Senin (13.44), 23 Maret 2020
-----------------------------
Maya masuk ke ruang kerjanya dengan lesu. Rafka belum ditemukan. Kepala Maya serasa mau pecah ketika memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang menimpa Rafka.
Begitu sampai di tengah ruang kerjanya, Maya tertegun melihat seseorang sedang duduk santai di balik meja kerjanya. Kaki orang itu saling menyilang ditumpangkan di atas meja. Ada sebuah gelas berisi anggur merah di atas meja. Orang itu tampak sedang serius membaca dokumen dari lemari arsipnya.
Dengan kemarahan yang tertahan, Maya menyilangkan kedua tangan di depan dada. “Wah, lihat. Siapa ini yang berani duduk di kursiku selama aku pergi?”
Orang itu mengangkat kepalanya dan berpura-pura terkejut melihat Maya. “Astaga, Maya. Seharusnya kau ketuk pintu dulu sebelum masuk.”
Maya menyipitkan mata dengan marah. “Berani sekali kau duduk di situ? Kau pikir apa yang sedang kau lakukan?”
“Sebentar lagi tempat ini akan menjadi milikku. Aku hanya sedang berlatih untuk jadi pemilik yang baru. Tapi jujur saja, aku benci dekorasi ruangan ini. Sangat tidak berkelas.”
“Sudah berapa lama kau merencanakan ini?” desis Maya.
“Sudah lama aku ingin memiliki tempat ini, Maya. Tapi selama ini aku tidak memiliki kesempatan. Kini kesempatan itu datang padaku. Aku tidak akan menyia-nyiakannya.”
“Jadi kau ingin menusukku dari belakang, Alan?”
“Tidak, tidak. Bukan seperti itu.” Alan menurunkan kakinya lalu meletakkan kedua sikunya di atas meja. Ia bertopang dagu sambil menatap tajam ke arah Maya. “Aku tidak akan menusukmu dari belakang. Tapi aku ingin menikammu dari depan hingga kau tidak bisa bangkit lagi.”
Maya terkekeh merendahkan. “Jangan terlalu banyak bermimpi.” Sebuah kesadaran masuk ke dalam benak Maya. “Biar kutebak. Kau pasti tahu dimana Rafka berada.”
Alan tertawa keras. “Kenapa, Maya? Apa kau kehilangan kekasihmu?” ekspresi Alan berubah keras. “Kau wanita paling tidak tahu diri yang pernah kukenal. Bagaimana bisa kau meniduri putramu sendiri dan berusaha menjadikannya pengganti suamimu? Aku yakin mayat suamimu tidak tenang di kuburannya. Kuharap arwahnya datang dan mencekikmu.”
“Aku tidak butuh omong kosongmu. Aku hanya ingin tahu dimana Rafka berada.”
Alan menyeringai. “Apa yang akan kau berikan padaku sebagai gantinya?”
Kesabaran Maya mulai menipis. “Kau tidak berhak melakukan barter denganku, Alan. Cepat katakan dimana Rafka!”
“Kau sungguh tidak sabar.” Alan berkata sambil menunjuk sesuatu di belakang Maya. “Rafka ada di rumah dia.”
Maya segera berbalik ke arah yang ditunjuk Alan. Tatapannya tertegun pada seseorang yang berdiri di depan pintu yang terbuka. Dengan langkah tenang bak predator yang menghampiri mangsanya, orang itu berjalan menghampiri Maya.
“Sedang apa kau disini, Freddy? Bukankah seharusnya kau sedang dalam perjalanan menuju perbatasan?”
Freddy menatap Maya tajam. Tidak ada sedikitpun jejak humor di wajahnya. “Untuk apa aku ke perbatasan? Antek-antekmu disana sudah diringkus semua. Lalu kepada siapa aku harus mengirimnya?”
Kedua tangan Maya mengepal di sisi tubuhnya. Matanya berkilat marah. “Kau mengkhianatiku, Freddy?”
Freddy mendengus. “Aku tidak mengkhianatimu, Maya. Karena sejak awal aku tidak pernah berada di pihakmu.”
