Luka

Seketika aku melompat dari atas kursi yang ku duduki setelah mendengar kalau aku tengah berada di zaman raja Anggara, Raja yang benar-benar ku cintai.

Rasa sakit serta darah yang mengucur di kakiku tak ku hiraukan lagi. Atau bagaimana caranya aku masuk ke dunia ini pun sudah tak ku urusi. Aku terlalu senang berada di dalam sejarah yang ku baca setiap hari. Rasanya bagaikan mimpi yang menjadi kenyataan.

"Salam hormat yang mulia raja!! Saya akan mengabdikan diri kepada yang mulia raja!!" Seruku semangat, hingga membuat ibu tersenyum senang.

"Kamu bahkan mengenal raja Anggara padahal tidak berada di bawah kepemimpinan kerajaannya? Ibu benar-benar yakin kamu tak berasal dari sini.. Sungguh, raja Anggara memang raja yang sesungguhnya." Sahutnya hingga membuatku tersenyum penuh arti.

"Mulai sekarang.. saya adalah rakyatnya yang paling setia!!" Ujarku mantap. "Tapi, bolehkan saya bertemu dengan raja Anggara sekarang?!" Pintaku, sedikit mendesak dan tiba-tiba.

"Kau kira kau siapa? Ingin bertemu dengan seorang raja?? Kita hanyalah rakyat jelata, masuk di halaman istana pun kau akan di panah sampai mati dengan panah beracun." Sahut Raka hingga membuatku terkesiap.

"Gila!! Perkataan elu itu mengerikan!!" Setelah sadar akan ucapanku, aku pun memperbaiki kalimatku. "Maksud saya, kamu berkata sesuatu yang mengerikan!!"

Ia menggelengkan kepalanya. Suasana nampak canggung setelahnya. Ibu-ibu ini lantas beranjak dan mengambil kain dan menyeka darah di kakiku. Perih dan sakit, kalau cuma di lap, darahnya tak akan berhenti.

"Mm.. ada baiknya kalau kita berkenalan." Ujarku ragu, sambil menatap Bu Sari yang merunduk di hadapanku.

"Nama saya Raka, dan ibu saya, Sari." Ia mulai memperkenalkan diri dengan sopan. Dan sepertinya lelaki ini nampak begitu kaku, apa karena aku orang asing??

"Saya Ayu." Singkatku.

"Ayu?? Nama yang cantik." Sambung ibu Sari hingga membuatku tersipu. "Kalau boleh tahu, kenapa kamu ingin bertemu dengan yang mulia raja?"

Aku menenggak ludah mendengar perkataannya. "Hmm, sebenarnya ini rahasia sih. Tapi saya tahu masa depan!! Saya lihat, mmm.." Aku mulai memasang lagak seperti seorang paranormal yang sedang membaca masa depan. "Raja harus berpisah dengan ratunya sekarang!!"

Perkataanku lantas membuat ibu dan anak ini terkesiap kaget. "Apa?!" Sergah Raka, nampak sedikit dalam suaranya.

"Soalnya, ratunya itu brengs*k, dia selingkuh dengan panglima raja!! Dan itu sangat menyakiti hati raja Angg-" Aku terdiam ketika sepasang mata menyeramkan memandangiku dengan lekat dan sadis. Ia membungkam mulutku dengan tangannya yang terluka.

"Perkataan hina!!" Ujarnya hingga membuatku terbelalak. "Jangan pernah katakan hal itu lagi di depan siapapun, kalau kau masih ingin hidup di dunia ini!!" Lanjutnya, terdengar begitu serius hingga membuatku bergidik ngeri.

"Mengerti?!" Lanjutnya lagi, dan aku langsung mengangguk. Ia melepaskan bekapan tangannya dari mulutku sambil menatap ibunya yang sedang melirik ke arah pintu dan jendela pondok.

"Syukurlah, tidak ada orang di luar." Lanjutnya.

"Dengar ya!! Raja itu sangat mulia, begitu pula dengan ratunya. Berbicara begitu dengan derajat kita seperti ini hanya akan membuatmu mati dengan terhina. Bahkan mayatmu tak akan di lihat oleh sesiapapun selepas kematianmu!! Camkan itu, bod*h!!" Bentak Raka di hadapan wajahku.

Dia kasar dan dingin sekali. Apakah dia tak bisa memperlakukan orang yang baru ia temui dengan baik??

"Tapi.. aku memang melihat yang seperti itu di masa de-" Aku terbungkam ketika Raka menatapku dengan tajam. Lagi.

Aku meringis, bukan karena tatapannya yang menyakitiku, tapi karena kakiku yang terus mengucurkan darah mulai terasa berdenyut dan nyeri.

