Raka seolah menyatakan kebenaran. "Kenapa kau tak berpamitan untuk terakhir kalinya pada ibumu?!"

"Aku sudah melakukan itu tadi! Aku sudah bertemu dengan ibu dan dia bilang kalau dia kehilanganmu!! Nur pun tak tahu di mana keberadaan mu! Kenapa kau suka sekali menyusahkan orang lain di segala tempat dan situasi?!"

Aku menatap sengit. "Tak tahu terimakasih, padahal kalau tak ada aku, kau tak akan masuk ke dalam sana!!" Bentakku kesal, membuat Raka diam seketika.

"Kalau itu kau memang benar. Aku kan sudah berterimakasih, dan berhentilah mengungkit-ungkit hal itu!! Apa kau berniat pamrih? Kau sudah menumpang di rumahku!!" Ia malah balas membentak ku.

"Aaah!! Apa kau tak punya kata-kata lain untuk menyerangku?! Selalu membawa-bawa rumah dan mengusir ku!!" Aku mengeluh, membuat Raka seketika mengangkat kepalan tangannya ke arahku.

Aku terkesiap, mencoba membentengi diri dengan lenganku sambil menutup mata, namun perlindungan ku itu sia-sia, ketika merasakan kelembutan tangan Raka di atas kepalaku.

"Aku tak akan mengusir mu seperti dulu. Pulanglah sekarang." Sahutnya sambil melepaskan tangannya dari atas kepalaku.

Aku mengerjap heran, apalagi setelah ia berbalik dan hendak meninggalkanku. Aku menatap gelang besar, seukuran tangan Agam yang kini berada di pergelangan tanganku.

"Oh!! Raka, tunggu dulu!!" Seruku, membuatnya seketika berhenti dan menoleh ke arahku.

Aku berjalan mendekatinya, sambil melepaskan gelang tersebut dan mengambil tangannya. Ia nampak bingung, terlebih setelah aku berusaha memasukkan gelang tersebut ke dalam tangannya.

"Apa ini?" Tanyanya heran.

"Ini gelang, kenang-kenangan dariku untukmu. Ini buatan temanku. Aku meminta di buatkan khusus untukmu. Jadi, ini adalah hadiah karena kau telah berhasil menjadi prajurit." Tukasku ketika gelang tersebut telah melingkar di tangannya.

"Ingat pesanku!! Jangan sering melukai diri sendiri, jangan terlalu memaksakan diri, jangan terlambat makan, dan berjuanglah dengan kuat di Medan pertempuran, dan satu lagi pesanku padamu." Kedua alisnya terangkat menatapku.

"Kapan-kapan kau harus kembali ke rumah, jangan mati di Medan pertempuran ya." Ucapku sambil tersenyum, membuatnya menatapku sambil melongo, dan aku tak bisa menebak apa yang sedang ia pikirkan.

"Kau pikir aku selemah itu? Aku tak akan mati meski kakiku tinggal satu!! Aku akan pulang dengan menyeret tubuh ku kalau itu memang benar-benar terjadi." Ujarnya hingga membuatku meringis ngeri.

"Oke!! Itu benar-benar menakutiku!!" Keluhku.

Ia hanya terdiam sambil menatap gelang yang kini menghiasi tangannya. Beberapa saat setelahnya, ia langsung menatapku dengan sendu.

"Apa.. aku boleh mencium tanganmu?" Tanyanya tiba-tiba, membuat jantungku seketika berdebar tak karuan.

"Ke.. kenapa harus melakukan i-" Aku lantas terdiam ketika ia langsung menunduk di hadapanku dan mengambil tanganku untuk kemudian menciumnya.

Terasa hangat dan lembut. Tatapannya yang menghangat kini terpejam ketika kecupan bibirnya mendarat di punggung tangan ku.

"Aku akan mendengarkan semua titah mu." Ujarnya, terdengar begitu tulus. Wajahku memerah padam, dan tak ada yang bisa ku lakukan selain tersenyum dalam diam.

.......

.......

.......

.......

...Bersambung......

