Tetangga Jadi Suami
Kharis membereskan kantong kresek yang tak terpakai untuk mengisi sembako itu dengan tangan gemetar, beberapa kali ia menarik napas perlahan menutupi rasa gugup yang sejak tadi menyerangnya.
Jaraknya dengan Lewi yang hanya dua meter membuat jantungnya berdetak tidak normal. Sementara laki-laki penyebab gejala aneh tubuhnya asyik dengan laptop di depannya, tidak terganggu dengan aktivitas Kharis dan dua temannya beberapa jam terakhir, padahal lumayan berisik. Lewi begitu fokus dan tentu saja tidak tahu kondisi hati gadis berkulit putih itu.
"Akhirnya selesai..."
Nivia mendudukkan tubuh lelahnya di sofa single di sudut ruangan. Membagi lima jenis sembako sejumlah tiga ratus kantong hanya bertiga cukup menguras energi.
"Khar, jumlahnya pas kan?" ujarnya memandang hamparan ratusan kantong berwarna merah.
"Iya.. Kak Hansel mana?"
Kharis bertanya sedikit melirik Lewi kuatir percakapan mereka mengganggu sang Ketua Tim Kerja Bakti Sosial yang masih setia menatap laptopnya sambil memainkan mouse di tangan kanannya. Segera ia menjauhkan diri setelah menyimpan kantong kresek di lemari tepat di belakang lelaki bertampang kalem itu.
"Lagi ke toilet, eh, itu dia..."
Nivia menunjuk ke arah pintu belakang.
Hansel masuk dan mengambil ranselnya di meja dekat Lewi...
"Bro, data penerima udah beres kan?"
"Iya.."
Lewi menjawab pendek tanpa mengalihkan pandangan.
"Aku langsung pulang ya, pengen istirahat besok kerjaan kita banyak... kalian mau pulang juga?"
Hansel menatap Kharis dan Nivia, menunggu jawaban.
"Iya kak..." jawab dua gadis itu bersamaan.
"Aku bareng Kharis aja, kak. Tapi besok jemput ya..." Nivia melempar senyum termanisnya dan Hansel hanya mengangguk menyanggupi.
"Pamit bro..."
Hansel keluar tanpa menunggu jawaban diikuti Kharis yang menatap Lewi sejenak saat mengambil tasnya di sebuah kursi, berlalu tanpa kata mengejar Hansel yang sudah mencapai pintu keluar. Kharis menunggu Nivia dekat motor maticnya, entah apa yang masih dilakukannya di ruangan itu. Ia membalas lambaian tangan Hansel yang pergi dengan Brio merahnya.
Kharis menempelkan kedua telapak tangannya, "hah, mengapa setiap bertemu dia, aku selalu seperti ini", batinnya sambil menggosokkan kedua telapak tangan yang masih terasa dingin.
Kembali matanya terarah ke pintu berharap Nivia segera muncul, 15 menit sudah dia menunggu. Sebenarnya ia ingin kembali ke ruangan itu, tapi rasa enggan bertemu Lewi lagi membuat ia urungkan niatnya.
Lewi, sosok yang entah kapan sudah menjadi penghuni hatinya. Apa yang menarik, Kharis tidak mampu menjabarkan yang jelas setiap kali melihat Lewi, ada yang beda di hatinya, selalu ada gemuruh, selalu ingin memandang wajah itu.
Tinggal bertetangga di sebuah perumahan dan meskipun setahun ini sering bertemu dalam berbagai kegiatan di komunitas binaan kantor papa mereka, Kharis dan Lewi tidak pernah saling bicara.
Selama ini Kharis hanya mencuri pandang atau menatap dalam diam setiap kali Lewi memimpin rapat atau mengatur semua kegiatan mereka. Atau memandang dari balik jendela kamarnya, saat Lewi menggelinding dan memasukkan bola ke ring basket yang di tempelkan di dinding luar garasi rumah Lewi.
Nivia muncul kemudian dan segera berlari menghampiri Kharis...
"Sorry... kak Lewi minta bantuan nge-print pembagian area kerja besok."
"It's ok, ayo pulang."
Kharis naik ke motornya dan memasang helm di kepalanya, menekan tombol start engine menoleh ke belakang memastikan Nivia sudah duduk dengan benar.
"Helm dipakai bukan dipangku nona manis..."
"Siap bu driver, gak bau kan helmnya.."
Nivia mengangkat helm pink di tangannya menatap wajah Kharis di kaca spion.
"Nggaklah, baru Kharis laundry," Kharis tertawa kemudian melajukan motornya.
"Kak Lewi nggak pulang, Niv?" Kharis tiba-tiba bertanya.
"Apa???"