"Oh! Ayu, darahmu tak berhenti!" Ujar ibu Sari, begitu panik.

Raka langsung merunduk di hadapanku, memeriksa kedalam luka di kakiku serta luka bakar yang mengikutinya di sekitar kulitku. Kalau ini mimpi, seharusnya aku tak akan pernah merasakan sakit.

Tapi hal bod*h apa lagi yang dapat menjelaskan kalau ini hanyalah mimpi, bukan kenyataan.

"Ini dalam. Kamu mencabuti anak panah itu sendiri?" Ia bertanya, dan aku hanya perlu mengangguk untuk membenarkan.

"Kita butuh obat di pasar, biar ibu yang pergi ke sana." Ujar Bu Sari panik, sambil bersiap mengambil tas kecil dari kulit kayu yang ia selempangkan di tubuhnya.

"Bu.. tak perlu!!" Ia terhenti. "Di sepanjang perjalanan ke sini, aku melihat ada beberapa tumbuhan yang bisa di gunakan untuk menyembuhkan luka dan menghentikan pendarahan." Mereka berdua mengernyit.

"Benarkah??" Aku mengangguk. "Kalau begitu, sebutkan ciri-cirinya. Biar aku yang mencarinya." Lanjut Raka hingga membuatku meringis masam.

"Itu sulit untuk orang awam!!" Ceplosku.

"Kau meremehkan ku?!" Raka terdengar tersinggung.

"Eh!! Bu.. bukan begitu. Tapi memang sulit sekali untuk menemukannya. Kau harus membawaku juga. Biar aku yang memilihnya." Ia terdiam sambil memandangiku.

"Kau bisa berjalan sendiri ke sana?" Aku hanya tersenyum, seolah mengisyaratkan betapa bodoh pertanyaannya.

.........

"Yang mana??" Tanyanya sambil meremas-remas beberapa dedaunan di dekatnya, ketika kami telah berada di sekitar hutan lebat.

"Jangan di begitu kan b*doh!! Nanti daunnya hancur!!" Keluhku sambil memeriksa beberapa daun dan memberikan contoh kepadanya.

"Lihat ini!!" Aku menunjukkan sebuah daun hijau ke hadapannya. "Daun ini namanya daun binahong. Daun ini memiliki sifat antiseptik yang membantu mempercepat proses penyembuhan luka. Caranya juga mudah, tinggal di tumbuk beberapa daunnya, dan tempelkan pada bagian yang terluka." Terangku sambil memetik beberapa daun lagi untuk mengobati lukanya juga.

Ia hanya terdiam sambil memandangiku. Tak bisa ku artikan tatapannya itu, hanya saja.. aku merasakan kalau itu adalah sebuah tatapan kekaguman.

"Ku rasa semua bentuk daunnya sama. Ku kira ini adalah rumput." Ujarnya sambil mengalihkan pandangannya dariku.

"Perkataan bod*h macam apa itu?! Mengingatkanku pada Nina dan Cin..." Aku lantas terdiam memandangnya.

Kini malah aku yang gantian terpesona menatap wajah lembutnya yang berbaur di antara rerumputan segar yang hijau. Kulit sawo matangnya nampak mengkilap, dan ia sama sekali tak memberikan ekspresi apapun pada tiap tatapan matanya.

"Apa aku benar?" Ia mengangkat beberapa daun dan menunjukkannya padaku. Aku sedikit terkesiap, namun buru-buru aku menghilangkan rasa aneh di dadaku.

"Ah! Benar!! Itu benar!!" Sahutku cepat.

"Sebaiknya kita cepat mengambil beberapa daun dan kembali. Aku tak mau ada yang menyadari kedatanganmu." Perkataannya lantas membuatku kebingungan.

"Hah? Kenapa?"

"Kau memakai pakaian yang berbeda dengan kami. Rambutmu tergerai, dan wajahmu sedikit berbeda pula dengan rakyat di sini. Kau akan menarik perhatian siapa saja yang melihatmu."

Aku tersenyum jahil melihatnya. "Heeeh, jadi kau juga tertarik padaku? Makanya waktu itu tiba-tiba saja kau datang dan menolongku??" Ledekku hingga membuatnya mendecakkan lidah. Lagi-lagi tatapannya kembali dingin.

"Aku datang karena melihatmu tiba-tiba jatuh dari atas langit. Apakah kamu sejenis Dewi?? Atau semacamnya?"

Aku tertegun mendengarnya. "Apa itu sebuah candaan?"