Terpopuler

Comments

maytrike risky

maytrike risky

Manis sekali sih🤭

2024-01-18

0

Fasya Aulia

Fasya Aulia

uwuuuu

2023-04-05

0

Elisa Girlz

Elisa Girlz

raka mulai bertingkah manis..😍😍😍

2021-12-02

1

lihat semua
Episodes
1 Terdampar
2 Luka
3 Perjanjian
4 Pencarian
5 Terimakasih
6 Pelatihan Final
7 Hasilnya adalah...
8 Penyebabnya
9 Pasien Kedua
10 Bayaran
11 Pertemuan dan Pesan
12 Pertengkaran
13 Our Mission
14 Smile for Me
15 Love??
16 Titah
17 Konsekuensi
18 Kesalahan Analisis
19 Sayembara 17
20 Memendam atau Menyampaikan?
21 Ada apa?
22 Mencarimu..
23 Menyetujui
24 Penipuan??
25 Jatuh ke Tangan yang Salah
26 Licik??
27 Pembuat Onar
28 Berkhianat??
29 Ada apa dengan Belati?
30 Dalam Bahaya !
31 Persiapan
32 Urgent
33 Ketulusan
34 Di balik Layar
35 Di Ambang Batas
36 Sembuhkan Aku
37 Berhentilah Menangis
38 Kemarahan
39 Kehilangan Segalanya
40 Rahasia Dibong?
41 Kita Keluarga
42 Senjata apa?
43 Senjatanya adalah...
44 Perbudakan
45 Benarkah Cemburu??
46 Apa Tujuannya??
47 Rahasia paman Tira
48 Kenyataan Tulus
49 Pahlawan Kami
50 Tabib dalam Bahaya
51 Kisah sebelum Tidur
52 Anestesi Alami
53 Semangat dari Raka
54 Sesuatu dari Kun
55 Kesediaan
56 Pertemuan dengan Ratu Renila
57 Cinta Pertama
58 Hukuman Kegagalan
59 Pengabaian
60 Sepasang Kekasih
61 Ini Hukumannya???
62 Ternyata Perduli
63 Jadi Bangsawan
64 Serangan Lelaki Misterius
65 Raja Abadi
66 Sosok sang Pemuda
67 Belati Agam?
68 Kerja Sama di Mulai
69 Tujuan Terselubung
70 Misi para Pangeran
71 Pembahasan Rahasia
72 Tantangan Ayu
73 Perasaan Raka
74 Siapa Anda?
75 Prosesi Sayembara Tujuh Belas
76 Alasan Terdampar
77 Spekulasi Dara
78 Benang Merah
79 Rahasia Raja Anggara
80 Pahlawan atau Penjahat?
81 Serangan?!
82 Tempat Rahasia
83 Perhitungan dan Pengangkatan
84 Dua Kubu?
85 Ritual dan Pembelaan dari Rakyat
86 Pemicu
87 Malapetaka
88 Anak dalam Ramalan
89 Takdirmu?
90 Penyiksaan
91 Hati yang Terpaut
92 Serangan di Mulai
93 Menunggu Kebangkitan
94 Serangan Rahasia?
95 Titah yang Mulia Tira
96 Pertolongan datang!!
97 Adu Domba
98 Peperangan di Mulai
99 Semangat yang Membara
