Saat sudah berhadapan Sendra hanya menatap tepat di wajah Lewi dengan senyum yang mengembang sempurna.
"Hi, Rean, mau pulang ya?"
"Iya, kami mau pulang..."
Senyum yang selalu nampak sejak tadi, kini menghilang di wajah Lewi. Kharis melepaskan tangannya dari genggaman Lewi, tapi Lewi malahan langsung menaikkan tangannya kini merangkul Kharis. Semua itu tidak lepas dari perhatian Sendra. Terlihat ada yang berubah di raut wajahnya.
"Hello Kharis..."
Sendra menyapa, menatap Kharis sebentar.
"Hai, kak Sendra..."
Sendra kembali memandang Lewi. Sementara Lewi mempererat rangkulan tangan kirinya di bahu, dan tangan kanannya merapikan rambut di bagian samping telinga kanan Kharis. Seolah tidak terlalu mempedulikan Sendra.
Kharis menyadari sesuatu, mereka berdua bukan hanya sekedar saling kenal. Itu yang Kharis tangkap kemudian, gestur tubuh mereka menunjukkan itu. Lewi yang biasanya ramah dan murah senyum, terlihat kaku dan acuh, sementara Sendra justru menunjukkan adanya kedekatan, memanggil dengan cara yang sangat akrab.
"Kami duluan..."
Masih dengan wajah kaku, Lewi kemudian menarik Kharis melangkah.
"Ayo sayang..."
"Re... nanti aku telpon, ya..."
Lewi tidak menjawab juga tidak menoleh, Kharis serba salah pengen pamit tapi sudah dibawa menjauh oleh Lewi.
Di mobil...
"Kakak kenal kak Sendra?"
"Iya..."
"Udah lama kenal?"
"Iya... Mmm, nanti saja aku cerita ya... Aku malas bahas dia."
"Aku pengen tahu bagaimana kakak bisa kenal kak Sendra, terus..."
"Riris... please, kita nikmati waktu kita ya, bahas tentang kita aja, bukan orang lain, ok?"
Lewi memotong kemudian. Benar-benar tidak ingin bicara soal Sendra. Akhirnya Kharis memilih bersandar dan memejamkan matanya, belajar untuk memahami Lewi dengan memberi dia waktu.
Waktu terasa berjalan lambat. Banyak tanya di hati, ada yang mulai mengganggunya, apakah Lewi ada hubungan dengan putusnya jalinan kasih Revy dan Sendra. Memilih tidak bertanya apapun menjadi pilihan untuk ketenangan saat ini.
Beberapa waktu berlalu dalam kebisuan, memasuki batas kota Kharis merasakan usapan lembut di kepalanya, dia membuka mata menoleh, kini wajah Lewi tidak sekaku tadi, dia juga menoleh dan tersenyum. Masih tak ada suara, tapi melegakan dibanding tadi. Tangan kiri itu kini turun menggenggam tangan Kharis, meletakkan genggaman itu di atas paha kirinya.
Lewi melewati gerbang masuk ke dalam perumahan dan berbelok ke arah ruko yang ada berjejer di depan perumahan itu. Mobil diparkir di depan sebuah kafe.
"Mampir sebentar ya... masih pengen bersama kamu."
Ternyata kafe itu milik teman kuliah Lewi, seorang lelaki matang berkepala plontos, nampaknya sudah menikah. Sejenak mereka saling menyapa, dan Lewi langsung memesan dua Hot Chocolate. Lewi kemudian mengajak Kharis ke area atas yang semi terbuka. Mereka memilih duduk di sofa setengah lingkaran dengan meja bulat, cukup nyaman untuk bersantai sejenak.
Duduk berdampingan tidak terlalu dekat, Lewi bersandar di sofa sementara Kharis duduk dengan kedua siku bersandar di meja dan mengamati interior kafe itu yang terkesan sederhana tapi nyaman. Hanya ada beberapa set sofa, mungkin diperuntukkan sebagai area privat karena ada sekat teralis kayu dan pohon bambu hias di antaranya walaupun tidak besar. Baru sekali ini Kharis datang di kafe itu meskipun dekat rumah.
Belum ada yang memulai percakapan, masing-masing dengan pikiran sendiri. Dua Hot Chocolate sudah tersaji dan belum tersentuh.
Lewi memainkan jemari tangan kanannya di rambut Kharis, pandangannya ada di kepala mungil berambut hitam lurus sebahu itu. Kharis memperhatikan tingkah Lewi, mencari bertemu bola mata yang fokus ke bagian atas kepalanya itu. Lama... Lewi hanya sedikit melirik kemudian kembali asyik sendiri menikmati apa yang dia lakukan di kepala gadisnya. Akhirnya dia bersuara...
"Nggak suka warnain rambut ya?"