Ia nampak mengernyit. "Kalau begitu, anggap saja itu candaan. Dan jangan salah paham ketika aku menyelamatkanmu. Aku hanya sedang belajar untuk mencapai cita-cita ku." Lanjutnya sambil beranjak dan menghampiriku.

Ia memberikan punggungnya, untuk ku naiki seperti saat pergi ke tempat ini. Aku pun memeluknya, membiarkannya membawaku kembali ke rumahnya.

"Kalau kau sudah sembuh, silakan pergi dari rumahku." Lanjutnya hingga membuatku tersedak. Ingin sekali aku memukul kepalanya dari belakang, tapi kalau ku lakukan.. aku pun akan jatuh dari gendongannya.

"Aku tahu." Singkatku.

Lagi pula aku akan kembali ke pantai dan mencari tahu bagaimana caranya agar aku bisa kembali ke rumahku. Sebelumnya aku harus bertemu raja Anggara ku terlebih dahulu. Mengacaukan hubungan raja dan istrinya, serta menggerebek perselingkuhan si istri dengan panglima.

"Uuuu.. nanti pasti namaku akan terukir di sejarah, sebagai pahlawan yang mulia Raja Anggara." Gumamku sambil menggeliat di punggung Raka.

"Tenanglah sedikit!! Kau seperti cacing kepanasan! Mau ku lempar ke dalam lembah sana?" Ancamnya hingga membuatku terdiam.

Sesampainya di rumah, aku meminta alat penumbuk pada Bu Sari. Ku tumbuk beberapa helai daun hingga hancur dan menempelkannya pada bagian luka di kakiku.

"Benarkah bisa menyembuhkan luka? Itu terlihat seperti rumput?" Gumam Bu Sari ketika melihatku berani menempelkan luka dengan daun yang ia sebut sebagai rumput.

"Tentu bisa, ini namanya daun binahong." Sahutku.

"Kamu tahu dari mana kalau itu memang bisa menyembuhkan luka?"

"Hmm.. aku pernah belajar sains di SMA, daun ini memang bekhasiat untuk menyembuhkan luka, Bu." Terangku.

"SMA?? Sains?? Benda apa itu?" Aku lantas tersedak mendengar perkataan Bu Sari. Sementara Raka hanya menatap dingin padaku sambil melipat kedua tangan ke dadanya.

"Oh, kamu juga terluka kan? Berikan tanganmu padaku!!" Pintaku sambil menengadahkan tanganku ke arahnya, sekalian mengalihkan pembicaraan Bu Sari.

"Nanti kalau aku mati bagaimana? Kamu bukan tabib, jadi untuk apa di percaya!! Lagi pula sebaiknya mandi dan ganti baju anehmu itu!! Jangan menarik perhatian orang lain." Sahutnya dingin, sambil berlalu dari hadapan kami.

"Kalau bakalan mati, aku tak akan berani mengobati diriku sendiri dengan ini." Gerutu ku sambil menatapnya membanting pintu. Apa dia mau pondok reyot ini roboh?

Aku hanya terdiam memperhatikan tingkah anehnya. Apa dia membenciku? Sejak awal kedatangan, sifatnya dingin begitu? Bahkan dia jelas-jelas sudah mengusirku.

"Oh, iya Ayu. Ayo ibu temani mandi. Di belakang rumah ada danau yang tertutup daun lebat. Jarang di pakai untuk umum karena banyak yang tak mengetahui keberadaannya. Kamu masih bisa berjalan sendiri? Atau mau di gendong Raka seperti tad-"

"Ah! Jangan!!" Sergahku cepat. "Masa' dia menemani seorang gadis mandi?" Keluhku hingga membuat Bu Sari tertawa.

"Dia anak baik. Tak akan melakukan hal yang macam-macam." Singkatnya. "Kalau begitu, ibu dorong kamu pakai gerobak saja."

"Hah?! Ge.. gerobak?!"

..........

Aku membasuh tubuhku dengan sebuah gayung tradisional yang terbuat dari batok kelapa dan sebuah kayu yang mengaitnya. Aku menyirami tubuhku tanpa mengenai bagian kaki yang terluka.

Sabunnya aneh, seperti lemak hewan namun sedikit licin dan berbusa. Sikatnya dari sabut kelapa, baunya aneh.. tidak wangi, tapi bisa membuat kulit bersih setelahnya.

Sambil menyikat tubuhku, ibu Sari mengoleskan sesuatu ke rambut ku. Apakah ini yang dinamakan sabun dan sampo zaman dulu??

"Rambutmu indah dan panjang, tapi kenapa warnanya sedikit kusam? Apa kamu dari kerajaan asing berhidung panjang?" Aku segera menggeleng mendengarnya.