“Aku begitu mempercayaimu. Aku mempercayakan semuanya padamu. Tapi inikah balasanmu?”
Alan yang masih duduk di kursi Maya tertawa keras. “Freddy, aku juga tidak menyangka. Seharusnya kau berhenti menjadi polisi. Kau lebih cocok menjadi artis.”
“Diam, Alan!” Maya berteriak.
Alan terkekeh melihat kemarahan Maya. “Aku senang sekali karena bisa menyaksikan kehancuranmu, Maya. Aku sangat membencimu bahkan aku sangat jijik padamu. Kau menyiksa Rafka secara fisik dan mental selama bertahun-tahun. Jujur saja aku tidak setuju kalau kau dipenjara. Seharusnya kau disiksa sampai mati.”
“Apa Rafka tahu kalian melakukan ini padaku?”
“Tidak. Rafka tidak tahu.” Jawab Freddy dingin. “Dia juga tidak mau tahu lagi tentang nasibmu.”
“Kau tahu, Freddy? Kau akan menyesal karena telah melakukan ini padaku. Kalau kau tahu masa lalu istrimu, kau tidak akan melakukannya karena aku bisa membuat keluargamu hancur.”
“Masa lalu yang mana, Maya? Bahwa ibu mertuaku telah menjual istriku kepada pria hidung belang? Dan karena ingin melindungi istriku, kakak iparku mengorbankan dirinya?”
Mata Maya melebar. “Apa Ratna sudah ingat semuanya?”
Freddy tidak menjawab. Dia mengeluarkan gulungan kertas dari saku jaket hitamnya yang digunakan untuk menutupi seragam polisinya.
“Nyonya Mayangsari Aditama, anda dituntut atas tuduhan penyelundupan dan pengedaran narkoba.” Freddy mengangkat kepalanya sejenak dari tulisan yang dibacanya. “Dan karena kau adalah gembong dari jaringan narkoba terbesar di kota ini, kau akan mendapat hukuman yang cukup berat.” Lelaki itu kembali membaca. “Kau juga dituntut atas tuduhan percobaan pembunuhan berencana terhadap Nona Renata Agustina Effendi, putri Bapak Gunawan Effendi. Selanjutnya kau dituntut atas tuduhan penjualan anak di bawah umur dan dalang pemerkosaan terhadap Nyonya Ratna Keegan serta tuduhan pelecehan seksual dan pemerasan terhadap Tuan Rafka Aditama.”
Selesai membaca semua itu, Freddy kembali memasukkan gulungan kertas di tangannya. “Dengan semua tuntutan itu, akan kupastikan kau membusuk di penjara. Bawa dia sekarang!”
Tiga pria berseragam polisi yang sejak tadi menunggu di depan ruang kerja Maya, langsung menghambur masuk. Tidak ada perlawanan dari wanita itu. Dia hanya menatap Freddy penuh kebencian.
“Aku bersumpah kau akan menerima akibat dari perbuatanmu, Freddy.”
Begitu Maya diseret keluar oleh ketiga polisi tadi, Freddy menatap Alan dengan ekspresi yang berubah ramah. “Terima kasih karena telah membawakanku dokumen-dokumen itu. Benda itu akan menjadi salah satu bukti yang memberatkan atas perdagangan narkoba ilegal yang dilakukan Maya selama bertahun-tahun.”
Alan berdiri menghampiri Freddy. “Aku tidak butuh ucapan terima kasihmu. Aku hanya ingin kepemilikan atas tempat ini segera dialihkan padaku.”
“Tenang saja. Aku telah mengurus semuanya. Kau hanya perlu memastikan Rafka mau menanda tanganinya.”
Alan menatap ruangan itu sambil mendesah. “Rafka memiliki banyak kenangan buruk disini. Dulu aku selalu khawatir semua tekanan mental yang diterimanya bisa membuatnya gila. Aku bahkan ragu bahwa Rafka masih mau menginjakkan kaki di tempat ini. Dia pasti akan langsung menanda tanganinya tanpa banyak bicara.”
“Terima kasih karena telah mendampingi kakak iparku selama bertahun-tahun.”