100 Kemenangan??
101 Tertangkap!
102 Perasaan seorang Ayah
103 Tiba di Kerajaan
104 Telah Terpilih
105 Perasaan
106 Isi Hati Raka
107 Cinta seorang Ayah
108 Di Intai?
109 Manipulasi
110 Pancingan
111 Kembali Hidup
112 Terbongkarnya Kasus Pembantaian
113 Lelakimu
114 Apa Maksud Agam?
115 Pertemua Awal
116 Terbongkar
117 Terdesak
118 Pengorbanan
119 Kebohongan yang Indah
120 Gambaran Aneh
121 Di Dadaku?
122 Kecemburuan?
123 Citra raja Anggara
124 Raja Anggara tak Seburuk itu
125 Lebih dari Materi
126 Mencoba Melawan
127 Apa Tujuan Kun?
128 Cinta Tulus
129 Mimpi
130 Citra kedua
131 Sesuatu Terjadi
132 Siasat?
133 Kebenaran yang Menyakitkan
134 Don't Hurt
135 Ucapan Terimakasih
136 Karma dan Masa Lalu
137 Penghibur Kesedihan
138 Tali Simbolis
139 Arti Tali Pengikat
140 Rencana Rahasia
141 Sudah di Mulai?
142 Ritual di Mulai
143 Dalam Bahaya!
144 Masa Depan, Berawal dari Masa Lalu
145 Lost Contact
146 Keanehan
147 Dia adalah Ludira
148 Kesadaran yang tak Sadar
149 Masih Terpasang
150 Kebohongan yang Berlarut
151 Alasan
152 Masa Lalu yang Pahit
153 VS
154 Di Larang Mendekat !
155 Sama namun Berselisih
156 Interogasi
157 Sesuai Rencana
158 Masuk Jebakan
159 Mendesak
160 Misi di Terima
161 Ketahuan?
162 Siasat Kartu Mati
163 Masuk Penjara
164 Terjebak?
165 Pembuktian Selesai
166 Berawal dari Sini
167 Melenyapkan Ludira
168 Darah Pembangkitan
169 Usaha yang Percuma
170 Terpancing
171 Pertemuan Lagi
172 Perasaan Ayah dan Anak
173 Sifat Asli Manusia
174 Kebersamaan dengan Ayah
175 Mencari Kebenaran
176 Terselamatkan
177 Mempertahankan Cinta
178 Akan di Mulai
179 Yang di Cinta dan yang Kehilangan Cinta
180 Usaha Keras
181 Gawat Darurat
182 Kekacauan di Mulai
183 Menunggu Hukuman di Jatuhkan
184 Kesadaran yang tak di Harapkan
185 Genting
186 Kegagalan Raka
187 Raka
188 Kematian Agam
189 Tak Sungguh Pergi
190 Bertemu tuan Tira
191 Bersamanya Ayah dan Anak
192 Penyerangan di Mulai
193 Pemicu
194 Serangan Balasan di Mulai
195 Pertarungan Atas Nama Agam
196 Pelindung Datang
197 Mati dan Kembali
198 Paradoks : Awal = Ending
Episodes