"Bukan.. bukan hidung panjang asing!!" Sahutku panik, membuat ibu Sari kembali tertawa.

"Apa kakimu masih sakit?"

"Sedikit." Jawabku. "Tapi, luka Raka sedikit dalam dan lebar. Ada luka bakarnya juga, apa dia tak apa-apa?" Lanjutku, bertanya dengan begitu hati-hati.

"Luka?" Ibu Sari malah mengulangi kalimatku. Aku sedikit berbalik untuk melihat wajahnya itu. "Dia sudah biasa terluka, bahkan hal itulah yang merenggut senyuman dari wajahnya." Aku terkesiap mendengarnya.

"Jadi.. karena itu dia jarang tersenyum?" Ibu Sari hanya mengangguk.

"Lukanya terlalu lebar. Jadi luka yang kamu lihat tak akan ada apa-apa baginya." Terangnya, membuatku menunduk lirih.

"Sesakit apa luka yang ia rasakan, dan apa penyebab yang melatarbelakanginya?" Pertanyaanku lantas tak mendapatkan jawaban darinya. "Maaf, pertanyaan saya terlalu dalam ya?" Lanjutku, merasa kurang enak.

"Sebenarnya.. Raka sering melihat rakyat yang terluka karena korban dari peperangan antar kerajaan dalam memperebutkan daerah kekuasaan. Hanya saja, baru kali ini ia membawa pulang seseorang yang terluka." Ia menceritakannya sambil tersenyum, dengan jemari yang terus mengusap rambutku.

"Kenapa dia datang ke tempat peperangan? Itukan bahaya?!"

Bu Sari kembali tersenyum dengan lembut. "Karena dia begitu mencintai rajanya, dia juga mencintai seluruh rakyat rajanya. Dan memiliki impian untuk menjadi seorang prajurit yang membela kerajaan. Itulah impiannya."

"Mungkin saja kata mati sudah tak menakutkan lagi baginya, makanya dia begitu berani untuk menjadi seorang prajurit di umur semuda itu. Ia sering berlatih, memanah, mengayunkan pedang, menunggangi kuda, dan ia akan mengikuti pelatihan kerajaan beberapa hari lagi. Ia semangat sekali." Terangnya.

Tak takut mati?? Padahal dia tadi tak mau ku obati karena takut mati. Aku lantas mengerutkan dahi. "Pelatihan kerajaan? Apa itu?"

"Hm? Kamu tidak tahu itu??" Aku terdiam dengan wajah ambigu. "Itu pelatihan yang digunakan untuk merekrut siapa saja yang hendak mengabdikan dirinya pada raja berserta rakyat. Mereka yang paling kuat akan di pilih dan di latih oleh panglima kerajaan langsung-"

"Panglima!!" Aku setengah berteriak mendengarnya, dan tentu saja Bu Sari terkesiap.

"Ada apa?"

Aku segera menggeleng. Tak mungkin kan kalau aku bilang, si panglima itu yang berselingkuh dengan sang ratu. Bisa-bisa aku mati di zaman ini, padahal belum sempat kembali ke duniaku. Aku benar-benar menganggap serius perkataan Raka kepadaku.

"Apakah aku bisa datang untuk melihat Raka latihan?" Tanyaku. Sebenarnya aku hanya bermaksud untuk melihat wajah si panglima gila itu. Siapa tahu aku bisa bertemu dengannya di situ.

"Kalau belum sampai ke kerajaan, kamu bisa melihatnya berlatih. Karena camp pelatihan jaraknya memang tak jauh dari sini. Kamu bisa memberikannya makanan, dia pasti senang." Aku mengangguk dengan semangat.

Maaf ya Raka, aku hanya ingin bertemu dengan orang-orang yang pernah ku baca di buku sejarah. Jadi, karena kau memberikanku jalan, aku akan sedikit memperalatmu. Hehe, terdengar jahat tapi sangat menyenangkan.

Sampai di rumah selepas mandi, aku di kenakan pakaian yang sama dengan yang di pakai oleh Bu Sari. Dari kulit kayu, apakah ini akan terlepas dan menelanj*ngiku nanti???

"Apakah ini akan terbuka?" Tanyaku.

"Ini kuat. Apa kamu belum pernah memakainya?" Aku menggeleng. "Rambutmu harus diikat, tidak boleh di urai. Karena yang boleh mengurai rambut hanyalah kaum bangsawan dan putri kerajaan yang masih gadis dan belum menikah." Aku langsung menatap sengit ke arah ibu Sari.