Nivia menepuk bahu Kharis, suara Kharis tidak bisa didengarnya dengan baik.
"Ah.. nggak," teriaknya sadar dengan helm menutup kepala plus suara kendaraan bermotor volume suaranya harus ditambah.
"Untuk apa mencari tahu, dia pulang atau tidak bukan urusanku."
Kharis fokus ke jalanan tidak ingin larut dalam lamunan tentang kakak berwajah oriental itu.
*****
Pagi di akhir minggu. Hari H kegiatan Baksos ke daerah terdampak banjir di kota ini, kegiatan yang disponsori komunitas anak-anak karyawan di kantor ini. Kharis memarkir matic-nya bersisian dengan mobil pick up hitam. Gedung satu lantai dengan beberapa ruangan ini tepat di belakang Gedung utama bertingkat tiga kantor papanya.
Ruangan yang ia tuju yang bersebelahan dengan kafetaria itu masih terlihat sepi dari luar. Kharis melirik jam di tangan kanannya, tujuh lewat sepuluh, lebih awal 50 menit dari waktu yang ditetapkan untuk berkumpul. Haha... dia terlalu cepat datang.
Pintu masuk sudah terbuka berarti sudah ada yang datang. Degg, irama jantung Kharis langsung berubah. Seraut wajah yang sangat dikenalnya, si tetangga yang belum pernah absen mengisi lamunannya sedang menatapnya.
Kharis salah tingkah, ragu memutuskan, mau terus masuk ke dalam atau... akhirnya dengan perlahan, memutus kontak dengan sosok berkaos putih itu, sama sih dengan kaos yang ia gunakan seragam saat kegiatan baksos, ia masuk dan duduk agak jauh sambil mengambil ponsel di tas. Lagi-lagi tidak ada sapaan di antara mereka.
"Pagi, hai sayang...."
Suara lembut Peggy sekretaris Tim Kerja Baksos memecah kesunyian tiga puluh menit terakhir. Peggy langsung duduk di sebelah Lewi.
"Aku bawa Nasi Kuning, pasti kamu belum sarapan."
Suara yang mendayu-dayu itu kembali terdengar di telinga Kharis.
"Terima kasih."
Lewi mengambil bungkusan yang disodorkan Peggy.
Kharis segera menundukkan kepala kembali membaca pesan wa grup yang sedang ramai. Sejak tadi sebetulnya dia tidak tenang duduk di situ berdua saja dengan Lewi dan semakin risih sekarang mendengar interaksi dua insan di depannya yang seolah tidak melihatnya, padahal mereka berdua tahu, tadi Peggy sempat melempar senyum manisnya saat matanya bersirobok dengan Kharis.
"Dia tidak pernah mengajakku bicara, tapi dengan yang lain segitu akrabnya. Apa mereka berdua pacaran ya?"
Membatin, Kharis meletakkan helm yang ada di pangkuannya di atas meja dan segera beranjak dengan rasa sesak di hatinya, ia memutuskan menunggu teman-teman yang lain di luar.
Akhirnya mobil Hansel muncul, ada Nivia, Noni dan Melva turun. Bersamaan muncul Yudha, Enrico dan Temmy dengan motor masing-masing. Kharis menghembuskan nafas lega tersenyum menyambut mereka.
"Yud, Rico... langsung dimuat aja sembakonya ya. Gerak cepat teman-teman. Kita usahakan sebelum jam 12 pembagian sudah selesai."
Suara sang Ketua Tim terdengar, ia kemudian masuk ke mobil pick up hitam dan memundurkan mobil itu supaya lebih dekat dengan ruangan tempat sembako disimpan. Dengan cekatan melompat masuk ke dalam mobil terbuka itu, siap menunggu kantong-kantong sembako untuk disusun dengan baik.
Kesibukan pun langsung terlihat, semua hilir mudik memuat sembako, kecuali Peggy yang sibuk dengan kertas-kertas yang terletak di depannya. Beberapa kali tangan Kharis bersentuhan dengan tangan Lewi ketika menyodorkan dua kantong merah di tangannya. Sial untuk Kharis, tangannya yang dingin itu mengundang senyum tipis Lewi.
"Ada apa dengan tubuhku, apa dia tahu tanganku dingin karena dia... kenapa juga dia kadang seperti lupa melepas tanganku, sengaja ya?"
Kharis nelangsa tak bisa menahan debaran di dada.
Ah pasti lebih baik setelah ini. Semangat Kharis...
.
🌤🌤🌤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Ayu galih wulandari
Aqu sdh melimpir ke mari kak...lanjuuut..😘😘😘
2024-03-02
0
Diana Resnawati
mampir thor
2023-12-10
0
Sri Astuti
Kharis nama cewek jg ada kok
2023-07-17
0