"Nggak... lebih suka seperti ini, yang alami. Kakak malahan yang sering ganti warna, di-highlight lagi, hehehe."
"Nggak suka ya... "
"Suka... berasa pacaran sama oppa Korea, hehehe..."
"Kamu... "
Tersenyum gemas mengacak-acak rambut, kemudian merapihkan lagi masih dengan jemarinya.
"Riris.... Kamu tahu... alasan aku ambil S2 di sini, menolak semua tawaran mami karena kamu. Ya... aku sudah jatuh cinta sama kamu, diam-diam perhatiin kamu. Sampai minta tolong papi untuk ngomong ke om Didi supaya kamu aktif juga di komunitas... biar sering ketemu kamu..."
"Kok aku merasa sebaliknya, kakak nggak suka..."
"Aku menahan diri. Tapi waktu kamu nggak muncul lagi di sekretariat, jendela kamar kamu nggak pernah terbuka, nggak lihat kamu lewat dengan motor, aku jadi gelisah, apalagi waktu dengar kamu sakit. Sebulan nggak lihat kamu rasanya ada yang kurang dalam diri aku. Saat itu aku janji nggak akan menahan diri lagi."
Tangan masih di kepala berganti mengusap penuh rasa sayang.
"Akhirnya kita jadi kekasih.... Aku bahagia Riris..."
Lewi menarik gadis itu ke pelukannya, mencium lembut pelipis gadis itu. Sesaat tubuh Kharis menegang dalam pelukan. Tiba-tiba ada yang menjalar aneh di tubuhnya seperti rasa dingin tetapi nyaman. Ketika tangan Lewi yang satu mengusap-usap punggungnya perlahan tubuh Kharis rileks dan justru mendamba keintiman itu. Dia kemudian merespon dengan menyusupkan kedua tangannya di antara lengan itu juga mendekap tak ingin mengakhiri.
"Aku juga bahagia, kakak..."
"Jangan tinggalin aku, ya... janji.."
Lewi mengurai pelukan beralih memegang kedua tangan Kharis dan menatap lekat netra gadis manis itu.
"Kita baru aja jadian, belum tahu seperti apa hubungan kita ke depan, aku tidak mau menjanjikan apapun... kita jalani saja dengan baik, sambil saling jaga hati."
"Riris, aku butuh janji kamu... meskipun kita baru mulai, aku ingin kita tidak saling meninggalkan apapun yang ada di depan. Please, janji sama aku..."
Ada sesuatu dalam pikirannya yang belum bisa dia ungkapkan sampai dia tahu seberapa kuat cinta mereka berdua telah tertambat. Dalam hatinya dia yakin akan Kharis dan ingin memperjuangkan perasaannya tersebut. Tapi dia belum tahu hati Kharis yang sesungguhnya, yang dia tahu Kharis juga suka padanya. Tapi dia butuh lebih dari itu.
"Aku takut berjanji kemudian tidak sanggup menepati..."
Lewi menarik napas, menghembuskan perlahan. Dia memang tidak bisa memaksa jika itu sikap Kharis sekarang.
"Jika kakak punya tujuan dan keinginan tentang kita di masa depan, mari kita jalani dengan benar, kita perkuat hubungan kita dengan saling jujur dan saling percaya. Aku memang belum pernah pacaran sebelumnya, tapi aku punya prinsip sendiri, pacaran bukan sekedar have fun, sayang-sayangan hanya sebagai pelepasan emosi. Pacaran juga bagian untuk belajar dewasa menurut aku..."
"Kamu memang berbeda, Riris... Aku bersyukur banget kamu itu milik aku. Baiklah... Yang penting sekarang, kita berdua nggak main-main dengan hubungan ini... setuju sayang?"
Kharis menganggukkan kepala disertai senyum manis. Melihat senyum itu Lewi langsung mendaratkan satu kecupan singkat di pipi kiri yang langsung memerah juga. Lewi tertawa melihat pipi merah itu, tak tahan tangannya mencubit pipi itu menahan sampai gadisnya menarik wajahnya. Menggemaskan reaksi malu-malu gadisnya saat berada sedekat ini dan saat menerima perlakuan sayang darinya.
Dia sedikit mengharapkan gadisnya bermanja-manja seperti yang dilakukan gadis lain sekalipun mereka bukan pacar senang banget nempel-nempel dan cari-cari kesempatan... tapi nampaknya Kharis bukan tipe seperti itu... ---mungkin belum😉--
Lewi berjanji dalam hati tidak akan melepaskan Kharis, dia menemukan sesuatu dalam diri Kharis yang dia cari selama ini...
🌈🌈🌈
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Ayu galih wulandari
Kanjuuut kak..😘😘
2024-03-02
0
Sri Astuti
cewek yg punya prinsip itu mahal harganya
2023-07-17
1
Putri Minwa
semangat terus thor 💪💪💪, lanjut
2022-11-18
0