"Bukankah itu diskriminasi? Mereka seolah ingin terlihat cantik sendiri. Aku kan cantik kalau di urai, kalau rambutku diikat?? Seperti ibu-ibu kan?" Aku kembali mengeluh, dan dengan sabar ibu Sari hanya tertawa mendengar ocehanku. Ia benar-benar jauh dari sifat ibuku yang menurunkan sifat bar-bar nya padaku. Bu Sari sangat keibuan. Beruntungnya Raka.

"Memang tak boleh ada yang terlihat cantik, ataupun berpakaian menarik. Kecemburuan mereka tak berdasar, kamu bisa-bisa di penjara hanya karena terlalu cantik atau berpakain berbeda dari yang lain." Aku langsung bergidik. Separah itu?? Aku tak pernah membaca hal ini di buku sejarah manapun.

"Sudah selesai. Kamu sudah rapi dan sederhana." Gumamnya, sambil berbalik ke hadapanku selepas menguncir rambutku dan menyanggulnya.

"Apa aku tak boleh bercermin??"

Ibu Sari hanya mengangguk. "Bercerminlah dalam pantulan air jernih. Kamu akan melihat wajahmu di sana. Cermin hanyalah untuk kaum bangsawan, dan tak ada seorang gadis pun yang boleh memilikinya meskipun berukuran sebesar kuku jari."

Aku menenggak ludah. Aku juga tak pernah membaca peraturan seperti ini dalam sejarah. Apakah memang seperti ini???

"Bu, aku.."

Aku dan Bu Sari lantas menoleh ke arah pintu kayu yang tiba-tiba saja berderit dan terbuka, menampakkan Raka yang terdiam sambil menatap ke arahku dengan wajah datar.

"Aku lapar." Singkatnya sambil mengabaikanku.

"Raka, lihat.. dia masih cantik bahkan dengan baju sederhananya." Ujar ibu Sari, nampak begitu khawatir.

"Jika tak ada pihak kerajaan yang melihatnya, itu tak masalah. Selepas kakinya sembuh, usir dia dari rumah kita." Lagi-lagi ia mengatakan kalimat sedingin itu.

"Raka..." Ibu Sari terlihat tak nyaman dengan perkataan anaknya.

"Aku tahu! Jadi jangan bicara seperti itu berkali-kali!! Aku sadar diri kok! Aku akan pergi kalau sudah sembuh, dan aku tak mau melihat wajahmu lagi setelah itu!!" Balasku penuh keegoisan.

"Bagus!" Ia malah terdengar lega sambil duduk di atas meja kayu berbentuk bulat, yang letaknya berada di tengah-tengah tenda. Tenda ini bentuknya pun bulat. Hanya ada dua tempat tidur, dua meja, dan satu lemari pakaian. Selebihnya seperti peralatan dapur yang di gantung di dekat dinding tenda atau di luar pondok ini.

"Ayu, kita makan sama-sama." Ajak ibu Sari sambil menuntunku ke meja makan.

Aku dan Raka saling berhadapan dalam diam ketika Bu Sari mempersiapkan hidangan ke atas meja. Meski diam, tatapan kami begitu sengit seperti sedang saling berkelahi satu sama lain.

"Berikan tanganmu!!" Pintaku ketus. Ia hanya diam dan mengabaikan.

"Berikan!!" Aku langsung mengambil dan membukanya, melihat lukanya masih basah dan nampak terus mengeluarkan darah.

"Apa yang kau lakukan dengan tanganmu?!" Perkataanku lantas membuat Bu Sari menilik ke arah kami. "Kamu melakukan sesuatu yang membuatnya semakin parah?!"

"Jangan ikut campur!!"

"Kamu juga jangan bod*h dan keras kepala!! Ini harus di obati." Aku mengambil beberapa daun yang telah ku tumbuk di atas meja dan menempelkan ke tangannya.

Meski ketus, tapi ia membiarkan aku melakukannya. "Kalau terluka, harus di obati.. bukan di biarkan."

"Di obati atau di biarkan, dia tetap akan sembuh juga." Aku langsung meringis menatapnya.

"Akan terlihat berbeda. Jika dia sembuh dengan di obati, maka lukanya akan cepat kering dan bekasnya tak akan kentara. Tapi kalau tak di obati, selain sakit, bekasnya pun akan terlihat jelas meski lukanya sudah tak berdarah lagi!!" Ia langsung terkesiap, seolah tersengat sesuatu.

Tangannya sedikit bergetar ketika mendengar ucapanku. "Jangan sok tahu mengenai luka jika kau tak benar-benar mengalaminya dengan serius."