“Sekali lagi aku tidak butuh ucapan terima kasihmu. Rafka sudah seperti adik bagiku. Aku akan melakukan segala yang kubisa untuk membantunya.” Sekali lagi Alan mendesah. “Keputusanmu tepat untuk menjauhkan Rafka dari kasus ini. Dia tidak akan bisa menyakiti ibunya. Dasar anak bodoh!”
“Kalau...”
DOR.
Alan dan Freddy serempak menoleh ke pintu keluar. Alan masih tertegun ketika Freddy berlari cepat mencari sumber suara. Alan segera menguasai diri dan turut lari mengikuti Freddy. Mereka terengah-engah ketika sampai di tempat dimana tiga personil polisi yang tadi membawa Maya terkapar bersimbah darah.
“Apa mereka sudah mati?” tanya Alan panik.
Freddy melempar walkie-talkienya ke arah Alan yang langsung menangkapnya. “Tekan tombol satu dan segera minta bantuan. Katakan juga bahwa tersangka melarikan diri melalui pintu belakang Fly Club.”
Freddy segera berlari ke ujung lorong tempat dia pernah mencegat Rafka. Tangannya sibuk menyiapkan pistol dalam posisi siaga. Dia yakin ada yang membantu Maya. Tapi seharusnya Maya tidak bisa melarikan diri walaupun ada yang membantunya karena seluruh gedung ini telah dikepung polisi. Kecuali jika Maya memiliki jalan keluar yang tidak diketahui siapapun.
Nafas Freddy memburu. Adrenalin menguasai tubuhnya. Maya tidak boleh lolos. Wanita itu sudah mengetahui semuanya. Selain nyawa Rafka dan Rena, kini nyawa Ratna dan Juan menjadi terancam. Apalagi sekarang Maya sudah tahu dimana mereka semua berada. Freddy harus bisa melindungi orang-orang yang dicintainya.
DOR.
DOR.
DOR.
Lagi-lagi suara tembakan terdengar bertubi-tubi. Freddy semakin memacu langkahnya. Dia jadi menyesal karena menarik anak buahnya yang seminggu ini bertugas menjaga rumahnya. Dia merasa amat yakin bisa meringkus Maya sehingga bertindak lengah.
Ketika Freddy sampai di pintu keluar, dia langsung menatap berkeliling untuk melihat keadaan. Tapi mendadak beberapa tembakan diarahkan padanya sehingga Freddy langsung melompat mencari perlindungan. Dari tempat perlindungannya di balik tembok pembatas setinggi pinggang, Freddy melihat tiga mobil polisi yang mengepung kondisinya rusak akibat hantaman peluru. Beberapa petugas terluka.
Ada tujuh orang bersenjata yang membantu Maya melarikan diri. Tiga diantaranya sudah terkapar. Sisanya menembak ke segala arah dengan brutal. Mereka tidak memiliki celah untuk kabur. Karena itu mereka berusaha membunuh siapapun yang ada disana untuk mempertahankan diri.
“Brengsek!” umpat Freddy ketika tidak menemukan Maya.
Freddy sengaja meninggalkan ponselnya di kantor karena sedang bertugas. Walkie-talkienya telah diserahkan pada Alan. Dia tidak bisa menghubungi siapapun untuk melindungi keluarganya. Sekarang dia juga terjebak di tempat persembunyian karena hujan peluru dari anak buah Maya.
Tidak ada pilihan lain. Freddy harus membantu melumpuhkan orang-orang itu terlebih dahulu sebelum menyelamatkan keluarganya. Dia hanya bisa berdoa semoga Tuhan melindungi mereka.
---------------------------
♥ Aya Emily ♥
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
TERNYATA FREDY ADIK IPAR RAFKA ADALAH POLISI BAIK, TDK SPRTI FREDY POLISI JAHAT YG ADA DIDUNIA NYATA..
2023-03-08
0
Ulif Yuhanna
yuhuu Alan 💃💃💃
2022-11-08
0
mamihnya bocil
menegangkan...deg deg an banget...berasa ikut di dalamnya..
2021-04-05
2