Updated 198 Episodes

1
Terdampar
2
Luka
3
Perjanjian
4
Pencarian
5
Terimakasih
6
Pelatihan Final
7
Hasilnya adalah...
8
Penyebabnya
9
Pasien Kedua
10
Bayaran
11
Pertemuan dan Pesan
12
Pertengkaran
13
Our Mission
14
Smile for Me
15
Love??
16
Titah
17
Konsekuensi
18
Kesalahan Analisis
19
Sayembara 17
20
Memendam atau Menyampaikan?
21
Ada apa?
22
Mencarimu..
23
Menyetujui
24
Penipuan??
25
Jatuh ke Tangan yang Salah
26
Licik??
27
Pembuat Onar
28
Berkhianat??
29
Ada apa dengan Belati?
30
Dalam Bahaya !
31
Persiapan
32
Urgent
33
Ketulusan
34
Di balik Layar
35
Di Ambang Batas
36
Sembuhkan Aku
37
Berhentilah Menangis
38
Kemarahan
39
Kehilangan Segalanya
40
Rahasia Dibong?
41
Kita Keluarga
42
Senjata apa?
43
Senjatanya adalah...
44
Perbudakan
45
Benarkah Cemburu??
46
Apa Tujuannya??
47
Rahasia paman Tira
48
Kenyataan Tulus
49
Pahlawan Kami
50
Tabib dalam Bahaya
51
Kisah sebelum Tidur
52
Anestesi Alami
53
Semangat dari Raka
54
Sesuatu dari Kun
55
Kesediaan
56
Pertemuan dengan Ratu Renila
57
Cinta Pertama
58
Hukuman Kegagalan
59
Pengabaian
60
Sepasang Kekasih
61
Ini Hukumannya???
62
Ternyata Perduli
63
Jadi Bangsawan
64
Serangan Lelaki Misterius
65
Raja Abadi
66
Sosok sang Pemuda
67
Belati Agam?
68
Kerja Sama di Mulai
69
Tujuan Terselubung
70
Misi para Pangeran
71
Pembahasan Rahasia
72
Tantangan Ayu
73
Perasaan Raka
74
Siapa Anda?
75
Prosesi Sayembara Tujuh Belas
76
Alasan Terdampar
77
Spekulasi Dara
78
Benang Merah
79
Rahasia Raja Anggara
80
Pahlawan atau Penjahat?
81
Serangan?!
82
Tempat Rahasia
83
Perhitungan dan Pengangkatan
84
Dua Kubu?
85
Ritual dan Pembelaan dari Rakyat
86
Pemicu
87
Malapetaka
88
Anak dalam Ramalan
89
Takdirmu?
90
Penyiksaan
91
Hati yang Terpaut
92
Serangan di Mulai
93
Menunggu Kebangkitan
94
Serangan Rahasia?
95
Titah yang Mulia Tira
96
Pertolongan datang!!
97
Adu Domba
98
Peperangan di Mulai
99
Semangat yang Membara
100
Kemenangan??
101
Tertangkap!
102
Perasaan seorang Ayah
103
Tiba di Kerajaan
104
Telah Terpilih
105
Perasaan
106
Isi Hati Raka
107
Cinta seorang Ayah
108
Di Intai?
109
Manipulasi
110
Pancingan
111
Kembali Hidup
112
Terbongkarnya Kasus Pembantaian
113
Lelakimu
114
Apa Maksud Agam?
115
Pertemua Awal
116
Terbongkar
117
Terdesak
118
Pengorbanan
119
Kebohongan yang Indah
120
Gambaran Aneh
121
Di Dadaku?
122
Kecemburuan?
123
Citra raja Anggara
124
Raja Anggara tak Seburuk itu
125
Lebih dari Materi
126
Mencoba Melawan
127
Apa Tujuan Kun?
128
Cinta Tulus
129
Mimpi
130
Citra kedua
131
Sesuatu Terjadi
132
Siasat?
133
Kebenaran yang Menyakitkan
134
Don't Hurt
135
Ucapan Terimakasih
136
Karma dan Masa Lalu
137
Penghibur Kesedihan
138
Tali Simbolis
139
Arti Tali Pengikat
140
Rencana Rahasia
141
Sudah di Mulai?
142
Ritual di Mulai
143
Dalam Bahaya!
144
Masa Depan, Berawal dari Masa Lalu
145
Lost Contact
146
Keanehan
147
Dia adalah Ludira
148
Kesadaran yang tak Sadar
149
Masih Terpasang
150
Kebohongan yang Berlarut
151
Alasan
152
Masa Lalu yang Pahit
153
VS
154
Di Larang Mendekat !
155
Sama namun Berselisih
156
Interogasi
157
Sesuai Rencana
158
Masuk Jebakan
159
Mendesak
160
Misi di Terima
161
Ketahuan?
162
Siasat Kartu Mati
163
Masuk Penjara
164
Terjebak?
165
Pembuktian Selesai
166
Berawal dari Sini
167
Melenyapkan Ludira
168
Darah Pembangkitan
169
Usaha yang Percuma
170
Terpancing
171
Pertemuan Lagi
172
Perasaan Ayah dan Anak
173
Sifat Asli Manusia
174
Kebersamaan dengan Ayah
175
Mencari Kebenaran
176
Terselamatkan
177
Mempertahankan Cinta
178
Akan di Mulai
179
Yang di Cinta dan yang Kehilangan Cinta
180
Usaha Keras
181
Gawat Darurat
182
Kekacauan di Mulai
183
Menunggu Hukuman di Jatuhkan
184
Kesadaran yang tak di Harapkan
185
Genting
186
Kegagalan Raka
187
Raka
188
Kematian Agam
189
Tak Sungguh Pergi
190
Bertemu tuan Tira
191
Bersamanya Ayah dan Anak
192
Penyerangan di Mulai
193
Pemicu
194
Serangan Balasan di Mulai
195
Pertarungan Atas Nama Agam
196
Pelindung Datang
197
Mati dan Kembali
198
Paradoks : Awal = Ending

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!