"Meski tak mengalaminya, aku punya kemampuan untuk merasakan sakitnya meski hanya sekedar melihatnya. Dan sepertinya... kau memaksakan diri dengan membiarkan lukamu terus menganga. Kalau begitu, sampai kapanpun kau tak akan benar-benar sembuh dari rasa sakitmu." Tuturku, namun sepertinya itu membuatnya sangat marah dan tersinggung.

Ia lantas menampik tanganku dengan kasar ketika mendengar ocehanku. Aku begitu kaget karena ia benar-benar memukul tanganku dengan tenaganya. Ia keluar dari rumah tanpa mengatakan sepatah kalimat pun.

"Raka, makanannya baru saja siap!" Ucap Bu Sari ketika baru saja masuk ke dalam tenda dari pintu yang ada di belakang. "Kenapa dia keluar? Apa kalian bertengkar?" Tanya Bu Sari hingga membuatku merasa bersalah dan tidak nyaman.

"Aku hanya menceramahi tentang luka, tapi dia terlihat begitu marah." Sahutku pelan dan entah kenapa, aku merasa begitu khawatir selepas kepergiannya.

Entah aku salah lihat atau tidak, tapi.. aku sempat melihat air matanya yang jatuh, meski ia telah memunggungiku dengan cepat.

Sebenarnya, luka seperti apa yang telah menyayatnya? Aku tak melihat luka berarti di tubuhnya..

Atau jangan-jangan, luka itu...

Ada di dalam hatinya??

.......

.......

.......

.......

...Bersambung......

Terpopuler

Comments

maytrike risky

maytrike risky

Apakah permaisuri raja berselingkuh dengan Raka?

2024-01-17

0

jasumin-kun no hana~

jasumin-kun no hana~

mancung? apakah maksudya para bule?

2023-12-23

0

uwa_uwa

uwa_uwa

jangan" permaisuri raja adalah ayu dan panglimanya adalah raka 😂😂

2022-11-19

0

lihat semua
Episodes
1 Terdampar
2 Luka
3 Perjanjian
4 Pencarian
5 Terimakasih
6 Pelatihan Final
7 Hasilnya adalah...
8 Penyebabnya
9 Pasien Kedua
10 Bayaran
11 Pertemuan dan Pesan
12 Pertengkaran
13 Our Mission
14 Smile for Me
15 Love??
16 Titah
17 Konsekuensi
18 Kesalahan Analisis
19 Sayembara 17
20 Memendam atau Menyampaikan?
21 Ada apa?
22 Mencarimu..
23 Menyetujui
24 Penipuan??
25 Jatuh ke Tangan yang Salah
26 Licik??
27 Pembuat Onar
28 Berkhianat??
29 Ada apa dengan Belati?
30 Dalam Bahaya !
31 Persiapan
32 Urgent
33 Ketulusan
34 Di balik Layar
35 Di Ambang Batas
36 Sembuhkan Aku
37 Berhentilah Menangis
38 Kemarahan
39 Kehilangan Segalanya
40 Rahasia Dibong?
41 Kita Keluarga
42 Senjata apa?
43 Senjatanya adalah...
44 Perbudakan
45 Benarkah Cemburu??
46 Apa Tujuannya??
47 Rahasia paman Tira
48 Kenyataan Tulus
49 Pahlawan Kami
50 Tabib dalam Bahaya
51 Kisah sebelum Tidur
52 Anestesi Alami
53 Semangat dari Raka
54 Sesuatu dari Kun
55 Kesediaan
56 Pertemuan dengan Ratu Renila
57 Cinta Pertama
58 Hukuman Kegagalan
59 Pengabaian
60 Sepasang Kekasih
61 Ini Hukumannya???
62 Ternyata Perduli
63 Jadi Bangsawan
64 Serangan Lelaki Misterius
65 Raja Abadi
66 Sosok sang Pemuda
67 Belati Agam?
68 Kerja Sama di Mulai
69 Tujuan Terselubung
70 Misi para Pangeran
71 Pembahasan Rahasia
72 Tantangan Ayu
73 Perasaan Raka
74 Siapa Anda?
75 Prosesi Sayembara Tujuh Belas
76 Alasan Terdampar
77 Spekulasi Dara
78 Benang Merah
79 Rahasia Raja Anggara
80 Pahlawan atau Penjahat?
81 Serangan?!
82 Tempat Rahasia
83 Perhitungan dan Pengangkatan
84 Dua Kubu?
85 Ritual dan Pembelaan dari Rakyat
86 Pemicu
87 Malapetaka
88 Anak dalam Ramalan
89 Takdirmu?
90 Penyiksaan
91 Hati yang Terpaut
92 Serangan di Mulai
93 Menunggu Kebangkitan
94 Serangan Rahasia?
95 Titah yang Mulia Tira
96 Pertolongan datang!!
97 Adu Domba
98 Peperangan di Mulai
99 Semangat yang Membara
100 Kemenangan??
101 Tertangkap!
102 Perasaan seorang Ayah
103 Tiba di Kerajaan
104 Telah Terpilih
105 Perasaan
106 Isi Hati Raka
107 Cinta seorang Ayah
108 Di Intai?
109 Manipulasi
110 Pancingan
111 Kembali Hidup
112 Terbongkarnya Kasus Pembantaian
113 Lelakimu
114 Apa Maksud Agam?
115 Pertemua Awal
116 Terbongkar
117 Terdesak
118 Pengorbanan
119 Kebohongan yang Indah
120 Gambaran Aneh
121 Di Dadaku?
122 Kecemburuan?
123 Citra raja Anggara
124 Raja Anggara tak Seburuk itu
125 Lebih dari Materi
126 Mencoba Melawan
127 Apa Tujuan Kun?
128 Cinta Tulus
129 Mimpi
130 Citra kedua
131 Sesuatu Terjadi
132 Siasat?
133 Kebenaran yang Menyakitkan
134 Don't Hurt
135 Ucapan Terimakasih
136 Karma dan Masa Lalu
137 Penghibur Kesedihan
138 Tali Simbolis
139 Arti Tali Pengikat
140 Rencana Rahasia
141 Sudah di Mulai?
142 Ritual di Mulai
143 Dalam Bahaya!
144 Masa Depan, Berawal dari Masa Lalu
145 Lost Contact
146 Keanehan
147 Dia adalah Ludira
148 Kesadaran yang tak Sadar
149 Masih Terpasang
150 Kebohongan yang Berlarut
151 Alasan
152 Masa Lalu yang Pahit
153 VS
154 Di Larang Mendekat !
155 Sama namun Berselisih
156 Interogasi
157 Sesuai Rencana
158 Masuk Jebakan
159 Mendesak
160 Misi di Terima
161 Ketahuan?
162 Siasat Kartu Mati
163 Masuk Penjara
164 Terjebak?
165 Pembuktian Selesai
166 Berawal dari Sini
167 Melenyapkan Ludira
168 Darah Pembangkitan
169 Usaha yang Percuma
170 Terpancing
171 Pertemuan Lagi
172 Perasaan Ayah dan Anak
173 Sifat Asli Manusia
174 Kebersamaan dengan Ayah
175 Mencari Kebenaran
176 Terselamatkan
177 Mempertahankan Cinta
178 Akan di Mulai
179 Yang di Cinta dan yang Kehilangan Cinta
180 Usaha Keras
181 Gawat Darurat
182 Kekacauan di Mulai
183 Menunggu Hukuman di Jatuhkan
184 Kesadaran yang tak di Harapkan
185 Genting
186 Kegagalan Raka
187 Raka
188 Kematian Agam
189 Tak Sungguh Pergi
190 Bertemu tuan Tira
191 Bersamanya Ayah dan Anak
192 Penyerangan di Mulai
193 Pemicu
194 Serangan Balasan di Mulai
195 Pertarungan Atas Nama Agam
196 Pelindung Datang
197 Mati dan Kembali
198 Paradoks : Awal = Ending
Episodes

Updated 198 Episodes

1
Terdampar
2
Luka
3
Perjanjian
4
Pencarian
5
Terimakasih
6
Pelatihan Final
7
Hasilnya adalah...
8
Penyebabnya
9
Pasien Kedua
10
Bayaran
11
Pertemuan dan Pesan
12
Pertengkaran
13
Our Mission
14
Smile for Me
15
Love??
16
Titah
17
Konsekuensi
18
Kesalahan Analisis
19
Sayembara 17
20
Memendam atau Menyampaikan?
21
Ada apa?
22
Mencarimu..
23
Menyetujui
24
Penipuan??
25
Jatuh ke Tangan yang Salah
26
Licik??
27
Pembuat Onar
28
Berkhianat??
29
Ada apa dengan Belati?
30
Dalam Bahaya !
31
Persiapan
32
Urgent
33
Ketulusan
34
Di balik Layar
35
Di Ambang Batas
36
Sembuhkan Aku
37
Berhentilah Menangis
38
Kemarahan
39
Kehilangan Segalanya
40
Rahasia Dibong?
41
Kita Keluarga
42
Senjata apa?
43
Senjatanya adalah...
44
Perbudakan
45
Benarkah Cemburu??
46
Apa Tujuannya??
47
Rahasia paman Tira
48
Kenyataan Tulus
49
Pahlawan Kami
50
Tabib dalam Bahaya
51
Kisah sebelum Tidur
52
Anestesi Alami
53
Semangat dari Raka
54
Sesuatu dari Kun
55
Kesediaan
56
Pertemuan dengan Ratu Renila
57
Cinta Pertama
58
Hukuman Kegagalan
59
Pengabaian
60
Sepasang Kekasih
61
Ini Hukumannya???
62
Ternyata Perduli
63
Jadi Bangsawan
64
Serangan Lelaki Misterius
65
Raja Abadi
66
Sosok sang Pemuda
67
Belati Agam?
68
Kerja Sama di Mulai
69
Tujuan Terselubung
70
Misi para Pangeran
71
Pembahasan Rahasia
72
Tantangan Ayu
73
Perasaan Raka
74
Siapa Anda?
75
Prosesi Sayembara Tujuh Belas
76
Alasan Terdampar
77
Spekulasi Dara
78
Benang Merah
79
Rahasia Raja Anggara
80
Pahlawan atau Penjahat?
81
Serangan?!
82
Tempat Rahasia
83
Perhitungan dan Pengangkatan
84
Dua Kubu?
85
Ritual dan Pembelaan dari Rakyat
86
Pemicu
87
Malapetaka
88
Anak dalam Ramalan
89
Takdirmu?
90
Penyiksaan
91
Hati yang Terpaut
92
Serangan di Mulai
93
Menunggu Kebangkitan
94
Serangan Rahasia?
95
Titah yang Mulia Tira
96
Pertolongan datang!!
97
Adu Domba
98
Peperangan di Mulai
99
Semangat yang Membara
100
Kemenangan??
101
Tertangkap!
102
Perasaan seorang Ayah
103
Tiba di Kerajaan
104
Telah Terpilih
105
Perasaan
106
Isi Hati Raka
107
Cinta seorang Ayah
108
Di Intai?
109
Manipulasi
110
Pancingan
111
Kembali Hidup
112
Terbongkarnya Kasus Pembantaian
113
Lelakimu
114
Apa Maksud Agam?
115
Pertemua Awal
116
Terbongkar
117
Terdesak
118
Pengorbanan
119
Kebohongan yang Indah
120
Gambaran Aneh
121
Di Dadaku?
122
Kecemburuan?
123
Citra raja Anggara
124
Raja Anggara tak Seburuk itu
125
Lebih dari Materi
126
Mencoba Melawan
127
Apa Tujuan Kun?
128
Cinta Tulus
129
Mimpi
130
Citra kedua
131
Sesuatu Terjadi
132
Siasat?
133
Kebenaran yang Menyakitkan
134
Don't Hurt
135
Ucapan Terimakasih
136
Karma dan Masa Lalu
137
Penghibur Kesedihan
138
Tali Simbolis
139
Arti Tali Pengikat
140
Rencana Rahasia
141
Sudah di Mulai?
142
Ritual di Mulai
143
Dalam Bahaya!
144
Masa Depan, Berawal dari Masa Lalu
145
Lost Contact
146
Keanehan
147
Dia adalah Ludira
148
Kesadaran yang tak Sadar
149
Masih Terpasang
150
Kebohongan yang Berlarut
151
Alasan
152
Masa Lalu yang Pahit
153
VS
154
Di Larang Mendekat !
155
Sama namun Berselisih
156
Interogasi
157
Sesuai Rencana
158
Masuk Jebakan
159
Mendesak
160
Misi di Terima
161
Ketahuan?
162
Siasat Kartu Mati
163
Masuk Penjara
164
Terjebak?
165
Pembuktian Selesai
166
Berawal dari Sini
167
Melenyapkan Ludira
168
Darah Pembangkitan
169
Usaha yang Percuma
170
Terpancing
171
Pertemuan Lagi
172
Perasaan Ayah dan Anak
173
Sifat Asli Manusia
174
Kebersamaan dengan Ayah
175
Mencari Kebenaran
176
Terselamatkan
177
Mempertahankan Cinta
178
Akan di Mulai
179
Yang di Cinta dan yang Kehilangan Cinta
180
Usaha Keras
181
Gawat Darurat
182
Kekacauan di Mulai
183
Menunggu Hukuman di Jatuhkan
184
Kesadaran yang tak di Harapkan
185
Genting
186
Kegagalan Raka
187
Raka
188
Kematian Agam
189
Tak Sungguh Pergi
190
Bertemu tuan Tira
191
Bersamanya Ayah dan Anak
192
Penyerangan di Mulai
193
Pemicu
194
Serangan Balasan di Mulai
195
Pertarungan Atas Nama Agam
196
Pelindung Datang
197
Mati dan Kembali
198
Paradoks : Awal = Ending

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!